13.33, Hari yang sama...
Aku sudah membereskan pengajuan ijinku hari ini. Tinggal menunggu rekomendasi keluar dari bagian HRD. Aku kembali memutar badanku kiri kanan untuk melenturkan kembali otot-ototku. Aku kembali menghitung kemungkinan keberangkatanku. Jika aku berangkat hari Sabtu, maka mungkin aku bisa di sana hingga minggu depannya. Tapi serumah dengan Jagad dalam waktu yang lama? Ah, aku tidak akan bisa sepertinya. Pasti akan ada keributan yang tak terhindarkan. Hhfff...
Jagad Nawwaf.
Aku pertama kali melihatnya saat menjadi anak polos kampusku dulu. Dia memang seniorku, namun sama sekali tidak kutau kalo dia senior. Entahlah, mungkin karena dia memang lebih senang bersama anak-anak polos sepertiku. Yang baru melihat gedung besar, orang-orang berdasi ataupun anak-anak mahasiswa yang sebagiannya sok jadi orang pintar. Hah, aku lupa berapa kali aku mendapat hukuman gara-gara kebandelanku melawan senior-senior itu. Bahkan beberapa senior perempuan membenciku, aku tau itu. Sering kalinya mereka membicarakanku di belakang atau menyindirku.
Aih... mereka hanya belum tau siapa Naya.
“Tidak bosen dihukum-hukum terus?,” aku tak melihat kedatangannya, namun tiba-tiba aku mendengar suaranya. Jagad.
“Bosen siy, mas, tapi ya mau gimana lagi. Semua sok jadi petinggi. Hahaha,” aku seperti lupa kalo Jagad juga seniorku dan lupa kalo ini pertama kalinya kami berbincang. Jagad ikut tertawa dengan kataku.
“Kamu yang sabar saja, yang kuat,” katanya kemudian. Aku sudah tidak begitu memperhatikan kalimatnya selanjutnya karena aku sudah sibuk dengan bawaanku yang segudang. Namun yang aku tau selanjutnya, Jagad menjadi orang yang sering kali mendatangiku untuk menanyakan keadaanku setelah aku mendapat hukuman. Dia juga menasehatiku, memberitahuku tentang beberapa hal.
“Yahh... dimana-mana senior memang begitu. Aku sudah tau itu, mas. Jadi tidak kaget lagi. Paling juga balas dendam. Hihihihihi,” kataku. Jagad tertawa. Kerudung putihku tertiup angin yang menggoda kecerewetanku. Kuakui aku memang orang yang tidak begitu peduli dengan sesuatu yang itu berbeda denganku. Aku keras kepala dan suka ngeyelan. Bahkan saat terpojok pun aku masih mencoba untuk bisa bertahan dengan apa yang kuyakini.
Selepas itu semua, memang akhirnya aku bisa akrab dengan Jagad. Awalnya aku memang selalu memanggilnya dengan “mas”, tapi dia sendiri yang kemudian memintaku memanggilnya hanya dnegan Jagad. “Biar lebih akrab,” katanya. “Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena juga padaku.
Jagad Nawwaf.
Hampir sepuluh tahun sejak itu hingga saat ini aku mengenalnya. Mengenali sisi baiknya. Menerima sisi buruknya. Aku mengenalnya sebagai anak laki-laki dari tiga bersaudara perempuan. Ibunya seorang guru sekolah dasar dan bapaknya juga guru. Seorang adiknya kini telah kuliah di UIN Malang dan seorang lagi sedang menyelesaikan tugas akhirnya di STAN. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali sifatnya yang tegas.
Meskipun berteman akrab, bukan berarti dimana ada Jagad, di situ ada Naya. Meskipun juga hampir semua orang mengatakan kami menjalin suatu hubungan, namun satu pun tak kami tanggapi.
“Bukankah itu fitnah untuk kalian?,” Asri, kawan berkerudungku mendekatiku suatu siang. Angin siang itu menerbangkan kerudung coklat susu yang kupadu dengan baju muslimah coklatku.
“Tapi antara aku dan dia benar-benar tidak ada apa-apa, As,” jawabku. Aku menyenderkan tubuhku pada tiang kampusku. Asri duduk menyebelahiku.
“Memang. Kalian yang tau semua yang terjadi diantara kalian berdua. Tapi wajar kan jika banyak orang menganggap kedekatan kalian itu bermakna lain? Bukankah dimana-mana persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang tulus?,” gadis berjilbab agak lebar di sampingku ini menyedot sisa es jeruknya. “Hm Naya, sebenarnya seberapa dekat kalian?
Aku melongo. “Dekat apaan? Plis dee... ya biasa saja. Hanya saja mungkin kami akrab satu sama lain. Lagi pula ada Shina diantara kami. Aku dan dia juga tak pernah jalan berdua. Juga tak penah boncengan. Juga tak pernah saling sentuh. Hah, orang-orang ini memang terlalu parno.
“Hihihihi. Ya udah, aku percaya sama kamu kok, Nay. Tapi saranku, ada baiknya juga kamu jaga hubunganmu. Biar terjaga juga ajaran anak-anak berjilbab rapi kayak kamu niy. Jangan sampe’ stigma berjilbab rapi tapi gak karusan kelakuannya menjadi hal biasa. Top gak?
“Hahahaha, beres dah... Insya Allah. Jagad juga bukan orang yang tidak paham dengan prinsipku kok. Itulah kenapa kita gak pernah jalan berdua. Selalu ada Shina diantara kami. Dan satu lagi, kami bertiga bersaudara. Tidak ada persaudaraan yang kukenali lebih dari aku mengenali Shina dan Jagad. Ibuku ibu Shina juga, bapakku juga menjadi bapak Jagad, ibu Jagad juga menjadi ibuku dan bapaknya Jagad juga menjadi bapaknya Shina.
Mataku seperti berair saat mengatakan itu. Asri menepuk-nepuk pundakku pelan dan merangkulku. “Sssttt... Jujur, aku cemburu. Hihihihihi.
Dari kejauhan, kulihat sosok yang sangat kukenali. Tertatih-taih menuju tempatku duduk. Asri segera berdiri dan mela mbaikan tangannya semangat.