Selepas masa muda kami sebagai pengantin berakhir, ‘Nda Raya segera memnoyongku ke rumah kecilnya yang baru. Sebuah rumah di kompleks yang sederhana. Mungil, segar dengan beberapa tanaman, ada masjid di pojok komplek dan sudah banyak tetangga. ‘Nda Raya bilang rumah ini dikreditnya sejak pertama kali bekerja.
“Kalo beli cash kan gak mampu, dek,” katanya. “Mampuku ya kredit gini kayak motor ini dulu. Pelan-pelan. Tapi gara-gara kebanyakan kredit gini, aku termasuk telat nikah. Untung saja bidadari yang kuperhatikan sejak kuliah masih belum ada yang mendekati, jadi aku tidak kehilangan sebelum sempat memiliki. Heheheh.
Aku tertawa. “Memang sejak kapan memperhatikan aku?,” tanyaku sok penting. Setelah itu aku tertawa sendiri dengan pertanyaanku.
“Gak tau sejak kapan. Pokoknya pas dulu di basement ada acara anak-anak BEM, kamu kan jualan es buah kan? Pede banget kamu jualan itu dan dengan senyum yang memang manis –ehem- es buahmu laku keras,” aku tertawa dengan deheman yang diciptakannya tadi. “Ya tapi kalo kupikir-pikir sekarang bukan karena senyummu kali ya, tapi memang cuaca pas itu panas banget,” katanya sambil melirikku.
“Owh gitu. Baiklah, untuk kali ini dimaafkan kalimat terakhirnya. Awas ya numpuk-numpuk hukuman sendiri, kalo sudah banyak bisa masuk rumah sakit nanti,” ancamku santai. Kulihat dia tertawa sangat rekah dengan ancamanku.
“Tapi indah juga ya, Ra. Aku sendiri pas itu sudah semester tua, kamunya masih semester mudah banget. Cuman pas itu aku juga sudah bekerja paruh waktu, jadi aku agak pede saja bisa mendapatkanmu nanti. Apalagi kemudian kamu juga aktif di pers kampus yang kubina. Uhuy!
“Biar aku yang angkat, Ra. Berat itu,” tangannya sigap menarik pot bunga yang agak besar dari tanganku. “Ditaruh sini ya?
Pekerjaanku dan dia hari ini adalah merapikan rumah mungil kami. Dia memang sudah menempatinya sejak setahun lalu untuk menghemat biaya BBM katanya. Jarak rumah ibu dengan kantor dua kali lebih jauh daripada jarak kantor dengan rumah ini. Jadi sewaktu pertama kali aku menjadi ratu disini, rumah ini sudah berisi beberapa perabotan rumah tangga. Ada rak buku di pojok ruang tamu dan sebuah computer tua.
“Memang gak takut tinggal sendiri?,” tanyaku.
“Ya kadang takut siy. Takut ada tikus. Hahahaha,” kelakarnya.
Aku melotot ke arahnya. “Puasss?!
“Dek,” panggilnya. Aku menoleh dan agak kikuk menatapnya.
“Ceritakan padaku tentang perasaanmu saat aku mengutarakan keinginanku melamarmu. Kamu kaget gak?
Aku menggeleng.