Zenith : Mencintaimu Selamanya
Delapan Bulan Dedek
Aku merasakan semakin berat saja menggendong dedek ke sana kemari. Sesekali memang tiba-tiba aku lemas dan lunglai saat tenaga dan pikiranku tidak proporsional lagi. Dokter semakin mewanti-wantiku untuk tidak terlalu banyak bekerja sekalipun itu untuk mengepel lantai yang katanya baik untuk kehamilan. Dokter sudah memutuskan aku hanya bisa melahirkan dengan jalan operasi dan tidak ada nego model apapun agar aku bisa melahirkan dengan normal.
‘Nda Raya juga selalu mengingatkan aku agar bisa menerima keputusan operasi dedek itu dengan lapang. Katanya, semua demi aku dan dedek. Dia mengatakan aku akan tetep dipanggil bunda sekalipun melahirkan dedek dengan cara operasi atau cara apapun.
Pukul 02.35
‘Nda Raya lama dalam sujudnya. Aku tidak lagi berimam padanya karna kadang tubuhku tidak kuat berdiri terlalu lama. Kakiku juga kadang bengkak tiba-tiba, tapi jika dipijit-pijit sambil baca ma’tsurat gitu akan mendingan lagi. Semakin dewasa usia dedek di dalam rahimku, ‘Nda Raya makin khusyuk saja menjaga shalatnya. Malah sekarang semakin aktif dengan puasa daudnya. Dia bilang, biar lebih siap saja dengan semua yang akan terjadi. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya meski aku tidak tau persis maksudnya.
Aku memiringkan tubuhku agar bisa memperhatikan lelakiku itu menunaikan tahajudnya. Lama sekali sujud-sujud yang dijalaninya, terkadang sampai terisak-isak. Aku tidak pernah berani menanyakan kenapa dia menangis karna aku takut itu termasuk hubungan super personal dengan tuhannya yang tidak ingin dibagi dengan siapapun kecuali memang dia ingin membaginya denganku. Saat dia tunai dengan tahajudnya, aku kerap kali berpura-pura tidur dan tidak mengetahui aktifitasnya. Kemudian dia akan mengecup keningku dan membantuku berwudlu.
“Abid, bangun sayang. Aku masih punya dua rakaat untuk aku tunaikan bersama abid. Temani aku yok...,” katanya sambil memegang wajahku. Padahal aku sudah memperhatikannya dari tadi. “Aku sangat ingin dua rakaat terakhirku ini bisa aku tunaikan dengan abid sekalian nanti kita witir terakhir bersama ya!,” pintanya. Aku diam menatapnya. “Ayok aku bantu bangun,” katanya lagi sambil membantuku menegakkan diri. “Pelan-pelan bid... waktunya masih agak panjang kok,” katanya lagi.
“Nda...
“Iya?
“Baca surah mahar ya! Aku kangen dengan surat itu,” pintaku. Dia menjawab dengan senyum dan mengangguk.
“Tapi kalo abid sudah tidak kuat, boleh duduk segera ya! Jangan dipaksakan biar abid juga tetep bisa menemani aku menunaikan dua rakaat terakhirku. Janji ya?
Aku mengangguk. Kemudian berdiri di belakangnya, menjadi makmum shalat malamnya. Pada saat membaca al fatihah, beberapa kali nafasnya tersengal. Dia menangis tergugu dan beberapa kali menghentikan bacaannya sebelum kembali meneruskan surah yang dibacanya. Pada rakaat pertama, Nda Raya membaca separo dari surah al Insan yang dulu menjadi salah satu mahar pernikahan kami. Bacaannya masih sebagus dulu bahkan semakin kurasakan syahdu dan bagus saja.
‘Nda Raya kembali menciptakan sujud yang sangat dalam. Aku mencoba menguatkan diri untuk terus bisa menemani dia dalam rukuk dan sujud. Tangisnya kembali terdengar sangat dan sarat. Andai aku bisa hidup dalam hatinya, aku pasti mengetahui apa yang membuatnya menangis. Shalatku menjadi tidak tenang dengan tangisnya yang sedemikian dalam dan menyengal makin lama.
Hingga tunailah dua rakaat terakhir ‘Nda Raya...
“Abid masih kuat?,” tanyanya. Aku mengangguk.
“Baiklah kita istirahat dulu. Nanti baru kita lanjutkan witir penutup kita,” katanya lagi. Dia mendekatiku dan mengelus dedek pelan. Menciumnya dan mengatakan sayangnya pada dedek.
“Nda, aku tambah rakaatku lagi ya!,” ijinku.
“Tapi duduk saja ya!,” sarannya. Aku tersenyum dan menyetujuinya.
‘Nda Raya segera berpindah dari hadapanku dan menepi agar aku dapat menunaikan beberapa rakaat lagi. Sepanjang aku memulai shalat hingga akhirnya aku salam kembali, matanya tidak berpindah sama sekali dariku. Mata elangnya menatapku tidak lepas-lepas seperti seorang tawanan.
“Kenapa liat aku kayak gitu?,” rajukku. “Risih na...
“Hm? Kenapa risih?
“Ya si Nda liatnya gitu amat. Kayak aku tawanan yang ditakutkan melarikan diri. Biasanya juga ‘Nda Raya kalo aku shalat nungguinnya dengan bobok. Kenapa malam ini malah ngeliatnya gitu amat?
Dia tertawa. “Dasar cerewet!,” katanya. “Kemaren aku nungguinnya dengan bobok, digigit lenganku. Trus bilang kok bobok? Aku tungguin sambil baca dicubit katanya gak perhatikan aku. Nah sekarang ditunggui sambil diliatin terus malah bilang risih,” ujarnya lucu sambil menekuk kakinya seperti seorang pertapa.
“Ya tapi kan gak terus segitunya, Nda...
Dia kembali tertawa. “Jadi gimana? Bilang dong, yang...
“Genit! Ya biasa saja. Liatnya jangan kayak sipir penjara gitu, sipir saja gak segitunya liat tahanan kok. Ya diliat, diperhatikan tapi jangan segitunya.
“Hehehe. Ya aku tadi kan baru ajak abid menemaniku menunaikan dua rakaat terakhirku, jadi aku khawatir abidnya trus lelah, lemas trus tiba-tiba lunglai. Abid kan sakit-sakitan,” selorohnya.
Kudaratkan sebuah cubitan kecil ke arah lengan atasnya. Dia meringis.
“Bilang ampun dulu,” ancamku.
“Iya ampun, ampun ibu suri...
Aku tertawa. Menang.
“Kalo aku gak ada siapa yang akan abid cubit sampe merah gini? Jangan bilang abid akan suka mencubit dan menggigit dedek. Aku plethakin dari atas nanti,” katanya.
Aku kembali tertawa dengan candanya.
“Sudah yok, kita witir. Sebentar lagi subuh. Aku pengen ajak abid subuh di masjid,” katanya. Aku mengangkat alisku tidak percaya. “Iya bener. Serius. Aku sudah telpon dokter semalam, dan boleh-boleh saja sesekali ajak abid sholat subuh di masjid. Serius bidd... kita witir dulu. Temani aku sampai selesai witir penutupku ya, bid. Sekuat mungkin abid tetap witir berdiri, lakukan demi aku. Abid kudu kuat demi aku. Ya?!,” kalimatnya kurasakan memang agak berlebihan didengar. Tapi aku menjawabnya tetap dengan anggukan karna memang aku yakin akan kuat-kuat saja menjalankan witir itu dengan berdiri sempurna,