Selasa, 27 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 6)


Selepas Maghrib di Kediri...
            Aku sudah siap dengan helm dan jaket jalanku lagi.
            “Madaaaaa...
“Masih cari jaket mbaaaakkk...
“Cepetan! Ngerti malam gak siy kamu?
Mada hanya cengar cengir mendengar semprotanku. Segera setelah itu dia menyalakan Revo merahnya. “Silakan, dinda... hahahaha
PLAK!
“Hadoohhhh... Sudah minta tolong anterin, malah kayak gini. Gak ada apik-apike mbak Naya ki.
“Sudah jalaannnn...
Ibu menyarankan aku membeli bebrapa oleh-oleh yang dulu disukai Shina. Enting-enting jahe, kacang gula merah dan tentu saja kripik tahu, makanan khas kotaku. Dulu tiap kali Shina ikut aku mudik dari Malang, aku selalu mengajaknya jalan-jalan ke beberapa tempat yang ramai. Terkagang ke gunung paling mati di kotaku, gunung Klothok. Terkadang ke air terjun Sedudo di Nganjuk, terkadang juga ke air terujun di daerah Mojo, air terjun Dholo. Biasanya aku berangkat pagi-pagi biar sampai sana bisa masih tetep seger. Kawasan itu biasanya kalau menginajk siang pasti ramai dan tidak lagi enak dinikmati.
HP ku bergetar. Dharma Calling...
Dharma? Ada apa?
“Assalamu’alaikum, Dhar
Wa’alaikumsalam. Lagi di jalan?
“Éh iya, ini lagi mau ke Patimura cari oleh-oleh
“Oh buat kawanmu itu yah
“Kok tau? Siapa yang cerita?
“Lho... kamu tadi kan cerita dengan Pak Restu.
“Owh iya, dasar Naya pelupa. Ehmm... ada apa ya, tumben. Ada yang bisa saya bantu?
“Eh enggak, hmm... ada yang ingin saya bicarakan sedikit. Tapi mungkin besok juga tak apalah, sekarang masih jalan juga kamunya...
“Oh ya... baiklah.
“Naya.
“Iyah?
Dharma seperti menahan kalimatnya sendiri. “Ada apa, Dhar?
“Oh gak papa. Besok saja. Ati-ati yak
“Yup, insya Allah.
Dharma segera salam setelah itu. Aku pun segera memasukkan kembali HP ku ke dalam tas. “Mas Jagad ya, mbak?,” tiba-tiba Mada sudah ikut bicara.
“Jagad, Jagad apaan...
“yah siapa tau mas Jagad. Hahahaha.
“PLAK! Nyetir yang bener.
Hahahaha.
Hanya sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari rumah ke Patimura. Tentu saja dengan kecepatan di atas 60km/jam. Patimura menyediakan banyak sekali makanan khas kota kecilku ini. Di sini ada beberapa toko yang sepertinya semuanya milik etnis China yang menjual makanan khas Kediri, mulai tahu kuning, kripik tahu, telur asap, dan macam-macam lagi. Entahlah, kemana orang-orang pribumi. Mungkin mereka kalah inovatif dengan orang-orang etnis ini hingga hampir semua toko yang menjual makanan khas Kediri malahan yang menjual orang etnis. Bisa jadi karena tabiat orang pribumi yang merasa lebih enak menjadi pegawai daripada pemilik yah. Ah entahlah...
“Sudah? Ada lagi gak?,” Mada bertanya padaku sambil membantuku membawa oleh-oleh yang kubeli.”Buat mas Jagad juga sudah mbak?
O iya, Jagad. Tapi dibelikan apa? Penting ya?
“Aku tadi pesen kaos ke mas Jagad. Hehehehe
“Hah? Kaos?
“Hu uh. Kenapa?
“Kaos apaan, Mada...
“Kaos buat dipakai dunk, mbak. Dia bilang OK, kok.
“Hahh... kamu!
Mau tidak mau aku kembali lagi ke toko oleh-oleh itu. Membeli beberapa makanan tambahan untuk Jagad. Dia tidak begitu suka tahu, tapi doyan dengan kripik bekicot.
“Mbak Nay, mas Jagad tanya mbak Nay nitip apa ga?
Dan aku hanya menjawab pertanyaan Mada dengan pelototanku. Kejam. Dan lagi-lagi kudengar tawa Mada. Kenapa dia juga suka tertawa seperti yah, aneh... hahahaha. Mada memang tidak jauh beda sifatnya denganku. Suka sekali tertawa, kadang terlihat sangat polos, terkadang terlihat cemerlang, dia tinggi tapi kurus, berbeda dengan Jagad. Ah, kenapa Jagad lagi yang kusebut. Hff...
“Sudah semua. Ayuk balek...
“Siap, bos!
Mulailah rvo merah Mada melaju di sepanjang Jalan Patimura hingga Jalan HOS Cokroaminoto. Hanya sekali berhenti lagi karena Mada minta dibelikan Martabak Holand ala pinggir jalan. Yah... aku turuti saja karna dia sudah sangat baik menjadi sopir pribadiku malam ini. Andai tak ada Mada aku juga tidak tau kapan ada waktu untuk membeli oleh-oleh untuk Shina.
Sdh balek?
Dharma. Ada apa siy segitunya memburuku.
Blum. Msh mampir sebentar. Ada apa ya? Balasku cepat
Ah gpp, jgn terlalu malam pulangnya. Kwatir ada apa2 J
Hah? Sejak kapan Dharma berani seperti ini...
Iya, matur nuwun njih... balasku akhirnya.
Sami-sami... J
Dharma sangat mirip dengan Mada. Kurus, tinggi. Namun dia tidak bisa tertawa hahaha seperti Mada. Dia lebih cenderung seperti lelaki flamboyan yang selalu menjaga ekspresi wajahnya. Wajahnya bersih dari minyak, tidak ada kerutan sama sekali. Dan yang selalu kurasakan tiap bertemu dengannya adalah wangi. Dia sangat wangi, entah parfum apa yang dipakainya. Dharma menjadi staff HRD berselisih dua tahun dengan kedatanganku. Entah sejak kapan tiba-tiba orang-orang kantor sibuk dengan perjodohanku dengan Dharma. Mungkin karena aku tidak pernah membicarakannya secara khusus dengan Dharma tentang kelakuan teman-teman kantor, jadinya dia pun merasa tidak ada masalah dengan semua itu. Padahal bagiku, itu jelas sekali suatu masalah. Namun tidak harus menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Sudah hampir pukul setengah sebelas malam saat motor Mada masuk ke dalam rumah. Ibu bapak segera membantuku menurunkan oleh-oleh yang kubeli.
“Banyak sekali, Nay?
“Iya tuh pak sopirnya juga malak,” jawabku merengut.
“Malak apaan... cuman minta martabak dan kelengkeng doang,,,
“Huuu...
kuselonjorkan kakiku. Panas. Capek juga ternyata. Kuingat-ingat apalagi yang harus kusiapkan untuk keberangkatanku ke Bumiaji.
“Ibu jadi buat apa tadi buat Shina?
“Hmm.. Anu,,, Wajik, Nduk, Shina dulu suka itu kan? Seklian buat nak Jagad.
“Hahh...
“Kenapa, Nay?
“Kok semua perhatian banget dengan Jagad?,” ujarku kembali merengut.
“Kan kalian berteman, masa’ Shina dibuatkan Jagad tidak, kan tidak adil itu namanya,,,
“Tapi kan dia... Ah, sudahlah. Capek!