Rabu, 01 Februari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 8)


Mataku sebenarnya masih sangat enggan terbuka. Kepalaku juga masih terasa berat. Namun saat kurasakan sentuhan itu bukan sentuhan ibuku, aku seperti mempunyai kekuatan lebih untuk membuka mata.
“Ndaa...
Dia membantuku menegakkan tubuhku. Dia menatapku dalam mata elangnya. Tanpa kata. Hanya menatap.
“Bolehkah aku peluk ‘Nda Raya?,” kataku takut-takut. “Aku kangen...
dia masih diam. Kemudian melepaskan tatapnya dan mengangsurkan tubuhnya untuk kupeluk. Aku menangis lagi kini, padahal tadi aku sudah berjanji untuk tidak menangis.
“Maafkan aku ya, bid... Maaf...
aku menggeleng dalam peluknya. Tak ada kata yang bisa kuucapkan selain dua bahasa tubuh itu : menggeleng dan mengangguk. Sambil terus memeluknya erat-erat.
Aku tidak ingin bertanya ‘Nda Raya kemana tadi. Aku tidak ingin bertanya apapun saat ini. Aku hanya ingin merasakan lega dan bahagiaku karna kudapatinya lagi saat ini. Dan sebenarnya memang dia pun tak banyak kata padaku. Hanya bahasa tubuhnya yang kemudian selalu berarti dia sangat sayang padaku. Dia merapikan kembali selimutku dan membelai-belai dedek sampai akhirnya aku pun terlelap.
Aku terlupa satu hal : malam ini harusnya dia memberi keputusan itu.
***
Aku tetap tak berani bertanya apapun padanya. Kubiarkan dia dengan dunianya sendiri –seperti kata ibuku- meski sebenarnya aku sangat ingin segera dapat berbincang dan bercanda dengannya lagi.
Dia masih lelap hingga lepas subuh. Setelah subuh dia lelap kembali. Aku menungguinya lelap. Kupandangi wajahnya yang terlelap lelah.
“He bid... dari tadi?
Aku hanya tersenyum. Ingin sekali kukatakan aku disini sejak ‘Nda Raya terlelap setelah subuh tadi. Tapi kalimatku sengaja tak kukeluarkan.
“Capek banget ya ‘Nda?
Dia tersenyum. Membenamkan wajahnya pada guling dan memunculkannya kembali kemudian.
“Iya bid, capek... Kerjaan numpuk banget. Aku harus menyelesaikan semua sebelum deadline. Biar makin dapat nabung yang banyak buat abid dan dedek,” katanya.
“Buat kita, ‘Nda...,” ralatku. Dia kembali tersenyum.
“Iya, buat kita...
‘Nda Raya kemudian menemaniku bersandar di tempat tidur ini. Kebekuan memang sangat terasa seolah-olah kami tidak sangat lama tidak bertemu dan masih malu-malu untuk berbicara. ‘Nda Raya diam dan akupun juga diam. Tanpa kata, tanpa suara.
“Bid...
Aku menoleh. Pun dia. Menoleh ke arahku sebentar dan kemudian kembali pada tatapannya sendiri. Aku masih tetap menatap samping wajahnya.
“Abid gak pengen tanya kemana aku semalam?,” katanya kemudian. Dia kembali menolah arahku. Aku tak tau harus berekspresi seperti apa selain menatapnya.
“Aku juga tidak tau kemana aku semalam, bid,” katanya lagi sambil tersenyum. Kini ‘Nda Raya menatapku utuh. Memasukkan aku dalam binar matanya. Aku masih menatapnya, mencoba memasuki dunianya dengan matanya. Matanya kini memang meredup. Binarnya redup.
“Aku tidak tau kenapa aku semalam sangat ingin sendiri. Tidak ingin diganggu, tidak ingin disapa. Tapi aku sadar aku membuatmu dan ibu khawatir. Aku tau abid pasti nangis. Entahlah...,” katanya kemudian. Matanya masih tetap menatap dalam padaku. “Tapi aku tidak kemana-mana, bid... Aku hanya berjalan saja di sepanjang taman dan kemudian berhenti di masjid. Pikiranku seperti penuh dengan rasa takut, khawatir, entahlah apalagi rasanya. Bayangan abid bergantian dengan dedek. Aku membayangkan abid yang lelah mengandung dedek, abid juga masih sakit. Kenapa semua hanya ada pada abid?
Aku menggenggam erat tangannya.
“Aku juga pengen bisa ajak abid kemanapun abid mau. Aku pengen memberikan segenap yang terbaik yang kumiliki selama aku mampu. Tapi aku takut aku juga salah memutuskan itu. Aku takut ini juga bukan yang terbaik untuk abid. Maafkan aku ya bid...
Aku hanya diam. Tak tau apa yang harus kulakukan selain semakin erat menggenggam tangannya. Benar kata ibuku, aku cengeng. Sangat mudah menangis untuk semua hal.
“Makasih ya, ‘Nda. ‘Nda Raya dah ada buat aku, ‘Nda Raya dah jaga aku dan dedek dengan sempurna. Aku tidak tau bagaimana aku dan dedek jika tidak ada ‘Nda Raya. Jangan tinggalkan aku...
Kalimat terakhirku tertelan sedak.
“Bid bid, aku pengen kasih tau sesuatu buat abid. Mau ga?
Aku hanya menatap kosong.
“Senyum dulu dong sayang... Aku yakin abid pasti seneng. Aku yakin abid pasti akan makin nangis dan memelukku erat. Aku yakin abid akan menciumku,” katanya. Matanya dikedip-kedipkan.
“Genit!
“Kan gak papa genit pada istri sendiri. Iya kan?
Aku tertawa. “Ayo bilang ada apa. Cepetan...
“Baiklah... kemarikan tangan abid,” katanya sambil membuka kedua belah tangannya. Aku meletakkan kedua tanganku di atasnya hingga akhirnya kami dapat saling bergenggaman.
“Sore ini kita berangkat ke kampung,” katanya tenang. Sangat tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah dia tidak sedang melakukan sesuatu yang sangat besar.
Aku hanya merengut. Kemudian mengendurkan tanganku. Tapi dia menahannya.
“Gak percaya kan?,” katanya. Aku mengangguk. “Kalo beneran gimana?
Wajahnya masih tetep datar. Tanpa ekspresi. Tenang.
Aku menggeleng. ‘Nda Raya erat menggenggam tanganku yang kini mulai basah. Aku berharap ‘Nda Raya memang sedang tidak bercanda karna itu memang sangat tidak lucu malah melukaiku. Tapi aku juga tidak berani berharap itu adalah sebenarnya karna ‘Nda Raya sama sekali tidak menampakkan bahagia saat mengatakannya.
“Abid dah mulai gusar kan?

FOR THE PLEASURE SEEKER

ARE YOU ?!

Tadi awalnya saya ga gitu peduli dengan maksud kalimat dari iklan es krim ini. Es krim batangan paling mahal dari Wall's. Hanya barusan tadi pagi saja baru merhatikan bener maksudnya. For pleasure seeker. Baru saya mikir, gitu ye... 

Pleasure seeker itu saya artikan pencari kenyamanan. Semoga artian saya tidak salah kaprah ya :D. Dan saya termasuk yang tidak setuju dengan kenyamanan, meski bukan berarti harus selalu melawan arah. Kenyamanan itu kadang tidak mengembangkan diri menjadi lebih hebat, karena sudah terlanjur nyaman pada satu tempat saja. 

Kenapa bisa begitu?