Selasa, 27 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 6)


Selepas Maghrib di Kediri...
            Aku sudah siap dengan helm dan jaket jalanku lagi.
            “Madaaaaa...
“Masih cari jaket mbaaaakkk...
“Cepetan! Ngerti malam gak siy kamu?
Mada hanya cengar cengir mendengar semprotanku. Segera setelah itu dia menyalakan Revo merahnya. “Silakan, dinda... hahahaha
PLAK!
“Hadoohhhh... Sudah minta tolong anterin, malah kayak gini. Gak ada apik-apike mbak Naya ki.
“Sudah jalaannnn...
Ibu menyarankan aku membeli bebrapa oleh-oleh yang dulu disukai Shina. Enting-enting jahe, kacang gula merah dan tentu saja kripik tahu, makanan khas kotaku. Dulu tiap kali Shina ikut aku mudik dari Malang, aku selalu mengajaknya jalan-jalan ke beberapa tempat yang ramai. Terkagang ke gunung paling mati di kotaku, gunung Klothok. Terkadang ke air terjun Sedudo di Nganjuk, terkadang juga ke air terujun di daerah Mojo, air terjun Dholo. Biasanya aku berangkat pagi-pagi biar sampai sana bisa masih tetep seger. Kawasan itu biasanya kalau menginajk siang pasti ramai dan tidak lagi enak dinikmati.
HP ku bergetar. Dharma Calling...
Dharma? Ada apa?
“Assalamu’alaikum, Dhar
Wa’alaikumsalam. Lagi di jalan?
“Éh iya, ini lagi mau ke Patimura cari oleh-oleh
“Oh buat kawanmu itu yah
“Kok tau? Siapa yang cerita?
“Lho... kamu tadi kan cerita dengan Pak Restu.
“Owh iya, dasar Naya pelupa. Ehmm... ada apa ya, tumben. Ada yang bisa saya bantu?
“Eh enggak, hmm... ada yang ingin saya bicarakan sedikit. Tapi mungkin besok juga tak apalah, sekarang masih jalan juga kamunya...
“Oh ya... baiklah.
“Naya.
“Iyah?
Dharma seperti menahan kalimatnya sendiri. “Ada apa, Dhar?
“Oh gak papa. Besok saja. Ati-ati yak
“Yup, insya Allah.
Dharma segera salam setelah itu. Aku pun segera memasukkan kembali HP ku ke dalam tas. “Mas Jagad ya, mbak?,” tiba-tiba Mada sudah ikut bicara.
“Jagad, Jagad apaan...
“yah siapa tau mas Jagad. Hahahaha.
“PLAK! Nyetir yang bener.
Hahahaha.
Hanya sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari rumah ke Patimura. Tentu saja dengan kecepatan di atas 60km/jam. Patimura menyediakan banyak sekali makanan khas kota kecilku ini. Di sini ada beberapa toko yang sepertinya semuanya milik etnis China yang menjual makanan khas Kediri, mulai tahu kuning, kripik tahu, telur asap, dan macam-macam lagi. Entahlah, kemana orang-orang pribumi. Mungkin mereka kalah inovatif dengan orang-orang etnis ini hingga hampir semua toko yang menjual makanan khas Kediri malahan yang menjual orang etnis. Bisa jadi karena tabiat orang pribumi yang merasa lebih enak menjadi pegawai daripada pemilik yah. Ah entahlah...
“Sudah? Ada lagi gak?,” Mada bertanya padaku sambil membantuku membawa oleh-oleh yang kubeli.”Buat mas Jagad juga sudah mbak?
O iya, Jagad. Tapi dibelikan apa? Penting ya?
“Aku tadi pesen kaos ke mas Jagad. Hehehehe
“Hah? Kaos?
“Hu uh. Kenapa?
“Kaos apaan, Mada...
“Kaos buat dipakai dunk, mbak. Dia bilang OK, kok.
“Hahh... kamu!
Mau tidak mau aku kembali lagi ke toko oleh-oleh itu. Membeli beberapa makanan tambahan untuk Jagad. Dia tidak begitu suka tahu, tapi doyan dengan kripik bekicot.
“Mbak Nay, mas Jagad tanya mbak Nay nitip apa ga?
Dan aku hanya menjawab pertanyaan Mada dengan pelototanku. Kejam. Dan lagi-lagi kudengar tawa Mada. Kenapa dia juga suka tertawa seperti yah, aneh... hahahaha. Mada memang tidak jauh beda sifatnya denganku. Suka sekali tertawa, kadang terlihat sangat polos, terkadang terlihat cemerlang, dia tinggi tapi kurus, berbeda dengan Jagad. Ah, kenapa Jagad lagi yang kusebut. Hff...
“Sudah semua. Ayuk balek...
“Siap, bos!
Mulailah rvo merah Mada melaju di sepanjang Jalan Patimura hingga Jalan HOS Cokroaminoto. Hanya sekali berhenti lagi karena Mada minta dibelikan Martabak Holand ala pinggir jalan. Yah... aku turuti saja karna dia sudah sangat baik menjadi sopir pribadiku malam ini. Andai tak ada Mada aku juga tidak tau kapan ada waktu untuk membeli oleh-oleh untuk Shina.
Sdh balek?
Dharma. Ada apa siy segitunya memburuku.
Blum. Msh mampir sebentar. Ada apa ya? Balasku cepat
Ah gpp, jgn terlalu malam pulangnya. Kwatir ada apa2 J
Hah? Sejak kapan Dharma berani seperti ini...
Iya, matur nuwun njih... balasku akhirnya.
Sami-sami... J
Dharma sangat mirip dengan Mada. Kurus, tinggi. Namun dia tidak bisa tertawa hahaha seperti Mada. Dia lebih cenderung seperti lelaki flamboyan yang selalu menjaga ekspresi wajahnya. Wajahnya bersih dari minyak, tidak ada kerutan sama sekali. Dan yang selalu kurasakan tiap bertemu dengannya adalah wangi. Dia sangat wangi, entah parfum apa yang dipakainya. Dharma menjadi staff HRD berselisih dua tahun dengan kedatanganku. Entah sejak kapan tiba-tiba orang-orang kantor sibuk dengan perjodohanku dengan Dharma. Mungkin karena aku tidak pernah membicarakannya secara khusus dengan Dharma tentang kelakuan teman-teman kantor, jadinya dia pun merasa tidak ada masalah dengan semua itu. Padahal bagiku, itu jelas sekali suatu masalah. Namun tidak harus menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Sudah hampir pukul setengah sebelas malam saat motor Mada masuk ke dalam rumah. Ibu bapak segera membantuku menurunkan oleh-oleh yang kubeli.
“Banyak sekali, Nay?
“Iya tuh pak sopirnya juga malak,” jawabku merengut.
“Malak apaan... cuman minta martabak dan kelengkeng doang,,,
“Huuu...
kuselonjorkan kakiku. Panas. Capek juga ternyata. Kuingat-ingat apalagi yang harus kusiapkan untuk keberangkatanku ke Bumiaji.
“Ibu jadi buat apa tadi buat Shina?
“Hmm.. Anu,,, Wajik, Nduk, Shina dulu suka itu kan? Seklian buat nak Jagad.
“Hahh...
“Kenapa, Nay?
“Kok semua perhatian banget dengan Jagad?,” ujarku kembali merengut.
“Kan kalian berteman, masa’ Shina dibuatkan Jagad tidak, kan tidak adil itu namanya,,,
“Tapi kan dia... Ah, sudahlah. Capek!


Pagi, dingin, sepi, di Bumiaji...
Kepulan asap beraroma nasi hangat segera menguasai alam bawah sadar Naya yang terlelap. Tubuhnya hanya memutar kanan kiri namun tak terlihat dia ingin segera bangkin untuk bangun. Yang terjadi malah sebaliknya, Naya menarik selimutnya tinggi-tinggi dan mengeratkan peluknya pada selimut tebal itu. Kepulan asap nasi itu kembali menyapa Naya. Hhhmmhhh,,, hanya itu yang terdengar. Nafasnya yang malas merespon aroma nasi itu. Tapi hanya beberapa detik kemudian dia tergeragap dan bergegas bangkit dari tudur malasnya seolah dia mengingat sesuatu,
“Shina!
Langkahnya cepat menuju arah aoma itu. Tanpa berbelok ke kamar Shina, dia langsung menuju dapur kecil Shina.
“Shinaaaa...
sepi. Tidak ada sahutan. Lalu siapa yang memasak?
Naya menghampiri kompor Shina yang  menyala dan mendapati sebuah panci penanank nasi yang mengepul. Apa mungkin Shina yang memasak lalu ditinggal tidur lagi? Ah, masa’ Shina bisa...
“Mbak Shina masih sare, mbak!
Hah!
Pias wajah Naya mendengar suara yang tiba-tiba hadir di pintu belakang. Nafasnya terdengar berlomba-lomba mengejar oksigen yang berlari menjauhd ari paru-parunya. Naya kaget luar biasa.
“Saya mbak Sum, yang biasa ngrencangi mbak Shina. Mbak ini mesti rencangipun mbak Shina ya? Kemaren mbak Shina berpesan untuk ke sini pagi-pagi agar bisa membuatkan sarapan buat teman mbak Shina. Makanya saya juga mruput berangkat ke sini, kebetulan saya juga sudah punya kunci rumah ini jadi ya saya bisa langsung msuk lewat belakang.
Naya masih tanpa reaksi. Jantungnya masih tidak menentu berdegup. Dag dag dag. Masih tidak teratur degupnya.
“Mbak masih kaget njih? Wahh... sepuntene njih, mbak. Biar saya buatkan teh panas ya,” mbak Sum kemudian mengambil segelas air dan dituangi air panas yang telah lebih dulu diberi gula dan teh celup. Cepat-cepat dia mengangsurkan pada Naya.
“Monggo, mbak... Diminum dulu.
Naya masih diam saja. Bukan karena kaget lagi sekarang, tapi karena rasa dingin luar biasa yang menyerang hingga sumsum tulangnya. Segera setelah mengucap terima kasih, Naya mengyeruput pelan-pelan air tehnya.
“Airnya dingin ya, mbak?
Mbak Sum hanya tersenyum mendengar pertanyaan Shina. “Biasanya untuk orang yang belum terbiasa dengan hawa disini, jarang yang berani menyentuh air. Dulu mbak Shina pertama kali pindah disini juga begitu, wudlu saja pake air hangat.
“Jadi dingin sekali ya, mbak?
“Tapi setelah itu hangat kok di tubuh, mbak. Mandi nanti atau sekarang sama saja, airnya tetap adhem, mbak. Mandi siang-siang juga tetap kerasa adhem.
Naya kembali mengeratkan jaketnya. Namun dia segera sadar harus menunaikan shalat subuh, jadi mau tidak mau dia harus melepaskan jaket dan mengambil wudlu segera. Sudah hampir pukul lima. Namun seperti masih tengah malam rasanya. Langkah malasnya segera sampai di mulut kamar mandi. Berulang kali Naya bergidik dan menggumam-gumam mengusir keidnginannya. Bahkan saat selesai wudlu dia berlari dari kamar mandi ke ruang utama lagi.
“BBbrrrrrrr... Adhem biiaangetttt...
terlihat bibirnya mengungu. Tangannya sibuk mengusap-usap satu sama lain, jaketnya juga telah rapat menutup kembali tubuh kecilnya. Berulang kali dia mengibas-ngibaskan langkahnya karena rasa dingin yang luas biasa. Kulit panasnya ternyata juga tidak mampu melawan hawa dingin kota ini.
“Gaaddd... Banguunnn...
tidak ada reaksi. Jagad seperti masih rapi tersimpan di dalam ruang mimpi berisolasi. “Gaaaddddd...,” teriakan Naya seperti hanya lalu di telinga Jagad. Naya juga tak berani membangunakn Jagad dnegan menggoyangkan tubuhnya, bagaimanapun jagad bukan apa-apanya. Tapi tadi sore dia menarikku...
DHAK!
Naya menendang sofa itu kuat-kuat dari belakang. Kemudian memukul-mukul sandarannya juga. Dhak dhuk dhak dhuk bunyi sofa itu berhasil membuat tubuh tidak sadar Jagad terbangun. Matanya mengerjab risih ke arah suara. Naya telah menjadi seperti monster di depan matanya. Benar-benar seperti monster yang tengah menunggu mangsanya terbangun dari lelapnya.
“Hhh... Jam berapa, Nay?
“Ampir setengah enem. Bangun gih...
“Hhhmmmm...
Malas Jagad memutar tubuhnya. Matanya kembali menengok Naya di belakang sandaran kursi begitu melihat sebuah cangkir berisi teh penas ada di depannya.
“Apaa...
“Kamu yang buat?
“Hah... Siapa kamu sampe-sampe aku kudu buatin teh panas? Penting ya menyambut kamu bangun dengan teh panas?
Jagad melenggang. “Shina dah bangun?
Naya menggeleng. “Kamu gak liat ke kamarnya?
Kembali Naya menggeleng. “Owh ya dah, aku kamar mandi dulu.
Naya membuka pintu rumah Shina. Matahari sudah sedikit mengintip di pojok timur, masih malu-malu. Mungkin matahari itu masih kelelahan karena semalam juga harus bekerja di belahan bumi yang lain. Hingga pagi ini, dia seperti malas menampakkan diri disini. Hanya sinar kuningnya saja yang menyemburat. Pucat.
Wuussshhhhh...
Tubuh Naya bereaksi cepat dengan sambutan angin itu. Namun demi melihat mbak Sum dan seorang lagi bapak-bapak sudah bermain dengan alam pagi disana, Naya juga turut penasaran untuk menantang dingin itu.
“Mbak Sum mau kemana?
Tergopoh mbak Sum mendatangi arah suara yang menanyainya. Di tangannya ada tas belanja yang masih kosong. Bapak itu tersenyum sekilas pada Naya dan naya pun demikian padanya.
“Saya mau belanja, mbak. Di sana,” ujar mbak Sum. Tangannya menunjuk ke suatu arah.
“Naek apa, mbak?
“Naek sepeda.
Mbak Sum mengangguk-angguk. “Mbak mau pesen sesuatu?
Aku hanya melongo. “Pesen apa ya, mbak... Obat anti dingin ada ga ya, mbak? Hahahaha
Mbak Sum mengiringi tawa Naya dengan semangat yang sama. “Saya mau cari lauk, mbak. Nasinya sudah siap di belakang, tinggal cari lauknya. Itu yang di depan pak Man, salah seorang pekerja mbak Shina. Pak Man dua hari sekali pasti ke sini, mbak, bantu saya membersihkan halaman. Kadang juga membantu mbak Shina turun.
Naya mengernyit.”Turun? Turun kemana?
“Turun ke kebun, mbak. Kan saya biasanya harus nyiapkan bebrapa hal, jadi Pak Man yang membantu mbak Shina turun melihat kebun-kebunnya,” jawab mbak Sum. Dan Naya hanya mengggumamkan suaranya.
“Mbak Sum, aku boleh ikut?
Mbak sum melongo. “Jauh, mbak...
“Kan ada sepeda. Aku bisa naek sepeda kok, mbak.
“Nanti mbak Shina...
“Enggak, tenang saja. Shina itu teman terbaik saya, dia tidak akan berani menegur mbak Sum kalo saya sendiri yang mau ikut mbak Sum,” aku berkata begitu sambil sibuk mengenakan kaos kakiku. Aihh... tak bawa sendal lagi. Masa’ ke pasar pake sepatu? Pinjam Shina? Pasti kekecilan.
“Gak bawa sendal ya, mbak?,” mbak Sum mengerti keadaanku.
“Hu uh, mbak. Masa’ pake sepatu?
Mbak Sum tersenyum tanpa solusi. Tiba-tiba mata Naya menumpu pada sebuah sandal gunung di pojok teras. “Jagaaaddddd... aku pake sendalmu bentar. Pinjem yaaa...
Tak ada jawaban.
“Jagaaaaddddddd...
Naya mulai merengut. Mbak Sum malah tersenyum-senyum melihat Naya.
“Jagaaaaaaddddd... Pokoknya kupakai,” teriak Naya lagi. “Iyaaa...,” jawab Naya juga. Kebiasaan buruk Naya salah satunya adalah menjawab permintaannya sendiri dengan kata iya yang diucapkannya sendiri. Seolah-olah dia bisa mewakili jawaban orang lain.
Beberapa waktu setelah Naya pergi...
“Aku belum tau, Rif, mungkin minggu depan baru balek. Nyapo tho? Kok kayak gak bisa nunggu seminggu lagi saja.
“Yahh... mana kutau, Gad. Awakmu kan ngerti sendiri gimana si tantri itu kalo ada maunya. Kayak ngejar setan saja.
“Hahahaha. Makanya aku juga jadi malas kalo gini. Nanti aku disalahin lagi sama pacarnya. Mau dihajar lagi. Huhh...
“Hahahaha. Ya wis pokoke aku sudah nyampekan pesen Tantri sama kamu. Eh gimana kabar temanmu?
Jagad menoleh sebentar ke belakang. “Aku belum tau, Rif. Kemaren aku sampai sini siang, sore sudah ribut sama temenku yang satunya. Malam aku keluar cari nasi goreng, balek-balek makan lalu tidur.
“Hehehehe. Ribut karo sopo? Katamu temanmu sakit, masa’ iso ngajak ribut?
Jagad kembali menoleh ke belakang. Khawatir tiba-tiba Shina sudah berdiri di belakangnya.
“Aku kan bertiga disini. Ada satu lagi temenku perempuan yang ikut.
“Hah? Jadi awakmu jadi satu-satunya cowok? Ck ck ck... keren, kerenn
“Apaaaannn... Ga sah najis pikiranmu.
“Hahahaha. Jadi siapa tuh cewek yang satunya? Yang tengkar sama awakmu yang itu?
“Ho oh. Dia. Keras kepalanya gak ilang-ilang sejak kuliah dulu. Hfff...
“Kok kayaknya ada yang beda ya? Jangan-jangan...
“Jangan-jangan apa manehh...
“Yahhh... ra ngerti aku. Pantesan cuek sama kejaran Tantri. Hahahaha
“Mulutmu. Sudah sana, aku mau jalan-jalan. Suwun ya.
Jagad memasukkan kembali benda kecil yang baru saja digunakan untuk bicara dengan Rifo, kawan kerjanya, ke dalam saku celananya. Dia menarik nafas panjang dan menelantangkan tangannya kemudian mengangkatnya ke atas dan menggerak-gerakkan badannya ke kiri dan ke kanan.
Kemana si Naya tadi, kenapa juga aku tadi cuek dengan teriakannya ya.
Jagad menurun jalan beraspal samping rumah Shina. Dia pun sama-sama tidak berani menengok ke kamar Shina untuk melihat apakah Shina sudah bangun atau belum. Keputusannya untuk jalan-jalan hanya untuk menyegarkan badannya yang maish agak penat karena perjalanan Surabaya-Malang-Batu yang ditempuhnya kemaren pagi. Beberapa kali Jagad menganggukkan kepala menyapa pekerja kebun yang berlalu lalang di sekitar kebun apel. Kebun apel Shina yang mana ya?
“Mas!
Jagad menoleh meskipun dia tak yakin panggilan itu untuknya. Namun demi melihat seorang bapak tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, Jagad tak ragu lagi untuk tersenyum kepada bapak tersebut.
“Mas yang tadi di rumah itu ya?
Tangan Jagad mengikuti arah telunjuk bapak-bapak itu. Kemudian Jagad mengangguk.
“Iya... ada apa ya, pak?
“Ah mboten wonten nopo-nopo, pak... mase temen bu Shina?
“Oh iya, pak. Kami teman kuliah. Bapak asli sini njih?
Langkah kaki Jagad kini berpadu langkah dengan bapak itu dan seorang pemuda lagi. Lumayan ada teman berjalan-jalan. Bapak itu memperkenalkan diri dengan nama pak Wanto. Kulitnya hitam dan terlihat keras. Khas kulit pegunungan. Tidak begitu tinggi, malah bisa dikatakan cukup pendek. Badannya juga tidak begitu gemuk, tapi lebih cocok diktakan kurus. Dengan rambut ikal dan mata hitam, bapak ini sepertinya orang yang ramah sekali. Sambil mengisap rokok, berulang kali dia menyapa orang-orang yang bertemu dengannya di jalan.
“Iya, mas, asli sini. Bapak juga pekerja bu Shina kok. Enak kerja sama bu Shina itu, mas. Orangnya baek, sabar. Meskipun kadang dimusuhi orang, tapi tetep saja saget tenang.
Dahi Jagad berkerut. “Dimusuhi? Dimusuhi pripun, pak?
“Yahh... ngoten lah, mas, pokoknya ada saja.
“Saya kan gak ngerti, pak...
Bapak itu terkekeh sebentar. Diisapnya rokok cengkeh buatannya sendiri dalam-dalam. Sepertinya rokok menjadi obat bagi rasa dingin yang menyumsum tulang ini. Saat mengeluarkan asapnya rasanya nikmat sekali. Kepulan asapnya tidak membentuk formasi khusus karena memang dihembuskan begitu saja. Sepertinya hangat.
“Eh hmmm... Jalan ini ke arah kebun Shina ya, pak?,” tanyaku kemudian mengisi kekosongan pembicaraan. Bapak itu mengangguk-angguk. Jagap pun mulai kebingungan mencari topik lagi.
Rifo Calling...
“Permisi, pak, saya angkat telpon dulu njih,” ijinku. Bapak itu  kembali mengangguk-angguk mempersilakanku. Jagad mengangguk pada seorang bapak yang lain dan mengambil tempat nyaman untuk mengangkat telponnya yang mendering.
“Ya, Rif, opo maneh?
“Ah, urusano dewe si Tantri, Gad. Masa’ dia marah-marah sama aku. Dia malah misuh-misuh ke aku.
“Wis lah, biarkan saja kenapa. Gitu saja kok repot.
“Aarrghhh... Awakmu ki seenaknya dewe. Aku dadi malas berangkat kerja ki. Cepet balek kenapa, Gad?
Jagad menarik nafas. Sampai aku mengerti kenapa aku ada di sini, aku akan disini seterusnya...
“Iya, iya. Lagian masa’ lawan cewek tengil itu saja kamu kalah. Malu sama badan bro! Hahahaha. Sudah ya, gak enak niy. Aku lagi jalan ke kebun ini.
“OK. OK. Gi cepet balek bro!
“Yupi. Beress...
Jagad melangkahkah kaki lebih lebar untuk bisa kembali menjajari pak Wanto yang sudah berada beberapa jarak dengannya. Pak Wanto pun sepertinya mengerti jika Jagad sedikit bergegas menjajarinya, langkahnya kemudian berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah Jagad. Rokok di lipatan jari pak Wanto mungkin tinggal beberapa isapan lagi, namun sepertinya bapak itu enggan membuangnya. Masih saja terasa nikmat saat pak Wanto menghisap dan menghisapnya lagi.
“Mase ini sebenarnya mau kemana?
“Eh mau mlampah-mlampah mawon kok, pak. Pengen ngerti kebun apel langsung. Kebetulan juga Shina masih belum bangun dan teman saya yang satu juga ikut mbak Sum belanja.
Kembali pak Wanto mengangguk-angguk. Bapak yang sepertinya berusia menjelang limapuluh tahun itu kemudian sesekali bercerita tentang kebun apel milik Shina. Matahari sudah terlihat semakin berwarna emas, sudah sedikit memberikan kehangatan pada kulit panas Jagad. Jagad pun tak lagi memasukkan tangannya ke dalam jaket mantelnya dan lebih memilih berjalan berlepas tangan saja.
Dari rumah Shina, kebun ini memang cukup jauh. Berjalan ke arah utara, dengan jlan yang menurun. Kemudian berbelok ke arah timur dan kembali turun. Ada sebuah lahan dengan pagar bambu mengitari sempurna dan di dalamnya banyak sekali pohon-pohon apel yang beraneka spesies. Sebagiannya masih sangat muda dan sebagian yang lain sudah siap panen. Beberapa orang yang bekerja di sana mulai menutupi buah-buah yang sekiranya siap pnen agar segera lebih tua. Istilahnya memeram tapi tetap di atas pohon.
Jagad benar-benar terpesona dengan banyaknya apel di depan matanya. Dulu selama kuliah di Malang dia tidak pernah berkunjung sekalipun ke kebun apel seperti ini. Shina hanya mengajaknya ke taman bunganya di Batu. Ah, shina... Apa yang sedang engkau pikirkan...
Pak Wanto dan beberapa pekerja lain mulai sibuk dengan pekerjaannya, semnatar Jagad hanya mencoba mengenali kebun ini dengan berputar-putar di areal kebun. Beberapa kali dia terpeleset saat menuruni tapakan satu baris pohon apel pada baris pohon yang lain. Hebat sekali Shina bisa memiliki seperti ini dengan kondisinya yang demikian. Aku saja yang sehat dan bugar begini hanya menjadi buruh. Hhhhffff...
Hembusan nafas Jagad masih mengepulkan sisa-sisa uap. Naya Calling...
“Ya, Nay...
“Kamu itu apa susahnya siy pamit?            
“Hah?
“Kamu dimana sekarang?
“Kenapa? Kamu nyari aku?
“Hahhh... GR! Shina tu nanyain kamu kemana.
“Na kamu juga kemana, tadi aku mau pamit juga gak ada di rumah.
Naya mulai berkicau dengan indahnya. Matahari seperti sangat senang melihat coleteh Naya yang bisa menemaninya menghabiskan hari. Jagad hanya tertawa sesekali dan tetap mendengarkan Naya hingga kalimat terakhirnya.
“Cepet pulang. Sarapan!
Tut tut tut tut...
Ah, mungkin akan selalu menjadi hal sulit untuk mengerti sifat perempuan. Terkadang dia menjadi makhluk yang paling manis dengan kelembutan dan kemanjaannya, namun tiba-tiba dia menjadi ciptaan Tuhan yang kerasnya melebihi baja sekalipun. Pemarah, sulit diajak bicara dan maunya sensitif terus. Belum lagi keluar keras kepalanya. Hffff... Jagad menggeleng-geleng sendiri. Senyum geli mengembang di bibirnya.
Lalu lalang kendaraan kebun seudah mulai menggeliat. Rupanya begini pagi hari di kebun apel. Jagad berulang kali harus mengangguk santun menyapa satu-satu orang yang lewat. Sebagai orang asing, Jagad tau sikap apa yang harus dijaganya agar membuat nyaman orang-orang sekitarnya. Dulu diantara mereka bertiga, Naya lah yang paling banyak temannya. Dengan modal cerewet, senyum dan keramahan yang dimilikinya, Naya memang mudah memikat teman barunya. Apalagi dia bukan orang yang terlalu risau dengan image. Sekalipun dia berkerudung rapi dengan segala sifat kefeminimannya, Naya masih sering juga menerima undangan makan di pinggir jalan di malam hari, terkadang juga menerima begitu saja undangan untuk menjelajahi suatu alam. Tentu saja ssemua itu setelah ia menyelesaikan kegiatannya yang lebih utama.
Terkadang Jagad tidak menyukai Naya yang terlihat begitu aktif. Dia ingin Naya belajar sedikit perempuan pada Shina.
“Ah terserah kamu lah. Kalo kamu gak bisa ngerti punya temen kayak aku yang HANYA begini, kamu gak peduli padaku juga gak masalah.
Naya sengaja menekankan kata “hanya” pada kalimatnya untuk jagad. Jika sudah begitu dia pasti akan menarik tas cangklongnya dengan kasar, hingga kadang menimpa sisi kursi. Wajahnya pasti memerah dan matanya pasti berkaca. Tak ada lagi keinginannya untuk tinggal lebih lama dan berdekat-dekatan dengan Jagad jika semua itu terjadi. Yang ada Naya akan pergi dan tidak akan bicara dengan Jagad selama yang dia mau. Dan seperti biasa, Jagad akan merendah dan meminta maaf padanya. Shina akan menjadi penengah dan terkadang menjadi penasehat saja. Namun jika sebuah masalah berulang lagi dan lagi, Shina lebih memilih diam dan membiarkan mereka berdua menyelesaikan masalahnya.
“Harusnya kamu juga bisa belajar mengenal Naya, Gad,” ujar Shina suatu ketika setelah sehari sebelumnya Naya kembali menarik tasnya dnegan kasar di kantin kampus. Saat itu Shina pun tak bisa menghentikan laju langkah Naya yang bergegas. Melihat ekpresi wajah naya, Shina pun akhirnya berbicara pada Jagad.
“Aku begini karna mungkin karna aku tak mengenal tawa yang menggelegar di rumahku. Siapa yang kuajak tertawa jika aku hanya bersama budhe Asih dan lebih banyak di rumah? Beda dnegan Naya. Bahkan kamu sendiri pun mengakui keunikan keluarga Naya yang kalo satu di dapur yang lain ikut nimbrung di dapur. Satu di teras yang lain juga nyusul di teras. Tertawa lebar suatu hal biasa dalam rumah Naya.
Jagad tidak bereaksi. Hanya beberapa kali dia memperbaiki duduknya dan menyedot es jeruknya. Jarinya terkadang mengaduk-aduk es jeruk itu dengan menggunakan sedotan putih melengkungnya. Kantin sangat ramai dengan mahasiswa yang makan dan sekedar nongkrong saat siang. Mungkin karena mereka enggan kembali ke kost.
“Hhhh... Aku hanya ingin Naya bisa lebih lembut, Shin.
“Dengan standart seperti apa? Seperti aku?,” kejar Shina. Jagad menunduk “Paling tidak Naya bisa belajar darimu, Shin.
“Jagad, aku kira kita sudah saling kenal dan paham lebih dari ini. Kau tau, kadang aku merasa serba salah dengan keadaan yang seperti ini. Aku pendiam atau lembut katamu itu, bukan karena aku belajar menjadi seperti ini. Ini sudah aku sejak kecil. Kau tau sendiri bagaimana masa kecilku yang kuhabiskan dengan menikmati kepalaku yang beberapa bulan tanpa batok dan juga kakiku yang selalu nyeri saat hujan dan petir karena baja yang ditanam di dalam kakiku. Pendiam dan lembut itu tidak bisa dibuat-buat, Jagad, sama seperti saat kau memintaku untuk lebih ceria dan aktif seperti Naya. Aku juga akan merasa keberatan. Karna semua itu tak bisa dipaksa, Gad, tidak bisa dipaksa.
Jagad menunduk. Meskipun tak selalu memandangnya, namun Jagad merasa Shina menatap dia dengan kejam saat ini. Berulang kali Jagad hanya membuang nafasnya pelan. Es jeruk di depannya sudah mulai kandas namun Jagad juga masih asyik untuk memainkan sedotannya di dalam gelas itu.
Hhhfff... Baeklah, aku minta maaf.
Shina terdiam. “Apa gunanya minta maaf padaku? Naya yang kau buat marah dan nangis, bukan aku.
“Aku malas berdebat lagi dengan Naya.
“Jadi kau ingin dia tetap marah?
“Naya itu terlalu keras sikapnya padaku, Shin. Dia selalu saja sulit mendengar keinginanaku.
“Karna keinginanmu kadang memang tidak mudah dipahaminya, Gad!,” potog Shina. “kamu minta dia lebih pendiam, apakah kau juga bisa untuk memenuhi harapannya agar kau lebih ramah? Kau ingin dia lebih perempuan, tapi apa kau juga bisa kemudian menjadi lebih lembut pada sekitarmu? Kalian ini sama-sama sulit mengerti satu sama lain. Aku lelah rasanya melihat kalian begini.
“Shina, plisss... Jangan pojokin aku gitu lah.
“Aku gak mojokin, Gad, aku hanya... Ahh, sudahlah. Aku sudah terlalu banyak bicara. Aku akan menyusul Naya. Siapa tau dia di kost. Kau jangan ganggu dia dulu lah. Aku harap kau tau apa yang harus kau lakukan.
Jagad hanya melihat kepergian Shina yang tertatih-tatih berat. Shina...
Hati Jagad bernyanyi kecil mengingat semua itu. Naya tidak berubah sejak pertama dia mengenalnya. Shina benar, Naya memang sudah mengenal gaya keras kepala dan balk-blakan sejak dia baru mengenal kata. Di rumahnya, ya... dia menemukan semua itu di rumahnya.
Nafas Jagad berkejaran satu-satu saat sampai di halaman rumah Shina. Ternyata kebiasaannya olah raga tidak cukup membantunya mampu mengatur nafasnya untuk jalan menanjak. Berulang kali Jagad membuang nafasnya berat. Kakinya terasa sedikit panas. Apalagi tubuhnya yang terbalut jaket rasanya sudah mendidih oleh hawa panas dari dalam.
“Sepertinya nikmat,” keringat membasahi sebagian wajah Jagad. Wajahnya pun terlihat memerah panas. Dia segera menarik sebuah kursi dan bergabung bersama dua sahabatnya. “Aku tadi jalan-jalan bersama pak Wanto, Shin. Aku mau pamit kamu, tapi aku gak berani masuk kamarmu.
“Iya, gak apa. aku juga mikir kau paling Cuma jalan-jalan. Naya tadi juga jalan-jalan sama mbak Sum. Tidak pamit juga kok,” jawab Shina. Matanya melirik ke arah Naya yang berpura-pura asyik dengan teh hangatnya.
“Kemana kita hari ini? Jalan-jalan yuk, Shin, kemana gitu. Ke sekitar rumahmu, ke kebun apel. Trus ajakin aku petik apel juga yah,” Naya muali mengeluarkan bentuk protes dari kebosanannya terkurung di rumah Shina.
“Gak ada rubahnya kamu ini, Nay, gak kerasanan tinggal di rumah.
“Apa? kamu mau katakan aku suka keluyuran? Suka gak krasan di rumah?,” Naya mulai melototkan mata ke arah Jagad. Jagad pun bukan tanpa reaksi, dia menatap tajam ke arah Naya.
“HAH! Aku bosan ribut sama kamu, Nay. Sekarang ada masalah apa siy antara kita? Aku tuh gak ngerti dengan sikapmu yang tiba-tiba sewot sama aku. Tiadak ada abik-baiknya sama sekali. Bisa gak siy kamu sedikit saja menurunkan egomu itu?
Alis Naya kini bertautan. Marah.
“Apa masalahnya sama kamu kalo aku sewot sama kamu? Kamu terganggu dengan sikapku? Kalo terganggu, mikir dong, Gad, kenapa aku bisa kayak gini.
“Aku harus mikir apa sedangkan aku tidak mengerti sama sekali dengan yang terjadi padamu. Tau-tau marah, kasar, sewot.
Naya masih menatap tajam Jagad. Matanya berkaca kini. Mereka sama sekali tidak merasa sarapan itu menunggu untuk disentuhnya dan sama sekali lupa Shina menunggunya hanya untuk sarapan bersama. Shina memutar roda kursinya perlahan. Tanpa kata ia meninggalkan dua karibnya yang saling beradu pandang dan beradu alis. Sama-sama marah. Sama-sama egois.
“Shin!
Jagad mengikuti segera langkah Shina yang memutar perlahan roda kurisnya ke arah depan. Tak ada reaksi apapun darinya, tanpa ekspresi berarti. Hanya diam dan memandang ke depan. Pun ketika Jagad mengambil alih mendorong kursinya. Shina tetap saja diam.
“Aku bahagia di sini. Karna aku tak mendengar suara-suara keras seperti di luar sana. Aku bahagia saat hanya bisa melihat hijau yang membentang dengan senyum ramah yang menghiasi jalan-jalan yang kulalui. Aku senang merasakan kulitku dibalut dingin yang menyumsum atau matahari yang kadang ragu menyengatkan panasnya. Aku bahagia karena aku bisa tenang menjalani hidupku yang kurasa semakin lama semakin sakit di tulangku. Bahagia bisa melihat mbak Sum yang pendiam dan seperti keluarga bagiku. Juga apel-apel yang selalu menghijau manis untukku.
“Kerinduanku pada dunia yang sepi semakin merasuk saat aku sadar aku tak memiliki satu orang pun yang bisa selalu di sisiku. Aku bukan manusia dengan sempurna fisik yang bisa membuat orang nyaman berada di dekatku. Kadang mata mereka begitu mengasihani keadaanku. Kadang mereka juga takut pada wajahku yang mengeriput. Ada juga yang hanya ingin mencicipi rasanya mempunyai kebun apel yang luas. Itulah manusia yang kukenali. Tapi aku selalu percaya aku memiliki orang-orang yang menganggapku cantik dengan rambutku yang tak lagi ramai. Aku kuat dengan kakiku yang semakin tudak bisa kugerakkan. Aku yakin tetap ada yang menganggap senyumku mentari sekalipun wajahku tak sesegar wajah mereka. Aku percaya, Allah sudah menyediakan untkku orang-orang yang bisa menganggapku ada dengan keadaanku.
Shina menunduk. Jagad berdiri di belakang kemudi kursi rodanya tanpa suara. Hanya memandang ke depan. Jauh. Hijau. Membentang. Beberapa burung kecil seperti mengerti berat yang dihempaskan Shina dalam kalimat-kalimatnya. Mereka bercericit bernyanyi bebas untuk Shina.
“Gad,” Shina mengangkat kepalanya ke arah Jagad. “Bukankah Naya memang kau angkat sebagai anak bontot dalam perjanjian yang kita ucap dulu? Kau yang tertua, aku diantara kalian dan Naya adik bungsu. Kau lupa?
Jagad menggeleng.
“Kau tau bagaimana harusnya seorang yang dituakan? Mengalahlah pada sgomu... bukan pada Naya. Karna jika kau mengalah pada Naya, kau akan mendapati rasa sakit yang terus menjalar. Mengalahlah pada kemarahanmu, mengalahlah pada egomu. Naya akan selalu membuatmu marah dan bingung jika kau mengajak esgomu untuk mengerti Naya. Kalian... Hhh... aku sangat yakin kalian tidak tau apa masalah yang sedang kalian hadapi hingga kalian bisa terus saling bersitegang begini.
Jagad melangkah tiga kaki ke depan Shina. Matanya meyipit menghindari matahari yang mulai menyunggingkan teriknya. Kedua tangannya terlepas bebas. Sama seperti pandangnya.
“Aku benci kamu!
Jagad tidak mengerti alasan Naya mengucapkan kata itu saat terakhir kali bertemu mereka di sebuah acara di Royal Plasa. Setelah beberapa lama berbincang, tiba-tiba Naya mengucapkan kalimat itu dan pergi begitu saja. Memang tak ada cinta yang terucap diantara mereka, tapi rasa di dalam hati mereka melebihi kalimat cinta yang belum terucap. Siapapun tahu itu dari tingkah sikap mereka.
Naya kenapa?
Jagad memuburu Naya yang memerah matanya menahan kaca-kaca bening yang hendak pecah. Jarak mereka sangat dekat namun Jagad tidak mengerti bagaimana cara menahan langkah Naya agar sedikit memelan.
“Nay... Tunggu, Nay. Kamu kenapa? Nay, Naya...
Naya tidak menoleh sedikit pun. Dan sejak saat itulah Naya seperti bukan orang yang dikenali Jagad lagi. Naya berubah, dan itu sejak setahun lalu...
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar