Senin, 23 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 4)


Mimpi itu datang lagi!
Kali ini dengan lebih jelas. Ah tidak, masih belum terlalu jelas. Tapi perasaan takutku sama dengan mimpi yang pertama dulu.
Aku kembali menangis. Kemudian merasakan sesak di dadaku dan sakit di hatiku. Kulihat ‘Nda Raya masih tersenyum padaku. Dengan senyumnya yang sama seperti biasanya. Bahkan dia masih tetap menenangkan aku saat aku menangis itu. Dia masih memegang wajahku saat itu.
Tatapnya itu… Tidak ada tatap yang biasanya. Hanya ada sendu. Itukah yang membuatku menangis? Perlahan jarak menjauh dan senyum ‘Nd Raya masih terkembang. Masih mencoba menenangkanku dengan teriakannya yang khas di telingaku. Katanya “Baik-baik ya! Jangan cengeng lagi. Doakan aku”
Kalimat yang sama. Sendu yang sama.
“Nda!,” berbutir-butir keringat telah membasahi bajunya. Aku sudah berada di pelukannya sekarang.
“Semalam abid panas lagi trus ngigau minta dipeluklah, gak mau ditinggalin lah… ya karna ngigaunya berulang-ulang dan panasnya makin tinggi apalagi siangnya abid juga sempat pingsan, ya aku angkat abid pindah kamar,” katanya. “Gak papa kan?,” tanyanya lagi.
Aku melihat sekelilingku. Memang bukan kamar kami.
“Dimana?
“ICU,” katanya pelan. Serak. “Semalam abid gak bangun-bangun, hanya ngigau dan panas makin tinggi. Aku yang gak ngerti ilmu kesehatan ya khawatir dong ada apa-apa dengan pembantuku tercinta ini,” kalimatnya mencoba membuatku lebih rileks “Nah, akhirnya ya begini. Aku memindahkan kamar abid ke sini. Biar ada yang bantu ngrawat,” katanya.
“Aku kenapa, ‘Nda?
“Dokternya semalam belum datang. Hanya ketemu suster-suster. Ya namanya juga tengah malam, bid, mungkin dokternya tidur kayak biasanya kita kan?,” kemudian dia mencoba tertawa. Menaikkan selimutku kembali dan merapikannya. “Jadi semalam hanya ditensi, trus diapakan itu aku gak tau namanya,” katanya setengah malu setengah senyum. “Susternya bilang tekanan darah abid drop, makanya abid jadi pingsan-pingsan juga.
Matanya bersedih.
“Pusing, ‘Nda,” kataku. Meringis.
“Suster bilang juga gitu. Pasti abid akan pusing banget karna tekanan darah yang turun itu. Sabar ya!,” tak urung aku melihat air di matanya hampir menetes pelan. Tapi cepat dia membuang muka. “Semoga sakitnya abid jadi barokah kita semua. Siapa tau itu isyarat keberhasilan kita menciptakan generasi baru di rahim abid,” dia tertawa lagi meningkahi perasaan salah tingkah yang sudah penuh memenuhi sikapnya. Matanya berharap memang ini tanda-tanda kehamilanku, tapi aku tau juga di kalimatnya ada kekhawatiran terhadap kesetanku juga tidak bisa ditolaknya.
Aku tersenyum. Memegang lengannya. Kerinduannya pada dedek kecil sangat tinggi ternyata. Katanya kemaren, kan biar punya Raya junior. Aku terkekeh saat itu. Aku juga mau kok, Aura Junior.
“Mungkin karna aku masih cengeng ya, ‘Nda, jadi kayak lum pantas punya dedek,” tanyaku waktu itu. ‘Nda Raya hanya mengangkat bahunya pelan. Kemudian mengucek rambutku yang masih basah.
“Cengeng iya. Cemburuan iya. Ngambekan iya banget. Nggigitan juga iya. Nyubitan iya iya iya pol! Manja apalagi… Iyaaaaa bangggeeettt!! Yah, resiko…,” jawabnya sambil berpose seperti orang menghitung kesalahan.
Aku maju. Menimpukinya dengan apapun yang terlihat di depanku. Melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan segenap tenaga. Dan… ibadah cinta kami berlanjut kembali hingga datang pagi.
Aku tersenyum. Selalu ada hal indah yang dapat kukenang dengan lelakiku itu.
Auww…
Kepalaku benar-benar pusing. Berat. ‘Nda Raya masih ke kamar mandi mengambilkan aku sebaskom air untuk wudluku. Subuh mungkin sudah berlalu beberapa jam, tapi ‘Nda Raya bilang aku harus tetap sholat. Aku telat bukan karna aku sengaja telat, tapi karna kelelapan tidurku yang di luar kuasaku. Begitu ‘Nda Raya bilang juga.
“Nda Raya jangan pergi. Disini saja,” kataku sebelum kutunaikan subuhku. ‘Nda Raya mengangguk. Dengan senyumnya. “Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut,” kataku lagi.
“Iya… Aku disini. Janji!
Kutunaikan subuhku. Meskipun sangat telat tapi kurasakan semua organku benar-benar turut dalam rukuk dan sujud yang saat ini tidak bisa kulakukan dengan sempurna. Padahal saat aku bisa rukuk dan sujud dengan sempurna, kadang semua organ sadarku tidak turut dalam shalatku. Sekarang saat aku hanya mampu melakukan shalat dengan berbaring, gerakan rukuk dan sujudku seolah diikuti oleh semua organku.
***
Astagfirulahal’adzim…
Aku menangis. Makin lama makin menangis. Aku takut pada keadaanku. Aku juga takut pada mimpiku. Aku takut ditinggalkan ‘Nda Raya dan aku juga tidak mau meninggalkan ‘Nda Raya.
Aku menghitung. Sejak kapan aku merasakan lemas dan pusing ya? Kenapa tiba-tiba aku di ICU ini? Kasihan ‘Nda Raya… Pasti kecemasan yang membuatnya memutuskan memindahkan tidurku di sini. Apalagi selama tujuh bulan kebersamaan, aku belum pernah mengalami sakit yang sampai membuatnya khawatir.
Allah, kenapa ‘Nda Raya lama sekali? Kemana dia?
Masih lama? Tulisku.
Tidak dijawab. Aku mulai berpikir yang tidak enak.
‘Nda…
Tidak dijawab lagi. Kemana? Kenapa? Kenapa aku tadi tidur hingga tak tau ‘Nda Raya pergi kemana.
Aku cemas pada kecemasanku[1]
Aku mencoba mengalihkan perhatian pada buku. Kupaksakan untuk membaca dan beristighfar banyak-banyak. Aku tidak boleh parno dengan apapun yang terjadi pada ‘Nda Raya. Tidak ada apa-apa. Tidak ada.
Semua hanya mimpi, Aura… MIMPI!
Namun ingin kukatakan kepadamu
: setiap malam aku bersyukur
kita tlah bertemu
karna hanya padamu
aku akan merasa rindu…[2]
Sending message…
Sedikit mengurangi kecemasanku. Aku menarik nafas. Memiringkan tubuhku yang agak kaku dan kepalaku yang masih sangat berat. Kemudian kulihat kertas-kertas dan pena di atas meja rawatku. ‘Nda Raya benar-benar tak terlupa dengan kekayaan kami yang satu itu.
‘Nda Sayang Calling…
“Dimana?,” tanyaku lemah.
“…………………………………………………
“Cepet balekk… aku nunggu,” kataku lagi.
“……
Klik!
Masih kugenggam HP itu. Saat sebentar kemudian dia bergetar.
Karna hanya padamu
Aku akan merasa rindu…
Sori, bid, gak ngerti kudu nulis apa.
Lov zu!
Aku tertawa.
Orang bilang masa awal pernikahan memang selalu indah. Katanya juga usia lima tahun pernikahan adalah masa rawan. Dan aku baru menjalaninya tujuh bulan. Itu artinya masih sangat bayi sekali. Jadi mungkin rasanya indah terus. Ah!
Masih lama? Aku kesepian.
Sebentar. Lima belas menit lg. Key? Balasnya.
Aku tenang dengan balasannya.
Kenapa aku memang seolah makin paranoid dengan hal-hal buruk yang belum tentu menimpa ‘Nda Raya? Nda Raya benar jika berkata aku makin manja dan cengeng. Benar juga bila dia berkata aku sangat parno sampai-sampai membahayakan kenyamananku sendiri. Bagaimana tidak?
Mimpi itu masih sangat jelas bagiku. Ini yang ketiga selama satu setengah bulan ini. Mimpi yang selalu membuatku takut. Hff… pikiranku banyak dipenuhi kisah-kisah terdahulu tentang mimpi. Mimpi bukan sekedar bunga tidur. Mimpi bukan sekedar bayangan tidur. Bisa jadi mimpi adalah pertanda. Firasat.
Bagaimana mungkin aku tidak khawatir dengan mimpi yang seolah menggambarkan perpisahan antara aku dan ‘Nda Raya? ‘Nda Raya memintaku mendoakannya dan berpesan supaya aku baik-baik selalu. Kemudian tersenyum dan terpisah di tengah lautan –entah lautan apa itu-. Aku takut. Meski mimpi aku tak ingin kehilangan ‘Nda Raya. Belum ingin untuk saat ini, mungkin nanti saja kalo aku boleh meminta. Hfff…
Pukul 10.17 : Jumat
Bunga? ‘Nda Raya membawakan bunga untukku?
“Ada apa?,” tanyaku. Mataku mengikuti langkahnya mengambil kursi. Mawar merah dan putih itu diletakkannya di tanganku. Aku masih bingung.
“Tadi kemana?,” tanyaku lagi. “Lama banget keluarnya… Dah gak bilang-bilang, di SMS gak balas,” aku merajuk.
Tapi dia hanya tertawa. Binar matanya kembali bercahaya. Aku senang!
“Tadi suster menyuruhku menemui dokter. Tadi pas abid bobo kan dokternya datang meriksa abid. Nah setelah itu, aku disuruh ke ruangannya karena ada yang harus dibicarakan,” Nda Raya mulai menerangkan.
“Bunga ini?,” tanyaku. “Untuk apa?
Sssstt… sebentar. Aku belum selesai cerita. Dengarkan dulu. Yah?!,” katanya. Aku mengangguk. Kenapa ketakutan ini mulai muncul lagi.
“Dokter bilang, ada yang gak beres dengan rahim abid,” Nda Raya diam. Hanya sebentar. Pasti untuk mengumpulkan energy bicara. “Tapi kata dokter juga gak masalah dengan syarat abid mau nurut dengan saran dan nasehat kesehatan. Jadi sekarang abid kudu makin ati-ati. Emosinya kudu dijaga, pikirannya kudu lebih tenang.
Aku masih diam. Menunggunya bercerita lagi. Ada apa?
“Tapi ada berita gembiranya, bid,” katanya lagi. Kali ini dengan binar berbeda. “Hmm… perjuangan kita berhasil! Kita berhasil, bid, sangat berhasil!,” ucapnya semangat. Tangannya menggenggamku yang hanya diam menatapnya. Aku tak merasakan kebahagiaan yang luap di sana. Matanya berbinar tapi kebahagiaannya tidak luap.
“Nda…
“Iyah, kita berhasil. Subhanallah…,” kalimatnya mulai putus-putus. Ada sedak yang tertahan di dadanya. Dia enggan menangis di depanku. “Ada dedek di dalam rahim abid. Subhanallah… allahu akbar,” katanya.
Aku tak meminta air mataku keluar. Tapi aku menangis melihatnya menangis juga. Lelaki hanya menangis karna dua hal, kebahagiaan yang tak terperi atau kesedihan yang tak terkira[3].
“Nda…
Seketika itu dia mencium keningku. Lama. Lama sekali.
“Abid hamil, sayang. Abid hamil! Benar-benar hamil. Setelah kita menunggu tujuh bulan. Hebat kan kita?!,” katanya lagi. Tertawanya dipaksakan.
Aku melongo. Aku makin menangis melihatnya begitu.
“Kok malah nangis? Kenapa?
Aku menggeleng. “Nda Raya kenapa juga menangis? ‘Nda Raya gak seneng abid hamil? Kenapa menangis juga?
Dia tertawa. Mengusap kepalaku pelan. “Ya karna aku bahagia, bid…
“Beneran?,” ragu dia menatap mataku. Kemudian dia pun mengangguk.
“Iya!
Dan kebahagiaan itu terlihat kini. Dalam peluk syukur yang tak terkira. Untuk kehadiran generasi baru kami. Kata ‘Nda Raya, Raya junior. Dan kataku, Aura Junior. Keren kan?
Aku bahagia. Meski hingga saat ini aku masih harus di rumah sakit. Belum boleh pulang dengan berbagai pertimbangan. Meskipun aku ngotot keadaanku sudah lebih baik, tapi tetap saja aku kalah dengan tak-tik-tuk-nya dokter dan perawat di sini. Ya bagaimanapun aku memang harus bisa lebih rileks di sini.
‘Nda Raya membereskan pakaian kotorku. Memasukkannya dalam plastik yang akan dibawa pulangnya tiap hari. Sesekali dia berbicara padaku juga.
“Nanti sore ibu datang. Maaf ya gak bilang-bilang.
“Sama siapa?
“Ya sendiri lah… Anak satu-satunya kan sudah kuambil. Masa’ mau ajak mbak Sri ke sini,” jawabnya.
Jadi Ibu datang sore ini. Firasatku berbatin memang aku akan lebih lama di rumah sakit ini. Berulang kali ‘Nda Raya bilang semua untuk dedek bayi dan aku. Makanya aku menurut saja.
“Mulai besok aku kan kudu ngantor. Sudah tiga hari gak masuk, kerjaan sudah numpuk. Makanya ibu akhirnya ku telepon. Sekalian kan buat jaga calon cucu pertamanya,” kata Nda Raya. “Biar aku juga gak terlalu khawatir meninggalkanmu sendiri di sini,” katanya. Menatapku. Mata itu…
“Nda!
Dia menoleh. Alisnya terangkat.
“Apa tidak mahal menempatkan aku disini? Pindah saja di klas di bawah ini, jadi bisa lebih hemat. Kan uangnya juga bisa ditabung untuk keperluan dedek nanti,” aku bertanya hati-hati.
Dia tertawa. “Abid lupa ya punya suami yang dijamin perusahaan? Ya meskipun gaji belum seberapa, tapi kesehatan kan ditanggung perusahaan. Jadi kalo bisa dapat yang baik kenapa milih yang biasa?,” katanya bergaya iklan lagi.
Aku tertawa.
“Abid sayang banget sama dedek ya?,” tanyanya kemudian. Kini dia berdiri di pinggir ranjangku.
“Kok tanya gitu siy… aneh!,” jawabku.
“Heheheh. Ya maksudku berarti aku kudu siap-siap cemburu lagi!,” katanya lagi.
“Maksudnya apa?
“Eh, jangan sensi gitu dong bid… kata orang-orang biasanya hamil pertama itu akan menguras perhatian ibu. Dan ibu akan menguras perhatian ayah. Lha ayah menguras perhatian siapa dong? Hayo… belum lagi kalo nanti dah lahir. Pasti makin berkurang perhatiannya padaku. Sibuk urus dedek yang minta susu lah, minta suap lah, mandi lah, apa lah… Pasti nanti aku minta dibuatin kopi saja ada alasannya bilang gak mau. Iya kan?
Aku tertawa. Kucubit kuat lengannya. Dan dia meringis.
“Maafkan ayah ya, dek… Kalo nanti cemburu juga sama dedek,” ujar Nda Raya kemudian. Aku masih tertawa. Benar-benar aku bahagia saat ini.
“Nda!
“Iya?
“Aku pengen dipanggil bunda. Biar mimpiku untuk memanggil bunda kesampaian,” kataku. ‘Nda Raya menatapku sayu. “Sebenarnya aku pengen panggil ibu dengan bunda. Tapi gak kesampaian karna ibu bilang orang ndeso saja kok pake bunda-bunda segala,” aku kemudian tertawa. “Padahal manggil bunda kan bagus juga ya, ‘Nda. Boleh ya ‘Nda? Boleh ya?
‘Nda Raya mengangguk. Tapi di matanya ada air.
“Kenapa Nda Raya malah mau nangis gitu? Gak setuju? Kalo gak setuju gak papa, aku kan dah sering minta dipanggil begini begitu. Sekarang giliran Nda Raya mengusulkan panggilan.
“Kenapa jadi sensi gitu ya? Apa bawaannya perempuan hamil itu gitu ya?,” katanya. “Wong ada orang seneng kok malah jadi sensi gitu.
Aku tertawa. Kemudian kami saling bercerita. Tertawa  sampai keluar air mata. Dan tiba-tiba gelap…
Tapi ‘Nda Raya masih dengan tatapnya saat kami bertatapan. Tapi masih saja sendu itu sangat terasa. Masih juga sentuhnya sama. Kalimatnya juga masih sama seperti biasanya.
Jaga diri, aku sayang abid!
“Arrgghhh…!!
Byarr!
Ibuku. ‘Nda Raya. Mereka cemas.
“Bu’…
Bibir ibuku bergetar. Ibuku menahan tangis. Kemudian menciumku.
“Ada apa lagi, ‘Nda?
‘Nda Raya tersenyum. “Abid pingsan lagi tadi.
“Dedeknya gak papa?,” tanyaku. Akupun cemas.
“Gak papa. Cuman abid yang kudu banyak istirahat lagi. Lebih rileks. Biar tekanan darah dan jantungnya tetap normal. Tidak lama bid, hanya untuk beberapa waktu saja abid kudu bisa nurut dengan aturan kesehatan. Aku yakin abid bisa. Pasti bisa,” kata ‘Nda Raya.
“Maafkan aku, ‘Nda… aku janji gak bandel-bandel lagi. Aku janji pada ‘Nda Raya dan dedek,” kataku. Nda Raya tersenyum.
Ibuku menatapku. Matanya juga berair. Tapi aku bahagia ada ibuku di dekatku kini. Lima bulan aku tak melihat wanita perkasa itu. Aku tidak akan takut lagi saat Nda Raya harus meninggalkanku ke kantor. Karna ada ibuku sekarang. Aku bisa ngobrol banyak hal dengan ibuku.
Ibuku yang hebat. Aku selalu bangga memiliki ibu sepertinya. Satu-satunya pahlawan dalam kehidupanku. Aku sangat mencintainya.
Kenyataannya : aku lahir tanpa ayah.
Aku benci tiap kali harus mengingat cerita ini. Pernah aku berpikiran tuhan sangat tidak adil karna tidak memberiku kesempatan mengenal ayahku. Jangankan mengenal, melihatnya saja tak pernah. Tuhan tidak adil karna aku tak diberi hak untuk digendong, ditidurkan atau dipanggul seorang ayah.
Ayahku telah meninggal saat aku masih lima bulan di perut ibuku. Dan sejak itu ibuku menjadi satu-satunya bagiku. Ibuku tidak pernah mengganti ayahku sampai saat ini.
“Ibu pengen bersama ayahmu saja di syurga nanti,” alasannya sewaktu kutanya kenapa tak menikah lagi. Padahal aku mau andai memang ibu pengen menikah lagi. Apalagi sudah lebih tiga orang yang melamar ibuku. “Suami terakhir itulah yang akan menemani di akhirat. Dan ibu pengen ditemani ayahmu saja.
Aku memang tak mengenal ayah secara lebih. Tapi dari semua rasa bangga yang keluar dari cerita ibu, aku yakin ayah memang layak untuk selalu dijadikan yang pertama selamanya. Bukankah sudah tunai urusan setengah dien ibu saat ibu menikah dengan ayah? Apakah setengah dien itu akan kembali hilang saat ibu tak lagi ditemani ayah? Aku tak tau…
“Aku akan menjadi seperti ibu misal itu juga terjadi padaku,” kataku waktu itu. Masih SMA. Kemudian aku tertawa.
“Ya kalo bisa jangan seperti ibu. Kamu harus bisa punya keluarga abadi dunia dan akhirat. Iya tho?,” jawab ibuku. Kemudian aku dan ibu tertawa.
Pukul 14.19
Aku tertidur lagi rupanya. Lamunanku tentang ibuku ditambah dengan infuse juga obat membuatku begitu mudah tertidur. Tanpa peduli dengan ibu dan ‘Nda Raya yang menungguiku.
“Apakah aku akan mati, ‘Nda?,” tanyaku. Entah pertanyaan dari mana ini.
‘Nda Raya menatapku tajam. Luka itu kembali muncul di matanya.
“Bukankah semua orang pasti mati? Kenapa tanya begitu? Harusnya abid bisa berpikir segera sembuh biar dedek juga sehat segera,” jawabnya. Mengeras.
“Aku takut ‘Nda…
Suaraku parau. Serak. Pasrah. Tapi aku juga bahagia dengan adanya ‘Nda Raya dan ibu saat ini. Kelemahan dan kekhawatiranku ada yang menemani.
‘Nda Raya kembali membantuku wudlu. Aku belum dhuhur. Kugabungkan shalatku pada waktu ashar. Dokter melarangku bersentuhan dengan air terlalu sering. Katanya ada sarafku yang beku saat ada air yang menyentuh kulitku. Entahlah, aku tidak mengerti semua itu. Tapi aku akan menuruti juga. Demi dedek dan ‘Nda Raya. Demi ibuku juga…
Sudah hari ke lima aku disini. ‘Nda Raya pasti akan menjengukku saat makan siangnya. Sayangnya, kadang tiap ‘Nda Raya datang aku pas tidur. Jadinya, ibu bilang ‘Nda Raya hanya makan dan menciumku lalu balik ke kantor lagi.
“Aku pengen cepet balek ke rumah, bu… aku kangen rumah,” keluhku. “Aku bosan disini. Kasiyan ‘Nda Raya juga harus pulang balek rumah-kantor- rumah sakit terus-terusan. Kasiyan dedek juga harus bau obat terus…
Ibuku tersenyum. “Makanya cepet sehat biar bisa cepet balek.
“Aku kurang sehat apa? Dari kemaren bilang kurang sehat mulu…
Ibu tertawa. “Lha itu yang buat kamu gak sembuh-sembuh. Jangan ngambekan gitu, bentar-bentar manja dan merajuk. Awalnya hanya gitu tapi lama-lama ada aliran ke jantungmu lebih keras. Pingsan deh…
Aku tertawa. “Tapi aku kan ga jantungan, bu…
Sebentar kemudian dokterku datang. Tepat saat makan siang ‘Nda Raya. Mereka bersalaman. Kemudian dokter itu mulai memeriksaku. Apa yang diperiksanya aku juga tidak begitu mengerti.
“Apa masih harus disini, dok? Boleh gak di kamar biasa saja? Kalo di ICU begini kok kesannya saya ini gimana ya… Parah banget gitu,” tanyaku.
Dokter Hadi tersenyum. “Ya asal semua stabil, pasti boleh pindah kamar. Kenapa, mbak? Bukankah enak di ICU? Lebih tenang…
“Tenang siy iya dok… tapi seram iya juga. Kayak saya parah banget sakitnya. Padahal hanya darah yang gak stabil saja,” kataku.
Dokter itu tertawa. Susternya juga.
“Gimana, mas? Sudah ada keputusan?,” tanya dokter ke ‘Nda Raya.
‘Nda Raya tergeragap. “Nanti dok, saya ke ruangan dokter.
“Baiklah… saya tunggu,” ujar dokter Hadi. Langkahnya mantap meninggalkan ruanganku. Hff… lega!
“Keputusan apa, ‘Nda?,” tanyaku begitu ‘Nda Raya kembali ke kamarku. ‘Nda Raya memandang ibuku. Aku makin penasaran.
“Aku lapeeerrr…,” jawab ‘Nda Raya cuek tak memperhatikan pertanyaanku sama sekali.
“Ndaaa….
“Aku laper. Nanti saja kuceritakan. Tentang dedek kok, jadi tenang saja,” katanya. Aku merengut. “Ijinkan aku makan dulu, nyonya… aku laper,” ujarnya kemudian. Mukanya dibuat memelas.
Aku tertawa juga akhirnya. Mengucek rambut sapunya.
Aku bercerita banyak hal selama ‘Nda Raya makan. Kami tertawa. Dengan ibu juga di sana. Sesekali ibu menimpali ceritaku. Dan sering kali ‘Nda Raya menggodaku dan mengolokku dengan manja, anak-anak, cengeng, nangisan.
Aku bahagia. Kukatakan pada ‘Nda Raya, ”Aku nunggu satu cerita ‘Nda Raya yang belum keluar.
‘Nda Raya angkat alis. “Apaan?
“Iya, apaan Ra?,” ibuku menimpali.
“Yang tadi… yang sebelum ‘Nda Raya maem.
“Apaan?
“Yang tadi lho, ‘Nda… yang tentang keputusan-keputusan itu…
Dan seketika itu kurasakan semua menjadi senyap. Entah kenapa.
***
”Aku mencintai dedek, ’Nda...
” Jangan. Aku mohon.
’Nda Raya menatapku. Sekuat apapun dia menahan, tetap saja tidak bisa menghalangi air yang keluar menderas dari matanya. Sekuat apapun dia ingin tetap tegak dan tegar di depanku, tetap saja akhirnya luruh.
Pundaknya terlihat terguncang-guncang. Kepalanya membenam. Ibuku juga menangis. Sama. Kami sama-sama menangis. Tak bisa menahan air mata. Inikah arti mimpiku?
”Tapi aku juga sayang abid,” kata ’Nda Raya. Wajahnya pias.
”Aku tidak akan apa-apa,” kataku. ”Aku kuat kan bu? Bukankah aku lahir dari ibu yang kuat pula?,” roboh sudah sisa pertahananku. Air mata itu makin mendanau, dalam dan akhirnya tumpah ruah membanjiri sudut-sudut kelemahan yang kumiliki.
”Aku gak mau, ’Nda... aku gak mau,” kataku lagi. Aku emosi.
”Bid, bid... ingat. Jaga emosi. Biar dedek lebih tenang dan abid juga nyaman,” Nda Raya menggenggam tanganku.
”Tapi aku gak mau...
”Aku tau. Aku juga gak mau. Sama. Ibu juga gak ingin begini.
”Nda, aku kuat. Aku pasti kuat... Aku pasti bisa,” kataku lagi.
Sssttt... aku tau. Aku tau abid kuat. Tapi...
”Aku mau,’Nda. Aku mau. Aku siap,” hanya kalimat-kalimat begitu yang keluar dariku. ’Nda Raya kembali menenangkanku.
”Iya... aku tau. Aku tau abid kuat.
”Jadi sana, temui dokter Hadi dan katakan aku akan mempertahankan dedek semampu aku.
”Ra...
”Aku mau begini, bu. Aku sudah menunggu tujuh bulan untuk kehadirannya. Sekarang setelah hadir, kenapa aku harus melepasnya?,” emosiku berpindah pada ibuku yang mencoba menengahi. Aku tau ibu akan berkata hal yang sama dengan lelakiku. Aku harus melawan. Aku tidak mau kalah.
 Perlahan memang jantungku berdetak tak beraturan. Dadaku sesak. Sakit.
”Ra... Aura dengarkan ibu. Semua demi kebaikan Aura. Semua juga sayang dedek. Ibu tau yang Ra maksud. Tapi semua belum terlambat. Setelah ini Ra dan Raya dapat berusaha lagi,” ujar ibuku.
”Ibu gak merasakan sepinya aku saat ’Nda Raya tidak ada. Ibu gak ngerti saat aku...
”Ra... dengarkan ibu,” potong ibuku. ”Dengarkan ibu, Ra...
Aku menggeleng. ”Ibu gak ngerti sepinya aku...
”Ibu ngerti. Sangat ngerti. Ibu mengandungmu juga tanpa ayahmu. Ayahmu bahkan perginya tanpa ada kata kembali,” kalimat ibuku mengeras. Aku tau ibuku tidak marah, hanya sedang berjuang meluluhkanku.
Aku tetap menggeleng. ”Ra gak mau, bu... Jangan.
”Bid...
”Aku gak mau, ’Nda. Aku gak mau. Tolong aku, ’Nda... aku mohon,” ibaku. Tak urung ’Nda Raya kembali diam.
”Aura dengarkan ibu. Ibu mohon sekarang dengarkan ibu ya,” kata ibuku lagi. Aku diam. Tak berusaha menolaknya meski aku tak ingin mendengarnya.
”Ibu sayang Aura. Raya juga. Itu kenapa ibu dan Raya memutuskan untuk melakukan ini. Dokter bilang setelah ini rahim Ra akan lebih aman. Dan Ra insya Allah dapat hamil lagi. Rahim Ra bukan diangkat, sayang... Hanya saja rahim Ra masih lemah. Makanya kudu dikuatkan dulu. Jadi Ra bisa lebih siap jika punya dedek lagi. Pilihannya adalah Aura atau dedek...
Aku masih diam. ’Nda Raya hanya membelai-belaiku. Tanpa kata.
”Ra...
Aku tetap menggeleng.
”Ra...
”Aku gak mau, bu... aku mohon jangan paksa aku untuk setuju,” kataku. Ibu menyentuh pipiku,
”Ra... ibu...
”Bagaimana kalau ini adalah kesempatan Ra dan ’Nda Raya terakhir kali punya dedek? Bagaimana kalo ternyata dalam proses itu Ra pun ternyata juga pergi bersama dedek? Bagaimana kalo ternyata setelah ini rahim Ra tetap lemah dan akhirnya Ra dinyatakan tidak boleh punya dedek selamanya?
Emosiku mulai meninggi kembali. ’Nda Raya kuat menggenggamku.
”Dokter itu tidak bisa menjamin apapun untuk kehidupan Ra setelah ini. Apakah setelah dedek diputuskan digugurkan, kesehatan Ra akan membaik? Apakah dokter bisa menjamin saat operasi ini Ra juga akan baik-baik saja dan bisa kembali bersama ’Nda Raya? Bisa punya dedek lagi dengan ’Nda Raya?
Ibu menangis kini. ’Nda Raya masih memegangi erat tanganku.
”Ra mohon, bu... Jangan pisahkan Ra dengan dedek,” kataku. Kucari mata ibuku. ”Nda, aku mohon. Aku gak mau kehilangan dedek. Sama seperti aku gak mau kehilangan ’Nda Raya. Aku mohon, Nda... ini dedek kita. Bukan hanya dedek aku.
Semua diam.
”Ra janji akan kuat dan tidak merepotkan,” aku menatap ibuku. ”Aku juga tidak akan merepotkan ’Nda Raya. Aku janji setelah ini tidak akan ngamar lagi di rumah sakit. Aku janji akan patuh dengan nasehat kesehatan. Aku janji akan nuruti kata ’Nda Raya. Aku janji aku ak...
”Bid... sudah. Sudah...
”Aku mohon, ’Nda...
Setelah itu semua gelap. Aku kembali menemui mimpi buruk itu. Menemui senyum sendu  ’Nda Raya. Menemui ’Nda Raya yang melepasku.
Mimpi buruk itu. Ahh... dadaku sesak. Sakit. ’Nda... aku takut. Tapi ’Nda Raya hanya tersenyum. Kemudian menyentuh wajahku tenang. Dan berbisik baik-baik seperti biasanya.
Aku benci mimpi itu, aku benci!
Selang-selang itu kini juga mengaliri tubuhku dengan cairan penambah tenaga. Jarum-jarum suntik juga terus urun tenaga untukku. Bahkan di kedua lubang hidungku juga nangkring selang membantu nafasku. Di dadaku ada beberapa kabel.
Tapi mataku sekarang bisa terbuka. Ada ibu. Ada ’Nda Raya. Ada ayah dan ibu mertua. Ada adek ’Nda Raya. Kapan mereka datang.
Semua di samping ranjangku. Dengan pakaian khas pasien ICU. Lemah aku menyapa ayah dan ibu mertuaku. Mereka mengangguk. Ibu mertuaku –seperti juga ibuku- menangis. Ayah dan ’Nda Raya mencoba untuk kuat di depan para bidadarinya.
Aku tersenyum. ’Nda Raya memegang tanganku.
”Nda...
”Iya. Abid cepet sehat ya! Biar dedeknya juga cepet sehat dan bisa bantu bundanya kuat,” kata ’Nda Raya.
Aku ingin memeluk ’Nda Raya. Aku sangat ingin bisa mencium tubuhnya saat ini. Aku ingin bisa melepas selang dan kabel-kabel ini hingga aku bisa memeluk lelakiku itu.
”Dedek juga sayang abid. Jadi...,” Nda Raya menarik nafas dalam. ”Janji ya abid akan selalu baik-baik saja. Kita akan menjaga dedek semampu dan sekuat kita. Biar kita sama-sama punya Raya dan Aura junior! Janji?!
Aku mengangguk. Lemah kusanggupi juga janji itu. ”Janji!
Aku benar-benar ingin memeluknya. Aku sangat ingin memeluknya. Aku ingin mengucapkan berjuta terima kasih karna menuruti keinginanku meski dengan pilihan yang sangat berat.
Aku tau jika pilihan dokter adalah aku atau dedek, maka dengan keputusan ’Nda Raya mempertahankan dedek artinya dia harus siap dengan  kehilangan aku dan dedek. Bukan sekedar aku atau dedek. Tapi aku dan dedek. Sama-sama bukan pilihan, tapi keputusan.
Belum genap delapan bulan ternyata sudah ada ujian perpisahan seperti ini. Mimpiku ’Nda Raya pergi meninggalkan aku, tapi kenapa justru dedek yang diinginkan oleh para dokter itu? Aku kembali mencoba mencerna. Menguraikan benang kusut pikiranku sendiri.
Tapi kata orang-orang hidup adalah pilihan. Bahagia juga pilihan. Maka nikmat tuhan yang manakah yang bisa aku dustakan? Aku memutuskan memilih bahagia dengan ’Nda Raya. Memilih menghabiskan waktu bersamanya dan memenuhi penuhan dienku dengannya. Jikalah orang yang mencintai itu tanpa uji, pasti akan sangat mudah syurga diraih. Jikalah Allah itu bisa ditemui tanpa usaha, pasti semua orang akan lebih mudah melakukan ibadah.
Semua memang pilihan. Aku dan ’Nda Raya berhak untuk memilih apapun. Semua bisa dan boleh kami pilih. Tapi... Allah sama sekali tidak memberi hak untukku juga ’Nda Raya untuk memilih akibat dari pilihan-pilihan itu. Karna akibat adalah takdir kami.
Maka kukuatkan diriku sendiri. Untuk semua yang kucintai dan mencintaiku. Aku akan hidup bersama ’Nda Raya. Dengan dedek. 
Dan apakah kamu merasa sudah beriman, padahal ujian Allah belum datang kepadamu?[4] Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.[5]
 **---**
Sepertinya memang sangat sulit membuat ’Nda Raya untuk tidak mengkhawatirkan keadaanku. Sungguh sangat sulit membuatnya percaya aku bisa baik-baik saja di rumah. Apalagi ibu masih setia menemaniku selama ’Nda Raya ngantor.
Tetap saja tiap jam makan siang, dia akan membelah siang yang terkadang membuat kepala terasa seperti terkena heat stroke. Sudah kukatakan berulang kali untuk makan siang saja di kantin kantor, tapi tetap saja kebiasaannya pulang makan siang tidak bisa diubah.
”Abid gak suka aku lunch di rumah?,” tanyanya untuk ke sekian kali aku menyarankannya makan di kantor saja. Aku hanya diam membenahi beberapa piring yang selesai kami gunakan. Ibu sedang istirahat.
”Ya bukan gitu juga, ’Nda... kan ’Nda Raya bisa capek sendiri kalo tiap kali makan siang kudu pulang. Mending kan ’Nda Raya pake buat baca-baca atau tiduran sebentar di mushola kantor. Atau ’Nda Raya bisa sejenak jalan-jalan kemana gitu dengan teman-teman.
”Aku pulang kan sudah terangkum semua kegiatan itu, bid...
”Tapi ’Nda Raya kehilangan waktu bercanda dengan teman-teman kantor. Jadwal makan siang kan selalu saja bisa jadi kegiatan yang membuat makin dekat. Kalo ’Nda Raya makan siang di rumah begini, nanti nyampe kantor pas sudah jadwal kerja lagi. Sudah kehilangan waktu bercanda dnegan teman-teman, kehilangan juga waktu istirahat.
’Nda Raya diam. Lebih tepatnya memilih diam.
”Ya sudah, aku berangkat. Baik-baik di rumah, aku akan coba penuhi maumu,” katanya sambil mengecup dedek ”Meskipun aku tidak suka itu.
SSllssshhh...
Kalimat itu. Kalimat yang sama yang diucapkan Yudhist empat tahun lalu. Aku beristighfar. Aku hanya mengantar ’Nda Raya sampai pintu karna tiba-tiba aku merasa kekuatanku berdiri hampir luruh.
Kalimat itu. Ya Allah... ’Nda Raya, maafkan aku. Maafkan hatiku.
Segera saja kusandarkan tubuhku. Aku meraih buku baru yang dibeli ’Nda Raya kemaren. Sebuah novel lama karangan Sayyid Qutb. Novel yang ditulis Qutb sebelum masa hijrahnya. Asywak. Kemudian diterjemahkan menjadi Bidadari yang Hilang.
Pada halaman paling depan ’Nda Raya menulis ”Jangan hilang dari hidupku, karna aku tak bisa” berurutan kemudian tanggal pembelian dan tentu saja namaku dan ’Nda Raya.
Aku kembali teringat kalimat ’Nda Raya tadi. Bergantian dengan suara Yudhist masa lalu. Arrghhh... Tidak boleh!
Kupaksakan diriku konsentrasi dengan bacaanku. Aku tersenyum sendiri. Bisa juga seorang pemikir besar mempunyai kisah cinta setragis ini. Kata orang, novel ini tidak jauh dengan kisah hidup penulisnya yaitu Sayyid Qutb. Benar tidaknya aku tidak tau.
Tapi ya memang begitulah cinta. Rumit. Indah. Penuh kejutan.
Aku kembali pada Bidadari Yang Terluka. Kembali aku tersenyum. Kisah tentang masa lalu lagi. Cinta yang tidak berujung. Penuh dengan kejutan-kejutan. Namun setiap kejutan selalu ingin dilalui dengan semangat yang luar biasa. Hanya sesekali saja tokoh utamanya tiba-tiba kehilangan ketegarannya mempertahankan cinta.
Sudah separo kubaca. Lumayan. ’Nda Raya juga memberi pembatas pada bacaannya. Hanya saja dia sudah tinggal beberapa halaman saja sudah selesai. Kulihat halaman berhentinya bacaan ’Nda Raya. Terselip kertas juga di sana.
Aku tersenyum. ’Nda Raya makin suka menulis puisi.
Bunga itu memang sudah jadi hiasanku
Kini dan selamanya
Hanya saja,
Aku masih takut
Rasa cintaku bisa membunuhnya
Aku takut itu
Aku menjaganya
Tapi juga melukainya
Aku takut
Aku bukan satu-satunya
Di hatinya
Tidak!
Kenapa ’Nda Raya bisa menuliskan hal ini? Kenapa tidak percaya padaku?
Kuurungkan keinginanku meletakkan buku itu. Pasti ada sesuatu kenyataan yang terbaca dari buku ini hingga ’Nda Raya bisa menulis seperti itu. Aku akan mulai membaca lagi.
Pikiranku kini terbagi, antara ingin membaca tuntas buku itu dan mencoba mengerti maksud puisi ’Nda Raya. Aku takut aku bukan satu-satunya? Apa maksudnya?
Aku tidak beranjak dari bacaanku. Hingga kudengar suara Abiidd... Ada SMS masuk, sayang! Kuletakkan buku itu di meja. Dedek sudah mulai terasa berat di tubuhku. Semoga karna dedeknya memang gemuk di dalam sana.
Apa abid benar-benar tidak suka aku lunch di rumah? ’Nda Raya.
Aku hanya menghela nafas. Ternyata dia masih memikirkan cerewetku.
Aku hanya ingin ’Nda Raya ga kecapekan. Balasku
Tp aku tidak capek bid... balasnya
Ya sudahlah, terserah ’Nda Raya. Balasku akhirnya. Jengkel.
Aku kembali ke kursi depan. Meneruskan bacaanku yang tinggal beberapa. Aku sudah sedikit menangkap alasan ’Nda Raya menuliskan itu. Kisah yang cukup tragis memang. Kisah cinta yang rumit. Salut untuk Sayyid Qutb yang bisa dengan sangat terbuka menuliskan kisah cintanya.
Aku mendesah. Ternyata masih tentang masa lalu. Aku takut aku bukan satu-satunya. ’Nda Raya masih menyimpan kekhawatiran itu. Pasti masih tidak jauh dari Yudhist. Kisah cinta buku itu memang berakhir dengan sangat tidak membahagiakan, meskipun kenyataannya cinta mereka memang terjaga hingga akhir. Cinta mereka terpaksa terpisah. Entah terpaksa atau dipaksa.
Kenapa ’Nda Raya ternyata masih berpikir begitu?
Kuraih HPku. Aku sayang ’Nda Raya. Tulisku.
Sebentar saja sudah berbalas. Aku juga sayang.
’Nda Raya satu-satunya untukku
Agak lama tak terjawab. Mungkin ’Nda Raya sibuk. Duapuluh lima menit.
Tadi baca buku ya? Maaf ya, aku memang takut.
’Nda Raya langsung tahu maksudku. Aku tak tahu harus membalas apa. Kuletakkan HP.
Pukul 15.17.
 Sebentar lagi jadwal ’Nda Raya pulang kantor. Aku segera berbenah. Entah inspirasi dari mana aku bisa memutuskan menyusul ’Nda Raya ke kantor.
Ibu jelas melarangku. Aku belum satu bulan keluar rumah sakit. Tapi aku bersikeras. Aku katakan aku naik taksi, jadi ibu tak perlu khawatir aku berdesakan dan panas-panasan di luar. Aku katakan aku akan baik-baik saja dan aku meminta ibu berjanji tidak akan memberitahu ’Nda Raya.
”Janji sama Ra, bu? Ra cuman mau kasih kejutan. Janji ya? Yah yah...
Tak ada pilihan lain. Ibu harus setuju dengan pilihanku. Karna kalaupun tidak setuju, tetap saja aku akan pergi. Nah kan, tidak ada pilihan lain kan? Ibu terus-terusan berpesan padaku bermacam pesan. Semua sudah aku hafal di luar kepala. Ibuku terus menggerutu betapa keras kepalanya aku.
Aku mencium pipinya. ”Doakan Ra, bu, Ra pasti baik-baik saja. Key?!
Aku mencoba menikmati perjalanan dengan segenap perasaanku. Mungkin sudah sekitar dua bulan aku tidak keluar lebih jauh dari rumah dan kamar. Semua karna rasa sakit yang kerap kali hadir di kepala dan kondisi jantungku yang begitu cepat lemah.
Aku mencoba menikmati lagi. Semua demi dedek dan ’Nda Raya. Kuelus dedek yang tenang dalam ruangan cintaku. Kita akan jemput abi, sayang, bantu bunda kuat ya! Biar abi dan mbah uti tidak khawatir lagi.
Dingin. Kantor ’Nda Raya benar-benar dingin. Tapi saat keluar, langsung hilang rasa dingin yang terasa di dalam sini. Aku putuskan menunggu ’Nda Raya di lantai pertama. Di lobi. Aku tau ’Nda Raya pasti lewat pintu ini karna harus mengembalikan kartu tandanya di sini tiap datang dan pulang.
Pukul 16.23.
Sebentar lagi. Aku berdialog lagi dengan dedek. Sabar ya, dek... pasti bentar lagi abi keluar. Dedek yang sabar, bantu bunda biar kuat ya!
Kurasakan memang kondisiku menurun. Melemah di sisi kanan paruku. Aku juga merasakan bibirku mulai mengering. Aku memantulkan diri di kaca yang banyak terdapat di kantor ’Nda Raya.
Benar. Aku memucat. Bibirku mengering. Ya Allah, aku kuat. Aku yakin aku kuat. Pasti kuat. Dedek baik-baik ya, doakan bunda sayang... Kucoba menghilangkan kepucatan bibirku. Sesering mungkin aku membuatnya lembab dengan enzim dalam ludahku.
Dan bel itu berbunyi. Bergerombol-gerombol karyawan kantor itu turun dan keluar dari ruangannya. Semua dengan cerita-ceritanya yang khas. Mungkin mereka bercerita tentang pekerjaannya. Pasti mereka bercerita tentang banyak hal.
Aku mencari sosok lelakiku. Aku tetap duduk di kursi loby, sesekali disapa dan tersenyum pada beberapa kawan kantor ’Nda Raya. Pandanganku konsentrasi pada pintu lift yang naik turun itu. Dan aku selalu merasa jantungku berdetak lebih keras tiap kali pintu terbuka dan ’Nda Raya tidak ada di sana.
Pukul 16.49.
Sudah balek ’Nda? SMSku.
Bentar lg. Ada yg butuh bantuanku.
Owh pantes lama, ternyata masih mbantu temannya. Aku mafhum. Aku menunggunya lagi. Mataku masih tetap memandang arah lift dan kembali jantungku berdetak lebih keras saat lift itu terbuka. Kupalingkan wajahku ke arah kaca kantor lagi. Aku merasakan sedikit sesak di dadaku. Tiap kali jantungku berdetak lebih kencang karna pintu lift yang terbuka, maka sesak itu juga terasa.
Aku kuat!
Pintu lift itu terbuka lagi. Kudengar tawa yang sangat kukenal saat pintu lift itu terbuka. Lelakiku turun bersama dengan beberapa kawan kantornya. Aku mencoba menegakkan tubuhku yang terasa melemah. ’Nda Raya belum melihatku karena dia berada di sisi tersembunyi.
Dan saat pintu lift terbuka dengan sempurna, aku tersenyum. Mata ’Nda Raya sempat berpaling dari pandangannya hingga kemudian dia kembali pada pandangannya semula. Aku menangkap kekagetannya. Tapi aku berdiri-mencoba berdiri tepatnya.
’Nda Raya melangkah cepat ke arahku. Beberapa orang temannya sempat menegurnya karna langkahnya seperti terburu. Aku pun melangkah ke arahnya. Kok rasanya kami seperti lama tak bertemu ya?
”Abiiiddd... Ya Allah, abid kenapa ke sini? Kenapa ke sini tidak bilang-bilang? Abid sama siapa? Naik apa tadi? Ya Allah, abid gak papa? Naik apa tadi, bid? Kenapa tidak bilang kalo mau jemput, bid...,” kalimat ’Nda Raya cepat menyerangku. Bahkan sampai berulang-ulang pertanyaannya.
Aku meringis. Rasanya suaraku tercekat, entah kenapa.
”Abid gak papa kan?,” katanya. Kecemasan sangat terlihat di wajahnya. Aku mengangguk. Kenapa suaraku hilang. ”Abid duduk dulu. Aku ke sana dulu. Sebentar,” ’Nda Raya berlalu ke arah meja adminitrasi. Mengembalikan ID cardnya dan menandatangani sesuatu.
”Dijemput, Ray?,” komentar beberapa temannya. ’Nda Raya tertawa dan menjawab seperlunya. Aku tersenyum juga saat mereka tersenyum menyapaku.
”Ati-ati di jalan, Ray!
’Nda Raya kembali. Dia berjongkok di depanku. Memegang tanganku.
”Tangan abid dingin. Abid gak papa?,” tanyanya. Matanya sangat cemas.
”Disini kan pake AC, Nda, jadi wajar kalo dingin,” jawabku. ”Aku gak papa, kenapa? ’Nda Raya cemas aku kenapa-napa?
Dia mengangguk. ”Aku kuat kok, ’Nda!,” kataku.
”Kita pesan taksi dulu,” ujar ’Nda Raya sambil menekan nomer dari HPnya. Aku memegang tangannya.
”Nda...
”Iya?
”Naik motor saja yok,” kataku. ’Nda Raya menatapku.
”Motornya ditinggal disini saja. Kita naik taksi. Besok pagi aku bisa naik taksi lagi pergi kantor. Baru pulangnya aku pake motor,” jawabnya.
”Tapi aku pengen naik motor...
”Tidak, bid... tidak bisa. Kita naik taksi saja.
”Nda...,” tanganku belum melepas tangannya. Aku menunggu responnya. ”Nda...,” rajukku lagi. ”Nda,” kugoyangkan tangannya.
Dia memandangku. Kemudian berjongkok lagi di depanku.
”Bid...
”Aku kuat, aku janji!
”Bid...
”Pliiissss... sekali ini saja. Sudah berapa bulan aku tidak naik motor, Nda... Pliisss... Ya?!,” rayuku. Nda Raya masih menggeleng.
”Pliisss...
”Kita naik taksi. Titik!,” katanya. ”Kita akan semakin lama di jalan kalo naik motor. Belum lagi asapnya. Belum antrian di jalan. Abid jangan ngeyelan gitu donk, ingat janji abid untuk nurut dengan yang baik-baik untuk kesehatan abid dan dedek. Jantung abid kudu dijaga. Ingat itu!
Aku memandangnya. Pasrah. Tak ingin mendebatnya lagi. Aku tak ingin menangis, tapi air mataku tak urung juga tumpah. ’Nda Raya memandangku dan menghela nafas dalam. Mungkin dia jengah.
”Ya sudah, kita naik motor. Abid pake ini,” katanya sambil dengan segera memakaikan jaket yang biasa dipakainya. Tanpa menunggu mengucapkan apapun. Mungkin dia sendiri bingung dengan yang dilakukannya.
”Maafkan aku,” kataku. Dia hanya diam. Membantuku mengancingkan jaketnya hingga ke atas. ”Nda Raya gak pake jaket?
Dia hanya menggeleng. Sekali lagi tanpa kata apapun. Aku jadi salah tingkah sendiri dengan sikapnya. Mungkin dia marah, tapi juga tidak tega.
”Tunggu disini. Jangan keluar sampai aku jemput ke sini lagi. Ingat, tetap duduk disini. Jangan kemana-mana, jangan keluar. Aku ambil motor dulu.
Aku tak sempat bertanya apapun. Aku seolah seperti anak kecil yang belum bisa dipercaya. ’Nda Raya sudah melengang menuju parkir motornya. Kenapa ternyata aku masih merepotkannya? ’Nda Raya...
Kurasakan bibirku mengering lagi dan secepat itu aku membasahinya lagi.
Hanya sebentar saja ’Nda Raya sudah menghampiriku kembali dengan helm di tangan. Entah dari mana helm itu. Kemudian mengenakannya di kepalaku dengan hati-hati. Apa yang sebenarnya disembunyikan ’Nda Raya dan ibu dariku tentang sakitku? Kenapa mereka seolah sangat melindungiku seperti anak-anak.
”Aku bisa memakainya sendiri,” kataku menghindari tangan ’Nda Raya memasangkan ikatan helmku. Sewaktu aku menarik kepalaku tadi, memang rasanya pyarr!
’Nda Raya mengemasi tas kerjanya dan mengalungkannya di pundak. Kemudian membantuku berdiri. Tapi aku menolak.
”Aku bisa berdiri sendiri, ’Nda... kenapa siy ’Nda Raya gak percaya pada kekuatanku? Aku itu kuat. Gara-gara ’Nda Raya dan ibu yang selalu menganggap aku lemah, aku jadi makin manja dengan sakitku. Aku kuat kok,” kataku bersungut-sungut. ’Nda Raya memilih diam dan merangkulku. Tanpa kata apapun.
”Nda!
Dia menoleh. ”Apa lagi?
”Mampir ke toko buah ya!,” kataku.
”Nanti malam saja kubelikan. Sekarang kita langsung pulang. Kasian ibu di rumah sendiri,” jawabnya. Mesin motor sudah mulai menyala tapi aku tak beranjak naik. ”Bidd...
Aku hanya memandangnya. ”Bid, plis deh jangan begini. Nanti malam aku bisa keluar dan membelikan buah yang abid mau. Sekarang kita pulang.
Aku hanya diam.
”Ya Allah bidd... abid ini mauny apa siy? Tadi kan aku sudah sepakat kita naek motor, kenapa sekarang jadi nambah pake mampir ke toko buah segala? Abid belum bisa lama-lama di luaran begini. Abid mau ke rumah sakit lagi? Bukankah abid sudah janji untuk menjaga diri dan tidak akan masuk rumah sakit lagi?
Mataku mulai mengembun. ’Nda Raya menghela nafas. Jengkel.
”Kenapa siy aku selalu kalah tiap kali melihatmu menangis? Kenapa aku selalu kalah dengan keinginanmu yang aku tidak suka?,” katanya. Aku tau dia marah dan jengkel. Dan entah kenapa juga aku tidak mau ngalah sedikitpun.
Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. ’Nda Raya mencari sebelah tanganku dan melingkarkannya di pinggangnya. Aku menurut saja.
Aku tersenyum di punggung lelakiku. Aroma parfum ’Nda Raya telah bercampur dengan debu dan keringat. Juga asap. Tapi aku sangat menikmatinya. Sesekali ’Nda Raya menanyakan keadaanku.
Kurasakan ada yang merembes di hidungku. Darah. Aku mimisan lagi. Kulepaskan peganganku pada pinggang ’Nda Raya dengan alasan gatal. Kucari-cari tisue dengan sebelah tanganku. Hap! Ketemu. Segera kususut darah itu dan kuangkat kepalaku ke atas. Aku tidak tau apakah caraku ini efektif untuk menghentikan darah di hidungku.
Kubuang tissue itu di jalan. Sudah berwarna merah. Aku bergidik sendiri melihat bekas darah dari hidungku itu. Kulingkarkan kembali tanganku padanya. Semoga darah itu tidak berbekas sama sekali di hidungku hingga ’Nda Raya dan ibu tidak pernah mengetahuinya selamanya.
Aku tersenyum lebar pada ’Nda Raya. Sejak kapan aku kehilangan keceriaanku yang meluap-luap ya. Sejak kapan aku lupa dengan coleteh-coleteh cerewet yang kerap kualamatkan untuk ’Nda Raya. Entah sejak kapan pula aku tidak meloncat saat gembira.
Dan aku meloncat kecil kini. Aku gembira!
’Nda Raya mencegahku bergerak lebih gesit lagi. Tangannya kuat memegang tanganku agar bergerak dengan wajar saja. Tapi tak bisa. Aku gembira hari ini. Aku senang bisa jalan-jalan lagi dengannya. Aku bahagia bisa menghirup uadara di luar rumah.
”Bidd...
Aku tak menghiraukan kata-kata ’Nda Raya. Aku seperti sangat menikmati petualanganku siang ini meski aku memang merasakan ada sisi-sisi di kepalaku begitu terasa makin berat. Sisi di paruku makin sesak. Apalagi jantungku, tiap detak serasa menimpakan beban. Dug dug!
Aku mencoba benar-benar mengisi kesempatan di luar rumahku kini. Aku mencoba melakukan banyak hal yang sudah beberapa bulan ini kutinggalkan. Aku seperti burung kecil yang baru saja dilepaskan dari sangkarnya atau seperti burung kecil yang baru belajar terbang. Mengepakkan sayapnya dengan gembira dan tidak peduli dengan resiko yang bisa menimpanya saat terbang nanti.
Aku menikmati sholatku di mesjid pinggir jalan. Aku menikmati saat menunggu ’Nda Raya di teras tadi sambil berbincang dengan ibu-ibu dan mendapatkan doa dari mereka saat mereka tau ada dedek dalam perutku. Aku sangat senang saat kemudian ada seorang ibu yang telah lama menikah tapi belum punya dedek juga. Si ibu tadi mengelus perutku pelan.
”Semoga cepet nular ya mbak...,” katanya,
Aku tersenyum. Dan saat ’Nda Raya berdiri di sampingku, mereka kembali memujinya. Kata mereka lelakiku cakep. Aku hanya melirik ’Nda Raya saat dibilang cakep oleh ibu-ibu tadi.
Kemudian kembali motor ’Nda Raya membawaku meneruskan perjalanan pulang. Sebenarnya kakiku memang sangat lelah. Pegel. Kepalaku juga agak nyut-nyutan. Tapi gak papa lah... yang pasti kan aku senang hari ini!
Aku memeluk lelakiku di depan pintu rumah. Sebelum sempat dia masuk dan mengucapkan salam. Kupeluk sangat erat dan sangat erat, erat, erat. Aku masih merasakn sakit itu dimana-mana.
”Makasih ya, ’Nda sayang... Dah nuruti mauku meski dengan gak ikhlas,” kataku pelan. Aku menangis dalam pelukannya sekarang. ”Aku janji besok tidak lagi,” kataku lagi. Kukerjab-kerjakan mataku untuk menghilangkan sisa air di mataku.
’Nda Raya tersenyum. Kecemasan di matanya sudah mulai menghilang saat memasuki rumah. ’Nda Raya menyalami ibu tanpa kata. Aku tau kecemasan itu masih ada, meski kelegaan juga terkembang di sana.
Ibu membantuku membongkar barang belanjaanku.
”Beli apa saja kamu ini, Ra?
”Buah, sayur, buku, kue, kertas, alat tulis,” kataku mengeja satu-satu. ”Ra juga beli ini, ini, ini dan ini. Bagus kan?,” kataku memamerkan barang-barang yang sudah kubeli.
’Nda Raya kemana? Sebenarnya aku sedang menipu kehawatiranku pada diamnya ’Nda Raya sejak tadi.
”Ya sudah sana. Cuci muka terus maem, sholat dan istirahat. Biar ibu yang bereskan barang-barangmu,” kata ibuku. Aku menolak. Aku bisa membereskan barang belanjaanku sendiri kilahku.
”Ra gak liat Raya sudah diam begitu? Ra tidak takut Raya akan diam lebih lama. Sudah sana, jangan tipu kecemasanmu sendiri. Ibu tau Ra cemas dengan diamnya Raya. Sudah sana, cuci muka dan ajak Raya makan,” ibuku menatapku. Aku juga menatapnya takut-takut. Ibu membaca pikiranku.
Aku tak menemukan ’Nda Raya di kamar. Tapi kudengar gemericik air di kamar mandi. Setelah ini pasti ’Nda Raya akan ke kamar, maka kuputuskan menunggunya di kamar. Sambil membaca buku yang baru kubeli.
”Sudah cuci muka?,” tanyanya. Aku mengangguk.
”Nda!
”Hm...
”Ndaa...,” suaraku sudah mulai merajuk. Perhatikan aku, kataku!
”Sebentar, bid... Ini masih cari baju ganti niy,” sahutnya juga. Hanya beberapa detik kemudian dia sudah melihat ke arahku. ”Ada apa? Ada yang mau diceritakan?
Aku mengangguk.
”Ya sudah cerita saja, aku dengarkan. Sebentar aku pake baju dulu,” katanya. Kemudian dia melangkah membelakangiku.
”Nda, sebenarnya aku sakit apa siy?,” tanyaku kemudian. Kulihat dari cermin lemariku, ’Nda Raya sekilas terkaget melihatku. Kenapa memangnya?
”Abid kan sudah tau sendiri dari dokter,” jawabnya.
”Tapi kenapa ’Nda Raya kok kayak parno banget dengan keadaanku. Apalagi tadi pas aku kantor ’Nda Raya. Kecemasan ’Nda Raya itu kayak meluap-luap. Kadang gak semestinya, ’Nda...
Aku berbalik menghadapnya kini. Dia sudah rapi dengan baju gantinya.
”Kecemasan ’Nda Raya itu berlebihan padaku. Selalu saja ’Nda Raya bilang ’jangan begini, bid. Jangan begitu, ati-ati nanti capek. Di rumah baik-baik, jangan keluar jauh-jauh, hindari sinar matahari dan sebagainya dan seterusnya’. Aku yakin pasti ada yang ’Nda sembunyikan dari aku tentang sakitku.
’Nda Raya hanya memandangku. Tanpa kalimat apapun.
”Auw...
”Kenapa, bid?,” sigap ’Nda Raya membantuku berpindah posisi.
”Tuh kan... ’Nda Raya itu cemasnya keterlaluan,” serangku.
”Gimana gak cemas, bid, tiba-tiba kamu mengaduh gitu,” jawabnya. ”Gak papa?,” tanyanya. Aku menggeleng.
”Dedeknya menyentuh sesuatu di dalam sana. Jadi terasa nyut gitu,’nda!,” aku tertawa. Kusandarkan badanku pada sandaran ranjang.
”Pijitin,” perintahku. ’Nda Raya mengerutkan alis.
”Berani bayar berapa, nyah? Tenaga saya ini luar biasa mahalnya. Apalagi buat memijit. Bisa-bisa nyonya harus jual rumah untuk membayarku,” katanya.
”Ya gak papa mahal, asal bisa dipijit orang cakep dan baik sebumi ini,” jawabku. ”Itung-itung shadaqoh kan?
Aku tertawa. ’Nda Raya menuruti mauku tanpa protes apapun. Aku kembali bertanya padanya aku sakit apa. Tapi kemudian dia malah bercerita tentang lain hal. Kutanyakan lagi apa sakitku dan kembali dia mencoba mengalihkan pertanyaanku dengan cerita yang lain.
Tapi lama-lama aku mulai lupa dengan pertanyaanku. Aku tertawa dengan cerita-cerita ’Nda Raya. Meski memang kurasakan kakiku pegal. Kepalaku berat. ’Nda Raya masih bercerita sambil memijit kakiku. Bercerita banyak hal indah dan lucu.
Kemudian ’Nda Raya juga membawaku ke tempat yang asing. Indah siy, hamparan padang yang sangat luas. Tapi tidak panas disini. Anginnya sepoi karna di sekitarnya tumbuh beberapa pohon besar yang membuat teduh padang ini. ’Nda Raya menggandengku ke sisian.
Kembali dia mengatakan sayangnya dia padaku dan dedek. Dia katakan betapa inginnya dia selalu bisa menemaniku dan dedek. Dia kemudian mengeluhkan sikapku yang acuh dengan sakitku. Dia mengeluhkan aku yang seolah mulai bandel dan mulai menghindari janji sehatku. Dia juga memberikan gambaran andai aku masih tetap bandel.
”Jantung abid akan sering melemah tiap kali abid banyak melakukan tugas yang agak berat atau memikirkan sesuatu dengan berat. Abid tau jantung abid lemah, jadi harusnya abid bisa menjaga itu. Demi dedek juga kan? Abid juga tau paru abid ada gak sehatnya juga.
”Bagiku abid tetap abidku yang dulu. Meski abid tidak seceria dulu, tidak semanja dulu, tidak lagi bisa meloncat dan bergerak bebas seperti dulu. Tapi semua tentang abid itu ada di hatiku. Abid yang dulu tidak hilang dari hati aku. Itu kenapa aku mohon abid bisa jaga diri dan sehat abid untuk abid dan dedek. Aku hanya bisa menjaga dan melakukan yang aku bisa, tapi yang merasakan sakit dan perang dengan sakit itu abid sendiri. Bukan aku atau ibu atau dedek. Tapi hanya abid. Sehatnya abid akan membuat bahagia aku, ibu juga dedek.
Aku hanya diam. Kembali suaraku tercekat. Angin meningkahi semua kalimat ’Nda Raya hingga lebih indah. ’Nda Raya membaca semua pikiranku tadi.
Yang kukagetkan, tiba-tiba ’Nda Raya bilang mau pergi. Katanya sebentar saja. Namun pesannya juga, jika aku sudah lelah menanti maka aku boleh pulang dulu. Dia tunjukkan kendaraan yang bisa kugunakan untuk pulang ke rumah.
’Nda Raya menatapku lama. Sangat lama dan dalam. Matanya berair. Suaraku masih tercekat. Tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Aku hanya memegang erat lengannya dan memintanya kembali.
Insya Allah... Doakan aku ya!,” katanya.
Aku mengangguk. Makin lama bayangannya makin hilang dan aku menunggunya. Tunggu dulu, kenapa tidak kutanyakan dia mau kemana, berapa lama dan dengan siapa. Kenapa aku diam saja dengan pamitnya. Berapa lama aku harus menunggu. Apa katanya tadi, jika aku lelah menanti aku boleh pulang dulu? Hah... seenaknya saja!
Tapi ternyata memang ’Nda Raya pergi sangat lama. Aku ditinggalkan sendiri di sini. Di tenpat yang asing tapi indah ini.
Dan saat aku tersadar, aku sudah kembali disini. Di tempat tidurku.
Rupanya mimpi.
Aku tersenyum melihat ’Nda Raya ternyata pulas di dekatku. Aku juga telah tidur dengan berbaring. Berarti tadi aku tertidur saat ’Nda Raya bercerita.
Mimpi yang tidak terlalu rumit. Itu adalah mimpi yang kucipta dari pikiranku sendiri. Mimpi karena kecemasanku sendiri. Entah tadi siapa yang ditinggalkan dan meninggalkan ya? ’Nda Raya meninggalkan aku sendiri di padang itu. Tapi aku juga merasa ditinggal ’Nda Raya.
Ah sudahlah, toh ’Nda Raya masih disini sekarang. Aku hanya mimpi karna kecemasan dan kekhawatiranku sendiri.
Antara aku dan engkau
Hanya satu langkah[1]



[1] Sayyid Qutb



[1] Chairil Anwar
[2] Andrea Hirata
[3] Sakti Wibowo
[4] Al Ankabut : 2
[5] Al Baqarah 286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar