Selasa, 21 Februari 2012

Perjalanan Cinta (Part 2)


Naya tak mengindahkan kepergian Jagad. “Nay, aku mengenali kemarahan dan kekecewaanmu, tapi aku pun berdoa suatu hari –entah kapan- kamu akan menjawab dengan pasti pertanyaanku tadi,” ujar Jagad tanpa membalikkan tubuhnya di depan pintu. Dia seolah-olah juga memberitahukan pada alam sekitarnya bahwa ia bersungguh menunggu jawaban Naya.
            Dan lagi-lagi Naya tak mengubah posisi duduknya juga tak seidkitpun menengok kea rah Jagad. Dia tetap asyik dengan coklat panasnya yang kini mulai menjadi hangat. Bahkan dia juga tidak bereaksi banyak saat sudah mendengar langkah Jagad menjauh beberapa langkah dari rumah mungil Shina. Pertanyaan tentang siapa pemilik rumah ini masih disimpan Naya dalam hatinya. Shina memang bekerja di sekitar daerah Batu selepas kuliahnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Malang untuk meneruskan usaha kebun apel neneknya. Ibu bapak Shina telah meninggal dalam kecelakaan saat Shina masih berusia tujuh tahun. Dan kemudian Shina diasuh budhenya hingga tiba saatnya ia bisa mengelola kebun apel peninggalan neneknya yang menjadi hak waris ibunya.
Saat itu mereka hendak menghabiskan malam minggunya di daerah Payung yang terkenal dengan jagung bakar dan makanan-makanan  panas lainnya seperti ikan bakar, ayam bakar, dan sebagainya. Perjalanan dari Malang sudah dilakukan sejak pukul empat sore. Itu artinya paling lama dua jam mereka akan sampai di daerah Payung. Dan tentu saja, waktu itu akan sedikit memanjang karena harus berbelok dulu menunaikan shalat Maghrib.
            Shina berada di kursi belakang saat itu. Sementara ibunya berada di samping ayahnya yang mengemudi. Ada dua sepupu yang turut dalam mobil itu. Perlahan charry warisan kakeknya itu menyusuri jalan-jalan kota Malang dan Batu dengan santai. Di dalamnya terdengar gelak tawa yang tak habis-habis. Semakin ke arah barat, gelap semakin menggelayuti. Apalagi mendung sudah berarak sedari siang. Shina pun terlampau bahagia dengan “acara malam mingguan” bersama ayah, ibu dan dua sepupunya ini. Mereka bukan berasal dari keluarga berada hingga kesempatan menghabiskan malam minggu di luar rumah dan beramai-ramai adalah suatu hal yang sangat menarik dan ditunggu oleh semua. Terlebih Shina menjadi tunggal dalam keluarga itu. Ibunya sempat mengandung untuk yang kedua kalinya, namun ibunya mengalami keguguran karena terpeleset saat menuju ruang pembersihan bunga di belakang rumahnya. Darah yang mengental dan rasa sakit yang luar biasa membuat Mirna, ibu Shina sama sekali pasrah dengan yang terjadi. Terlebih tidak ada orang lain di rumah itu selain dirinya. Bapak Shina bekerja di pabrik kertas di kota Mojokerto.
            “Pak, nanti mampir dulu di pinggir jalan yang ada apel gedhenya yak,” Shina kecil berteriak dari jok belakangnya. “Shina mau foto di bawah apel gedhe itu, pak. Sekalian sama-sama ibu bapak yak, kan dah lama juga kita gak foto bareng,” lanjut Shina. Bapaknya hanya tertawa kecil mendengarnya
            “Arep dipake untuk apa foto-foto itu, Shina? Shina mau pamerkan pada teman-teman sekolah tho?,” tanya ibunya. Shina hanya tertawa menjawab pertanyaan ibunya.
            “Lha iyo kudu pamer, bu’. Kan artinya kita pernah malam mingguan di sekitar apel gedhe itu. Hihihihihi,” Shina kemudian mulai asyik mengatur kira-kira gaya apa yang nanti akan dilakukan olehnya, ibu, bapak dan dua sepupunya. Mendengar coleteh ketiga anak kecil belum genap sepuluh tahun itu, kedua orang tua itu hanya terkekeh dan tergelak-gelak.
            “Pokoknya nanti kita harus foto dan tersenyum lebar di bawah apel gedhe itu. Buat kenang-kenangan,” pungkas Shina. “Iya, iya Shin… nanti kita foto sepuasnya. Sebanyak yang Shina mau,” sahut bapaknya.
            Charry warisan itu semakin membelah arah barat kota Malang. Beberapa kali saat melewati gedung-gedung besar Shina bertanya dengan semangatnya. “Aku nanti akan sekolah di situ juga. Hehehehe,” seru Shina saat melewati bagian belakang gedung Universitas Brawijaya. Saat melewati pasar Dinoyo pun anak-anak itu bercoleteh macam-macam. Mira, sepupu Shina yang berusia lebih muda mengatakan pernah beberapa kali ikut ibunya masuk ke pasar itu.
            “Pasare jorok, mbak,” kata Mira. “Baunya kuwi lho, wah ke hidung rasane perih,” cerita Mira semangat.
            “Lha kalo ngerti ngono, lha yo tutup hidung tho?
            “He eh. Aku tutup idung terus, tapi sama ibu gak boleh terus gitu. Katanya gak sopan, nanti dikira wong sugih yang gak pernah masuk pasar. Jadinya ya sambil negmpet-ngempet sithik aku bisa masuk pasar itu. Toh akhirnya aku juga dibelikan jajanan sama ibu,” kisah Mira lagi. Mereka kini telah melewati ruas-ruas jalan menuju daerah Sengkaling. Disana kembali anak-anak itu girang bukan maen melewati Universitas Muhammadiyah Malang yang memang indah untuk dilihat. Apalagi untuk anak-anak yang bersekolah di pelosok seperti mereka dan jarang melihat gedung-gedung besar dan bagus.
            “Aku sekolah disini saja nanti kalo besar. Lebih gedhe bangunannya,” seru Awan, sepupu tertua Shina.
“Lha apa uangmu banyak, Wan? Kalo sekolahanmu gedhe, berarti kudu bayar mahal juga,” potong Shina.
            “Bener ngoten tho, bulik?,” Awan mengalihkan pertanyaan pada ibu Shina. Ibu Shina adalah adik dari ibunya Awan. Dan Mira adalah sepupu terkecil karena bapaknya adalah bungsu dalam keluarga bu Mirna, ibu Shina. Sedangkan keluarga pak Imam, bapak Shina semua ada di Surabaya.
            “Ya gak mesti kayak gitu, Le. Kalo kamu pinter mungkin bisa masuk gratisan ke sekolah itu. Makanya kamu yang rajin belajar, terus dapat ranking. Pokoke dimana-mana bocah pinter itu mesti akeh yang milih dan suka,” ujar ibu Shina. Matanya bergantian menyapu wajah anak-anak kecil itu. “Kamu juga bisa sekolah disitu, Mir. Pokoknya kalian belajar saja yang rajin, urusan uang sudah ada yang ngurus. Kalian gak perlu sibuk mikir uang.
           
“Iya bener itu. Pesen paklik juga sama buatmu, Wan. Buar Mira juga. Shina juga sama. Semua kudu belajar. Jadi nanti kalo sewaktu-waktu wis gedhe bisa mandiri. Apalagi kalau ternyata orang tua kalian tidak bisa menemani kalian hingga kalian dewasa. Kudu dilatih tho biar dewasa. Nah, latihannya sejak kalian kecil begini. Kudu belajar rajin,” suasana tiba-tiba begitu memucat pasi. Ada kalimat pak Imam yang membuat ketiga anak itu terdiam, entah terdiam karena mengerti ataukah karena takut dengan kata-kata pak Imam. Ibu Shina juga begitu, seperti terkesiap dengan kalimat suaminya sendiri.
            “Ah wis gak usah dipikir. Yang penting sekarang kita seneng-seneng. Yang penting nanti kita foto-foto di bawah apel gedhe di daerah Panderman. Dan yang paling penting, nanti kita makan-makan di Payung. Sip kan?,” cerdas ibu Shina membuat suasana kembali girang. Tawa anak-anak itu kembali terdengar. Gema suara hore seperti menjadi penanda kegembiraan mereka. Perlahan mobil itu mulai memasuki kawasan pasar Batu. Dingin yang menusuk mulai menyapa mereka. Tapi anak-anak itu seolah tidak peduli, mereka tetap saja sesekali mengeluarkan tangan kecilnya untuk menangkap udara dingin di sekitarnya. Juga mengeluarkan kepalanya untuk menerbangkan rambut-rambutnya. Dingin tak membuat anak-anak itu menghentikan keasyikan itu.
            Dingin benar-benar mulai memeluk erat kawasan Batu. Namun itu bukan sebuah hal aneh bagi rombongan charry tua itu, karena mereka memang berasal dari kota Malang yang juga sering terkena hawa-hawa dingin meski tidak sedingin Batu. Tibalah mereka di kawasan yang sejak tadi dibicarakan Shina. Kawasan apel gedhe, begitu Shina menyebutnya. Mereka berebut keluar dari mobil kecil itu dan mulai menata pose mereka masing-masing. Belum lagi kamera itu disiapkan, anak-anak kecil itu sudah ribut bukan kepalang.
            “Kamu disana, Mir, nanti mas Awan di depan. Aku di belakang sambil pegang bunga yo,” Shina yang paling antusias berulang kali memberi instruksi pose kepada kedua sepupunya. Mereka juga berandai-andai apel besar itu benar-benar apel, dan bukan sekedar patung apel. “Pasti gak abis-abis dimakan ya. Hihihihi,” komentar Awan. “Nanti kalo kita sudah gedhe, ayo dolan ke Panderman itu, Shin,” ujar Awan kemudian. “Katanya disana uadhem banget, tapi indah. Rrrhhhhh…
            Dan benar adanya. Beberapa menit kemudian anak-anak itu berebut untuk menjadi bintang iklan apel gedhe itu. Tawa mereka terasa sangat lepas saat itu meski temaram malam sudah mulai turun menjemput. Sinar di seberang barat pun sudah tak nampak berwarna emas lagi, namun benar-benar telah mulai naik tergantikan oleh redupnya bulan. Ruas-ruas jalan semakin ramai oleh lampu-lampu penerang jalan. Tidak ada lagi cahaya selain bulan yang redup itu dan lampu-lampu penerang jalan dan kendaraan bermotor yang melewati jalan itu.
            Rombongan malam mingguan itu kemudian mampir di sebuah mushola kecil untuk menunaikan shalat maghrib. Berselang sekitar 15 menit, charry pengangkut rombongan malam mingguan itu kembali melaju pelan menuju kawasan Payung. Sudah mulai terlihat lampu-lampu kecil dari kejauhan. Lampu-lampu kecil itulah kota Malang yang berada lebih rendah dari Batu. Terlihat sangat indah. Seperti bintang-bintang yang bertaburan namun bukan bertaburan di langit. Berulang kali Shina kecil dan dua sepupunya berdecak kagum dengan keindahan yang terlihat oleh mata kecil mereka.
            Payung, oleh sebagian besar orang dikatakan sebagai kawasan Puncak-nya Malang. Suhu yang dingin dan suasana malam yang pekat membuat Payung menjadi kawasan yang tepat untuk menyajikan makanan dan minuman panas. Karna hanya berselang beberapa menit, jika tidak segera disantap makanan dan minuman itu pasti akan dingin dan tidak enak lagi untuk dinikmati. Disini akan banyak pula ditemui pasangan muda mudi yang menghabiskan malam bersama atau sekedar membeli minuman panas dan berlama-lama numpang pacaran di tenda-tenda penjual makanan. Sebenarnya bukan tenda, namun seperti warung-warung yang dibuat dari kayu atau bamboo. Karena memang kawasan ini berbatasan langsung dengan jurang, maka sebagian besar warung mempunyai tiang penyangga yang kuat. Di sini pula hamparan lukisan malam Malang tergambar demikian indah. Ah, seperti melihat seluruh kota Malang dalam satu titik. Begitu indah!
            “Kalian boleh makan dan minum apa saja,” seru pak Imam pada anak-anak kecil itu. Binar mata kecil mereka menambah kebahagiaan yang tak habis-habis. Segera saja, Shina, Mira dan Awan memesan makanan yang mereka bincangkan sejak dalam perjalanan tadi.
            “Aku ayam bakar, paklik!,” seru Awan girang. “Minumnya… ummppp… Minumnya susu coklat boleh, paklik?,” tanyanya meminta ijin. Setelah yakin pakliknya mengangguk, Awan segera melebarkan senyum. Puas.
            “Shina mau pesan apa, nduk?
            “Humppp… apa ya?,” garukan di kepala dan bibirnya yang mengerucut menandakan Shina masih bingung dengan pilihan makanan dan minuman di daftar menu itu.
            “Kamu duluan saja, Mir, sini pesan apa. Biar budhe tulis sekalian. Ini ada ayam bakar, ayam goreng, ikan bakar, mie rebus. Kamu pilih apa, nduk?,” ekspresi Mira tidak jauh beda dengan SHina. Dia hanya mesam-mesem menanggapi pertanyaan budhenya.
            “Aku sama kayak mas Awan saja, budhe,” seru Mira akhirnya.
            “Hm…,” ibu Shina menggumam dan menuliskan makanan yang dipesan Mira. “Minumnya sama juga ta?,” dan Mira pun mengangguk.
            “Sekarang tinggal Shina. Ayo, Shin, kamu pesen apa?
            “Bu’e, aku boleh pesen ikan bakar saja kan? Aku pengen ikan bakar,” ujar Shina meminta persetujuan.
            “Tapi kudu makan yang banyak ya…
            “Siap, pak!
            “Mau minum apa?
            “Ummpp… kopi susu!
            “Walahh… anak bapak gayanya mau minum kopi susu,” kelakar pak Imam. Tangannya segera memeluk erat Shina dan mengangkat Shina ke pangkuannya.  Beberapa kali Shina diciumi oleh bapaknya. “Kamu kudu jadi anak pinter nanti, biar bapak dan ibu bangga. Jadi bisa sukses.
            Beberapa kali anak bapak itu tergelak bersama. Meningkahi semua kejadian dengan gelakan yang tak tentu arah. Semua seperti mengisyaratkan perpisahan. Karna memang selepas jamuan makanan hangat di Payung itu, dalam perjalanan kembali ke kota Malang, suasana gelap luar biasa membungkus jalan-jalan di sekitarnya. Keceriaan keluarga itu terhenti ketika sebongkah batu tak terlihat oleh mata membuat oleng charry tua itu. Dan semua seperti terjadi begitu cepat. Charry yang tak lagi seimbang itu semakin mepet ke bibir jurang. Yahh… kawasan Batu memang kawasan dataran tinggi dengan jurang yang masih cukup curam.
            Pak Imam memang bukan sopir yang mahir menguasa medan yang begitu menikung seperti di Batu ini. bahkan ia tidak menyadari jika mobil yang dibawanya terlalu minggir. Dan batu kecil itu seperti menjadi penentu akhir perjalanan gelap itu. Tidak terdengar teriakan nyaring dari luar, karna memang sepertinya teriakan itupun telah ditelan bulat-bulat oleh kecuraman jurang. Tentu saja tidak ada yang bisa mengetahui keadaan satu sama lain, meskipun sebenarnya di dalam mobil itu terdengar teriakan yang entah bermakna apa.
            Tidak ada pertolongan cepat malam itu. Tidak ada yang mengetahui pasti kapan para penyelamat itu mulai mengangkat dan menolong keluarga kecil itu. Tak satupun yang selamat. Pak Imam tentu saja menjadi korban yang paling mengenaskan. Tubuhnya tergencet dengan kemudinya sementara ibu Shina berada di sampingnya. Anak-anak itu, ahh… Awan harus mengubur impiannya untuk menjadi sarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Tentu saja begitu pun Mira. Dan Shina… dimana Shina? Apakah malaikat melewatkan satu nyawa anak kecil itu? Ataukah memang Tuhan sengaja mengulur waktu hidupnya?
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar