Senin, 19 Desember 2011

Kedua

Mei 4, 2005

Kutuliskan untuk mujahidku nanti,

Ehem!
Kehidupan ini memang sangat indah ya! Berliku, mendaki, rumit, penuh kejutan, penuh semangat. Entah penuh apa lagi. Penuh masalah juga kali ya… entah pula kenapa semua ini terasa sulit dituliskan.
Engkau tau, banyak sekali hal kulalui selama ini tanpa aku tau apa maksud semua itu. Aku yakin engkau juga pernah begitu. iya kan iya dong…? Maksudku begini, aku terkadang juga merasa lelah merasakan semua ini. Kadang aku merasa semua menjadi sangat absurd. Lah, aku dapat kata baru untukmu. Absurd.
Tiba-tiba aku bisa sangat mencintai diriku sendiri.
Bangga pada diriku sendiri. Kadang bahkan sangat keterlalukan cintaku. Karna pikiranku mengatakan aku akan membangun semua dengan diriku sendiri. Hah! Narsis dan narsis…
Legaku, karna aku yakin Tuhanku akan menyayangiku meskipun aku bandel. Allah pasti akan membantuku meski aku kurang mengingatnya. Bahkan kadang tak ingat sekalipun tetap saja masih ada cinta bertumpuk-tumpuk untukku. Saat aku lupa bersyukur untuk semua yang kudapat juga Dia tidak menghukumku dengan sangat. Betapa tidak baiknya aku ya!
Termasuk saat [ehem!] aku memintamu disini. Meski –sekali lagi meskipun- aku tak tau persis engkau seperti apa yang kuminta. Bagaimana mungkin Israfil tidak bingung memutuskan jika aku begini adanya. Israfil kan bertugas membagi rizki, nah pada saat dibagi kan sesuai dengan kebutuhan –sebagian besar begitu-, kubayangkan Israfil bingung membagi jatahku tentangmu. Karna aku belum tau seperti apa engkau yang kumau. Aneh ya?
Tapi sudahlah, toh aku sudah memintamu. Urusan aku bingung dan linglung kan urusanku dengan Allah. Bener ga?
Biarkan aku melamun sebentar ya!
Aku bayangkan nanti jika sudah kuperolah satu sayap darimu, maka aku akan mengepakkan dua sayap utuhku untuk menjelajahi hal-hal indah. Meski kadang memang kita akan bertemu dengan musuh, tapi tetap saja kita harus mengepak ke atas. Biar saja musuh itu kemudian melongo melihat kita yang bersuka ria berkepak sayap dan bersuka cita menikmati birunya langit. Pasti nanti –seperti kata Zainab istri Rasul- pasti akan banyak yang berdesir kaget dan cemburu melihat kita. atau seperti kata bukunya kang Salim, bidadari pun cemburu.
[Backsound : nasyidnya Ed Coustic]
Hhhuhhh… aku sudah turun lagi ke bumi. Alhamdulillah…
indah sekali kan langit kita tadi? Ehem! Aku akan berkata dengan malu-malu bahwa memang engkaulah anugrah terindahku. Meski masih saja aku belum tau kapan engkau akan membaca ini, maka akan kukatakan memang kurasakan sejak kini engkau anugrahku.
Duh, ati kok jadi malu begini… kok bisa jadi lucu begini. Ah biar saja, mumpung bisa. Bukankah kata Plato : bagi dunia kau hanyalah sesorang. Tapi bagi seseorang, kau adalah dunianya. terima kasih untuk kata-kata indahmu, mr. Plato.
Jadi sebentar, biar kutuliskan sebuah puisi untukmu. Aku menemukan puisi ini saat membaca dalam kelelahan tenagaku yang terkuras. Saat kubaca, ada sedikit tenaga yang kuperoleh. Yaitu : tenaga senyum. Senyum saja. Cukup senyum.

Ular dan Kabut
Di suatu tempat,
Entah dimana, di dunia
Seseorang menunggumu, berdoa
Seperti doa yang biasa engkau
Ucapkan sehabis shalat
Pada suatu saat, entah apabila di dunia
Seseorang merindukanmu,
Berjaga-jaga
Seperti malam-malammu yang berlalu
Sangat lambat
Seseorang menunggu,
Merindu, berjaga dan berdoa
Seperti engkau
Selalu…
[Ajib Rosidi]

warning untukmu mujahidku nanti :
jika kau hidup di dekatku, siapkanlah tenagamu untuk menerima puisi-puisi yang mengalir tanpa ragu. Jika kau hidup denganku, maka kupastikan akan kukirimkan sebuah puisi untuk menghargai dan menandai semua rasa yang terpendam. Uhuk!
Dan menggeleparlah semua kata di bumi ini
Dan meremuklah segenap yang terpendam
Dan berdetinganlah bintang-bintang
Dan makin bulatlah bulan

[ditemani dealova yang semriwing di telinga]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar