Rabu, 28 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 7)

Bagian 3
Siang di Bumiaji...
            Ternyata ada terik juga di Bumiaji. Siang di Bumiaji juga bisa memanas meski panasnya lebih menghangatkan. Yang tetap terasa adalah tiupan yang dingin dari angin yang entah bagaimana mereka seperti tidak memiliki kelelahan untuk meniupkan kekuatan mereka. Dan andai tidak dengan kekuatan mereka sendiri, matahari juga tidak akan memenangkan persaingan dengan kesombongan angin. Persaingan kecil namun kemudian meluluhlantakkan kesombongan angin. Cerita tentang petani yang berteduh di bawah pohon yang kemudian menjadi tokoh untuk persaingan matahari dan angin.
Shina masih belum juga membuka pembicaraan tentang alasannya mengundang Jagad dan Naya ke rumah mungilnya setelah tiga tahun mereka tanpa komunikasi sama sekali.
“Kamu tau bagaimana caranya membuka pembicaraan dengan Shina, Nay? Aku semakin merasa bingung dengan yang disembunyikan Shina pada kita. Hfff... Bagaimana kita bisa mengerti dengan keinginan Shina sementara sudah tiga hari kita sama-sama tidak mengerti keadaanya,” Jagad menutupkan kedua telapak tangannya. Kebekuan antara keduanya memulih beberapa waktu kemudian. Dan kini mereka mencoba tenang untuk mengerti yang sebenarnya terjadi.
“Shina tidur. Ah, aku tidak tau sebenarnya Shina benar-benar tidur atau gak di dalam sana. Tapi aku melihat matanya menutup lelap dan tenang sekali. Wajahnya pun seperti tenang tanpa beban. Kamu juga melihatnya kan tadi?,” Naya menatap Jagad. Matanya menyisakan keterpanaan yang luar biasa. “Jadi apa yang membuat kita bisa menebak alasan Shina mengundang kita ke sini? Semntara dari awal kedatangan saja kita hanya terlibat keributan-keributan.
Jagad tersenyum mendengar kalimat Naya. Geli.
“Kamu mau jalan-jalan, Nay? Aku kira kita bisa bertanya pada kebun apel dan orang-orang yang dekat dengan kehidupan Shina. Kita bisa menanyakan keadaan Shina selama di sini. Siapa tau ada petunjuk. Kamu mau?
“Jalan-jalan?,” Naya merengut. Jalan-jalan pake apa? ada raut sipu-sipu di wajah merajuknya. “Pake apa?,” tanya Naya lagi.
“Pake sepeda,” jawab Jagad enteng. “Kuboncengin.
“Hah?
“Kenapa? Gak mau?
“Hahahaha. Kamu aneh. Mana aku mau kamu boncengin... Enak saja. Ngarep,” Naya beranjak menjauhi Jagad. “Aku ganti kerudung dulu, kamu tunggu saja di depan. Ukur suhu di luar sana, kalo memang terlalu panas untuk kita jalan pake kaki, lebih baik aku tidur saja. Key?
Jagad hanya melirik. Kemudian seperti begitu saja menuruti perintah Naya. Beranjak keluar dan mengukur suhu. Sepertinya masih cukup sejuk meski sedikit terik. Tidak mengapa sedikit berkeringat.
“Nayyy... Cepetaaaaannn...
“Aku siap, bos!
Jenaka senyum Naya di depan Jagad. Kerudung putihnya tadi telah berganti menjadi peach segar dengan kaos senada. Tangan kanannya terangkat memberi hormat pada Jagad. Naya, naya... Andai saja hhhfff...
“Tapi aku tak punya sendal, Gad... aku pake sendalmu lagi yah
Seperti tersadar, Jagad tak segera memberi komentar pada permintaan Naya. Pikirannya sempat melayang beberaa detik lalu. Manisnya anak kecil ini...
“Gad! Kamu ini kenapa sih, dari tadi kayak gak punya kehidupan,” Naya kembali bersuara. “Aku pake sendalmu boleh gak?
“Trus aku pake apa, Nay?
“Hmpp...,” bibir Naya mengerucut “Pake sepatu saja. Yah?
“Gak ah, kamu juga ada sepatu. Kenapa gak pake?
“Sepatuku berat, Gad... Nanti malah bikin capek,” Naya bersikukuh. Dan hasilnya sudah bisa dipastikan, Jagad akan mengalah meski enggan terpaksa dipakainya sepatu gunungnya dan matanya melihat sandal jepitnya terinjak manis di kaki Naya. Seperti tanpa dosa Naya memakai sandal itu. Senyum mentarinya terlihat cemerlang meski tak mampu mengusir dingin sekalipun dia tersenyum di malam hari.
Marilah menuju kebahagiaan...
Jalanan sepanjang kurang lebih satu kilometer lebih setengahnya itu terasa lengang. Mungkin karena ini jam-jam istirahat siang bagi pekerja kebun di sekitar daerah ini. Hanya beberapa orang saja yang dapat ditemui di sepanjang jalan. Lengang. Tapak kaki Naya dan Jagad pun tidak terlalu dipacu sekedar untuk menghindari terik. Sepertinya mereka menikmati saat-saat seperti ini meskipun tak harus saling bicara.
“Bagaimana kalo Shina nyari kita, Gad?,” Naya seperti mengingat sesuatu hal yang penting. Pandangannya jatuh pada sisi mata Jagad.
“Yahh... ga tau. Enaknya gimana?
Naya mulai merengut lagi. Kebiasaan yang sudah sangat dihafal Jagad, Shina dan bahkan seluruh teman-temannya. Kebiasaan lucu Naya yang kadang menjadi kebiasaan buruk saat keluar tidak pada waktunya.
“Kamu yang ngajak kok... Kamu yang tanggung jawab dong,” wajahnya semakin tertekuk-tekuk. Mulutnya makin mengerucut dan bicara seperti tak jelas. Kakinya sesekali menendang-nenang batu yang tak terlihat.
“Hahahaha. Gitu saja ngambek, Nay. Naya, naya... hahaha
“Apaannn...
Hahahahaha. Dasar koala, kalo gak merengut ya berarti ngambek!
Matahari seperti menjadi penggembira perjalanan mereka berdua. Seperti hilang kemarahan dan keributan yang teradi berulang kali itu. Menguap menjadi bulir-bulir merah sipu di wajah Shina dan senyum yang tak habis terkembang.
“Gad, gimana kabar ibu? Masih lancar jualan kerudungnya?
“Iya, alhamdulillah. Masih lumayan pesenan-pesenan dari dalam dan luar kota.
“Oh ya, ya...,” Naya mengangguk-angguk. “Hmmpp... kira-kira ibu masih ingat aku gak ya, Gad?
Hah? Maksudnya?
“Ingat? Sama kamu?
“Hu uh. Masih ingat aku gak ya?
“Memang kenapa?
“Kalo gak ingat kok ya kebangetan ya, kita kan pernah pulang bareng lebih dari lima kali,” Naya melirik Jagad jail. Jagad pun mengangkat alisnya menunggu kalimat Naya selanjutnya. “Tapi kalo ingat, kok ibu gak nitipin kerdung buatku ya, Gad.
“Oooo gitu tho,” Jagad menahan senyumnya. “Ya kali ibu dah nemu penggantimu. Aku juga gak tau. Orang tua kan semakin jarang dihubungi semakin lupa.
“Heeee... Apa maksudmu?
“Ga ada maksud kok. Memang kenapa?
“Halaahhh... bilang saja mau nyindir aku gak pernah nyapa ibu kan?
“Ooo... jadi kamu ngerasa gitu? Bukan aku yang bilang kan?
Hahahaha
kembali matahari seperti tertawa dengan lepasnya tawa naya. Sudah hampir tiga puluh menit mereka berjalan. Naya... aku selalu bahagia dengan tawamu.
“Gad, aku capek.
“Manja!
“Apaaannn... kamu gak liat kita dah jalan jauh banget. Kesel niy, panas lagi.
“Lha terus gimana... mau kugendong? Gak mau juga kan?
“Bodo!
Naya menghempaskan begitu saja tubuhnya di pinggiran jalan berumput. Kakinya diselonjorkan dan tangannya memijat-mijat pelan. Jalanan masih lengang. Hanya sesekali mulai terdengar suara anjing yang melolong. Rumah penduduk juga sudah terlihat satu dua. Kerudung peach Naya tertiup angin perlahan. Angin gunung, angin yang sunyi dan dingin.
“Gad!
“Hm...
“Ausss...
“Merepotkan banget siy kamu, Nay. Disini nyari minum dimana? Ya udah ayo berdiri, tinggal bentar juga sampe... nanti kamu boleh makan apel biar gak aus lagi. Yuk berdiri!
Kaki mereka pertama kali berhenti di rumah mbak Sum. Tentu saja Naya yang mengetahui dimana rumah mbak Sum karena tadi pagi dia yang turut mbak Sum belanja sayur dan lauk. Rumah kecil yang Naya bilang sejuk karena dinding-dindinya seperti mengeluarkan udara segar saat bersentuhan lagsung dengan kulitnya. Tidak terlalu besar ukurannya. Hanya terdiri sebuah ruang berkursi letter L di bagian depan dan sebuah kamar yang berada berseberangan dengan ruang itu. Disekat oleh sebuah lemari perkakas pecah belah dan ke belakangnya, cerita Naya langsung berupa ruang makan yang berfungsi juga sebagai dapur. Dan tentu saja, bersekat tembok antara ruang itu dengan ruang tengah bertelevisi.
“Ada apa ya, mbak, kok tiba-tiba ke sini. Mbak Shina sakit?,” mbak Sum tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Wajahnya seperti tiba-tiba memucat. Bahkan saat Naya sudah mengatakan bahwa dia hanya ingin jalan-jalan saja.
“Iya, mbak, kami hanya jalan-jalan kok.
Mbak Sum masih juga memandang heran. “Mbak Sum ini... beneran kok. Tadi di rumah kan Shina tidur, trus Jagad ngajak jalan-jalan. Pengen metik apel juga aku, mbak.
“Kok gak naek sepeda saja biar gak capek?,” akhirnya mbak Sum meluluh juga melihat ekspresi Naya dan Jagad yang santai itu.
“Gak ada yang boncengin, mbak. Hehehehe
mbak Sum menunjuk pada Jagad. “Masnya gak bisa naek sepedah, tho?
Jagad salah tingkah. Hanya sekejab. “Bisa siy, mbak... Cuman Naya-nya yang gak biasa naek sepeda. Apalagi naeknya dengan saya. Malu katanya.
Mbak Sum ber-oo pelan. Setengah terkejut dia bangkit. “Sampai lupa gak diambilin minuman. Maaf ya, mbak, mas...
Naya tertawa. Seperti mendapatkan berita gembira saja saat mbak Sum menyebut air minum. Matanya melirik jail ke arah Jagad. Akhirnyaa...
Naya melangkahkan kakinya menyusul mbak Sum ke dapur. “Wahh... sudah, mbak, biar saya saja. Mbak Naya tunggu saja di depan,” sambut mbak Sum kikuk mengetahui Naya sudah ada di delakangnya dengan senyum tengilnya. “Temani mas Jagad saja, mbak, bentar lagi juga selesai kok, mbak.
Naya tertawa. Justru karena aku tak bisa berdekatan lebih lama lagi dengannya aku mengikuti langkahmu, mbak... Aku tak bisa berlama beradu pandang dengannya.
“Monggo, mbak...
Naya tersadarkan. Langkahnya kemudian mengikuti gerak kaki mbak Sum. Kembali ke ruang depan. Jagad terlihat terpaku pada Hpnya. Hanya diam dan menatap benda kecil itu.
“Nay,” lemah sekali suaranya. Naya mengangkat alisnya menjawab panggilan Jagad yang terlihat aneh. Kenapa dia?
“Ehm, aku tau ini akan menimbulkan banyak sekali tanya. Ehm mbak Sum, tidak apa kan saya bicara dengan Naya dulu di sini?,” mbak Sum mengangguk. Naya semakin terlihat tak mengerti. “Mbak Sum boleh tetap disini kok.
“Gini, Nay, tapi aku harap kau bisa mendengar permintaan tolongku dengan sisi hatimu yang lain. Aku benar-benar butuh pertolonganmu saat ini,” Naya tanpa suara. Apa yang terjadi? “Sebentar lagi ada orang yang akan menelpon ku. Aku harap kamu mau mengangkatnya untukku,” pinta Jagad. “Katakan apa saja. Aku akan keluar untuk membuatmu nyaman mengangkat telponnya. Katakan aku sedang keluar atau apalah yang tidak terlalu jauh berbohong. Plis, Nay... lakukan satu itu saja untukku.
Naya bengong. Kenapa hanya mengangkat telpon saja dia begitu resah?
“Siapa yang nelpon, Gad?,” serak suara Naya bertanya. Jagad hanya diam. “Tunggu saja, dia akan nelpon segera kok. Tolong aku ya. Lakukan untukku sesuatu yang menurutmu baik untukku,” Jagad berkata pelan dan kemudian melangkah keluar begitu saja. Tinggal Naya yang bengong dan mbak Sum yang juga tidak mengerti.
Dan telepon dalam genggam tangan itu pun berdering. Sebuah lagu lawas terdengar. Naya Seolah berdebar mendengar dering yang seolah meneriakkan namanya itu. Naya memandang punggung Jagad dari dalam rumah.

Selasa, 27 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 6)


Selepas Maghrib di Kediri...
            Aku sudah siap dengan helm dan jaket jalanku lagi.
            “Madaaaaa...
“Masih cari jaket mbaaaakkk...
“Cepetan! Ngerti malam gak siy kamu?
Mada hanya cengar cengir mendengar semprotanku. Segera setelah itu dia menyalakan Revo merahnya. “Silakan, dinda... hahahaha
PLAK!
“Hadoohhhh... Sudah minta tolong anterin, malah kayak gini. Gak ada apik-apike mbak Naya ki.
“Sudah jalaannnn...
Ibu menyarankan aku membeli bebrapa oleh-oleh yang dulu disukai Shina. Enting-enting jahe, kacang gula merah dan tentu saja kripik tahu, makanan khas kotaku. Dulu tiap kali Shina ikut aku mudik dari Malang, aku selalu mengajaknya jalan-jalan ke beberapa tempat yang ramai. Terkagang ke gunung paling mati di kotaku, gunung Klothok. Terkadang ke air terjun Sedudo di Nganjuk, terkadang juga ke air terujun di daerah Mojo, air terjun Dholo. Biasanya aku berangkat pagi-pagi biar sampai sana bisa masih tetep seger. Kawasan itu biasanya kalau menginajk siang pasti ramai dan tidak lagi enak dinikmati.
HP ku bergetar. Dharma Calling...
Dharma? Ada apa?
“Assalamu’alaikum, Dhar
Wa’alaikumsalam. Lagi di jalan?
“Éh iya, ini lagi mau ke Patimura cari oleh-oleh
“Oh buat kawanmu itu yah
“Kok tau? Siapa yang cerita?
“Lho... kamu tadi kan cerita dengan Pak Restu.
“Owh iya, dasar Naya pelupa. Ehmm... ada apa ya, tumben. Ada yang bisa saya bantu?
“Eh enggak, hmm... ada yang ingin saya bicarakan sedikit. Tapi mungkin besok juga tak apalah, sekarang masih jalan juga kamunya...
“Oh ya... baiklah.
“Naya.
“Iyah?
Dharma seperti menahan kalimatnya sendiri. “Ada apa, Dhar?
“Oh gak papa. Besok saja. Ati-ati yak
“Yup, insya Allah.
Dharma segera salam setelah itu. Aku pun segera memasukkan kembali HP ku ke dalam tas. “Mas Jagad ya, mbak?,” tiba-tiba Mada sudah ikut bicara.
“Jagad, Jagad apaan...
“yah siapa tau mas Jagad. Hahahaha.
“PLAK! Nyetir yang bener.
Hahahaha.
Hanya sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari rumah ke Patimura. Tentu saja dengan kecepatan di atas 60km/jam. Patimura menyediakan banyak sekali makanan khas kota kecilku ini. Di sini ada beberapa toko yang sepertinya semuanya milik etnis China yang menjual makanan khas Kediri, mulai tahu kuning, kripik tahu, telur asap, dan macam-macam lagi. Entahlah, kemana orang-orang pribumi. Mungkin mereka kalah inovatif dengan orang-orang etnis ini hingga hampir semua toko yang menjual makanan khas Kediri malahan yang menjual orang etnis. Bisa jadi karena tabiat orang pribumi yang merasa lebih enak menjadi pegawai daripada pemilik yah. Ah entahlah...
“Sudah? Ada lagi gak?,” Mada bertanya padaku sambil membantuku membawa oleh-oleh yang kubeli.”Buat mas Jagad juga sudah mbak?
O iya, Jagad. Tapi dibelikan apa? Penting ya?
“Aku tadi pesen kaos ke mas Jagad. Hehehehe
“Hah? Kaos?
“Hu uh. Kenapa?
“Kaos apaan, Mada...
“Kaos buat dipakai dunk, mbak. Dia bilang OK, kok.
“Hahh... kamu!
Mau tidak mau aku kembali lagi ke toko oleh-oleh itu. Membeli beberapa makanan tambahan untuk Jagad. Dia tidak begitu suka tahu, tapi doyan dengan kripik bekicot.
“Mbak Nay, mas Jagad tanya mbak Nay nitip apa ga?
Dan aku hanya menjawab pertanyaan Mada dengan pelototanku. Kejam. Dan lagi-lagi kudengar tawa Mada. Kenapa dia juga suka tertawa seperti yah, aneh... hahahaha. Mada memang tidak jauh beda sifatnya denganku. Suka sekali tertawa, kadang terlihat sangat polos, terkadang terlihat cemerlang, dia tinggi tapi kurus, berbeda dengan Jagad. Ah, kenapa Jagad lagi yang kusebut. Hff...
“Sudah semua. Ayuk balek...
“Siap, bos!
Mulailah rvo merah Mada melaju di sepanjang Jalan Patimura hingga Jalan HOS Cokroaminoto. Hanya sekali berhenti lagi karena Mada minta dibelikan Martabak Holand ala pinggir jalan. Yah... aku turuti saja karna dia sudah sangat baik menjadi sopir pribadiku malam ini. Andai tak ada Mada aku juga tidak tau kapan ada waktu untuk membeli oleh-oleh untuk Shina.
Sdh balek?
Dharma. Ada apa siy segitunya memburuku.
Blum. Msh mampir sebentar. Ada apa ya? Balasku cepat
Ah gpp, jgn terlalu malam pulangnya. Kwatir ada apa2 J
Hah? Sejak kapan Dharma berani seperti ini...
Iya, matur nuwun njih... balasku akhirnya.
Sami-sami... J
Dharma sangat mirip dengan Mada. Kurus, tinggi. Namun dia tidak bisa tertawa hahaha seperti Mada. Dia lebih cenderung seperti lelaki flamboyan yang selalu menjaga ekspresi wajahnya. Wajahnya bersih dari minyak, tidak ada kerutan sama sekali. Dan yang selalu kurasakan tiap bertemu dengannya adalah wangi. Dia sangat wangi, entah parfum apa yang dipakainya. Dharma menjadi staff HRD berselisih dua tahun dengan kedatanganku. Entah sejak kapan tiba-tiba orang-orang kantor sibuk dengan perjodohanku dengan Dharma. Mungkin karena aku tidak pernah membicarakannya secara khusus dengan Dharma tentang kelakuan teman-teman kantor, jadinya dia pun merasa tidak ada masalah dengan semua itu. Padahal bagiku, itu jelas sekali suatu masalah. Namun tidak harus menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Sudah hampir pukul setengah sebelas malam saat motor Mada masuk ke dalam rumah. Ibu bapak segera membantuku menurunkan oleh-oleh yang kubeli.
“Banyak sekali, Nay?
“Iya tuh pak sopirnya juga malak,” jawabku merengut.
“Malak apaan... cuman minta martabak dan kelengkeng doang,,,
“Huuu...
kuselonjorkan kakiku. Panas. Capek juga ternyata. Kuingat-ingat apalagi yang harus kusiapkan untuk keberangkatanku ke Bumiaji.
“Ibu jadi buat apa tadi buat Shina?
“Hmm.. Anu,,, Wajik, Nduk, Shina dulu suka itu kan? Seklian buat nak Jagad.
“Hahh...
“Kenapa, Nay?
“Kok semua perhatian banget dengan Jagad?,” ujarku kembali merengut.
“Kan kalian berteman, masa’ Shina dibuatkan Jagad tidak, kan tidak adil itu namanya,,,
“Tapi kan dia... Ah, sudahlah. Capek!

Selasa, 20 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 5)


13.33, Hari yang sama...
Aku sudah membereskan pengajuan ijinku hari ini. Tinggal menunggu rekomendasi keluar dari bagian HRD. Aku kembali memutar badanku kiri kanan untuk melenturkan kembali otot-ototku. Aku kembali menghitung kemungkinan keberangkatanku. Jika aku berangkat hari Sabtu, maka mungkin aku bisa di sana hingga minggu depannya. Tapi serumah dengan Jagad dalam waktu yang lama? Ah, aku tidak akan bisa sepertinya. Pasti akan ada keributan yang tak terhindarkan. Hhfff...
Jagad Nawwaf.
Aku pertama kali melihatnya saat menjadi anak polos kampusku dulu. Dia memang seniorku, namun sama sekali tidak kutau kalo dia senior. Entahlah, mungkin karena dia memang lebih senang bersama anak-anak polos sepertiku. Yang baru melihat gedung besar, orang-orang berdasi ataupun anak-anak mahasiswa yang sebagiannya sok jadi orang pintar. Hah, aku lupa berapa kali aku mendapat hukuman gara-gara kebandelanku melawan senior-senior itu. Bahkan beberapa senior perempuan membenciku, aku tau itu. Sering kalinya mereka membicarakanku di belakang atau menyindirku.
Aih... mereka hanya belum tau siapa Naya.
“Tidak bosen dihukum-hukum terus?,” aku tak melihat kedatangannya, namun tiba-tiba aku mendengar suaranya. Jagad.
“Bosen siy, mas, tapi ya mau gimana lagi. Semua sok jadi petinggi. Hahaha,” aku seperti lupa kalo Jagad juga seniorku dan lupa kalo ini pertama kalinya kami berbincang. Jagad ikut tertawa dengan kataku.
“Kamu yang sabar saja, yang kuat,” katanya kemudian. Aku sudah tidak begitu memperhatikan kalimatnya selanjutnya karena aku sudah sibuk dengan bawaanku yang segudang. Namun yang aku tau selanjutnya, Jagad menjadi orang yang sering kali mendatangiku untuk menanyakan keadaanku setelah aku mendapat hukuman. Dia juga menasehatiku, memberitahuku tentang beberapa hal.
“Yahh... dimana-mana senior memang begitu. Aku sudah tau itu, mas. Jadi tidak kaget lagi. Paling juga balas dendam. Hihihihihi,” kataku. Jagad tertawa. Kerudung putihku tertiup angin yang menggoda kecerewetanku. Kuakui aku memang orang yang tidak begitu peduli dengan sesuatu yang itu berbeda denganku. Aku keras kepala dan suka ngeyelan. Bahkan saat terpojok pun aku masih mencoba untuk bisa bertahan dengan apa yang kuyakini.
Selepas itu semua, memang akhirnya aku bisa akrab dengan Jagad. Awalnya aku memang selalu memanggilnya dengan “mas”, tapi dia sendiri yang kemudian memintaku memanggilnya hanya dnegan Jagad. “Biar lebih akrab,” katanya. “Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena juga padaku.
Jagad Nawwaf.
Hampir sepuluh tahun sejak itu hingga saat ini aku mengenalnya. Mengenali sisi baiknya. Menerima sisi buruknya. Aku mengenalnya sebagai anak laki-laki dari tiga bersaudara perempuan. Ibunya seorang guru sekolah dasar dan bapaknya juga guru. Seorang adiknya kini telah kuliah di UIN Malang dan seorang lagi sedang menyelesaikan tugas akhirnya di STAN. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali sifatnya yang tegas.
Meskipun berteman akrab, bukan berarti dimana ada Jagad, di situ ada Naya. Meskipun juga hampir semua orang mengatakan kami menjalin suatu hubungan, namun satu pun tak kami tanggapi.
“Bukankah itu fitnah untuk kalian?,” Asri, kawan berkerudungku mendekatiku suatu siang. Angin siang itu menerbangkan kerudung coklat susu yang kupadu dengan baju muslimah coklatku.
“Tapi antara aku dan dia benar-benar tidak ada apa-apa, As,” jawabku. Aku menyenderkan tubuhku pada tiang kampusku. Asri duduk menyebelahiku.
“Memang. Kalian yang tau semua yang terjadi diantara kalian berdua. Tapi wajar kan jika banyak orang menganggap kedekatan kalian itu bermakna lain? Bukankah dimana-mana persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang tulus?,” gadis berjilbab agak lebar di sampingku ini menyedot sisa es jeruknya. “Hm Naya, sebenarnya seberapa dekat kalian?
Aku melongo. “Dekat apaan? Plis dee... ya biasa saja. Hanya saja mungkin kami akrab satu sama lain. Lagi pula ada Shina diantara kami. Aku dan dia juga tak pernah jalan berdua. Juga tak penah boncengan. Juga tak pernah saling sentuh. Hah, orang-orang ini memang terlalu parno.
“Hihihihi. Ya udah, aku percaya sama kamu kok, Nay. Tapi saranku, ada baiknya juga kamu jaga hubunganmu. Biar terjaga juga ajaran anak-anak berjilbab rapi kayak kamu niy. Jangan sampe’ stigma berjilbab rapi tapi gak karusan kelakuannya menjadi hal biasa. Top gak?
“Hahahaha, beres dah... Insya Allah. Jagad juga bukan orang yang tidak paham dengan prinsipku kok. Itulah kenapa kita gak pernah jalan berdua. Selalu ada Shina diantara kami. Dan satu lagi, kami bertiga bersaudara. Tidak ada persaudaraan yang kukenali lebih dari aku mengenali Shina dan Jagad. Ibuku ibu Shina juga, bapakku juga menjadi bapak Jagad, ibu Jagad juga menjadi ibuku dan bapaknya Jagad juga menjadi bapaknya Shina.
Mataku seperti berair saat mengatakan itu. Asri menepuk-nepuk pundakku pelan dan merangkulku. “Sssttt... Jujur, aku cemburu. Hihihihihi.
Dari kejauhan, kulihat sosok yang sangat kukenali. Tertatih-taih menuju tempatku duduk. Asri segera berdiri dan mela mbaikan tangannya semangat.

Enaknya Di Dapurrrr....

yang paling membahagiakan saat mencoba mengaduk2 bahan di dapur adalah :

1. Saat melihatnya sudah jadi, siap disantap. Apalagi liat si Nin lahap bener. Abinya apalagiiii... Syeneeenggg bgt, panas2 dapur ilang kalo liat mereka makan hasil uji dapurku.

2. Saat bisa membungkus dan membagikannya pd yg lain, minimal ke tetangga lah... Biar tetanggal ga cuman nyium baunya saja, tp jg merasakan rasanya. Kasian bener kan kalo cm dikasih asapnya, apalagi kalo sampe yg nyium baunya anak tetangga, trus nangis2 minta dibuatin juga gimana... bs susah emaknyaaa :))

3. Saat tiba2 membuat org mengenal bahwa saya bs buat2 di dapur :D Jd label wanita ga bisa masak, ga kenal dapur bla bla bla *yg nurut saya itu kacau dan menghina sekali* bisa dikit2 ilang. Yg bener sajaaa... masa' dibilangin ga bisa di dapur, bisanya cm njajan. Aihhh... ter-la-lu !!

Jadi tips dari saya utk yg suka di dapur : lakukan dg hati dan bagikan kepada tetangga. Pasti rasanya lebih maknyess !!

Paling tidak, utk ibu2 yg suaminya terjadwal ngajinya, ini saatnya menguji nyali dan kemampuan mluthek di dapur *lebay*. Biar ada yg dijadikan camilan pas ngaji maksudna... Ngirit dan bs dibagi2 dg tetangga pula. Jd disayang tetangga insya Allah...

Senin, 12 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 4)


 Malam makin beranjak larut. Tinggallah Jagad dan Naya yang belum memejamkan mata dengan lelap. Keduanya sama-sama berada di sofa yang ada di ruang utama itu. Sebuah kamar yang dimiliki rumah ini belum sempat dibereskan dari beberapa barang milik Shina. Mbak Sum yang biasanya menemani Shina biasanya juga tidur di sofa. Shina bilang, mbak Sum pun enggan merapikan kamar itu salah satunya juga karena takut.
            “Kamu pikir kenapa Shina mengundang kita ke sini, Gad?,” tanpa memandang Jagad, Naya menggumam tanya. Jagad tak memberikan reaksi lebih.
“Aku juga tidak tau, Nay,” ujar Jagad. “Dan kita sama-sama tak berani menanyakan maksud Shina,” sambung Naya.
            “Naya...
            “Jika maksudmu memutar badan dan memanggilku untuk membicarakan masalah tadi sore, kamu hanya GR jika berpikir aku akan menanggapi,” sergah Naya cepat. Badannya berbalik memunggungi Jagad. Sebenarnya Naya pun risih jika harus tidur berhadapan dengan Jagad begini, namun keadaannya memang begini. Apalagi jika harus memunggungi Jagad. Namun syukurnya, selimut tebal milik Shina menutup sempurna tubuh Naya hingga tidak terlihat sama sekali. Dan kerudung berbahan kaos itu tetap melekat di kepala Naya dengan syal putih tulang di lehernya.
            “Baiklah, selamat tidur.
            “Hm...
            Tak ada suara lagi setelah itu. Hanya suara nafas-nafas halus yang terdengar. Kelelahan dan rasa dingin yang sangat membuat kedua karib itu begitu cepat melelapkan diri. Meskipun mungkin pikiran keduanya sama-sama tidak selelap suara nafas yang terdengar. Apalagi semua seperti memutar-mutar kembali. Tapi biarlah... Sepertinya pagi esok hari sangat indah untuk dinikmati. Sekarang biar saja malam membungkus cerita-cerita yang masih tersimpan nanti. Sssttt... Bukankah semua cerita adalah puzzle yang selalu kita sendiri yang menyusunnya? 
 ***
             Bagian 2
            Assalamu’alaikum, Jagad, Naya...
Alhamdulillah disini aku sehat, paling tidak aku bahagia disini. Aku harap kalian juga bahagia dengan hari-hari kalian.. Aku sengaja menuliskan ini dengan kalimat yang sama untuk kalian berdua. Apakah kalian merindukanku? Kalian pasti masih sering berkomunikasi yah. Yah... aku minta maaf karena menghilang begitu saja dari kalian berdua.
Tapi maukah kalian mengunjungiku disini?
Inginnya aku yang berkunjung ke sana, tapi kalian pasti bisa mengira kondisiku yang semakin lemah saja. Ah, tapi aku bahagia dengan semua ini. Kemarilah, akan kutunjukkan banyak keindahan disini.
Kemarilah, karna aku sangat merindukan kalian. Jagad dan Naya.
                                                                                               
                                                                                                Hugs!
                                                                                                Shina

“Dari siapa, Nay?,” ibu mengambil surat yang kuletakkan di sisiku. Aku kemudian sibuk membuka bungkusan lain dalam kardus kecil itu. Tiga buah apel ranum dengan ukuran sedang. Masing-masing diberi pita warna biru. Ada juga sebuah foto dengan latar belakang kebun apel dan matahari kecil. Sebuah senyum menghiasi foto itu. Senyum Shina.
“Shina...
“Iya, bu’, Shina. Akhirnya dia menghubungi Naya...
“Syukurlah, sayang... Apakah kamu hendak memenuhi undangannya?
Aku menatap ibu. Ada pertanyaan yang tidak kuucapkan tapi dipahami ibu. “Yah... pergi saja. Nanti biar ibu yang memintakan ijin bapakmu. Tapi bagaimana dengan kantormu?
“Hmpp... Naya belum ambil cuti sama sekali, bu. Mungkin Naya bisa ambil jatah cuti taun ini. Tak apalah jika nanti tak ada cuti lagi, lagipula ini sudah tengah taun dan belum ada rencana penting untuk bulan-bulan ke depan.
“Yah, baiklah... Kapan kamu berangkat?
Aku hanya mengangkat pundak. “Entahlah...
“Sudah hubungi Jagad?
Aku  melirik ibunya. “Untuk apa?
“Yah biar sama-sama sampe disana, Nay. Kami ini gimana...
“Tunggu, tunggu... darimana ibu tau Jagad juga diundang Shina?
Wanita paruh baya itu tergelak. “Nay, nay... ibumu itu bisa membaca surat ini.
Sekarang aku yang melongo. “Hahahaha. Naya dudul... hahahaha
Aku segera ditinggalkan sendiri oleh ibu setelah itu. Naya kembali membaca surat singkat dari Shina. Shina, bagaimana keadaanmu Shin?
Kukemasi surat dan kiriman apel dari Shina. Aku beranjak ke kamar dan menikmati alam pikirku tentang Shina. Terakhir kali Shina menghubungiku tiga tahun lalu. Setelah itu kami putus kontak, terlebih saat ternyata nomer HP Shina sudah mati. Sama seperti aku, Jagad, kawanku, juga tak tahu bagaimana harus menghubungi Shina. Pernah aku menelpon ke rumah Budhe Asih, tempat tinggal Shina sebelum pindah ke Bat, tapi jawaban dari budhe Asih tidak memuaskan. Shina ingin hidup tenang, begitu katanya. Bahkan saat aku benar-benar datang ke rumah budhe Asih untuk urusan Shina, bude Asih pun tetap kukuh dengan kalimatnya.
“Nanti dia pasti menghubungi nak Naya,” ujarnya padaku saat itu. Aku hanya menatapnya tanpa makna. “Shina memilih hidup seperti itu, nak, budhe bisa apa...
Aku mengerutkan urat dariku. Hidup seperti itu?
“Nak Naya sakmeniko makaryo wonten pundi njih?
Naya tersenyum. “Wonten perusahaan kertas, bu.
Budhe Asih terlihat kaget. ”Tapi bukan di Mojokerto, budhe... di dekat desa saya juga ada pabrik kertas cukup besar. Pabrik Surya Zigzag.
Budhe Asih mengangguk-angguk. Mungkin budhe teringat dengan bapak Shina yang dulu juga bekerja di pabrik kertas Mojokerto. Shina dulu juga sempat berkaca matanya saat kukatakan aku diterima kerja di pabrik kertas. “Kau mengingatkanku pada bapak, Naya...,” ujar Shina saat itu.
“Jadi sudah lama Shina tidak tinggal disini, budhe?
Budhe Asih menarik nafas panjang. Rumah ini juga sepi. Pakdhe sudah meninggal setahun lalu, sementara putra budhe satu-satunya sekarang tinggal di Jakarta karena memang dia bekerja di sana. Rumah ini juga tidak terlalu luas. Begitu masuk langsung dapat ditemui sebuah sofa letter L jaman dulu warna merah, kemudian sedikit berbelok ada sebuah tivi di pojok ruangan. Dapurnya ada di belakang ruangan itu, sementara kamarnya behadapan langsung dengan ruang yang ada televisinya. Kesan agak sumpek memang kerasa, mungkin karena letak televisi yang berada di jalan menuju dapur.
“Shina sudah hampir tiga tahun tidak disini, nak...,” budhe Asih kembali menarik nafas. “Sebenarnya budhe juga ingin dia tetap disini. Tapi shina selalu berkata ada amanah ibu bapaknya yang harus dijaga di Batu, jadi mau tidak mau budhe harus melepas. Sebenarnya budhe diajak serta oleh Shina, tapi mas Dewo tidak mengijinkan.
“Selama tiga tahun itu, Shina tidak pernah kemari, budhe?
“Pernah nak... tapi hanya dua kali kalo budhe tidak salah. Shina kan sakit, nak, budhe bisa paham keadaannya. Syukurlah, dia menjadi gadis yang kuat. Semoga dia juga bertemu jodohnya di dunia ini, nak...
suara budhe tertelan sedak. Ada gemuruh di dadanya, aku tau itu. Kaca-kaca di matanya pun seperti hendak pecah. Aku menghampri dan memegang tangan sepuhnya. “Pasti ada malaikat bumi yang diturunkan Allah untuk Shina, budhe...
budhe mengangguk-angguk. Kini air mata itu tidak lagi bisa terbendung. Sambil bercerita banyak tentang keputusan Shina yang berpindah ke Batu, budhe berulang kali mengusap matanya. Budhe sangat membanggakan Shina meskipun budhe juga berkata Shina sangat keras kepala dengan keinginannya. Dia lembut, namun keras pada sikapnya. Sebelum pergi pun Shina memberikan beberapa lembar pakaian untuk budhe Asih, mukena dan sajadah serta kerudung sederhana siap pakai untuk budhe kenakan sehari-hari.
“Shina bilang bukan untuk membalas jasa, tapi untuk kenang-kenangan,” isak budhe Asih. “Uang itu, Shina bilang boleh budhe gunakan untuk membiayai selamatan pakdhe. Boleh juga untuk kebutuhan budhe yang lain. Shina memberikan itu beberapa bulan setelah kepindahannya ke Batu. Uang itu dititipkan mbak Sum, orang yang menemani Shina di Batu.
Aku seperti tidak seperti aku biasanya. Aku yang begitu royal dengan pembicraan, tiba-tiba hilang suara. Budhe Asih berulang kali meyakinkan aku bahwa Shina pasti menghubungiku suatu hari. Budhe juga memberitahukan mungkin Shina sudah tidak berada di taman bunga yang dulu sering kami kujungi tiap akhir pekan. Rumah ini pun sudah seperti rumahku dulu. Tidak tau kenapa, Jagad juga seolah tidak lepas dari kebersamaan kami.
SMS SMS SMS SMS SMS diterimaaaaaaa...

Minggu, 11 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 3)


Dokter rumah sakit Baptis Batu menempelkan kabel-kabel di tubuh dan kepala Shina. Infuse dipasang mengimbangi kebutuhan Shina akan makanan dan minuman. Transfuse darah dilakukan terus menerus hingga Shina kembali berpenampilan layaknya manusia yang hidup. Semua anggota keluarga besarnya telah memberikan donor darah untuk Shina dan semua belum mencukupi kebutuhan darah Shina kecil. SHina masih tetap menutup mata dan mengatupkan bibirnya kuat. Hanya ada selang yang melewati batas mulut dan tenggorokannya, kabel-kabel yang berseliweran di tubuh dan kepalanya dan tentu saja infuse dan pipa yang mengalirkan cairan merah ke tubuhnya. Tapi sepertinya kesimpulan dan hasil kesehatan Shina tetap tidak bisa seperti sedia. Ada beberapa tulang kakinya yang harus dimasuki baja-baja penyangga. Dan tentu saja di kepala Shina juga mengalami tekanan yang berat hingga berbulan-bulan selepas kejadian itu Shina masih harus kembali untuk memeriksakan kondisinya.
            Sehebat apapun tangisan dan kedukaan yang menyelimuti keluarga SHina, tidak akan membuat takdir berubah. Kematian memang selalu menjadi misteri, sama halnya dengan takdir perjalanan hidup. Tidak ada yang bisa memastikan kapan piringan hitam hidup kita akan berhenti. Sama sekali tidak ada yang mengerti, apakah kematian akan mendatangi kita dengan cara yang baik ataukah dengan cara sebaliknya. Meskipun memang sebenarnya, kita sendirilah penentu cara mati kita.
            =====