Kamis, 02 Februari 2012

Ending : Kuputuskan Mencintaimu Selamanya


Zenith : Mencintaimu Selamanya

Delapan Bulan Dedek
Aku merasakan semakin berat saja menggendong dedek ke sana kemari. Sesekali memang tiba-tiba aku lemas dan lunglai saat tenaga dan pikiranku tidak proporsional lagi. Dokter semakin mewanti-wantiku untuk tidak terlalu banyak bekerja sekalipun itu untuk mengepel lantai yang katanya baik untuk kehamilan. Dokter sudah memutuskan aku hanya bisa melahirkan dengan jalan operasi dan tidak ada nego model apapun agar aku bisa melahirkan dengan normal.
‘Nda Raya juga selalu mengingatkan aku agar bisa menerima keputusan operasi dedek itu dengan lapang. Katanya, semua demi aku dan dedek. Dia mengatakan aku akan tetep dipanggil bunda sekalipun melahirkan dedek dengan cara operasi atau cara apapun.
Pukul 02.35
‘Nda Raya lama dalam sujudnya. Aku tidak lagi berimam padanya karna kadang tubuhku tidak kuat berdiri terlalu lama. Kakiku juga kadang bengkak tiba-tiba, tapi jika dipijit-pijit sambil baca ma’tsurat gitu akan mendingan lagi. Semakin dewasa usia dedek di dalam rahimku, ‘Nda Raya makin khusyuk saja menjaga shalatnya. Malah sekarang semakin aktif dengan puasa daudnya. Dia bilang, biar lebih siap saja dengan semua yang akan terjadi. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya meski aku tidak tau persis maksudnya.
Aku memiringkan tubuhku agar bisa memperhatikan lelakiku itu menunaikan tahajudnya. Lama sekali sujud-sujud yang dijalaninya, terkadang sampai terisak-isak. Aku tidak pernah berani menanyakan kenapa dia menangis karna aku takut itu termasuk hubungan super personal dengan tuhannya yang tidak ingin dibagi dengan siapapun kecuali memang dia ingin membaginya denganku. Saat dia tunai dengan tahajudnya, aku kerap kali berpura-pura tidur dan tidak mengetahui aktifitasnya. Kemudian dia akan mengecup keningku dan membantuku berwudlu.
“Abid, bangun sayang. Aku masih punya dua rakaat untuk aku tunaikan bersama abid. Temani aku yok...,” katanya sambil memegang wajahku. Padahal aku sudah memperhatikannya dari tadi. “Aku sangat ingin dua rakaat terakhirku ini bisa aku tunaikan dengan abid sekalian nanti kita witir terakhir bersama ya!,” pintanya. Aku diam menatapnya. “Ayok aku bantu bangun,” katanya lagi sambil membantuku menegakkan diri. “Pelan-pelan bid... waktunya masih agak panjang kok,” katanya lagi.
“Nda...
“Iya?
“Baca surah mahar ya! Aku kangen dengan surat itu,” pintaku. Dia menjawab dengan senyum dan mengangguk.
“Tapi kalo abid sudah tidak kuat, boleh duduk segera ya! Jangan dipaksakan biar abid juga tetep bisa menemani aku menunaikan dua rakaat terakhirku. Janji ya?
Aku mengangguk. Kemudian berdiri di belakangnya, menjadi makmum shalat malamnya. Pada saat membaca al fatihah, beberapa kali nafasnya tersengal. Dia menangis tergugu dan beberapa kali menghentikan bacaannya sebelum kembali meneruskan surah yang dibacanya. Pada rakaat pertama, Nda Raya membaca separo dari surah al Insan yang dulu menjadi salah satu mahar pernikahan kami. Bacaannya masih sebagus dulu bahkan semakin kurasakan syahdu dan bagus saja.
‘Nda Raya kembali menciptakan sujud yang sangat dalam. Aku mencoba menguatkan diri untuk terus bisa menemani dia dalam rukuk dan sujud. Tangisnya kembali terdengar sangat dan sarat. Andai aku bisa hidup dalam hatinya, aku pasti mengetahui apa yang membuatnya menangis. Shalatku menjadi tidak tenang dengan tangisnya yang sedemikian dalam dan menyengal makin lama.
Hingga tunailah dua rakaat terakhir ‘Nda Raya...
“Abid masih kuat?,” tanyanya. Aku mengangguk.
“Baiklah kita istirahat dulu. Nanti baru kita lanjutkan witir penutup kita,” katanya lagi. Dia mendekatiku dan mengelus dedek pelan. Menciumnya dan mengatakan sayangnya pada dedek.
“Nda, aku tambah rakaatku lagi ya!,” ijinku.
“Tapi duduk saja ya!,” sarannya. Aku tersenyum dan menyetujuinya.
‘Nda Raya segera berpindah dari hadapanku dan menepi agar aku dapat menunaikan beberapa rakaat lagi. Sepanjang aku memulai shalat hingga akhirnya aku salam kembali, matanya tidak berpindah sama sekali dariku. Mata elangnya menatapku tidak lepas-lepas seperti seorang tawanan.
“Kenapa liat aku kayak gitu?,” rajukku. “Risih na...
“Hm? Kenapa risih?
“Ya si Nda liatnya gitu amat. Kayak aku tawanan yang ditakutkan melarikan diri. Biasanya juga ‘Nda Raya kalo aku shalat nungguinnya dengan bobok. Kenapa malam ini malah ngeliatnya gitu amat?
Dia tertawa. “Dasar cerewet!,” katanya. “Kemaren aku nungguinnya dengan bobok, digigit lenganku. Trus bilang kok bobok? Aku tungguin sambil baca dicubit katanya gak perhatikan aku. Nah sekarang ditunggui sambil diliatin terus malah bilang risih,” ujarnya lucu sambil menekuk kakinya seperti seorang pertapa.
“Ya tapi kan gak terus segitunya, Nda...
Dia kembali tertawa. “Jadi gimana? Bilang dong, yang...
“Genit! Ya biasa saja. Liatnya jangan kayak sipir penjara gitu, sipir saja gak segitunya liat tahanan kok. Ya diliat, diperhatikan tapi jangan segitunya.
Hehehe. Ya aku tadi kan baru ajak abid menemaniku menunaikan dua rakaat terakhirku, jadi aku khawatir abidnya trus lelah, lemas trus tiba-tiba lunglai. Abid kan sakit-sakitan,” selorohnya.
Kudaratkan sebuah cubitan kecil ke arah lengan atasnya. Dia meringis.
“Bilang ampun dulu,” ancamku.
“Iya ampun, ampun ibu suri...
Aku tertawa. Menang.
“Kalo aku gak ada siapa yang akan abid cubit sampe merah gini? Jangan bilang abid akan suka mencubit dan menggigit dedek. Aku plethakin dari atas nanti,” katanya.
Aku kembali tertawa dengan candanya.
“Sudah yok, kita witir. Sebentar lagi subuh. Aku pengen ajak abid subuh di masjid,” katanya. Aku mengangkat alisku tidak percaya. “Iya bener. Serius. Aku sudah telpon dokter semalam, dan boleh-boleh saja sesekali ajak abid sholat subuh di masjid. Serius bidd... kita witir dulu. Temani aku sampai selesai witir penutupku ya, bid. Sekuat mungkin abid tetap witir berdiri, lakukan demi aku. Abid kudu kuat demi aku. Ya?!,” kalimatnya kurasakan memang agak berlebihan didengar. Tapi aku menjawabnya tetap dengan anggukan karna memang aku yakin akan kuat-kuat saja menjalankan witir itu dengan berdiri sempurna,
Subuh Tiba
‘Nda Raya memakaikanku jaket dan kerudung yang agak tebal. Tangannya sama sekali tidak lepas dari pinggangku. Ibuku yang biasanya juga ikut ke masjid, tiba-tiba tidak ingin berangkat ke masjid bersama kami. Ibu bilang tidak ingin mengganggu bulan madu kami. Ibu... Ngerti saja mauku!
Begitu shalat subuh selesai, ibu-ibu jamaah mengajakku berbincang dan bertanya banyak hal tentang kondisi kehamilanku. Kukatakan semua baik-baik saja dan insya Allah dedek juga sehat. Satu per satu jamaah meninggalkan masjid komplekku, hingga tinggal aku dan lelakiku. Lelakiku masih saja khusyuk dengan doanya.
Aku merasakan angin dingin mengusik sisi tegang kepala dan dadaku. Maka kuputuskan untuk menyusulnya di dalam. Aku seolah tidak peduli dia yang sedang berdoa, kusandarkan saja kepalaku di pundaknya. Aku mengusap tangisnya dengan tanganku. Ya Allah... kenapa dia menangis? Beritau aku kenapa dia menangis, Allah...
“Nda,” parau suaraku berbisik di telinganya. Dia hanya sekilas memandangku dan tersenyum.
“Kenapa menangis terus siy?,” tanyaku. Dia kembali tersenyum.
“Kan sedang berdoa, meminta banyak hal sama Allah untuk kita,” jawabnya. Tangannya mengelus kepalaku yang masih ada di pundaknya.
“Nda, kita bertengkar yok!,” kataku lagi. “Sekali-kali kita bertengkar gitu, nda, masa’ kita tidak pernah bertengkar siy,” serangku.
Dia tertawa. “Memang apa enaknya bertengkar?,” katanya.
“Ya kayaknya asyik saja bisa buat cerita kalo kita pernah bertengkar,” jawabku. “Apa ‘Nda Raya tidak bosan terus saja menuruti mauku dan selalu saja memanjakanku? Aku kan jadi gak siap kalo tiba-tiba ada suara yang agak tinggi...,” rajukku.
“Karna abid sangat istimewa, makanya aku tidak punya alasan untuk tidak memenuhi mau abid,” jawabnya. Aku hanya merengut dengan jawabannya.
“Aku egois ya, Nda?
Dia menggeleng.
“Bukankah egois namanya kalo hanya mau dipenuhi maunya, dimanja dan disayang-sayang tanpa mau peduli hal itu juga pada orang lain. Malah kadang aku sok merasa tidak disayang sama ‘Nda Raya,” kataku lagi.
“Abid dengarkan aku,” ‘Nda Raya menatapku kemudian. “Dengarkan aku ya!,” katanya lagi. Aku mengangguk.
“Aku sayang abid. Karna aku sayang, aku akan melakukan apapun untuk membahagiakan abid. Gak peduli apakah itu aku suka atau tidak suka. Aku ingin hanya memberi kenangan bahagia pada abid hingga akhir hidupku.
Kalimatnya sedemikian indah di telingaku.
“Aku berdoa semoga aku bisa menyembuhkan abid dari sakit ini selamanya agar abid bisa menjaga dedek dengan lebih tenang. Aku mau abid sembuh selamanya setelah ini,” katanya.
“Gimana caranya,” tanyaku parau.
“Ya terserah Allah, bid... yang penting kan aku berdoa dan meminta, caranya bagaimana biar Allah yang kasih,” jawabnya. Aku kembali menangis. Bukan karena aku terharu tapi karena tiba-tiba aku sangat takut kehilangannya dalam kehidupanku. Bagaimana aku jika tanpanya dalam hidupku?
Pukul 07.00
Seperti biasa ‘Nda Raya mengecup keningku sebelum berangkat. Dan aku mencium tangannya.
“Abiiidddd...
Kudengar kembali suaranya di luar. Kenapa kembali lagi. Apa ada yang tertinggal ya? Berbarengan dengan ibu aku sampai di pintu depan. Tapi kemudian ibu kembali lagi ke dapur. Ibu selalu membiarkan aku dan ‘Nda Raya memiliki jenak yang hanya ada kami berdua.
“Nda? Kok balek lagi? Ada yang tertinggal?
Dia hanya tersenyum dengan lebarnya. “Sini deh, bid. Bentar saja. Aku lupa sesuatu tadi,” katanya. Aku menurut saja.
“Ada apa siy, Nda?,” tanyaku penasaran.
“Aku lupa belum cium dedek tadi,” katanya. “Maafkan abi ya sayang...
Aku tertawa. “Aku kira ada yang tertinggal.
“Lha iya memang tertinggal. Dedek dan abid kan tertinggal disini,” kelakarnya. “Dedek baik-baik sama bunda. Jaga rumahnya selama abi tidak ada,” katanya lagi. “Ya dah, aku berangkat lagi ya bid... Baik-baik jaga diri, aku sayang abid,” tangannya mengelus kepalaku pelan.
“Iya, sudah sana. Ati-ati. Aku juga sayang ‘Nda Raya,” jawabku.
Aku melepasnya hingga tikungan. Saat kembali ke dalam, kulihat ibu sudah sibuk dengan jarinya yang teriris pisau.
“Ibu ini kenapa bisa kayak gini,” setengah panik aku membantu ibu mengobati lukanya. Ibu hanya diam saja dengan panjang lebar kalimatku.
“Sudah gak papa. Wong cuman teriris pisau saja kok,” katanya.
“Ra bantuin ibu masak. ‘Nda Raya tadi pesen soto ayam kan? Sini Ra mau bantu masaknya,” kataku. Ibu memberikanku beberapa tugas ringan seputar pembuatan soto ayam kesukaan ‘Nda Raya.
Cepet balek. Sotonya sudah masak. Tulisku.
Iya, abid sayang... insya Allah cepet balek. Jangan asin2 ya! Balasnya.
Aku tersenyum. Kuceritakan balasan ‘Nda Raya pada ibuku yang kemudian malah ikut memojokkan masakanku yang kerap kali keasinan.
Pukul 11.35
Abis ini aku balek. Mau lunch di rumah saja. Muah!
Aku segera berbenah. Merapikan dan menyiapkan keperluan makannya. Aku meminta ibu beristirahat dan biarkan aku menunggunya datang.
Masih lama? Tulisku.
Bentar. Masih pake sepatu, abis dhuhuran. Balasnya.
Nda Raya Calling...
“Iya, nda...
“..... ........
“Iya, aku juga kangen. Cepet balek ya! Ati-ati.
“........... .......... ......
“Iya, pasti insya Allah. Dedek juga pasti akan jaga aku kok.
“....... ...... ..........
“Iya iya, aku juga sayang. Cepet tutup telponnya dan cepet balek. Gimana mau balek kalo masih nelpon gini? Nanti keburu habis waktu makan siangnya. Ati-ati, ‘Nda!
Aku tersenyum. Mengelus dedek dan berbicara dengannya dalam hatiku. Kukatakan betapa abinya adalah orang yang sangat sempurna cinta dan sayangnya untukku dan dedek. Kelebat-kelebat bayangan awal pernikahan kami hingga akhirnya aku sakit menari-nari di memoriku.
Aku mengenang ‘Nda Raya yang sangat setia menjagaku dan memberikan apapun mauku. Memenuhi semua bentuk kemanjaanku. Selalu memberikan tubuhnya untuk kugigit dan kucubit. Selalu memenuhi inbox HPku dengan nasehat-nasehat dan kata cinta. Mengajakku mengenal banyak hal yang tidak pernah kutau sebelumnya. Ah cintaa...
Dan aku terlelap sambil memeluk kemeja ‘Nda Raya yang tadi akan kulipat. Aromanya harum khas tubuh ‘Nda Raya. Aku merasakan kenyamanan luar biasa saat memeluk kemeja itu dalam lelapku. Ayah menggodaku saat aku terlelap. “Jangan menangis nanti biar Raya juga senang melihatnya,” katanya. Aku hanya tertawa dengan pesan ayahku. Kemudian ayah seperti membangunkan aku saat kemudian kudengar HPku berdering.
Kantor ‘Nda Raya Calling...
“Iya, slamat siang,” jawabku sambil mengerjab. Aku mengumpulkan kesadaranku. “Ada apa ya, mbak?
“.... ............... .............
“Saya sendiri di rumah. Hm maksud saya dengan ibu saya. Ada apa ya, mbak?,” tanyaku semakin gusar.
“.... ................... ..............
“Owh bisa-bisa. Saya panggilkan dulu ya!
Aku menghampiri ibu di kamarnya, kukatakan ada orang kantor ‘Nda Raya menelepon dan ingin bicara dengan ibu. Ibu menerima HP dengan ragu dan gemetar. Dan sebelum ibu mulai berbicara dengan orang kantor ‘Nda Raya, kudengar pintu rumah diketuk. Dan akhirnya aku beranjak membuka pintu.
Beberapa orang teman ‘Nda Raya bertamu siang ini. Apakah ‘Nda Raya mengundang mereka makan siang? Tapi kenapa mendadak dan tidak berpesan apapun tadi? Soto ayamnya kan hanya cukup untuk lima orang... duh, si Nda!
Kupersilakan mereka masuk dan sesaat ibu juga keluar dari kamarnya. Matanya merah dan berair. Tanpa kata ibu memelukku erat-erat.
“Ada apa, bu? Kenapa menangis?
Ibu tetap tanpa kata dalam pelukanku. “Ibuuu... katakan pada Ra ada apa ini,” paksaku. Kupaksa melepaskan ibu dari pelukanku dan menatap matanya. Kuperhatikan juga teman-teman kantor ‘Nda Raya menunduk dalam.
“Ibuu...
Sontak aku merebut HP dari tangannya. Kutekan nomer ‘Nda Raya. Tapi nada sambungnya tidak terdengar. Yang terdengar hanya kalimat di luar jangkauan.
“Katakan pada Ra ada apa dengan ‘Nda Raya, bu...
“Ra...
Kutatap sekilas teman-teman ‘Nda Raya yang masih menunduk. Beberapa bahkan menangis. Aku pun menangis, tapi aku tidak tau pasti sebenarnya yang terjadi. Yang aku tau kemudian, ibu memelukku erat dan menguatkan aku.
“Ayahh...,” panggilku. Semua menatap ke arahku. “Jadi ayah tidak mengajakku, tapi mengajak ‘Nda Raya untuk menemani ayah? Ayah tega!
Darah mulai keluar dari hidungku. Ibu dan teman-teman ‘Nda Raya mulai berseru dalam kecemasan. Aku memang tidak pernah histeris dalam kondisi apapun. Aku tidak merasakan apa-apa saat darah itu terus mengalir dari hidungku.
Yang kurasakan hanya : aku kehilangannya. Selamanya.
            **___**

Rebak
Ini aku, ya Allah...
Bukankah aku sudah memintaMu menjaga anakku dengan baik. Bukankah aku selalu meminta padaMu untuk tidak menimpakan apa yang terjadi padaku pada Aura dan Raya? Bukankah aku selalu saya menyujudkan diri dan memohon agar tidak ada berai diantara keduanya selamanya?
Kenapa Engkau tega pada anakku? Apakah tidak cukup hanya aku dan mas Adi yang Kau pisahkan dengan paksa? Apakah tidak cukup kelelahan dan rinduku pada mas Adi hingga Engkau melanjutkan takdir pahit ini pada anakku? Apa tidak cukup juga pengorbanan mas Adi?
Aku tidak berani keluar dari kamarku. Tapi mendengar Aura menyilakan tamu-tamu itu masuk, aku tidak punya pilihan lain selain segera membantunya menyiapkan diri. Aku tau aku tidak akan kuat untuk tidak menangis di depannya. Aku pasti akan membuatnya bertanya tentang apa yang terjadi. Sedangkan aku sendiri tidak tau bagaimana aku bisa menjelaskan padanya.
Raya kecelakaan. Jatah umurnya terhenti di atas mobil yang membawanya ke rumah sakit.
Kupeluk Aura erat-erat dalam tangisku. Dia terus saja bertanya ada apa dan ada apa. Tapi tak satu kalimatpun keluar dariku. Aku hanya bisa menangis dan memeluknya erat-erat agar kuat. Hingga kemudian memang dia kembali mengeluarkan darah segar dari hidungnya dan melemah di kursi ruang tamunya. Aura pingsan.
Maret 1982
Aku sudah ikhlas menerima semua ini, gusti...
Aku ikhlas dengan kepergian mas Adi. Mungkin inilah harga mahal kebersamaan kami. Aku memang tidak tau alasanMu memanggilnya lebih cepat dari semua mimpi-mimpi kami. Tapi aku juga tidak punya kuasa sama sekali untuk bisa mengetahui alasan-alasanMu. Yang aku tau, Engkau berhak melakukan apapun atas kehidupanku. Itu saja yang kutau.
Dalam perjalanan hidupku, aku hanya mempunyai satu tujuan. Menjaga Aura dan menjadikannya orang yang paling beruntung dalam kehidupannya. Aku tidak akan memasukkan Aura dalam konflikku dengan keluarga mas Adi. Akan kujaga jiwa sucinya hingga nanti dia dewasa dan mampu berpikir secara bijak.
Aura dalam hidupku adalah tujuan. Cahaya. Semangat. Untuknya aku akan bertahan dan melakukan apapun. Untuknya aku akan berkorban agar dia bahagia. Untuknya juga aku akan menjaga cintaku pada mas Adi dan mengajarinya arti sebuah kesetiaan. Semua adalah untuknya : untuk Aura.
25 April 2005
Hari ini ulang tahun Aura yang ke-23. Hari ini juga dia bersanding dengan seorang lelaki yang sangat sempurna untuknya. Raya.
Aku tidak meninggalkannya sehari semalam penuh sebelum pernikahannya. Aku terus di dekatnya dan menjaganya untuk yang terakhir kalo sebelum dia pergi dengan pasangan jiwanya. Sesekali Aura yang sangat mudah menangis mengajakku tertawa. Tapi tak jarang juga kemudian mengajakku menangis.
“Ra pasti akan kangen terus sama ibu,” katanya. “Ra boleh sering-sering pulang ya, bu,” pintanya.
“Boleh saja, asal suamimu ridlo. Jangan memaksakan kehendakmu pada suamimu. Selepas ini kamu sepenuhnya tanggung jawab suamimu, tugas ibu purna disini. Meskipun memang ibu akan tetap menjalankan tugas ibu dalam hal yang lain juga.
Dia memelukku.
“Aku takut, bu,” keluhnya.
“Takut kenapa?,” tanyaku.
“Aku takut dia tidak sebaik ayah,” katanya lagi.
“Dia pasti lebih baik dari ayah. Ibu yakin itu,” kataku menenangkannya.
Dan akhirnya anakku satu-satunya itu resmi berpindah tanggung jawab. Aura menangis saat Raya mengucapkan ikrar di depan pakliknya yang menjadi wali ayahnya. Aura memelukku sangat erat saat itu. Dan Raya hanya memandang kemudian mengelus perlahan pundak Aura.
Yang aku temukan dari Raya hanya mas Adi. Kerap kali aku semakin merindukan mas Adi saat melihat senyum dan tawa Raya. Dan pilihanku adalah melabuhkan rinduku pada bantal dan guling di kamar. Seperti anak muda ya!
Raya memang lelaki yang sangat baik. Tidak ada satu hal yang kutemukan darinya selain kebaikan. Kelembutan dan kasih sayang yang luap selalu untuk Aura. Kadang aku berpikir Tuhan memang sengaja mengirimkan Raya untuk mengganti mas Adi.
Setelah itu Raya memboyong Aura ke rumah kecil yang telah dibelinya dengan kredit. Sempat dia menawariku pindah dan tinggal bersamanya, tapi aku katakan aku tidak bisa meninggalkan rumah ayah kalian. Itu pesan mas Adi dulu, jangan tinggalkan rumah kita. Karnanya aku tidak akan pernah pindah dari rumah ini. Selamanya aku akan menjaga rumah ini sekalipun kesepian dan kerinduan semakin kuat menyerang. Apalagi fitnah selalu terjadi berulang-ulang setiap kali karna status jandaku. Belum lagi beberapa kali lamaran yang disampaikan lewat ibuku juga kutolak dengan halus.
Aku hanya ingin bersama mas Adi, hingga di akhirat nanti.
Desember 2005
Raya memintaku sementara tinggal di rumahnya. Dia memintaku dengan sangat mau menjaga Aura. Dalam tubuh Aura ada virus yang menyerang kepala dan dadanya. Lebih-lebih Aura saat ini sedang mengandung usia muda. Dokter menyarankan Aura menggugurkan kandungannya mumpung masih berusia minggu. Tapi Aura meronta dan menangis memintaku dan Raya menolak keinginan paramedis itu.
Aura takut bila setelah ini tidak lagi mampu memberikan Raya keturunan karena sakitnya. Dia juga berjanji akan menjaga diri selalu lebih baik agar kehamilannya tidak mempengaruhi sakitnya. Dia berjanji akan patuh dan taat nasehat dokter dan juga Raya. Dan aku yakin karna cintanya, Raya memutuskan hal sulit itu. Jika gagal, Raya akan kehilangan dua-duanya : anak dan istrinya.
Selama Aura sakit, aku selalu melihat jiwa malaikat dalam diri Raya. Tak pernah sekalipun dia biarkan Aura menangis dan khawatir padanya. Dia akan selalu ada di dekat Aura. selalu membelai kepalanya dan meninabobokannya hingga lelap. Kerap kali dia luruh dalam sujudnya yang penuh dengan air mata. Tapi dia tetap Raya. Tetap tegar dalam pandanganku. Dia selalu berupaya tidak menangis di depan Aura. Yang diberikannya hanya senyum dan cinta.
Karnanya aku selalu memohon, berikan kebahagiaan pada anakku selalu.
***
Aura terus dan kerap kali bermimpi bertemu dengan ayahnya. Apakah artinya ini? Firasatkah? Ya Allah, tolonglah jangan siksa aku lagi dengan kehilangan. Sangat tidak enak kehilangan ini, gusti... Kasihani aku, jangan ciptakan kehilangan lagi padaku dan anakku.
Masih saja yang kutemui Raya yang bertanggung jawab. Tubuhnya kian ringkih karna memang haknya untuk dijaga oleh istrinya tidak begitu terpenuhi. Bahkan dialah yang kemudian kerap merangkap fungsi Aura sebagai istri. Dan dia tetap dan selalu memberikan senyum terbaiknya. Selalu saja dia katakan dia tidak apa-apa dan dia mencintai Aura sepenuh jiwa.
Ya Allah... apakah tidak wajar jika aku kemudian meminta dan memohon selalu agar Engkau mau menjaga cinta keduanya selamanya? Apakah salah jika kemudian aku bersujud lama-lama dan “memaksaMu” mengekalkan ikatan keduanya?
Tapi nyatanya tidak begitu.
Engkau tetap memisahkan mereka dengan paksa. Tidakkah Engkau kasian melihat air mata Aura? bagaimana dengan anak yang masih dalam kandungan Aura? Kenapa Engkau mengulang takdirku atas anakku? Kenapa tidak kau beri Raya tenggat waktu hingga anaknya lahir?
Kenapa? Kenapa? Kenapa???
Aura kuat menggenggam tanganku. Aku tau dia sedang mencoba menguatkanku. Aku tau dia juga sedang mencari kekuatan. Dia sedang menyelami yang kurasakan dulu.
“Beginikah yang ibu rasakn dulu?,” bisiknya.
Aku tidak menjawabnya. Aku tergugu dan kian erat bergenggaman tangan dengan Aura. Matanya yang berat menatap Raya yang tertidur lelap di depannya. Tangannya yang terus membelai Raya yang terlelap. Menciumnya sebelum akhirnya Raya di”dandani” dalam istirahatnya yang terakhir.
Aura kuat. Aku masih sempat melihat senyumnya.
Tapi sakit hatiku saat Pri turut histeris merutuki takdir Aura. Dia menangis bahkan pingsan dalam pangkuan Aura. Aura membelai Pri dengan sisa kekuatan yang entah didapatnya dari mana.
Ibuku? Tanpa kata.
Bapak? Sama sekali tanpa senyum.
Ibu bapak Raya? Pingsan di depan Raya tanpa raungan apapun.
Eyang uti dan akung? Hingga akhirnya Raya dimakamkan, tak ada kata yang keluar dari keduanya.
Ya Allah... Maafkan aku merutukMu.
Aku hanya ingin berkata, aku menyayangi anak-anakku. Dengan apalagi aku harus memintaMu menjaga keduanya dalam hidup? Tapi sudahlah... Sudah tidak ada kesempatan lagi untukku meminta itu padaMu. Karna kehendakMu selalu tidak dapat tertolak.
Pelan kuanggukan kepalaku menyetujui kalimat Aura : biarkan Raya bahagia dengan pilihan dari Tuhannya, bu...
            **___**
 
Tazkiyah
Dan memang ayah benar...
Aku tanpa kata saat ini. Ibuku juga. Ibu ‘Nda Raya juga. Apalagi bapak.
Sesekali harus kuelus dedek yang berontak di dalam perutku. Mungkin karna aku terlalu lama duduk di bawah. Aku sendiri tidak bisa menamakan perasaan apa ini. Sedih, takut, kecewa, khawatir atau apa.
‘Nda Raya mencintaiku. Ini bukan kehendaknya tapi kehendak Allahku.
Akhirnya aku menangis. Tapi tidak meraung. Hanya menangis. Pelan dan tertahan. Dalam diam. Semua seolah terbuka lagi. Kalimat-kalimat ‘Nda Raya dan ayah bergantian mengisi ingatanku. Kemudian kelakarku pada ayah dalam mimpi itu. Kemudian kalimat-kalimat ayah tentang kematian. Kenapa?!
Kalimatnya semalam. Dua rakaat terakhirku dia bilang. Witir penutupku dia bilang. Tatap matanya, rengkuhannya di pinggangku saat ke masjid. Kecupannya untuk dedek yang terlupa. Katanya, dedek dan abid yang tertinggal di rumah ini.
“Aku ingin hanya memberi kenangan bahagia pada abid hingga akhir hidupku.
“Aku sangat ingin dua rakaat terakhirku ini bisa aku tunaikan dengan abid sekalian nanti kita witir terakhir bersama ya!
“Kalo aku gak ada siapa yang akan abid cubit sampe merah gini?
“Temani aku sampai selesai witir penutupku ya, bid. Sekuat mungkin abid tetap witir berdiri, lakukan demi aku. Abid kudu kuat demi aku. Ya?!
Kenapa aku tidak bisa membaca pesannya?
‘Nda Raya tersenyum di depanku. Dalam lelapnya yang paling lelap. Tanpa darah di wajahnya. Hanya memar di tangan dan kakinya. Tanpa darah yang mengalir dari tubuh dan kepalanya. Selebihnya bersih. Tanpa luka apalagi darah yang bercecer-cecer.
Ayah benar, ayah mengajariku lebih siap dengan kematian.
Kuusap wajahnya. Kubayangkan selalu dia akan tersenyum saat aku mengusap wajahnya. Aku sudah kesulitan menangis. Yang kutahu hanya, di dalam kepala ‘Nda Raya terjadi pendarahan. Darahnya menggumpal dan menyumpat jalan kerja otak. Entah apa namanya itu. Dan semua terjadi karna benturan yang terlalu keras di kepalanya.
‘Nda Raya benar kini. Ternyata dia benar-benar menciptakan kenangan.
Kenangan untukku. Untuk dedek. Untuk ibu dan bapak. Untuk eyang uti dan akung. Pri dan Reno. Juga untuk seorang anak kecil yang dihindarinya tadi siang di jalan raya. Ketika dia hendak pulang makan siang di rumah.
Takdir yang tercacat:‘Nda Raya meninggalkan aku dan dedek. Selamanya.
Dan langit terpaksa menangis...
***
28 okt 14.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar