Rabu, 01 Februari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 8)


Mataku sebenarnya masih sangat enggan terbuka. Kepalaku juga masih terasa berat. Namun saat kurasakan sentuhan itu bukan sentuhan ibuku, aku seperti mempunyai kekuatan lebih untuk membuka mata.
“Ndaa...
Dia membantuku menegakkan tubuhku. Dia menatapku dalam mata elangnya. Tanpa kata. Hanya menatap.
“Bolehkah aku peluk ‘Nda Raya?,” kataku takut-takut. “Aku kangen...
dia masih diam. Kemudian melepaskan tatapnya dan mengangsurkan tubuhnya untuk kupeluk. Aku menangis lagi kini, padahal tadi aku sudah berjanji untuk tidak menangis.
“Maafkan aku ya, bid... Maaf...
aku menggeleng dalam peluknya. Tak ada kata yang bisa kuucapkan selain dua bahasa tubuh itu : menggeleng dan mengangguk. Sambil terus memeluknya erat-erat.
Aku tidak ingin bertanya ‘Nda Raya kemana tadi. Aku tidak ingin bertanya apapun saat ini. Aku hanya ingin merasakan lega dan bahagiaku karna kudapatinya lagi saat ini. Dan sebenarnya memang dia pun tak banyak kata padaku. Hanya bahasa tubuhnya yang kemudian selalu berarti dia sangat sayang padaku. Dia merapikan kembali selimutku dan membelai-belai dedek sampai akhirnya aku pun terlelap.
Aku terlupa satu hal : malam ini harusnya dia memberi keputusan itu.
***
Aku tetap tak berani bertanya apapun padanya. Kubiarkan dia dengan dunianya sendiri –seperti kata ibuku- meski sebenarnya aku sangat ingin segera dapat berbincang dan bercanda dengannya lagi.
Dia masih lelap hingga lepas subuh. Setelah subuh dia lelap kembali. Aku menungguinya lelap. Kupandangi wajahnya yang terlelap lelah.
“He bid... dari tadi?
Aku hanya tersenyum. Ingin sekali kukatakan aku disini sejak ‘Nda Raya terlelap setelah subuh tadi. Tapi kalimatku sengaja tak kukeluarkan.
“Capek banget ya ‘Nda?
Dia tersenyum. Membenamkan wajahnya pada guling dan memunculkannya kembali kemudian.
“Iya bid, capek... Kerjaan numpuk banget. Aku harus menyelesaikan semua sebelum deadline. Biar makin dapat nabung yang banyak buat abid dan dedek,” katanya.
“Buat kita, ‘Nda...,” ralatku. Dia kembali tersenyum.
“Iya, buat kita...
‘Nda Raya kemudian menemaniku bersandar di tempat tidur ini. Kebekuan memang sangat terasa seolah-olah kami tidak sangat lama tidak bertemu dan masih malu-malu untuk berbicara. ‘Nda Raya diam dan akupun juga diam. Tanpa kata, tanpa suara.
“Bid...
Aku menoleh. Pun dia. Menoleh ke arahku sebentar dan kemudian kembali pada tatapannya sendiri. Aku masih tetap menatap samping wajahnya.
“Abid gak pengen tanya kemana aku semalam?,” katanya kemudian. Dia kembali menolah arahku. Aku tak tau harus berekspresi seperti apa selain menatapnya.
“Aku juga tidak tau kemana aku semalam, bid,” katanya lagi sambil tersenyum. Kini ‘Nda Raya menatapku utuh. Memasukkan aku dalam binar matanya. Aku masih menatapnya, mencoba memasuki dunianya dengan matanya. Matanya kini memang meredup. Binarnya redup.
“Aku tidak tau kenapa aku semalam sangat ingin sendiri. Tidak ingin diganggu, tidak ingin disapa. Tapi aku sadar aku membuatmu dan ibu khawatir. Aku tau abid pasti nangis. Entahlah...,” katanya kemudian. Matanya masih tetap menatap dalam padaku. “Tapi aku tidak kemana-mana, bid... Aku hanya berjalan saja di sepanjang taman dan kemudian berhenti di masjid. Pikiranku seperti penuh dengan rasa takut, khawatir, entahlah apalagi rasanya. Bayangan abid bergantian dengan dedek. Aku membayangkan abid yang lelah mengandung dedek, abid juga masih sakit. Kenapa semua hanya ada pada abid?
Aku menggenggam erat tangannya.
“Aku juga pengen bisa ajak abid kemanapun abid mau. Aku pengen memberikan segenap yang terbaik yang kumiliki selama aku mampu. Tapi aku takut aku juga salah memutuskan itu. Aku takut ini juga bukan yang terbaik untuk abid. Maafkan aku ya bid...
Aku hanya diam. Tak tau apa yang harus kulakukan selain semakin erat menggenggam tangannya. Benar kata ibuku, aku cengeng. Sangat mudah menangis untuk semua hal.
“Makasih ya, ‘Nda. ‘Nda Raya dah ada buat aku, ‘Nda Raya dah jaga aku dan dedek dengan sempurna. Aku tidak tau bagaimana aku dan dedek jika tidak ada ‘Nda Raya. Jangan tinggalkan aku...
Kalimat terakhirku tertelan sedak.
“Bid bid, aku pengen kasih tau sesuatu buat abid. Mau ga?
Aku hanya menatap kosong.
“Senyum dulu dong sayang... Aku yakin abid pasti seneng. Aku yakin abid pasti akan makin nangis dan memelukku erat. Aku yakin abid akan menciumku,” katanya. Matanya dikedip-kedipkan.
“Genit!
“Kan gak papa genit pada istri sendiri. Iya kan?
Aku tertawa. “Ayo bilang ada apa. Cepetan...
“Baiklah... kemarikan tangan abid,” katanya sambil membuka kedua belah tangannya. Aku meletakkan kedua tanganku di atasnya hingga akhirnya kami dapat saling bergenggaman.
“Sore ini kita berangkat ke kampung,” katanya tenang. Sangat tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah dia tidak sedang melakukan sesuatu yang sangat besar.
Aku hanya merengut. Kemudian mengendurkan tanganku. Tapi dia menahannya.
“Gak percaya kan?,” katanya. Aku mengangguk. “Kalo beneran gimana?
Wajahnya masih tetep datar. Tanpa ekspresi. Tenang.
Aku menggeleng. ‘Nda Raya erat menggenggam tanganku yang kini mulai basah. Aku berharap ‘Nda Raya memang sedang tidak bercanda karna itu memang sangat tidak lucu malah melukaiku. Tapi aku juga tidak berani berharap itu adalah sebenarnya karna ‘Nda Raya sama sekali tidak menampakkan bahagia saat mengatakannya.
“Abid dah mulai gusar kan?
Aku mengangguk. Masih tanpa kata. Aku hanya ingin ‘Nda Raya mengatakan sesuatu. Bukan membuat aku bertanya.
“Dengarkan aku, bid. Aku sayang abid. Kita akan pulang kampung sore ini selama tiga hari. Tidak perlu membawa terlalu banyak hal. Kita bisa membeli oleh-oleh saat di jalan saja atau setelah sampai di sana. Kita cukup bawa satu tas pakaian saja. Tidak usah terlalu banyak barang yang dibawa. Aku sudah meminjam mobil Yusuf untuk tiga hari ini dan dia membolehkan. Bahkan dia sendiri yang berjanji akan membawanya ke sini sebelum jam dua siang ini.
Aku masih tetap diam. Tidak ingin menyahuti apapun.
“Masih tetap tidak percaya?
Aku mengangguk.
“Aku menemui dokter Hadi kemaren siang sewaktu lunch. Aku mengatakan tentang keinginanmu untuk pulang kampung. Dan dokter bilang, boleh lakukan perjalanan asal aman dari sinar matahari dan cuaca panas yang berlebihan. Karna itu akan berakibat berat pada dedek dan abid. Kemudian dokter langsung menyarankan aku berangkat sore hari, sewaktu matahari sudah mulai agak tenggelam. Hingga kita dapat berada dalam perjalanan tanpa bertemu matahari. Gimana?
Aku masih saja tetap diam. Bisakah aku mempercayai ini?
“Nda Raya bohong?
Dia menggeleng.
“Ngerjain aku?
Kembali dia menggeleng. Aku sudah menemukan binar di matanya.
“Abid tidak ingin memelukku?
Aku menggeleng. ‘Nda Raya melongo dengan gelenganku. Kenapa?
“Baiklah... dalam hitungan tiga tidak memelukku, aku akan batalkan semua yang sudah kulakukan. Satu... dua...
Aku masih tetap tidak ingin menampakkan bahagiaku. Pembalasan.
“Bid...,” katanya. “Ah abid ini gak asyik... aku tadi sudah mati-matian menyembunyikan surprise ini sejak semalam. Ga asyik ahh...
Aku tertawa menang. Tanganku sudah tak lagi basah oleh keringat.
“Aku mau peluk,” kataku. Dia berpura-pura tidak mendengar. “Nda... dengar aku gak? ‘Ndaaaa...
“Rayu dulu. Baru aku  mau,” katanya.
“Iya iya, aku rayu,” kataku akhirnya. “Pangeran, aku pengen peluk. Aku pengen berterima kasih pada pangeran karna pangeran sudah baeeeeekkk banget sama aku. Aku pengen pangeran tau, aku sayang banget dengan pangeran.
“Ra,” tiba-tiba dia memotongku. Tidak memanggilku dengan abid lagi. Aku menunggu kalimat selanjutnya dari ‘Nda Raya. Tapi dia hanya diam dan menatapku. Dalam.
“Sebelum semua kebahagiaan berlalu, berjanjilah  Ra akan selalu di dekatku. Apapun dan bagaimanapun akhir kita, jangan tinggalkan rumah ini. Aku janji akan menjaga Ra dan dedek dengan cara apapun juga, dengan segenap kemampuan yang aku punya untuk Ra dan dedek.
“Nda Raya mulai mengkhawatirkan keadaanku?,” tanyaku kemudian.
“Hhhh...,” nafasnya terasa berat di dada. “Maafkan aku ya, Ra. Aku tidak pernah bisa tidak khawatir terhadapmu. Aku mau saja jika Allah memindahkan sakitmu ke aku, biar aku juga dapat merasakan yang Ra rasakan. Aku tau Allah pasti anggap Ra kuat karna Allah kasih Ra sakit ini, tapi aku bukan orang yang kuat melihat Ra tidak boleh terkena sinar matahari lebih dari jam tujuh pagi, tidak boleh berjalan lebih jauh dari rumah, tidak boleh banyak lelah karena gerakan, tidak boleh ini tidak boleh itu...
“Aku mengenalmu sejak dulu, Ra. Sejak masih kuliah. Aku tau bagaimana Ra dan aktifitasnya, Ra dengan segenap keceriaannya, Ra dengan kelucuan dan polosnya. Aku mengagumi semua itu padamu, Ra. Bahkan itu menjadi salah satu alasanku memberanikan diri melamarmu saat itu. Aku ingin mempunyai seseorang yang kuat dan generasi yang luar biasa.
Aku terhenyak. “Apakah ‘Nda Raya pikir aku tak bisa lagi menjadi orang yang kuat karna sakitku?,” tanyaku pelan.
Dia menggeleng. Kuat. “Bukan begitu, Ra sayang... Aku selalu mengenalmu sebagai orang yang kuat. Dari dulu sampai sekarang. Bahkan aku yakin Ra lebih kuat dari aku, meski ternyata Ra juga punya sifat nangisan. Tapi itu malah semakin menambah daya kuatmu.
“Jadi apa yang ‘Nda khawatirkan?,” tanyaku lagi.
“Aku... aku...
Aku menunggunya bicara.
“Aku takut tidak bisa menjagamu utuh dan menjadi yang terbaik buatmu dan dedek, sampai saat ini,” katanya. Ada air yang menggantung di matanya. Air itu kemudian luluh saat kupegang wajah tirusnya. Kukatakan, “Nda Raya adalah yang terbaik yang pernah kumiliki setelah ibuku. Tidak ada orang yang menjagaku dengan sedemikian sempurna selain ‘Nda Raya.
“Aku takut bid...
“Takut apa, ‘Nda...
“Aku tidak tau. Aku hanya merasakan takut yang sangat tiba-tiba.
Kemudian aku tergugu. Sekilas melintas kisah rasulullah saat pertama kali mendapat wahyu yang membuat beliau menggigil. Ketakutan dan kekagetan menjadikan beliau seperti anak kecil yang ingin ditenangkan oleh bundanya. Khadijah menyelimuti dan membesarkan hatinya.
Dan aku, akan tetap menjadi Khadijahmu ‘Nda...
Selalu.
**---**
            Rendevouz
Pukul 04.37
Lepas subuh disini. Tercium aroma asap dari dapur ibuku yang mungkin sedang memasak nasi. Lelakiku masih terlelap karna memang semalaman dia menjadi sopir selama perjalanan. Kubiarkan dia tetap lelap dalam tidurnya karna aku menyukai matanya yang tertutup saat ini hingga dapat kulihat wajah lelahnya dengan sempurna.
Kugeser perlahan tubuhku yang semakin memberat.
“Masih dingin ya bu?,” kujajari ibuku yang memang benar sedang memasak nasi. Ibu hanya menoleh sebentar kemudian kembali pada nasinya. “Ibu masih marah?,” tanyaku lagi. “Maafkan Ra... tapi kalo Ra boleh bilang, Ra seneng bisa pulang ke rumah ini. Seneng Ra melebihi kekhawatiran Ra pada marah ibu. Ibu tau...,” suaraku mulai serak. “Ra selalu membayangkan bagaimana kalo ini menjadi perjalanan terakhir kita? Bagaimana jika ini menjadi kebersamaan terakhir Ra dan ‘Nda Raya di rumah ini?
Akhirnya ibu menjajari dudukku. Mata tuanya menerawang. Tanpa kata.
“Maafkan Ra ya, bu...,” kataku lagi. Kupegang lengannya pelan.
“Ya sudah, gak usah dipikir lagi. Yang penting Ra manut sama Raya. Kasihan dia kalo harus terus membagi hati untuk bahagiamu, kekhawatirannya sendiri dan ketakutannya mengecewakanmu.
Aku mengangguk.
“Ra mau ke rumah eyang uti nanti. Trus ke rumah mbah uti. Trus ke rumah budhe,” kataku kemudian. “Tunggu ‘Nda Raya bangun dulu.
“Tapi Ra juga kudu ingat, Ra tidak boleh terkena sinar matahari langsung terus-terusan,” ibu mengingatkanku. Nasi yang dimasaknya telah siap di atas meja. Aroma nasi dari beras wangi tercium semerbak kemudian.
“Ra maem, bu. Pake kecap dan kerupuk. Ada kan?,” aku segera menuju meja tempat nasi itu diletakkan. Kemudian mengambil beberapa sendok di atas piringku. Aku tersenyum dengan menu masa kecilku. Dulu hampir tiap hari sarapanku adalah nasi hangat dengan kecap dan kerupuk. Terkadang dengan telor dadar.
“Setelah ini Ra mandi. Trus bangunkan Raya biar segera siap, tidak terlalu siang. Biar ibu yang siapkan sarapan buat Raya,” kata ibuku kembali sambil masih dengan kesibukannya mengiris-iris bumbu.
“Ibu tidak ingin ikut ke rumah eyang?,” tanyaku. Ibu hanya diam. “Ibu bilang ibu tidak membenci eyang. Ibu telah berhasil membuktikan pada eyang ibu mampu dengan mandiri dan sempurna membesarkan aku dan mengantarku bahagia,” kataku. “Sekarang tidak ada lagi yang berhak mencemooh ibu. Ra juga gak akan ijinkan seorang pun lakukan itu,” kataku. Kalimatku begitu merah, panas dan marah. Dan kemudian kurasakan ada yang mengalir dari hidungku. Ah, kenapa mesti mimisan hanya gara-gara begini? Kususut segera sebelum ibuku mengetahui mimisanku.
“Ya sudah, nanti ibu ikut kalian,” kata ibuku akhirnya.
Pukul 06.19
‘Nda Raya sedang memanaskan mobil yang dipinjamnya dari Yusuf. Karna sakitku, semua seperti harus beranjak sepagi mungkin agar aku tidak bertemu dengan matahari yang selalu tidak ramah pada sakitku.
“Nda Raya masih ngantuk ga?,” tanyaku menyebelahinya. Dia segera menggeleng. Tangannya memintaku sedikit menjauh karena dia akan menekan pedal mobil agar lebih cepat hangat.
“Mau kusuapi, ‘Nda?,” tanyaku lagi.
“Itu pertanyaan yang kutunggu dari tadi, bid...,” teriaknya dari dalam mobil. “Buruan gi, aku laper banget. Sudah sejak semalam kan kita maem,” katanya lagi.
Aku segera beranjak mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauk dan minumnya. Aku teringat begini pula ibuku dulu membuatku agar mau makan. Mengikuti kemana pun gerakanku sambil sesekali bercerita dan berteriak jika aku telah sangat menyusahkannya.
“Enak juga ya, bid, kalo tiap hari disuapin gini,” komentar ‘Nda Raya. “Jadi merasa kayak anak-anak. Hehehehe
“Nda, nanti di rumah eyang uti agak lama ya. Biar aku bisa ngobrol agak panjang,” kataku.
“Ya terserah baiknya saja... abid minta agak lama aku turuti. Kita cepat-cepat juga kuturuti. Mau nginap juga boleh-boleh saja,” jawabnya. Yakin.
“Kenapa ‘Nda Raya mau terus-terusan menuhin mauku padahal kadang juga ‘Nda Raya tidak suka?,” tanyaku.
Dia tertawa. “Ya karna aku sayang abid,” jawabnya lagi. “Kenapa tanya begitu terus?,” tanyanya kemudian. Tangannya memasukkan sebuah kaset nasyid kenangan kami dulu.
“Bukan karena ‘Nda Raya ingin memberikan kenangan terindah padaku?,” tanyaku. Dia melirikku dan tidak mempedulikan kalimatku.
“Kenangan apa?,” katanya. “Jangan mikir aneh-aneh gitu ah...
“Memang kenapa?
“Lha abid ngomongnya jadi gitu. Jadi kesannya kok kita ini mau saling pisah saja.
“Kan memang begitu adanya?,” kataku.
‘Nda Raya menatap tajam ke arahku. Aku mengalihkan pandangan.
“Sudah berapa kali kita sepakat, tidak ada lagi pembicaraan tentang hal kayak gini. Kenapa abid tidak menepati kesepakatan kita?,” katanya.
Aku memegang lengannya. “Maaf...,” kataku.
Pukul 06.37
Aku, ‘Nda Raya dan ibu sampai di rumah eyang uti. Eyang kakung menyambutku dengan senyumnya yang rekah. Kemudian menggandengku masuk ke rumah. Beruntung cuaca hari ini sedikit redup hingga kami tidak perlu terlalu khawatir dengan matahari.
“Eyang uti mana, kung?,” tanyaku saat dalam gandengannya.
“Di dalam. Mungkin uti tidak mendengar suara mobilmu,” jawab akung.
Kulirik ibu yang terlihat kikuk di rumah ini. Sudah lebih dari dua puluh enam tahun ternyata ibu masih juga kikuk di rumah ini. Ya Allah, andai eyang uti dapat luluh hatinya...
Kucium takzim eyang utiku. Ibuku juga melakukan itu, pun juga ‘Nda Raya. Eyang uti tersenyum tipis pada kami. Kemudian menemani obrolan tak tentu arah pagi ini.
“Maaf uti, akung, Ra sowannya pagi-pagi begini,” ibu memberanikan diri turut dalam obrolan kami. Sedari tadi ibu hanya diam dan tersenyum tanpa sedikit pun turut bersuara.
“Ya gak papa, malah enak masih adhem-adhem begini. Masih segar. Baik untuk bayi Aura,” sahut akungku. Kemudian tertawa.
“Ya dimaklumi kung... Sakit Ra tidak bisa berkompromi dengan sinar matahari,” kataku kemudian. “Pak dokter Raya juga tidak mengijinkan Ra keluar kalo terlalu panas,” selorohku. Kulirik ‘Nda Raya yang masih juga diam.
“Suamimu dokter?,” tiba-tiba uti bertanya.
Aku tersenyum. “Iya, uti... Dokter pribadi Ra,” kataku. “Mboten-mboten uti... ‘Nda Raya bukan dokter kok. Tadi Ra cuman bercanda,” kataku lagi.
“Terus kerjanya apa suamimu itu?,” tanya uti lagi. Dalam hati aku bertanya kenapa tidak langsung bertanya pada ‘Nda Raya?
“Saya kerja di kantor telekomunikasi, ti,” jawab ‘Nda Raya segera. Dia seperti mengetahui kejengkelanku. “Ya lumayan, ti, bisa buat nabung-nabung buat rumah dan sekolah dedek nanti.
Eyang uti kembali bertanya. “Jadi kalian sudah punya rumah belum?
“Alhamdulillah sudah, uti... insya Allah cukup untuk tinggal bertiga nanti. Silakan kalo uti kapan-kapan mau mampir ke sana. Akung juga monggo kalo pengen maen...,” aku takjub pada kelembutan sikap ‘Nda Raya.
“Iya iya, nanti akung dan uti maen ke sana pas Aura melahirkan,” sahut akungku. ‘Nda Raya tersenyum.
Obrolan kembali bergulir. Ibu tak lagi sungkan bertanya macam-macam dan turut dalam obrolan kami. Sesekali aku berseloroh berupaya membuat eyang uti tertawa. Meski tidak tertawa, aku yakin eyang uti tersenyum dengan selorohanku.
“Rencananya berapa lama disini, ra?,” tanya akung.
“Hm... mungkin tiga hari, kung,” jawabku.
“Ibumu nanti ikut lagi ke rumahmu?,” tanya akung lagi.
“Pastinya, kung... Nanti siapa yang njaga Aura kalo saya ngantor kalo ibu tidak ikut lagi,” ‘Nda Raya menyahuti. Akung mengangguk-angguk mendengarnya. “Saya kan harus kerja sekuatnya untuk dedek dan Aura. Namanya juga kerja kantor tanpa shift, jadi ya berangkat pagi hari dan pulang sore hari. Kasihan Aura kalo di rumah sendiri, nanti kalo butuh apa-apa kan jadi repot.
“Kantor dan rumahmu jauh?,” tiba-tiba uti kembali urun tanya.
“Lumayan, ti... Sekitar dua puluh menit naek motor,” jawab ‘Nda Raya.
“Memang Aura sakit apa?,” kembali utiku bertanya.
‘Nda Raya tersenyum. “Sakit biasa, ti... Untungnya Ra ini istri yang kuat kayak ibunya. Sakit kayak apapun juga masih tetap suka tertawa,” seloroh ‘Nda Raya. Kulirik utiku tersenyum. “Tapi jangan salah juga, ti... Aura ini juga ratunya cengeng. Pas bahagia pun dia nangis. Saya tidak tau dapat gen dari mana cengengnya itu. Seneng siy, cuman kadang saya bingung membedakan ini nangis beneran atau boohongan ya,” ‘Nda Raya kembali bercerita.
Akung tertawa saat dengan kuat kucubit lengan lelakiku itu.
“Oh iya ada lagi, kung, ti. Kebiasaannya yang lain itu mencubit dan menggigit. Pokoknya kalo dah ngambek, pasti dua kebiasaan itu yang kemudian turut keluar,” kelakar ‘Nda Raya.
Akung kembali tertawa. Uti juga tersenyum, meski aku yakin sebenarnya andai tidak malu mungkin uti juga akan turut tertawa.
“Kalo saya boleh tanya, kung, ti,” tiba-tiba ‘Nda Raya berkata dengan serius. Aku menatapnya dengan gusar, bertanya apa.
“Tanya saja. Tanya apa,” akung menyahuti.
“Hem... begini, kung. Saya ini cuman pengen tau, kira-kira dari siapa ya istri saya ini mendapatkan keahlian menangis?,” tanyanya tenang kemudian melirikku.
“Si Nda jeleeekkk... ga sopan. Aku gak mau ngomong lagi,” kataku.
Akung tertawa. Ibu juga. Tapi uti malah seperti bersedih.
“Uti kenapa?,” kuberanikan diri mendekat dan memegang tangannya. Utiku semakin menunduk dan menangis. “Ti... apakah pertanyaan ‘Nda Raya salah?
“Maafkan saya, ti, kalo tidak berkenan,” kata ‘Nda Raya segara juga.
Eyang uti menggeleng. Kemudian menyeka matanya. Akung dan ibu hanya melihat uti yang menangis tanpa tau apa sebabnya. Aku tetap menggenggam tangan eyang uti. ‘Nda Raya kini juga turut duduk mendekat ke arah kami. Matanya lekat menatap eyang uti yang menangis.
“Namamu siapa tadi, le?,” tanya uti sambil melihat ke arah ‘Nda Raya.
“Raya, uti,” jawabnya.
“Raya,” ulang utiku. Aku masih tidak mengerti. Aku menunggu maksud uti dengan pertanyaan itu. Memang wajar eyang uti tidak mengetahui nama ‘Nda Raya karna dulu sewaktu kami menikah eyang uti tidak hadir. Hanya ada eyang kakung dan pakdhe.
“Iya, uti. Raya,” ulang ‘Nda Raya juga.
Eyang uti kembali menangis.
“Raya siapa?,” tanya uti lagi. Kami makin dibuat tegang.
“Raya Pratama Handoko,” jawab ‘Nda Raya tenang. “Handoko nama bapak saya, ti.
Tiba-tiba eyang uti memegang wajah ‘Nda Raya. Aku merasakan ketegangan yang luar biasa. Dedek juga tiba-tiba meningkahi ketegangan ini dengan tendangan-tendangannya.
‘Nda Raya hanya diam. Membiarkan eyang uti menyentuh wajahnya pelan. Air mata eyang uti masih juga mengalir.
“Kamu... kamu mirip Adi,” ujar eyang kemudian. Kelegaan terpancar di wajah tuanya. ‘Nda Raya tersenyum dan meraih tangan eyang uti seperti seorang anak menggenggam tangan ibunya.
“Karna saya memang anak ayah Adi,” katanya. “Meskipun saya tidak pernah tau seperti apa ayah Adi, tapi saya tau beliau orang yang sangat hebat. Ibu dan Aura tidak pernah menceritakan apapun tentang ayah Adi, kecuali kebaikan dan kehebatannya sebagai seorang suami dan ayah,” kata ‘Nda Raya lagi.
Eyang uti kembali menangis. Air matanya terhatan di antara lipatan-lipatan kulit tuanya hingga mengalir tak beraturan. ‘Nda Raya masih menggenggam tangan keriput eyang uti dengan lembut.
“Allah tidak pernah salah dengan apapun takdirNya. Allah mungkin mengganti ayah Adi dengan saya, meski saya masih jauh jika dibanding ayah Adi,” kata ‘Nda Raya lagi. Aku hanya terpana melihatnya begitu membuat eyang uti terpesona. Ibu kulihat juga mulai turut menangis.
“Jadi uti sekarang jangan ragu lagi. Anggap saja Raya juga sebagai ayah Adi, jadi eyang tidak perlu sungkan-sungkan meminta apapun ke saya. Uti juga berhak atas diri saya. Ya kan, bid?,” Nda Raya memasukkan aku dalam persetujuannya.
Aku mengangguk. “Iya tentu saja,” kataku terbata.
“Kamu tadi tanya dari mana Aura dapat keturunan cengeng?,” tanya eyang uti lagi. Inilah pertama kalinya eyang uti menyebut namaku dengan sempurna karna selama ini eyang uti hanya menyebutku dengan dia atau anak itu. Tanpa pernah menyebutku dengan nama.
‘Nda Raya mengangguk.
 “Ya dari ayahnya,” jawab uti pelan. “Adi itu hatinya sangat lembut. Tapi juga sangat tegas dan kuat pendirian. Dia sangat mudah tersentuh dan menangis. Awalnya uti sering memarahinya karna dia laki-laki, tapi lama-lama uti biarkan. Toh memang begitu sifatnya. Itu bukan cengeng, tapi memang karna atinya sangat lembut,” ujar eyang uti.
Aku kembali terpana. Akhirnya pelan-pelan eyang uti pasti akan bisa menerima aku sebagai cucunya dan ibu juga sebagai anaknya. ‘Nda Raya masih menggenggam tangan eyang uti dengan erat. Eyang uti pun seperti turut merasa dimanja oleh ‘Nda Raya. Aku berusaha menegakkan tubuhku kembali, kusandarkan di sofa tua rumah ayahku.
Dedek beberapa kali menendangku, mungkin karena dia tertekan dengan posisi dudukku yang agak merendah mencoba menyamai posisi eyang uti. Aku memang merasakan ada yang tegang, kemudian kepalaku terasa agak berat. Sangat perlahan kurasakan tangan ‘Nda Raya juga turut menggenggam tanganku. Aku merasakan dia beralih memperhatikan aku dengan penuh perhatian. Aku ingin berkata, aku tidak sedang cemburu. Tapi suaraku tertahan entah dimana, aku pun tak bisa menyambut genggam tangannya. Aku hanya merasakan darah kembali mengalir dari hidungku, ibu memanggil namaku dengan cemas. Akung dalam samar penglihatanku bergerak ke sana kemari dan eyang uti bersuara sangat cemas dan menyuruh ‘Nda Raya memindahkan aku ke kamar ayah. Aku bahagia dengan suara eyang uti yang –aku yakin- mengkhawatirkanku. Aku tidak akan takut mati dalam keadaan seperti ini. Tapi tidak, aku masih ingin dipanggil bunda oleh dedek nanti.
Hhff... Apakah memang kebahagiaan itu selalu berharga mahal?
***
Aku bermalam di rumah eyang uti sekarang. Di kamar ayahku dulu. Ibuku bermalam di rumah karna memang kamar di rumah eyang sedang berpenghuni semua. Akhirnya bulik yang mengantar ibu pulang ke rumah, sementara aku dan ‘Nda Raya bermalam disini.
“Maafkan Ra, uti, akung... Ra dah buat cemas,” kataku pelan. Aku hanya diam dan menjawabnya dengan usapan di kepalaku. Uti juga tidak banyak komentar dengan kalimatku, tapi aku yakin uti tidak memasalahkan kejadian fantastis tadi pagi. Beruntung karena aku tidak sadar hanya satu jam, dan kembali pulih setelah meminum vitamin dan suplemenku.
“Bid, aku ke warnet dulu ya! Sebentar saja kirim data dikit. Ya yah!
Aku hanya memandangnya sebentar.
“Aku janji tidak lebih dari dua jam,” katanya menghampiriku. Akung dan uti hanya memperhatikan aku yang hanya diam dan ‘Nda Raya yang duduk berlutut memegang tanganku. “Ada file yang harus dikirim,” katanya.
“Memang gak bisa pake HP saja?,” tanyaku.
Dia menggeleng. “Sinyal disini payah. Gak connect dari tadi,” katanya lagi. Tangannya masih menggenggam tanganku erat. Meminta persetujuan.
“Satu jam ya? Jangan lama-lama,” kataku setengah merajuk.
“Satu setengah jam. Ok?,” tawarnya. “Kan ada eyang uti dan akung di rumah, jadi gak sendirian kan? Eyang uti dan akung mau menemani Aura kan selama saya pergi?,” ‘Nda Raya berbalik bertanya pada akung dan utiku. Aku mencubit lengannya kuat. “Soalnya Aura niy tidak terbiasa ditinggal-tinggal, yang. Jadinya ya gini... kalo mau ditinggal kudu dirayu dulu. Kalo di rumah telat pulang sepuluh menit saja, pasti dah ditelpon dan SMS. Bener-bener istriku satu-satunya ini luar biasa manjanya,” ujarnya tanpa peduli aku yang mulai memilin-milin kain ujung jilbabku. Malu sama eyang uti dan akung.
‘Nda Raya segera menyiapkan keperluannya sendiri. Memasukkan laptop, HP dan beberapa komponen yang sempat dikeluarkannya tadi. Menata berkas yang sempat dipelajarinya tadi, kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas kerjanya. Biasanya aku yang membantunya merapikan semua itu, tapi karna sekarang aku masih agak lemah, jadi ya ‘Nda Raya menyiapkannya sendiri. Eyang uti dan akung hanya memperhatikan karna memang mungkin mereka tidak paham dengan keperluan ‘Nda Raya.
“Minumnya kemaren aku taruh di jok belakang, ‘Nda. Masih ada satu botol, sama ada kue di kotak depan. ‘Nda Raya bawa masuk nanti pas di warnet. Awas kalo masih ada sisa saat pulang,” kataku mengancam.
“Aku kan baru maem, bid... masa’ disuruh maem terus? Nanti malah gak kerja, maem mulu kan?,” katanya. Matanya sama sekali tidak beralih dari pekerjaannya memindahkan keperluannya ke dalam tas kerjanya.
“Ya udah deh terserah ‘Nda Raya. Yang penting aku mau ‘Nda Raya bawa minuman ke warnet. Awas kalo beli minuman dingin, aku gak mau urus kalo ‘Nda Raya batuk-batuk,” kataku lagi.
“Iya iya, abid sayang... akan kuhabiskan makanan dan minuman yang ada di mobil. Okeh?!,” sahutnya kemudian. “Ya dah, aku pergi dulu. Antar aku sampai depan ya! Sekalian aku pamit eyang di luar. Yok...
‘Nda Raya membantuku bangkit dari kursi. Merangkul pinggangku hingga teras depan rumah.
“Sudah mau pergi?,” tanya akung.
“Iya, kung. Biar gak malam-malam selesainya,” jawabnya.
“Ati-ati. Kalo lupa jalannya telpon ke rumah,” pesan uti. Aku tersenyum.
“Iya, uti, trima kasih. Saya nitip Aura bentar ya!,” jawabnya lagi. “Nanti kalo lebih dari satu setengah jam aku telpon. Baek-baek, jangan dibuat mikir macem-macem. Aku sayang Aura,” aku seperti tersihir dengan kalimat terakhirnya. Sudah berapa lama ya ‘Nda Raya tidak mengucapkan kalimat itu?
***
Pukul 15.39
Aku menemani sore eyang uti di halaman. Aku memang memaksakan diri untuk kuat berdiri menemani eyang uti di halaman yang penuh dengan bunga mawar ini. Aku hanya ingin menciptakan moment kedekatan dengan utiku. Eyang kakung menemani kami di teras dan aku mengekor uti mengurusi mawar.
Lg apa, bid? SMS dari kekasihku.
Lg nemeni uti rawat mawar. Dah kelar, nda?
Hff... lama bid! Telat balek gpp ya, bid? Tulisnya lagi
Berapa lama?
Ga tau. Tp secepetnya balek. Key? Mo nitip apa?
Ga ada. Ati2. Cepet balek, aku hny maem kalo ‘Nda Raya dah balek. Ancamku.
Iya insya Allah. Eh iya, jgn capek2 dulu. Ati2 mimisan lg. Jgn bandel.
Aku kembali pada aktifitasku menemani eyang uti yang berkebun. Sesekali aku duduk karna dedek juga kadang menendang terlalu keras. Kepalaku memang terasa agak berat, tapi mungkin itu sisa tadi pagi. Eyang uti sesekali kuketahui melirikku dan saat kami saling bertatap, eyang uti segera saja sibuk kembali dengan mawar-mawarnya.
“Istirahat di teras saja kalo memang masih lemah,” tiba-tiba eyang uti mengajakku bicara. Hampir setengah jam aku menemani eyang uti, baru kali ini aku diajak bicara. Dari tadi aku terus yang bertanya dan eyang uti menjawab dengan seperlunya.
“Ra gak papa kok, uti,” jawabku. “Asal mataharinya tidak terlalu menyengat, Ra akan kuat. Sekarang mataharinya kan sudah agak tenggelam, jadi tidak terlalu panas. Biasanya kalo di rumah juga Ra rawat bunga dengan ‘Nda Raya.
Eyang uti tersenyum. Sangat samar senyumnya.
“Sebenarnya Ra tadi pengen ke makam ayah, tapi ‘Nda Raya ada kerjaan gitu jadi mungkin besok saja Ra ke makam insya Allah. Pagi-pagi sebelum ke rumah mbah uti,” kataku lagi. “Sejak menikah, kami baru ke makam sekali. Dulu pas mau liburan disini, ternyata malah Ra kudu inap di rumah sakit. Jadi batal juga maen ke rumah ibu bapak ‘Nda Raya,” sambungku lagi.
Pukul 16.17
“Coba telpon Raya, Ra. Kok belum pulang juga,” akung mendekatiku yang bersandar di kursi panjang teras. Aku mengiyakan dan kuminta akung sendiri yang bicara dengan ‘Nda Raya.
“Ya sudah kalo gitu, kalo sudah selesai cepet pulang saja. Akung kok khawatir dengan Aura yang dari tadi nyandar terus,” ujar eyang menutup pembicaraan dengan ‘Nda Raya. Eyang akung menanyakan apakah ‘Nda Raya belum selesai juga. Aku tidak tau apa yang dikatakan ‘Nda Raya, yang kutau hanya akung ber-iya iya dan ber-ooo sebentar-sebentar.
“Ini Raya mau ngomong,” akung menyerahkan HPnya kembali padaku.
“Iya, ‘Nda...
“........ ........ ...............
“Iya, abis ini aku minum. ‘Nda Raya cepet balek saja kalo dah kelar. Ati-ati, jangan sampai ada yang tertinggal di sana,” pesanku. “Sebentar, ‘Nda...
“Uti, mau pesen juga sama ‘Nda Raya? Ini kalo mau bicara,” kataku begitu aku sadar eyang utiku memperhatikan kami dari tadi. Tapi uti menggeleng dan menyilakan aku saja yang bicara.
“Ya sudah, ‘Nda. Ati-ati, cepet balek. Gak udah khawatirkan aku, abis ni aku minum obatnya. Cepet balek saja ya!
Pukul 16.35
Aku ingin mengatakan sesuatu pada ayahku,
Aku sangat ingin bertemu dengannya
Mengatakan padanya sesuatu
Aku sangat ingin berkata:
Ayah, aku mencintaimu
Kukirimkan puisi itu pada ‘Nda Raya. Aku merasakan bahagia yang belum pernah kurasakan selama aku menjadi anak ibu. Bahagia karna diterima dengan sangat terbuka menjadi cucu eyang uti. Eyang uti mulai banyak bercerita padaku dan memberikan nasehat tentang kehamilanku. Eyang uti juga bercerita tentang ayah banyak-banyak.
“Uti tidak tau kok bisa suamimu itu sangat mirip tingkah lakunya dengan ayahmu. Mulai dari gaya lucunya, tertawanya hingga gayanya menenangkan. Kaget juga uti, nduk...
Aku tertawa. Allah sayang aku dan ibu karna memberikan ‘Nda Raya padaku secara utuh. Andai ibu ada disini dan mendengar uti mau memanggilku dengan “nduk”, pasti ibu akan menangis.
“Ti...
Uti menoleh ke arahku. Aku menegakkan tubuhku kembali pada sandaran kursi panjang akung. Aku menarik nafas mengatur hatiku yang bergetar.
“Ada apa, Ra?
“Hm... Ra boleh tanya sesuatu?,” kataku. Wajah sepuhnya berubah seketika. “Ra tidak bertanya macam-macam kok. Ra hanya pengen bertanya sedikit saja.
“Iya ada apa. Tanya saja,” kata uti segera.
Ragu kutatap eyang uti. “Uti sayang Aura?
Mata tuanya kembali meredup. Kemudian berusaha menghindariku yang masih menatapnya ragu-ragu. Tak ada jawab yang keluar dari eyang uti. Dan seketika itu suasana menjadi beku kembali. Aku menyesal bertanya begitu tadi.
Aku juga cinta abid. Bahkan mungkin lbh besar dr cinta abid pd ayah
Aku tergugu. Eyang uti tidak menjawab pertanyaanku dan ‘Nda Raya yang menjawabnya. Benar kata ‘Nda Raya, Allah selalu punya cara paling romantis untuk membuat kita merasa sangat dicintai. Aku kembali menyandarkan diri pada kursi panjang ini dan sejenak merebahkan lelahku berpikir tentang sayangnya uti padaku.
Aku menangis merasakan betapa rindunya aku pada pelukan eyang uti. Aku semakin bisa merasakan bagaimana tidak nyamannya menjadi ibu yang dianggap telah merebut ayah dari eyang uti dan kemudian juga dikatakan membuat ayah celaka hingga harus meninggal dalam usia muda. Aku bisa memahami kenapa ibu masih sangat enggan menjadi “mantu yang manis” di depan uti. Aku semakin bisa mengerti kenapa ibu sangat enggan atau takut menatap mata eyang uti.
“Ayahhhhh...!!
Aku berkeringat dingin kemudian. ‘Nda Raya menenangkanku dan memegang kuat tanganku.
“Abid tenang. Abid... abid dengar aku kan?
Aku mengangguk. Lemah kusandarkan kepalaku di pundak ‘Nda Raya.
“Aku kenapa?,” tanyaku.
“Tadi sore pas aku datang abid tidak bisa dibangunkan. Akhirnya ya kuangkat. Sebenarnya bukan tidak bisa dibangunkan, tapi lebih tepatnya abid tertidur lagi tanpa abid sadari,” Nda Raya mencoba tertawa. “Apalagi tiba-tiba demam lagi. Hampir saja aku pindahkan abid ke rumah sakit lagi kalo dalam setengah jam ini abid tidak juga bangun,” katanya lagi.
Aku tersenyum.
“Kasian eyang uti dan akung yang tidak biasa lihat abid pingsan-pingsan gini. Dari tadi sudah ribut terus nyuruh bawa abid ke rumah sakit. Trus memarahi siapa saja yang ramai di rumah ini. Kemudian sebentar-sebentar ke kamar mandi buat buang air kecil karna kekhawatirannya padamu, bid... Ayo minta maaf sama eyang,” Nda Raya sok memerintahku dengan santai. Padahal aku tau dia juga sangat khawatir pada keadaanku.
Aku kembali tersenyum.
“Maafkan Aura, eyang...
Eyang berdua tersenyum. Kemudian turut duduk di ujung ranjangku. ‘Nda Raya menyiapkan obat-obatku dan aku menunggunya dengan bersandar lagi.
“Kenapa kok kamu mudah pingsan, nduk?,” tanya akung hati-hati.
“Biasa kok, kung... Kalo pikiran Ra sedang lelah, tiba-tiba bawaannya lemah saja,” jawabku. ‘Nda Raya diam saja mendengarnya. Kemudian meminumkan obat kepadaku pelan-pelan. Aku tau di matanya ada khawatir, kecewa dan juga marah karna dari tadi ternyata aku belum meminum obat-obatku.
“Ya tapi mbok yo jangan dianggap biasa begitu,” sela akungku lagi.
“Iya, kung. Insya Allah Ra tidak apa-apa kok. Ya kan, ‘Nda?
Lelakiku mengangguk. “Iya, yang. Eyang uti dan akung tidak perlu khawatir. Didoakan saja dedek yang di dalam bawa berkah. Jadi setelah melahirkan dedek, sakit Aura tidak datang lagi. Andai saya bisa membawa pergi sakit Aura jauh-jauh, pasti akan saya lakukan apapun resikonya.
Kalimat ’Nda Raya mengeras. Kugenggam tangannya kuat.
“Tadi ayah datang, yang,” kataku kemudian. Eyang uti dan akung serta merta menatapku. “Ayah sering datang tiap kali Ra pingsan, yang. Bahkan dulu sewaktu di rumah sakit, ayah setia menemani Aura hingga sadar sepenuhnya,” ceritaku. Eyang uti dan akung masih menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan.
“Ra juga tidak mengerti apa arti kedatangan ayah. Padahal Ra juga tidak tau wajah ayah, tapi Ra yakin itu adalah ayah,” kataku lagi. Mataku kembali mengembun.
“Sebelum tuan putri kembali menangis, gimana kalo kita makan martabak ini yang? Masih hangat lho, enak kalo dimakan malam-malam begini,” Nda Raya tanpa meminta persetujuan segera membuka martabak telur yang dibelinya tadi. Seketika aroma martabak memenuhi rongga hidungku.
Ayang uti dan akung segera mengambil satu bagian masing-masing kemudian bersama-sama memakannya. Kulihat ‘Nda Raya sibuk menulis pada selembar kertas. Sebelum akhirnya dia mengambil kembali satu potong martabak dan menyerahkan kertas itu padaku.
Aku mencintaimu sepenuh jiwaku. Awas kalo nangis lagi, apalagi sampai pingsan lagi. Kutinggal disini nanti. Gggrrhhmmm...
Aku tertawa membacanya. Hingga semua kemudian larut dalam warna birunya malamku. Dan aku kembali bersyukur karna aku menemukan penggenap hidup dan agama paling sempurna dalam hidupku.
Karna hanya padamu : aku merasa rindu...
 **___**
  
Di Rumah Pri
“Kamu pernah bertengkar dengan Raya, Ra?,” Pri menjajari dudukku.
“Kenapa?
“Ya aku pengen tau saja. Kira-kira siapa yang menang kalo kalian berdua bertengkar,” kelakarnya.
Aku tak mau kalah. “Ya jelasnya aku yang menang. Tinggal nangis pasti dia akan kalah. Hahaha,” Jawabku. Pri tertawa dan menjitak pelan kepalaku.
“Kamu pasti sering bertengkar dengan Reno. Iya kan?
“Yahh... lumayan. Paling gak sebulan sekali,” jawabnya.
“Haaa?? Tengkar masalah apa?
“Ya banyak... Kadang masalah rumah yang kurang bersih. Kadang masalah Reno yang pulang telat. Kadang juga masalah Bintang. Macem-macem lah, Ra...
Aku mengerjab. Sudah ada genangan air di mataku.
“Jangan nangis. Aku gak mau dimarahi Raya kalo sampai kamu nangis,” Pri menjawil pelan pundakku. Tapi telat, air di mataku sudah terlanjur mengalir dengan derasnya.
“Kenapa siy, Ra...
“Aku pengen bertengkar, Pri,” kataku pelan. Ringan tanpa beban.
“Haaa??,” Pri kemudian menghadapkan wajahnya tepat di depanku. Menatap dan mencari kesungguhan pada kalimatku. “Waras kamu?,” tanyanya,
Aku tertawa. Kemudian menyeka tangisku.
“Iya, waras,” jawabku. “Selama aku menikah, aku belum pernah sekalipun ribut dengan Raya. Dia selalu ngalah dengan apapun mauku,” kataku. Pri masih menatapku dengan wajah serius. “Apalagi sejak dia tau aku sakit. Dia seolah sudah mengikhlaskan kehidupannya penuh untuk menjaga dan membuat aku seneng,” kataku lagi.
Pri mengelus lenganku.
“Jadi gimana kami mau tengkar, kalo mendengar suara yang lebih tinggi satu oktaf dari biasanya saja aku bisa langsung shock, mimisan dan pingsan?,” kataku. Kalimatku putus-putus berkejaran dengan sedakku. “Aku selalu takut setiap kali aku khawatir dia akan bosan dengan keadaanku dan perlahan mengurangi cintanya padaku.
“Tapi sejauh ini, aku tidak menemukan cintanya berkurang padaku. Dalam kondisiku yang sudah sangat lemah sekalipun, dia ada buat aku. Sepenuhnya. Menemani aku yang lemah, memijit kakiku, menyiapkan makan dan obatku. Membantuku memasak sebelum ke kantor. Bahkan kadang aku lebih dulu terlelap saat malam hari dia harus nglembur di rumah.
Aku menyusut hidungku yang memerah dan berair.
“Dulu pernah siy dia marah. Tapi bukan kemudian bisa menjadi pertengkaran. Dan itu terjadi sebelum aku sakit. Setelah aku sakit, sekali saja dia tidak pernah membuat aku terluka, marah, kecewa atau khawatir. Hingga kadang aku merasa selalu tidak siap dan takut tiap kali aku tidak mendapatinya saat aku memanggil namanya. Jika tiga kali aku memanggilnya dan tidak kudengar sahutannya, aku pasti merasakan takut dan khawatir yang berlebihan.
“Pri,” kuletakkan tanganku pada lengan Pri “Katakan padaku, apakah aku akan kehilangan cintanya jika aku hanya menjadi beban baginya? Aku takut, Pri, dia akan bosan menjagaku dan mencintaiku.
“Sudah gak sah ngomong gitu. Raya bukan orang kayak gitu. Aku percaya dia sangat sempurna bagimu,” jawab Pri. Aku hanya tersenyum tipis.
“Tapi apakah kekhawatiranku ini wajar?,” tanyaku lagi.
Pri menarik nafas panjang.
“Apakah kamu pernah menanyakan ini padanya?,” tanya Pri. Aku menggeleng.
“Aku takut,” kataku. “Aku takut dengan jawaban yang akan kudengar.
“Apakah kamu juga takut kalo Raya akan menjawab kekhawatiranmu dengan jawaban yang akan membuatmu tenang?
Aku diam. Tidak ingin menjawab.
“Hhhh... Ra, kalo Raya mau dia bisa melakukan itu sejak awal kamu merepotkannya dengan sakitmu,” ujar Pri datar dan tenang. “Sakitmu bukan sakit biasa, Ra. Sakitmu juga bukan sakit yang murah harganya. Sakitmu itu bukan sakit yang bisa dikesampingkan keadaannya. Jadi kalo Raya mau, dia bisa melakukan hal lain saat dia bosan menjagamu.
“Apakah pernah dia tidak ada saat kamu tiba-tiba tidak sadar? Apakah kamu pernah juga menatap matanya yang khawatir saat tiba-tiba kamu pingsan? Apakah kamu juga bisa mengerti dengan penuh lelahnya dia mengumpulkan simpanan untukmu dan anakmu nanti?
Aku menunduk.
“Dia baik, Ra. Kamu ingat apa alasanmu dulu memilihnya kan? Karna dia memang layak untuk kau pilih. Dia lelaki paling tepat yang sudah diberikan untuk kehidupanmu.
“Sekarang hilangkan kekhawatiranmu itu. Kamu tidak punya alasan apapun berpikir begitu. Malah kamu berdosa karna membalas ikhlasnya cinta Raya dengan prasangka begitu. Kamu harus minta maaf sama Raya nanti,” ujar Pri lagi. Dia beranjak meninggalkanku karna Bintang terbangun dari tidurnya.
Tiba-tiba aku sangat merindukannya.
Aku kangen... SMSku. Dia sedang jalan-jalan dnegan Reno ke kota. Karna cuaca panas, aku ditinggalkan di rumah Reno bersama Pri dan Bintang. Karna memang aku tidak akan bisa ikut mereka di bawah matahari yang tidak bersahabat ini.
Lama SMSku tidak berbalas. Aku berpikir pasti mereka sedang asyik-asyiknya memilih-milih barang. Aku kemudian mengikuti Pri ke arah kamarnya. Bintang ternyata hanya mengompol. Sebentar kemudian dia kembali menyusu dan terlelap kembali.
“Gak telpon Raya?,” tanyanya. Aku menggeleng. “Biasanya juga kamu akan nelpon tiap tiga menit,” oloknya. Kemudian dia tertawa.  Aku turut merebahkan tubuhku di dekat Bintang. Aku membayangkan Bintang adalah dedek. 
“Jalan-jalan yok, Pri!,” ajakku. Pri hanya melirik sambil menepuk-nepuk Bintang agar lebih lelap.
“Jalan-jalan kemana?,” tanyanya setengah berbisik.
“Ke sungai.
“Bisa dipecat jadi penjagamu aku nanti sama Raya. Nanti saja kalo mereka sudah datang. Lagian gak enak juga cuman berdua ke sana. Reno kan juga punya andil sangat besar pada kenangan kita. Masa’ mau ditinggalkan gitu saja.
“Pri, aku takut...
Pri menarik nafas. Pikiranku sudah mulai parno lagi.
“Takut apa lagi, Ra...
“Aku takut tidak bisa menemani dedek ataupun Raya selamanya. Aku takut kedatangan ayah sebenarnya memang sebuah firasat yang benar. Aku takut aku akan mati saat melahirkan dedek. Aku...
“Kamu mati itu memang sudah pasti, Ra,” potong Pri cepat. Kalimatnya emosi dan keras. “Tapi itu bukan urusan kamu juga. Biar saja kematian itu datang sesuai dengan keinginan yang menguasai nyawa hidup dan mati kita. Kamu gak perlu buang-buang waktu dan pikiran memikirkan itu.
“Tapi kamu tidak merasakan yang kurasakan, Priii...
“Aku tau,” potong Pri lagi. “Aku sangat tau bagaimana rasanya sakitmu. Aku tau bagaimana efek sakitmu pada saat kamu harus berpikir lebih keras dari biasanya. Aku tau berapa prosentase hidup dan matimu dengan kelahiran anakmu nanti.
“Tapi, Raa... Hhh! Itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah melakukan yang terbaik. Tetap tenang dan harusnya kamu bisa membuat Raya yakin kalo kamu memang bener-bener siap dan kuat dengan kelahiran anak kalian. Kamu mbok yo kasian sama Raya. Harus memikirkan kerjaan, mikirkan kesehatanmu, mikirkan dedek juga. Sementara kamu terus menuntut untuk dimengerti dan diperhatikan, tapi kamu tidak memberikan hal itu juga pada Raya.
“Apakah aku egois?
“Aku tidak bilang begitu. Tapi setidaknya kamu cobalah mengerti usaha dia menjagamu dan memberi terbaik buatmu dan anak kalian nanti. Bantulah dia untuk tidak terlalu khawatir dengan keadaanmu.
Entah kenapa tiba-tiba emosiku terpancing untuk menghubungi Raya.
“Nda, masih lama?
“.............. ....................... ......................
“Ya sudah, cepet balek ya! Ada yang pengen aku katakan.
“..........
“Nanti saja kalo ‘Nda Raya dah nyampek. Ati-ati. Aku sayang ‘Nda Raya
Pri melongo melihat sikapku. “Kamu marah dengan kata-kataku?,” tanyanya. Aku menggeleng. “Trus kenapa dari tadi aku yang berceramah panjang lebar kok malah Raya yang kamu hubungi?
“Memang kenapa?
“Ya aneh lagi, Ra... Masa’ aku yang ceramah, Raya yang ditelpon?
“Aku kangen dia kok,” kataku. “Ngiri ya?,” kukedip-kedipkan mataku pada Pri yang masih saja melongo menatapku. “Sudah jangan gitu. Aku cuman pengen segera mengatakan sesuatu secara pribadi padanya. Secepatnya mumpung masih hangat. Jangan melongo gitu kamu ahh...
Pri tertawa. “Ra, seberapa besar cintamu pada Raya?,” tanyanya nyante.
“Yang pasti lebih besar dari cintamu pada Reno,” jawabku sekenanya. “Aku mencintai dia dengan segenap hatiku. Aku mencintainya dengan sepenuh jiwaku yang berwarna-warni. Dan pastinya aku juga mencintainya sebagai sebuah anugrah yang sangat besar dari gusti Allah untukku”
Kulihat Pri mencemooh kalimatku dengan tawanya. “Sok puitis kamu!
“Yee... biarin saja. Bilang saja kamu gak bisa buat kalimat yang kayak gitu. Weekkk...!,” balasku.
Abid gpp kan? Tunggu ya, ini lg di jalan. Ishbir...
“Dari suamiku tercinta,” kataku saat kulihat Pri mengangkat alisnya. “Dia bilang sedang di jalan,” kuserahkan SMS dari ‘Nda Raya pada Pri.
“Kamu gak balas? Balas gi, dari bahasanya dia mengkhawatirkanmu.
Aku mengangguk. Aku gpp, Nda... Ati2,ga sah ngebut. Aku sabar nunggu kok.
Pukul 13.25
“Aku kangen...
Tidak ada reaksi yang keluar darinya kecuali menatapku dengan pandangan bertanya.
“Iya bener. Aku kangen ‘Nda Raya dari tadi.
Alisnya kemudian berkerut. Masih dengan tatapnya yang bertanya.
“Apaan siy, “Nda... Masa’ aneh kalo aku bilang kangen? Gak boleh?
Dia tertawa. Diraihnya tanganku dan dilingkarkan ke lengannya yang kurus. “Aku hanya takut aku sedang dikerjain,” katanya.
“Dikerjain apa?
“Ya gak tau. Siapa tau tadi pas ditinggal, abid dan Pri ngobrol macam-macam trus merencanakan sesuatu atasku. Bisa saja kan?,” katanya masih tetap menggenggam erat tanganku. Matanya hanya melirik ke arahku sebentar.
“Enggak, Nda sayang... Aku bener-bener kangen kok,” kataku.
“Kenapa?
“Ya kangen saja. Masa’ kangen kudu beralasan...
“Ya sudah, aku juga kangen,” katanya sambil mengecup keningku.
“Nda Raya sayang aku?,” tanyaku lagi. Kembali dia mengerutkan alis.
“Ini pasti ada sesuatu yang mau dikeluarkan deh. Gak mungkin tiba-tiba abid sms minta aku cepet pulang cuman buat bilang kangen. Setelah dijawab kangen juga ternyata masih ada lanjutan pertanyaannya.
“Kan cuman nanya, Nda...
“Aku gak percaya,” katanya cepat. “Cerita yang sebenarnya atau nanti gak kukasih ijin jalan-jalan nanti sore,” ancamnya. Aku merengut mendengarnya.
“Iya iya aku cerita. ‘Nda Raya dengarkan aku ya! Tapi jangan ditertawakan kalo aku patah-patah ceritanya. Janji?,” aku mengajukan jari telunjukku ke arahnya.
“Iya janji!,” sambutnya.
Akhirnya mengalirlah cerita obrolanku dengan Pri tadi. Sesekali aku menggenggam erat tangannya dan menatapnya. Tapi lain waktu aku tak berani sama sekali menatapnya barang sebentar pun. Namun kemudian kadang dia mengelus lenganku, mengucek rambutku dan menatapku dengan elangnya.
“Aku khawatir ‘Nda Raya bosan jaga aku yang sakit-sakitan begini. Apalagi sakitku bukan sakit biasa dan sakit yang –kata Pri- mahal harganya,” kataku. Bening-bening air telah meluncur dari mataku. “Aku takut kehilangan Nda Raya...
Lelakiku itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kemudian menghembuskan nafasnya dengan kuat pula. Matanya kemudian juga menatap tajam ke arahku.
“Abid belum bisa mempercayai ikhlasnya aku mencintai abid?,” tanyanya pelan. “Abid apakah masih berpikir aku sama dengan lelaki yang hanya menginginkan abid saat bahagia saja? Apakah abid masih belum mengerti sayang aku melebihi sayangku pada diriku sendiri? Abid...
“Maafkan aku, Nda... Aku... tidak kayak gitu maksudku,” selaku. “Aku selalu merasa takut saat aku tidur dan tidak mendapati Nda Raya di dekatku. Aku selalu khawatir tiap kali aku tau Nda Raya menangis, melamun, terdiam lama... Aku tau aku telah mengambil banyak sekali ruang dalam pikiran dan hati ‘Nda Raya. Karnanya aku...
“Tapi Ra tega tidak mempercayai cinta aku sampai kayak gitu. Ra tega berpikir aku akan meninggalkan Ra hanya karna Ra sakit,” potongnya cepat. “Jangankan meninggalkanmu, aku jauh darimu saja tidak bisa. Ra bisa ngerti gak siy pentingnya Ra buat aku dan hidupku?
“Maafkan aku, Nda...,” kurengkuh tubuh lelakiku itu erat-erat dan aku menangis di sana. Aku katakan aku sangat mencintainya. Aku sangat takut berpisah darinya. Aku juga sangat takut kehilangannya.
 Jika engkau adalah air mata, maka aku tidak akan menangis
Karna aku tidak ingin kehilanganmu : cinta terbaikku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar