Naya tak mengindahkan kepergian Jagad. “Nay, aku mengenali kemarahan dan kekecewaanmu, tapi aku pun berdoa suatu hari –entah kapan- kamu akan menjawab dengan pasti pertanyaanku tadi,” ujar Jagad tanpa membalikkan tubuhnya di depan pintu. Dia seolah-olah juga memberitahukan pada alam sekitarnya bahwa ia bersungguh menunggu jawaban Naya.
Dan lagi-lagi Naya tak mengubah posisi duduknya juga tak seidkitpun menengok kea rah Jagad. Dia tetap asyik dengan coklat panasnya yang kini mulai menjadi hangat. Bahkan dia juga tidak bereaksi banyak saat sudah mendengar langkah Jagad menjauh beberapa langkah dari rumah mungil Shina. Pertanyaan tentang siapa pemilik rumah ini masih disimpan Naya dalam hatinya. Shina memang bekerja di sekitar daerah Batu selepas kuliahnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Malang untuk meneruskan usaha kebun apel neneknya. Ibu bapak Shina telah meninggal dalam kecelakaan saat Shina masih berusia tujuh tahun. Dan kemudian Shina diasuh budhenya hingga tiba saatnya ia bisa mengelola kebun apel peninggalan neneknya yang menjadi hak waris ibunya.
Saat itu mereka hendak menghabiskan malam minggunya di daerah Payung yang terkenal dengan jagung bakar dan makanan-makanan panas lainnya seperti ikan bakar, ayam bakar, dan sebagainya. Perjalanan dari Malang sudah dilakukan sejak pukul empat sore. Itu artinya paling lama dua jam mereka akan sampai di daerah Payung. Dan tentu saja, waktu itu akan sedikit memanjang karena harus berbelok dulu menunaikan shalat Maghrib.
Shina berada di kursi belakang saat itu. Sementara ibunya berada di samping ayahnya yang mengemudi. Ada dua sepupu yang turut dalam mobil itu. Perlahan charry warisan kakeknya itu menyusuri jalan-jalan kota Malang dan Batu dengan santai. Di dalamnya terdengar gelak tawa yang tak habis-habis. Semakin ke arah barat, gelap semakin menggelayuti. Apalagi mendung sudah berarak sedari siang. Shina pun terlampau bahagia dengan “acara malam mingguan” bersama ayah, ibu dan dua sepupunya ini. Mereka bukan berasal dari keluarga berada hingga kesempatan menghabiskan malam minggu di luar rumah dan beramai-ramai adalah suatu hal yang sangat menarik dan ditunggu oleh semua. Terlebih Shina menjadi tunggal dalam keluarga itu. Ibunya sempat mengandung untuk yang kedua kalinya, namun ibunya mengalami keguguran karena terpeleset saat menuju ruang pembersihan bunga di belakang rumahnya. Darah yang mengental dan rasa sakit yang luar biasa membuat Mirna, ibu Shina sama sekali pasrah dengan yang terjadi. Terlebih tidak ada orang lain di rumah itu selain dirinya. Bapak Shina bekerja di pabrik kertas di kota Mojokerto.
“Pak, nanti mampir dulu di pinggir jalan yang ada apel gedhenya yak,” Shina kecil berteriak dari jok belakangnya. “Shina mau foto di bawah apel gedhe itu, pak. Sekalian sama-sama ibu bapak yak, kan dah lama juga kita gak foto bareng,” lanjut Shina. Bapaknya hanya tertawa kecil mendengarnya
“Arep dipake untuk apa foto-foto itu, Shina? Shina mau pamerkan pada teman-teman sekolah tho?,” tanya ibunya. Shina hanya tertawa menjawab pertanyaan ibunya.
“Lha iyo kudu pamer, bu’. Kan artinya kita pernah malam mingguan di sekitar apel gedhe itu. Hihihihihi,” Shina kemudian mulai asyik mengatur kira-kira gaya apa yang nanti akan dilakukan olehnya, ibu, bapak dan dua sepupunya. Mendengar coleteh ketiga anak kecil belum genap sepuluh tahun itu, kedua orang tua itu hanya terkekeh dan tergelak-gelak.
“Pokoknya nanti kita harus foto dan tersenyum lebar di bawah apel gedhe itu. Buat kenang-kenangan,” pungkas Shina. “Iya, iya Shin… nanti kita foto sepuasnya. Sebanyak yang Shina mau,” sahut bapaknya.
Charry warisan itu semakin membelah arah barat kota Malang. Beberapa kali saat melewati gedung-gedung besar Shina bertanya dengan semangatnya. “Aku nanti akan sekolah di situ juga. Hehehehe,” seru Shina saat melewati bagian belakang gedung Universitas Brawijaya. Saat melewati pasar Dinoyo pun anak-anak itu bercoleteh macam-macam. Mira, sepupu Shina yang berusia lebih muda mengatakan pernah beberapa kali ikut ibunya masuk ke pasar itu.
“Pasare jorok, mbak,” kata Mira. “Baunya kuwi lho, wah ke hidung rasane perih,” cerita Mira semangat.
“Lha kalo ngerti ngono, lha yo tutup hidung tho?
“He eh. Aku tutup idung terus, tapi sama ibu gak boleh terus gitu. Katanya gak sopan, nanti dikira wong sugih yang gak pernah masuk pasar. Jadinya ya sambil negmpet-ngempet sithik aku bisa masuk pasar itu. Toh akhirnya aku juga dibelikan jajanan sama ibu,” kisah Mira lagi. Mereka kini telah melewati ruas-ruas jalan menuju daerah Sengkaling. Disana kembali anak-anak itu girang bukan maen melewati Universitas Muhammadiyah Malang yang memang indah untuk dilihat. Apalagi untuk anak-anak yang bersekolah di pelosok seperti mereka dan jarang melihat gedung-gedung besar dan bagus.
“Aku sekolah disini saja nanti kalo besar. Lebih gedhe bangunannya,” seru Awan, sepupu tertua Shina.
“Lha apa uangmu banyak, Wan? Kalo sekolahanmu gedhe, berarti kudu bayar mahal juga,” potong Shina.
“Bener ngoten tho, bulik?,” Awan mengalihkan pertanyaan pada ibu Shina. Ibu Shina adalah adik dari ibunya Awan. Dan Mira adalah sepupu terkecil karena bapaknya adalah bungsu dalam keluarga bu Mirna, ibu Shina. Sedangkan keluarga pak Imam, bapak Shina semua ada di Surabaya.
“Ya gak mesti kayak gitu, Le. Kalo kamu pinter mungkin bisa masuk gratisan ke sekolah itu. Makanya kamu yang rajin belajar, terus dapat ranking. Pokoke dimana-mana bocah pinter itu mesti akeh yang milih dan suka,” ujar ibu Shina. Matanya bergantian menyapu wajah anak-anak kecil itu. “Kamu juga bisa sekolah disitu, Mir. Pokoknya kalian belajar saja yang rajin, urusan uang sudah ada yang ngurus. Kalian gak perlu sibuk mikir uang.