Rabu, 25 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 7)

Tujuh bulan dedek.
‘Nda Raya mengusulkan sebuah nama : Langit Mujahid Pratama. Langit usulan dariku, Mujahid dari ‘Nda Raya karna memang dedek berjuang bersamaku bertahan dan Pratama adalah nama ayahnya. Mengapa tidak menamakan anak dengan nama yang Islami? Tanyanya sewaktu itu. Kubilang biar dedek segera paham maksud namanya sebelum kita menjelaskannya nunggu dia dewasa nanti.  Dia pasti sudah mengerti seperti apa langit. Pasti dia akan mencoba berpikir kenapa langit begini dan begitu. Dia akan semakin banyak tanya mengapa kita menamakan langit dan bukan bumi. Kenapa langit biru, kenapa langit luas dan sebagainya. Dan pastinya akan ditanyakan sewaktu dia masih kecil. Karna memang langit sudah dilihatnya sejak dia masih kecil.
“Trus keinginan abid dengan kata Langit apa?,” tanya ‘Nda Raya.
“Ya pengen dedek kayak langit saja. Langit kan luas, tempat bergantung semua bentuk benda yang indah hingga yang mematikan. Ada bintang, bulan, meteor, matahari, mendung, petir, awan dan banyak lagi. Nah, semuanya kan cuman ada di langit dan semuanya kudu terus berputar biar bumi  juga tetap stabil. Jadi aku mau abid bisa menjadi seluas langit saat menaungi orang lain dan tetap seikhlas birunya langit meski tiba-tiba ada mendung atau petir. Dan pastinya setelah semua itu akan muncul pelangi yang kembali membuat langit ceria. Karna memang hakikatnya kan bersama kesulitan ada kemudahan[1].
‘Nda Raya mulai murung lagi.
“Aku takut Allah memang lebih sayang salah satu dari kita, bid,” katanya. “Hingga Allah maunya memanggil salah satu dari kita lebih dulu. Padahal mau kita akan bisa bersama selama-lamanya...
Tercenung aku. Apa siy yang tidak bisa dilakukan Allah, kataku sendiri.
“Kenapa sekarang ‘Nda Raya melemah?
“Aku tak bisa lagi menutupi kekhwatiranku, bid. Aku khawatir aku tak bisa menemanimu dan dedek hingga akhir. Aku juga khawatir memang Allah sayang abid dan pengen abid istirahat setelah lama abid berjuang untukku dan dedek dengan sakit abid.
“Tapi selama ini kan ‘Nda Raya bilang semua juga akan menemui mati?
Dia mendesah. Panjang.
“Iya aku tau. Entahlah, kenapa tiba-tiba aku takut,” samar lelakiku tertawa. “Harusnya aku menyemangati abid ya,” katanya lagi. “Baiklah, jika memang Allah mau siapapun tidak bisa menghindar dari mati. Yang pasti jika aku yang dipanggil lebih dulu aku mau abid njaga dedek seperti selama ini abid njaga aku. Dedek juga boleh memilihkan ayah baru,” katanya setengah tertawa.
Aku tertawa juga akhirnya. “Ikhlas ga?
Dia terkekeh. “Ikhlas khlas khlas...!!
“Udah ah, kapan kita akan berhenti bicara tentang mati? Sudah terlalu lama pikiran kita terjebak pada ketakutan dan kekhawatiran untuk takdir yang belum tentu terjadi pada kita dalam waktu dekat. Mending kita rame-rame menyerang Allah dengan doa biar kita bisa terus bareng-bareng. Ya gak?,” kuangkat-angkat alisku. ‘Nda Raya tertawa.
Hari-hariku kembali berwarna. Aku dan ‘Nda Raya berusaha sekuat upaya meluplakan “deadline” kematian kami. Entahlah, kenapa tiba-tiba ‘Nda Raya ketularan merasa khawatir akan sebuah kematian. Apakah kematian itu? Aku tidak ingin lagi membebani diriku dengan semua itu. Aku ingin semua akan baik-baik saja selama aku bisa. Dan aku juga ‘Nda Raya akan berusaha menjalani hari berdua dengan bahagia saja.
Ibuku masih disini. Ibu mertua juga. Bapak juga.
