Setengah Tahun Pernikahanku.
Aku semakin banyak mengenalnya. Mengenal ‘Nda Raya. Dia pun sudah terbiasa memanggilku dengan Abid. Kadang dengan kata sayang di belakang.
Masih terkendali. Semua masih hangat.
Perdebatan seru selalu bisa diakhiri dengan tasbih. Ego yang sering kali kuat menghajar pertahanan emosi kami pun lebih sering teredam dengan istighfar. Meski kadang, aku –yang punya modal sangat manja- ini sering kali membuat ‘Nda Raya menahan nafas. Untuk memahamiku.
“Aku akan memahamimu sebagai kamu,” ujarnya selepas pertarungan penuh kemenangan Ahad pagi lalu “Dan bukan sebagai aku,” katanya juga.
Selalu saja ingin kurangkulkan diriku pada pundaknya. Meski memang saat ini dialah satu-satunya sandaran kelelahanku. Satu-satunya yang bisa kugenggam saat aku merasa lemah. Kemudian juga yang paling banyak membuatku mengingat tentang detik yang tidak berhenti. Hidup ini.
Dan aku tersandung saat ini. Aku melukainya. Hatinya berdarah. Ah!
Aku cemburu, Ra. Untuk semua yg kubaca. Kenapa?
Pesan singkat itu dari ‘Nda Raya. Dia tidak memanggilku ‘Bid. Harus kujawab apa. Diam juga bukan solusi. Tolong aku, Allah…
Aku ke kantor ya, ‘Nda! Pas lunch ya? Balasku.
Cepat pula ‘Nda Raya mengirim balasan. Simple. Ga usah. Ada meeting. Jaga rumah saja.
Aku kehabisan kata. Nanti sore aku jemput boleh?
Ga usah, Ra… Ada jadwal ngaji sore ini. pulangku malam.
Deg!
Aku menangis sekarang. Aku takut dengan dinginnya saat ini.
Cepet pulang ya! Aku nunggu.
Aku sangat berharap ‘Nda Raya membalas pesan terakhirku. Seperti biasanya. Dengan canda dan guraunya. Tapi tidak ada. Hingga dia pun lupa tak menanyakan sudah makan siangkah aku. Sudah sholat dhuhurkah aku.
Aku terpekur sendiri. Tergugu dalam diam. Aku kehilangan cahayaku yang berbinar enam bulan ini. Aku kehilangan matahariku yang selalu menghangatkan dinginku.
“Itu biasa, Ra… namanya juga emosi,” kalimat ibu menenangkanku. Aku tidak bercerita tentang yang terjadi padanya. Aku hanya bertanya tentang kewajaran yang terjadi saat emosi.
Aku mencoba menenangkan diri. Merasakan senyap yang dalam saat berada di kamar kami. Kutarik buku itu dari laci. ‘Nda Raya memberi tanda tepat pada halaman yang dibacanya. Semalam. Ya… tadi malam. Saat aku masih lelap dan ia menjalankan sholat malam.
Apakah engkau mengkhianatiku, cinta?
Apakah engkau membagi sayang itu?
Apakah engkau tau : aku cemburu
Aku tidak ingin ada akar yang menyentuh pohon cinta kita
Aku tidak ingin ada semian baru di dalam pohon cinta kita
Selain akar kita
Selain semian cinta kita
Apakah aku kurang
Terhadapmu
Cinta?!
Aku menangis. Dan setelah itu ‘Nda Raya lebih banyak diam. Sarapan pun berlalu tanpa ada kalimat. Aku bicara juga tanpa sahutan. Hanya diam. Beku. Dingin.
Hanya kalimatnya sebelum benar dia pergi ke kantor tadi. “Aku ingin tenang dulu. Tolong jangan tanya apapun ya!
Aku menatapnya. Buku yang dibaca ‘Nda Raya sudah di tanganku saat aku membuka mata tadi. masih dengan tatapnya yang luka, lelakiku mengangsurkan buku itu.
Luka itu ada pula di matanya. Yah Allahh…
Disitu, di buku itu :