Semalam ayah datang lagi. Seperti biasa, tersenyum dan bercerita tentang sesuatu. Mengajakku tertawa. Kenapa ayah selalu mendatangiku, tanyaku semalam. Ayah hanya tertawa lagi. Kemudian ayah bilang agar aku tidak kesepian. Kematian itu memang menegangkan tapi juga membebaskan. Semua pasti akan tegang saat menghadapi kematian apalagi jika kematian itu seperti hanya menunggu hari.
Kemudian ayah berkata lagi. Tidak ada seorang pun yang bisa berlepas dari mati. Tidak ada yang bisa melawan mau Allah. Sekarang aku boleh sakit dan dikatakan sulit bertahan dengan dedek di perutku. Tapi bisa saja kan Allah malah memanggil lebih dulu Raya?
Aku merengut. Tidak boleh, kataku.
Ayah tertawa mengucek rambutku. Memang kamu siapa, katanya. Dan aku juga turut tertawa. “Ya kalo gitu temui ‘Nda Raya saja kalo memang dia harus meninggal duluan. Ayah mendatangiku terus-terusan itu rasanya seperti aku yang akan segera menemani ayah,” kataku. Jelas sekali dialog itu.
Ayah terkekeh. “Justru ayah ingin menyiapkan kamu, Ra,” jawabnya.
Aku seolah bernar-benar berbincang dengan ayah. Banyak yang aku tanyakan pada ayah dan banyak juga yang ayah jelaskan kepadaku. Kadang malah tanpa terasa ayah terlalu lama menemaniku hingga kadang aku tak mengerti kapan ayah pamit. Karna aku telah tertidur setelah itu.
Tapi lagi-lagi saat pagi tiba dan aku menceritakan mimpiku pada ibu, bapak dan ‘Nda Raya mereka malah mengolok-olokku. Ibu malah sempat tercenung agak lama. Kemudian memintaku untuk berhenti bercerita.
“Mimpi itu kan karena kamu terpancing suasana. Makanya pikirannya jangan yang aneh-aneh,” kata mertuaku. ‘Nda Raya tersenyum melirikku.
“Ra paling-paling lagi kangen ayah, makanya terus-terusan mimpi ayah,” kata ibuku. “Memang bagaimana wajah ayah kalo memang Ra mimpi tentangnya? Ra saja gak tau wajah ayah kayak apa selain dari foto. Iya kan?
Aku terkekeh. Ibu benar, aku tidak tau sama sekali wajah ayah.
“Eh ‘Nda, Pri nelpon kemaren. Pulang kampung yok!,” kataku tanpa pertimbangan apapun. “Kangen desa aku, ‘Nda. Nanti kan kita bisa rame-rame pulang kampung. Sementara rumah ini kita tinggalkan. ‘Nda Raya kan baru ambil jatah cuti beberapa hari saja, ambil sja semuanya sekarang. Nanti pas lebaran gak usah ambil cuti lama-lama juga gak masalah. Yang penting sekarang kita pulang kampung. Gimana?
‘Nda Raya hanya melirikku. Aku memang tanpa persiapan mengusulkan pulang kampung tadi. Aku juga tidak berharap banyak Nda Raya akan menyetujui. Tadi pagi memang Pri menelpon dan bercerita banyak tentang kampungku. Kerinduanku makin meuncak mendengarnya bercerita tentang sungai masa SMP dulu yang kini dipercantik. Juga tentang taman kumuh masa SMAku dulu. Pri bilang sekarang anaknya juga sangat menyukai berkunjung ke sungai kecil itu.
‘Nda...
“Kan bisa nanti saja kalo dedek sudah lahir, Ra... sekarang Ra konsentrasi saja pada kelahiran dedek,” ujar ibuku segera. Memecah pikiran lelakiku yang mungkin sedang berpikir memberi jawaban padaku.
“Lagian kalo pulangnya pas lebaran kan bisa semakin lama. Taman dan sungai itu bisa semakin ramai. Dedek juga pasti akan lebih gembira dengan keramaian itu. Nanti saja lah sekalian lebaran,” kata ibuku lagi.
‘Nda Raya masih diam. Membenahi kertas-kertasnya.
“Nda...
Ibu menjawilku. Aku merengut.
“’Nda Raya dengarkan aku gak siy?
“Dengaarrr...
“Lha kalo dengar kenapa diam saja?
“Kan masih mbenahi kertas, abidd...
“Ya tapi kan bisa komentar sedikit saja. Jangan cuman melirik gitu tadi,” kalimatku sudah terbaca manjanya. Dia melirikku lagi dan mengacak rambutnya sendiri.
“Jawabannya nanti malam sebelum tidur,” katanya.
“Kenapa lama sekali? Tinggal bilang iya dan tidak saja kan?
“Kalo nanti malam bisa jadi aku bisa jawab iya. Kalo sekarang suruh jawab, aku bisa langsung bilang tidak. Hayo milih mana?
Aku merengut. Kalah.
“Tapi bener nanti malam bisa jawab iya?,” kataku lagi. Dia hanya tersenyum. Melirikku sebentar kemudian mengenakan tas kantornya.
“Ya kan nunggu hasil istikharah nanti di kantor. Memang abid punya hadiah apa kalo kita bisa jalan-jalan ke kampung?
“Apa saja. Apa saja yang ‘Nda Raya mau aku kasih. Gimana?
Dia hanya melengang. Tetap dengan senyumnya. “Gombal!
Kulepas lelakiku pagi ini. Dia masih tersenyum hingga motornya benar-benar tidak terlihat lagi. Akhir-akhir ini memang ‘Nda Raya wajahnya selalu tersenyum. Entah karena apa. Mungkin dia bahagia dengan usia dedek yang semakin dewasa. Mungkin juga bahagia karena melihatku makin sehat saja. Tapi aku juga merasa dia makin pendiam. Bahkan sangat pendiam. Aku berpikir mungkin karna kerjaan kantor. Tapi kadang tiap libur pun dia juga pendiam.
‘Nda Raya pamit. Dia harus berangkat ngantor. Dia menciumku kemudian dedek. Ibuku, ibunya dan bapak.
“Jaga diri, bid. Doakan aku,” pesannya seperti biasanya.
“Nitip abid, bu...
***
Pukul 17.15
Lelakiku belum pulang juga. Entah kenapa karena sangat tidak biasa dia pulang kantor lebih dari jam 16.30. Beberapa kali kuhubungi Hpnya tapi tidak aktif. Ku SMS juga pending. Apakah dia marah ataukah masih bingung dengan keinginanku mengajaknya pulang kampung tadi? Ataukah dia sedang ada kerjaan di kanotr? Ataukah dia mampir ke sebuah tempat? Tapi kemana? ‘Nda Raya sangat tidak terbiasa membuatku khawatir dengan kepulangannya. Aku tau dia tidak akan tega lagi melakukan itu padaku karena dia tau sendiri kondisiku yang tidak boleh terlalu cemas, khawatir ataupun takut.
Kudengar salam dari seberang.
“Kok gak pulang-pulang?
Dia tertawa kecil. Maaf, katanya. Saat kutanya kenapa HPnya tadi sempat mati, dia bilang maaf lagi. Tidak banyak kata yang diucapkan selain maaf, kemudian ‘Nda Raya berjanji akan segera balek secepatnya. Kemudian segera mengucapkan salam. Aku merajuk sendiri disini. Pikiranku mulai dipenuhi dengan pertanyaan dan kekhawatiran.
Semua serba tidak biasa. Kenapa?
Aku mulai merasakan gelisah dan kekhawatiran yang sangat tidak biasa juga. Kenapa ‘Nda Raya tiba-tiba bisa begitu? Padahal selama aku sakit, tak pernah sekalipun ‘Nda Raya melakukan sesuatu yang membuat aku bertanya lebih banyak dari dua pertanyaan. Dia akan selalu biarkanku bermanja dan merajuk padanya.
Pukul 17. 35
Dia bilang akan segera pulang. Ini sudah 25 menit dan tidak terlihat tanda dia akan pulang. Kembali ku hubungi HPnya. Tapi tidak diangkat. Kuulangi lagi, tetap tidak diangkat. Mungkin sedang dalam perjalanan. Tapi rumah-kantor hanya lima belas menit. Macet? Ah.. ‘Nda Raya sangat jarang melewati jalan ramai. Tapi siapa tau memang dia sedang ingin menikmati kemacetan.
Bagaimana ini? Ya Allah... tolong aku. Tenangkan aku.
“Raya kok belum pulang ya, Ra?,” tanya ibuku semakin membuatku tidak berani beranjak dari dudukku. “Ra sudah hubungi Hpnya?,” pertanyaan itu kembali kujawaab hanya dengan isyarat kepala. Mengangguk.
Ibu seperti mengerti keadaanku. Dia mengelus kepalaku kemudian menenangkanku. “Ya sudah, gak papa. Kali saja Raya lagi di jalan atau masih mengerjakan tugas kantor. Nanti juga dia akan pulang kalo dah selesai. Ya kan?,” ibu masih terus mencoba menenangkanku. Aku mulai terisak kini. Kukatakan, “Tapi ‘Nda Raya tadi bilang dia akan pulang cepat. Dan harusnya dia sudah sampai rumah. Dia gak angkat HP aku bu... dia juga gak balas SMS. Kenapa ‘Nda Raya sekarang seperti cuek denganku?
Ibu hanya kembali mengelusku.
“Dia baru sekali seperti ini kan? Ra harus adil dong... Jika selama ini dia sudah sangat baik bahkan selalu melakukan yang terbaik untuk Ra, kalo saat ini dia melakukan sesuatu yang membuat Ra khawatir dan Ra tidak menyukainya, bukan berarti dia cuek. Tidak bisa begitu, Ra... Ra juga kudu bisa adil pada penilaian terhadap Raya. Bagaimanapun Raya tetap punya sisi hidup yang hanya ada dia saja. Hanya dia dan dunianya. Sama seperti Ra yang kadang tiba-tiba tidak ingin diganggu bahkan disapapun Ra tidak mau. Kalian memang  sepasang kekasih, tapi kalian juga tetap pribadi dan pribadi. Kalian, Ra dan Raya, tetap punya sisi hidup sendiri.
Aku mulai tenang. Kenapa aku banyak sekali menuntut pada ‘Nda Raya yang hanya mengambil hak tenangnya sedikit saja? Padahal nyatanya hampir tiap hari aku selalu bersandar padanya. Tidak ada waktunya yang tidak diberikannya untukku.
“Mungkin Ra hanya sedikit kaget dengan keadaan yang tiba-tiba ini. Sejak Ra sakit kan Raya selalu berusaha untuk tidak melakukan semua hal yang membuat Ra khawatir dan takut. Dan akhirnya Ra nyaman dengan keadaan itu dan selalu takut bila menemui keadaan yang tidak seperti itu. Raya hanya ingin tenang mungkin Ra... jadi Ra juga jangan terlalu khawatir gitu. Sementara ini jangan bebani Raya dengan manja dan rajukan Ra. Ra kudu tetap bisa tersenyum dengan kepulangan Raya. Bisa kan?
Kembali aku hanya diam. Membayangkan dimana ‘Nda Raya memang membuatku kembali merasakan kekhawatiran.
“Tapi Ra takut ‘Nda Raya kenapa-kenapa, bu...
“Makanya Ra doa banyak-banyak biar Raya tetap dilindungi. Biar tidak ada apa-apa dengan Raya. Ra juga akan lebih tenang nanti. Kasiyan dedek kan kalo ikut-ikutan khawatir begitu...
Ya Allah... tenangkan aku. Jaga lelakiku.

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 6)


EPISODE IBU
Bagi dunia, kau hanyalah seseorang.
Tapi bagi seseorang, engkau adalah dunianya.[1]
Masih sangat pagi saat kulihat ibuku memasak. Aku masih 4 tahun.
Ibu melakukan semua itu sendiri. Di rumahnya sendiri. Sambil memasak ibu akan menyapu dan sesekali memberi makan ayam-ayam. Kemudian ibuku  juga akan meneriakiku untuk segera bangun. Aku mendengar tapi belum ingin terbangun.
Pukul 05.30
Aku hanya mengerjab. Kemudian kembali memeluk gulingku.
”Tidak bisa, Ra... Ra harus bangun, ayo!,” ibuku menarik gulingku dan mengangkat paksa aku. Tapi tidak menyeretku. Setelah memaksaku bangun ibu pasti menggendongku dan menurunkanku di kamar mandi. Kamar mandi yang dingin pasti akan membuatku terbangun. Bahkan kadang menangis dan menjerit.
Ibu selalu mencoba menertibkan jadwal shalat dan ngajiku. Tiap sore pasti aku sering kejar-kejaran dengan ibu untuk segera mandi dan pergi mengaji di mushola. Aku kerap kali lebih memilih bermain di kali bersama teman-temanku dan tidak menghiraukan panggilan ibu. Hingga akhirnya ibu yang mengejarku ke sana kemari untuk menyuruhku mandi dan ngaji.
”Sudah besar kok masih kudu dipaksa untuk mandi,” kata ibuku. Usiaku sudah 7 tahun saat itu. Kelas 1 SD.
Ibu juga selalu membantuku berpakaian saat itu. Membantuku merapikan pakaianku hingga aku selalu terlihat rapi. Tidak pernah aku pergi sekolah tanpa baju yang rapi tersetlika. Di tasku selalu ada sebotol minuman dan sekotak makanan.
”Aku ingin punya ayah, bu!
Dan ibuku pasti akan menjawabnya dengan senyum saja. Kemudian mengalihkan perhatianku dengan berbagai serita dan pertanyaan untukku. Setelah itu pasti ibu akan menciumku dan mengantarku hingga pintu depan. Aku selalu bisa berangkat sekolah tanpa beban. Hanya bahagia.
”Kata bu Wati, pak Joko naksir ibu ya?,” tanyaku pada ibu setelah pulang ngaji.
Usiaku sudah 13 tahun ketika itu. Aku melemparkan tasku dengan keras.
”Eh kenapa tidak baik gitu, Ra?,” tanya ibuku kemudian. Aku merengut sempurna. Tidak ada tawa sama sekali. Aku duduk pun dengan cara marah.
”Ra tidak suka dengan pak Joko. Dia genit!,” teriakku. ”Ra tidak akan pernah rela pak Joko naksir ibu. Kalo ibu sampai menikah dengan pak Joko, Ra akan pindah dari rumah dan ikut mbah uti!,” kataku lagi.
Aku sudah tak mampu menahan air mataku. Aku menangis dengan sepenuh emosi. Ibuku segera memeluk dan bercerita padaku tentang ayah. Hanya sedikit sekali. Karna kemudian aku pasti akan diam.
”Jadi ibu tidak akan naksir pak Joko?,” tanyaku. Ibu menggeleng.
”Janji?
”Iya, janji. Ibu akan setia pada ayah. Itu janji ibu.
Aku kemudian seperti merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku merasakan keadaan sudah sangat aman dan tentram karna ibuku pasti tidak akan menerima pak Joko yang genit itu untuk menjadi ayahku. Enak saja!
Ya meski mungkin memang aku belum mengerti benar maksud setia yang ibu katakan itu. Aku hanya mengerti setia artinya ibu tidak akan memilih lelaki yang lebih buruk dari ayah. Setia berarti ibu tidak akan menikah dengan lelaki yang tidak kusukai. Pastinya aku lega akan semua ini.
Aku sudah 17 tahun sekarang. Dengan seragam abu-abu.
Sering kali aku bertanya kepada ibuku kenapa tidak menikah lagi, tapi jawaban ibuku tetap. Ibuku pengen setia pada ayah. Aku tak mengerti kenapa ibu sangat ingin setia pada ayah. Sementara ayah tidak setia pada ibu.
”Ayah bukan tidak setia, Ra. Ayah hanya tidak punya pilihan,” kata ibuku. ”Ayah juga maunya pasti menemani kita selamanya. Tapi kan Allah lebih tau takdir terbaik untuk kita. Ayah benar-benar tidak punya pilihan...
Kemudian ada seorang laki-laki melamar ibu. Keluarganya cukup baik. Duda. Beranak dua. Yang paling besar adalah kakak kelas di sekolahku. Tapi bandel. Suka ganti-ganti pacar dan katanya teman-teman suka main perempuan. Pernah tidak naik kelas juga. Hah?!
”Kalo anaknya begitu, orang tuanya bagaimana ya bu?
Ibuku hanya melirik. Seperti tak ingin menanggapi.
”Buah jatuh kan tidak jauh dari pohonnya. Kecuali dia dipindahkan,” kataku. Kemudian aku tertawa. ”Yahh... sebenarnya memang aku tidak suka dengan anaknya. Tapi kalo memang ibu merasa cocok dengan ayahnya, ya silakan saja. Aku akan dukung ibu.
Ibu kembali hanya melirikku.
”Buu... kok cuman gitu doang dari tadi?
”Lha mau gimana? Mau ditanggapi apa?
”Ya apa gitu... cuman melirik mana bisa diartikan!,” sungutku.
”Itu artinya ibu gak tertarik,” jawab ibuku sederhana.
”Kenapa?
”Ya karna ibu tidak tertarik.
”Kenapa?
”Ya karna ibu tidak tertarik.
Aku merengut. ”Ibuuu’... Kok gitu?
Ibu tidak menyahut lagi.
”Bagaimana kalo mbah uti marah? Mbah uti selalu bilang ibu ini memang suka repot sendiri. Aku tidak rela ibu dibilang macem-macem gitu. Belum lagi kata tetangga. Mbah uti pasti akan marah lagi kalo tau ibu menolak yang ini juga. Ibu tidak takut?
Ibu hanya menggeleng.
”Buuuu’... Ibu berhak bahagia, bu’...
Kini ibu memandangku. Tegas. ”Ra pengen tau bagaimana bahagia ibu?
Aku mengangguk.
”Biarkan ibu bahagia dengan ayah. Itu saja,” katanya.
”Tapi kan...
”Ibu tidak ingin ditemani selain ayah nanti di sana,” kata ibuku lagi. Tangannya mengacung ke atas. Aku mendengus.
”Ra pengen punya ayah?
”Kadang,” jawabku. ”Ra pengen ada yang antar Ra kemana-mana. Ada yang gendong Ra. Ada yang bantuin Ra cari kabel buat fisika. Ra juga pengen nanti saat menikah, ayahlah yang menikahkan Ra...
Mataku sudah berair kini.
”Ibu tau. Maafkan ibu ya! Tapi ibu yakin Ra bisa ngerti maksud ibu. Mungkin nanti pasti Ra bisa ngerti maksud ibu dengan sempurna. Ayah tidak akan terganti oleh siapapun, itu yang ibu tau. Ibu akan mencoba semampu ibu menjaga cinta pada ayah.
”Mungkin ibu egois padamu yang menginginkan seorang ayah untuk hari-harimu. Tapi ibu lebih khawatir lagi jika ternyata ibu tidak bisa memilihkan ayah yang baik untukmu, sekalipun semua orang bilang dia baik. Ibu dan kamu yang akan menjalani hari-hari dengan ayah baru itu. Bukan orang lain. Kalaupun ada pilihan yang salah, ibu juga tidak siap Ra salahkan. Meski mungkin Ra juga tidak akan menyalahkan pilihan ibu, tapi ibu benar-benar tidak ingin memilihkan orang yang salah untuk Ra.
Aku masih menangis. Baru kali ini ibu berbicara sangat panjang padaku.
”Ayahmu juga sangat mudah menangis. Bahkan saat bahagiapun dialah orang pertama yang akan terlihat air matanya. Dan dia tidak malu,” kata ibuku. Lembut tangannya menyeka air mataku.
Benar-benar seperti ada samudra yang entah bernama apa di matanya. Meski aku sangat jarang melihatnya menangis, tapi cukup diamnya saja saat aku bertanya tentang ayah, aku tau ibu benar-benar tak ingin mengganti ayah. Ibu pasti sudah menyiapkan segala kemungkinan yang terjadi saat memutuskan tidak mengganti ayah dengan siapapun. Sementara usia pernikahan ibu juga usia ibu saat itu masih sangat wajar jika menikah lagi. Dan ibu tidak melakukan itu.
Perlahan memang aku bisa menerima keinginan ibu tentang ayah. Meski kadang saat aku sangat ingin diantar kemana-mana keinginan untuk memiliki seorang ayah kembali mengusik. Beruntung aku memiliki paklik yang bisa kuajak kemana-mana. Juga seorang saudara sepersusuan yang juga bisa kujadikan satpamku.
Memang tidak mungkin Allah akan memberikan kesulitan tanpa solusi disampingnya. Tidak mungkin juga Allah akan melepaskan aku dan ibu hanya berdua di bumi ini. Pasti akan ada banyak orang yang akan membantu tugas ayahku sekalipun mereka bukan ayahku.
Dan saat ini, aku akan menjelang pagi juga bersama ibu...
***
”Ayahmu kecelakaan.