Minggu, 19 Februari 2012

Perjalanan Cinta (Part 1)

“Sudahlah, jangan diperpanjang lagi…”
            Kalimat itu menyudahi seluruh kebekuan yang membentang antara Naya dan Jagad. Mata mereka tak lagi beradu pandang dalam perseteruan dan suara mereka pun sudah luruh ditelan nafas-nafas menyesakkan dari dada mereka. Naya berusaha mengalihkan pandangan dari melihat Jagad. Dan Jagad pun membuang mata ke arah yang lebih jauh.
            “Aku pikir aku bisa membanggakan kalian untuk menyelesaikan masalah ini,” tanpa memindahkan kesibukannya dari menyulam benang-benang hitam pada kain biru muda yang membentuk seekor burung kecil, Shina menyela keegoisan Jagad dan Naya. “Jika mau, aku bisa menjadi saksi perdebatan kalian selama kalian mampu. Jika kamu ingin aku diam, Jagad, aku akan diam. Dan aku akan tetap begini seolah-olah aku tak pernah dekat denganmu, Naya,” kedua mata Shina tak lagi berkonsentrasi pada sulaman burung kecilnya. Matanya menatap punggung kedua orang yang dianggapnya teman, ragu sudah menyelubungi hatinya.
            “Shina…
            Shina hanya menjawabnya dengan gelengan. Tangannya menolak kalimat lanjutan yang hendak diucapkan Naya. Tak ada keinginannya kini selain mengeratkan syal di lehernya dan meraih bantal kecilnya. Bantal merah hitam bergambar sepasang angsa putih. Di atasnyalah Shina kemudian meletakkan kepala beratnya yang diselimuti oleh rajutan tebal penutup rambutnya. Beberapa helai rembutnya terlihat karena kain rajutan di kepalanya melonggar.
           
“Jika sejak awal aku tau aku tak bisa mengandalkan kalian, aku tidak akan mengundang kalian disini,” matanya kini hendak menutup sempurna. Rajutan burung kecilnya diletakkan Shina di dekat kepalanya dan kini tangannya meremas-remas sebuah boneka rajutan yang lain. “Aku pikir, lebih baik kalian pergi dan biarkan aku kembali disini. Aku akan tetap percaya kalian bisa menjaga keinginanku untuk tetap sendiri disini tanpa siapapun yang tau. Naya…,” matanya kini menatap redup kea rah Naya yang hanya terpaku diam. “Jika benar kau ingin aku bahagia, jaga impianku untuk tetap menghabiskan hariku disini. Aku harap keceriaan dan sifat terbuka yang selalu kau agungkan itu tidak membuatku harus merasakan kekecewaan,” kalimat itu terasa menyindir sumsum jiwa Naya.
            “Tapi Shin…
            “Tak ada lagi yang bisa kalian lakukan. Sama sekali tak ada.             Jika kamu juga ingin aku bahagia, Jagad, doakan aku dalam diammu. Tetaplah engkau merangkaikan kata-kata indah untukku pada tiap pagi dan petangmu. Aku bisa mempercayaimu karna aku juga mengenalmu sejak sebelum aku mengenal diriku sendiri,” samar Shina tersenyum. Jagad mendekat ke arahnya dan mencoba lebih dekat lagi. Kini dengusan antara jagad dan Naya tak lagi terdengar seru. Sepertinya mereka lunglai oleh kekecewaan yang menyemburat merah dari mata Shina.
            “Shina, aku minta maaf,” ujar Jagad pelan, tapi matanya menatap ke arah Naya.
            “Kau meminta maaf untuk dirimu sendiri atau Naya?
            Jagad tergeragap dengan pertanyaan Shina yang menyindir.
            “Untukku,” putusnya galau “Dan tentu Naya juga ingin melakukannya,” sambungnya juga. Shina hanya kembali tersenyum melihat tingkah Jagad yang mencoba menyimpan rapi egoisme yang mulai membeku dalam hatinya. Beku yang indah, sahut hati Shina.
            “Apa kau juga ingin mengatakan sesuatu, Naya?,” Shina kini beralih mata pada Naya yang juga telah berada di depannya. naya memegang erat tangan Shina yang masih juga meremas kuat boneka rajut miliknya.
            “Apa yang kau rasakan, Shina? Katakan padaku,” ujar Naya kemudian. Entah sengaja atau tidak, matanya pun beralih melihat pada Jagad saat mengatakan “padaku”. Kembali Shina tipis menyungging senyum. “Padamu atau pada Jagad juga?,” tanya Shina lagi.
            “Ah kau, Shina. Dalam keadaan begini pun kau masih juga mengolokku,” Naya mengeratkan selimut kecil di kaki Shina. “Tidurlah, aku tau kau ingin segera memejamkan matamu. Aku tau itu daripada memilih melihat aku dan dia bertengkar kata kan? Bukankah alam mimpi lebih indah daripada lontaran-lontaran tak ada ujungku dan dia,” Naya menggunakan kata dia untuk menyebut Jagad. Kembali Jagad menghembuskan nafasnya berat, entah karena kesal ataukah karena geli dengan tingkah Naya yang kanak-kanak.
            “Iyah… aku memang lebih baik memejamkan mata daripada melihat kalian bersetru seperti ini,” jawan Shina. Bebarapa kali tarikan nafas, matanya sudah terpejam semupurna. Tak lagi mempedulikan Jagad dan Naya yang masih duduk bertumpu lutut di depan ranjang kecilnya. Aku ingin tidur, begitu sepertinya sahut lelapnya menelan keberadaan Jagad dan Naya.
            Tak ada kata diantara mereka berdua pun. Hanya sama-sama belum ingin beranjak dari depan Shina yang mulai teratur nafasnya. Sama-sama mencoba mengartikan nafas tenang dan teatur Shina yang terlelap.
            “Aku ingin disini,” ujar Naya tegas. Kakinya pelan-pelan coba diluruskannya. “Kalau kamu ingin pergi, pergi saja,” katanya lagi tepat di samping telinga Jagad.
            Jagad tak menyahuti apapun. Hanya kembali nafasnya terhembus tegas. Ada aliran-aliran yang ingin diluapkannya. Ingin sekali rasanya mengeluarkan semua yang sudah muncul beruap-uap di dadanya. Begitu dia bisa tegak berdiri setelah lama dia duduk bertumpu lutut di depan Shina, dia segera menghampiri Naya. Tangannya kuat mencengkeram lengan Naya. Naya berontak hingga kibasan syal di lehernya terurai menimpa pundak Jagad.
            “Ikut aku!,” Jagad tak peduli dengan semua berontak Naya. Tangannya tetap memegang kuat lengan Naya yang berteriak kesal.
            “Lepaskan aku, elang! Lepaskan,” Naya berontak lagi dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Jagad. Tapi Jagad telah benar-benar tidak peduli dengan apapun kata Naya sekalipun Naya telah memanggilnya dengan nama julukannya, elang.
===
            “Elang. Hahahaha. Itu saja namamu, Gad!,” Naya menertawai idenya yang cemerlang untuk nama panggilan Jagad. Dia tertawa sangat rekah dengan ide itu. Jagad sama sekalio tak mempedulikan tawa Naya yang lebih seperti mengejeknya dengan julukan elang itu. Elang bukankah berarti kuat? Tapi tidak bagi naya, nama itu hanya bermakna lebih karena Jagad mempunyai kesukaan melihat dengan mata memicing. “Hahahaha. Kamu terlihat gagah dengan nama itu, Gad,” lagi-lagi Baya tertawa lebar.
            Jagad pun masih diam memandang langit dengan tawa membahana Naya. Sore yang redup untuk mereka habiskan bertiga di pinggir sungai kecil di kampong itu. Bukan tanpa sebab mereka bermain disini, tapi karna memang ada yang harus dirundingkan.
            “Elaaaaaanggggggg…,” kejut Naya di telinga Jagad. Jagad tergeragap dan menangkap bayangan Naya yang menjauh darinya. Tanpa reaksi dia mengikuti langkah dua teman karibnya itu. Langkah kakinya yang lebih lebar membuatnya mampu segera menjajari langkah kedua karibnya. Naya masih juga tertawa jahil ke arah Jagad yang telah berada dalam satu barisan.
            “Hah, kau harus tau sesuatu, koala!,” Jagad kemudian membarengi balas dendamnya pada Naya dengan tawa lepas “Hahahaha. Itu nama yang sangat pas buatmu, Nay! Koala… Ko-A-La. Koala. Koala yang bermulut kecil tapi suka makan. Jail, suka loncat-loncat. Manja. Kolokan, tak tau malu, tak bisa diam. Hahahah,” kembali tawa membahana memenangkan kalimat penutup Jagad. Naya hanya tertawa tanpa ekspresi dengan julukan koala dari jagad. Sepertinya dia kalah telak.
            Sore yang makin meredup itu kemudian menelan langkah-langkah kecil itu hingga berada di pertigaan jalan tempat biasa mereka berpisah. Seperti biasanya, tanpa ucap kata pisah dan salam, mereka akan melanjutkan langkah kaki hingga sampai di tangga rumah masing-masing
====
            “Elang!,” seru naya kembali.
            Jagad melepaskan cengkeramannya pada lengan Naya. Naya bersungut-sungut membalas perlakukan kasar Jagad padanya. Kalimatnya tak habis-habis terlontar untuk Jagad.
            “Kau pikir tanganmu itu kapas yang lembut, tidak tau diri. Kau pikir siapa kamu bisa menarik paksa aku seperti ini. Kau pikir…
            “Diam, koala! Kamu bisa diam tidak?,” keras tangan Jagad kembali mencengkeram pundak Naya. Naya yang terkaget kehabisan kata, namun hanya sejenak karena kemudian dia menghentakkan keras cengkeraman tangan Jagad di pundaknya.
            “Apa maumu?,” tanyanya kesal. Tubuhnya tanpa sengaja menabrak Jagad yang berdiri di depannya. meskipun tanpa tenaga, tapi ternyata Jagad beralih beberapa langkah dari tempatnya berdiri.
            Naya meninggalkan Jagad yang terpaku kembali. Ada kalimat yang hendak dia lontarkan untuk Naya, tapi rasa kaku yang menyelimuti suasana membuatnya kesulitan untuk mengeluarkan kalimat-kalimatnya.
            “Nay, bisakah kau mendengaku dengan tenang kali ini?,” Jagad menghentikan langkah Naya dengan sempurna. Meski tak berbalik arah, tapi langkah Naya sudah terhenti. Jarak mereka hanya tiga meter, namun Jagad merasa jarak keduanya seperti sejauh langit dan bumi. “aku lelah, Nay, dengan keributan-keribuatn kita. sepertinya tidak ada satu waktu pun kita dalam kerukunan. Bahkan saat Shina membutuhkan, kita pun masih meningkahi kebutuhannya dengan keributan kita,” Jagad sengaja menggunakan kata “kita” untuk menyamaratakan rasanya. Berhasil, karna kini Naya membalikkan dirinya ke arah Jagad.
            “Apakah kau pikir kita bisa melalui setiap keributan kita, Nay?,” tanya Jagad kemudian. Mata Naya sudah mulai disesaki air yang memanas. “Apakah kau pernah berpikir kita bisa melakukan sesuatu selain keributan, Nay? Entahlah apa itu,” Jagad mengenal seliar-liarnya Naya, hati karib kecilnya itu sangat lembut dan mudah menangis.
            “Apa maumu, Gad?,” tanya Naya akhirnya. Jarak mereka tidak berubah. Tetap tiga meter. Namun kali ini sudah terasa tidak sejauh langit dan bumi. Suara-suara keras sudah tidak lagi mengiringi mereka dan hati-hati yang meredam emosi telah luluh mengair.
            Jagad mengangkat wajahnya dan menatap lekat ke arah Naya. Mata mereka bersitatap sekejab. Jagad kembali teringat cengkeraman tangannya pada lengan Naya untuk pertama kalinya selama mereka dewasa. Kekesalan yang membuat Jagad melakukan itu. Sikap Naya yang terlalu kana-kanak menurut Jagad mengharuskan Jagad bersikap keras pada Naya. Jika tidak, Naya akan tetap selalu memenangi perseteruan mereka dengan diam dan kalimat-kalimat pedasnya. Perlahan Jagad memendekkan jarak tiga meter mereka hanya selebar satu meter saja. Jagad berada tepat di depan Naya yang masih diam. Matanya yang kecil dipenuhi oleh kaca-kaca air matanya.
            “Apa maumu?,” kembali Naya bertanya.
            Jagad menarik nafas dalam. Menghembuskannya perlahan hingga uap-uap dari udara Bumiaji yang dingin berhasil menyembul dari hidungnya.
            “Nay,” panggil Jagad pelan. Naya tak beralih dari pandangannya melihati ladang sayuran yang menghampar di depannya.
            “Hhhh… Jika suatu hari aku harus bertemu denganmu lagi, aku ingin kita tidak selalu begini. Dan aku harap aku bisa berarti buatmu dan kamu berarti buatku.
            Naya terkesiap dengan kalimat Jagad. Namun sejenak kemudian dia kembali acuh dengan kalimat itu. Seperti tidak ada yang terjadi.
            “Nay…
            “Pergilah, aku ingin disini sendiri,” Naya memutusi kalimat Jagad dengan tuntas. Keras dan kejam. Jagad pun seperti mengerti dan tak ingin berlama menunggu Naya memintanya pergi untuk kedua kalinya.
            Angin meningkahi tutp kepala Naya. Biru muda warnanya, senada dengan kaos bunga cantik di tubuhnya. Naya kini berada di sisi dataran tinggi Bumiaji nan dingin dan beku. Untuk tubuhnya yang tidak akrab dengan suhu dingin, hidung dan mulutnya selalu mengeluarkan uap lembut. Terlebih saat dia bicara atau menghembuskan nafas. Kembali Naya mengeratkan syal hitam yang membalut lehernya. Tangannya pun kemudian menyedekap kuat tubuhnya yang mulai diserang hawa dingin. Matanya tak lagi lepas dari pandangnya pada sayur-sayuran dan kebun apel yang terhampar di depannya.
            Kalimat Jagad kembali bertiup sayup di telinganya. Seperti alunan indah namun memerihkan hati dan telinganya. Naya pun seperti enggan memikirkan kalimat Jagad itu. Keinginannya hanya diam dan memandang sayur dan kebun apel itu. Sepertinya sayur-sayur itu lebih membuatnya tenang dan damai dengan yang didengarnya dari Jagad.
            ***
            “Kenapa, Naya?
            Naya hanya menggeleng. Dibiarkannya angin sejuk pinggiran sungai kecil itu kembali meningkahi kediamannya.
            “Hm, baiklah kalau kau belum ingin berbagi cerita. Aku akan memberikanmu waktu untuk tenang,” ujar Shina akhirnya. Gadis itu bersiap beranjak dari sisi Naya yang menekuk lututnya.
            “Tapi aku juga tak ingin sendiri disini, Shin,” kata Naya kemudian mencegah langkah Shina. Shina kembali duduk bersisihan pundak dengan Naya. Tanpa ada kata dari keduanya.
            “Naya, semua tidak akan berlalu begitu saja. Percayalah…,” Shina mulai mencoba memasuki alam diam Naya. “Aku yakin apa yang sudah kita jalani akan terus berulang dan berulang. Meskipun mungkin dalam suasana dan waktu dimensi yang berbeda. Tapi aku selalu yakin aku akan tetap melihatmu menangis dalam diammu, melihat Jagad memelototkan matanya dan merasakan kita menghabiskan waktu bersama lagi. Semua akan berulang, Naya, dan tidak akan ada yang berhenti berulang kecuali kita mati. Aku selalu yakin kesempatan bisa datang berulang kali karna memang waktu ini berputar berulang-ulang. Akan ada pagi esok hari, akan selalu ada jam sepuluh tiap hari… Semua akan berulang, Naya, semua akan berulang.
            Naya masih juga diam. Menekuri rumput yang ada di sekitar aliran sungai kecil itu, seperti menghitung jumlag semut yang bersembunyi di baliknya. Shina pun tidak melepaskan pandangnya dari menatap daun-daun yang tertiup angin. Sesekali dia merapikan kerudung yang menutup kepala berambutnya. Angin Malang selalu berhasil meningkahi lembar penutup kepalanya hingga berubah bentuk.
            “Kerudungnya mencong semua na, Shin,” tegur Naya tiba-tiba. Dia kemudian mengeluarkan cengiran khasnya. Shina pun segera merapikan kerudungnya yang Naya bilang mencong semua. Kemudian tertawa.
            “Kau ini sama aku saja malu,” sahut Shina. Mereka kemudian kembali tertawa. Naya sudah mengangkat wajah sendunya dan kembali menjadi Naya sang koala yang ceria. “Sssttt… Aku akan menjadi saksi pernikahanmu dengan Jagad nanti,” bisik Shina.
            “Hahahaha. Aku? Hahaha. Aku dan elang menikah? Aha aha, mau jadi apa anak-anakku jika tiap hari harus melihat keributan antara ayah bundanya. Kau ini, Shin, aneh-aneh saja. Aku memang kangen dengan Jagad, tapi bukan berarti aku bisa menjawab setuju dengan olokanmu itu. Huh, enak saja kau ini mau menjadi saksi pernikahan-pernikahanku. Dengan JAgad pula. Hadoh, plis deehhh… Kayak gak ada yang lebih gagah lagi. Hahahaha
            “Hehehehe. Intuisi sahabat itu jarang salah lho, Naya. Aku berkata kalian pasti akan menikah nanti, entah bagaimana perjalanan yang akan kalian lalui. Dan aku akan menjadi saksi untuk pernikahan unik kalian. Hahaha,” Shina melemparkan sebuah batu ke sungai itu.
            “Ahhh… Ya sudah terserah mau, Shin. Apa sih yang tidak buatmu? Hahahaha,” Naya memang paling bisa membuat dirinya sendiri tertawa. Kesukaannya tertawa lepas selalu membuatnya terselamatkan dengan cepat dari duka yang bertubi. Meskipun tak satupun yang tau bagaimana sebenarnya hatinya sendiri. “Aku itu, Shin, melihat Jagad bukan sebagai sosok yang kuimpikan. Semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa apa yah… Antara kesal, gemas, jengah tapi juga tenang. Tapi bukan Jagad yang kumasukkan dalam doa-doaku, Shin. Sungguh!
            “Lalu?
            “Jagad akan selalu kusimpan sebagai kawan pelindungku yang paling hebat,” ujar Naya mantap. Bibirnya menyungging senyum dan seri wajahnya mengembangkan kejujuran kata-katanya. “Dia akan selalu sempurna menjadi pelindung kita dari setiap masalah dengan anak-anak nakal sejak kecil dulu hingga sekarang. Jagad juga yang akan aku jadikan kawan bagi suamiku kelak, dia yang akan menjadi penengah setiap suamiku merasa jengah terhadapku. Jagad yang akan menjadi paman buat anak-anakku dan mengajari anak-anakku ilmu beladiri.
            “Hm, lalu?
            “Kamu lebih berharga buatku, Shin.
            “Aku? Apa hubungannya denganku?,” Shina menatap aneh ke arah Naya. Kalimat itu yang membuatnya menatap tanya pada Naya. “Apa hubungannya suamimu, Jagad dan aku, Naya… Jangan kau bilang kau hendak menjodohkan aku dengan Jagad.
            Naya hanya tertawa.
            “Naya…
            “Kamu keberatan?
            Kali ini Shina yang terdiam. Shina bukan karib Naya yang bisa menelan kekagetannya dengan tawa seperti Naya. Jika dia kaget, maka dia akan benar-benar berwajah kaget dan tanpa bisa menyembunyikan kekagetannya.
             “Kamu ini, Shin… Jadi orang kok gak bisa santai dikit,” sergah Naya kemudian. Dia kembali tertawa tanpa bebasn.
“Aku memang ingin menjodohkan kamu dengan Jagad. Aku pikir aku tidak salah melakukan itu. Kalian bisa selalu berbicara dengan tenang dan dari hati ke hati. Kamu selalu bisa meluluhkan sikap keras Jagad. Kamu juga yang selalu bisa mendamaikan keributanku dengan Jagad. Apalagi yang kurang sekarang?
            Kali ini terlihat mata yang berbinar pada Shina dengan kalimat Naya.
            “Bolehkah aku mengartikan itu sebagai sebuah kecemburuan?,” kali ini Naya yang tertangkap kaget. Shina mengangkat alisnya untuk memastikan jawaban Naya.
            “Aku tau kau hanya cemburu dengan gayaku yang kau bilang bisa menenangkan kekeraskepalaan Jagad. Naya, Naya… kau ini lucu. Sebenarnya kalian juga bisa saling menenangkan jika saja kalian tidak sama-sama egois dengan pikiran kalian. Tidak mencoba saling olok dan ejek kemudiansaling menang diri. Selayaknya kalian ini selalu menjadi anak-anak jika bertemu. Aku suka melihat kalian begitu,” ujar Shina kemudian.
            “Dan kamu tenang saja, aku akan tetap menjadi saksi hidup pernikahanmu dan Jagad. Sekalipun mungkin setelah itu aku akan mati,” ujar Shina pelan. Kemudian dia tersenyum “Kau jangan sok malu dan pura-pura gitu lah, aku tau kalian sudah saling curi-curi hati sejak kecil. Tinggal membuktikan saja kok.
            Naya tanpa jawab sekarang. Dan hanya diam kembali dengan pikirannya. Jagad, Shina. Jagad. Shina. Jagad. Shina. Jagad. Shina. Jagad. Shina. Keduanya sempurna memerangkap pikirannya kini. Ah, entahlah…, batinnya menyerah.
            ====
            “Kamu tidak perlu menungguku seperti ini,” Naya tetap saja bersikap kaku ketika matanya bertemu dengan Jagad.
            “Aku hanya mencoba untuk menjaga kekhawatiran Shina agar lebih tenang. Shina ingin aku menunggumu hingga kembali. Kamu dari mana saja?
            “Bukan urusanmu.
            “Nay…
            “Kamu lupa tadi sore telah bertanya padaku apakah kita bisa sekali saja tidak ribut? Kalau kamu ingin itu terjadi, jangan tanya apapun padaku,” Naya berlalu ke arah dapur. Ruang pemisah antara tempat istirahat Shina dengan tempat mereka berdua berada sekarang dipisahkan oleh ruang makan kecil. Rumah kecil yang cantik dan mempesona. Jagad mengikuti langkah Naya yang bergeas ke arah dapur.
            “Nay, jangan seperti inilah… kita ke sini bukan untuk bertengkar, Nay. Bisa tidak kamu rendahkan sedikit saja keangkuhan dan kemarahanmu padaku? Bukan demi aku, Nay, demi Shina,” Jagad mengikuti kemanapun arah kaki Naya. Naya hanya diam tak menyahuti apapun. Tangannya kini sigap mengambil termos dan memanaskan kembali alir di dalamnya yang agak mendingin. Udara di Bumiaji rupanya tidak dapat ditandingi oleh air termos sekalipun.
            “Nay…
            “Apanya yang demi Shina? Kalimat bodohmu itu?
            Jagad terdiam.
            “Kalau kamu tau kita ke sini bukan untuk ribut, kenapa kamu malah melakukan hal sebaliknya?
            “Aku, Nay? Apa yang aku lakukan maksudmu? Tadi sore?
            “Jangan pura-pura tidak paham.
            “Nay, ahh… Katakan padaku, apa yang sudah kulakukan hingga membuat kita menjadi semakin ribut.
            Naya hanya menatap tajam sejenak pada Jagad kemudian membuang pandang kembali pada air yang telah mengeluarkan bunyi seruling tanda telah mendidih. Tangannya kini kembali sibuk menuangkan air itu ke dalam cangkir coklat panasnya. Aroma coklat panas segera menyergap hidung keduanya. Panasnya air membuat kepulan dari coklat panas itu menghangatkan wajah keduanya. Naya menuangkan air untuk dua cangkir coklat panas siap sajinya. Tanpa berkata apapun, dia kembali meninggalkan Jagad.
            “Nay…
            “Shina sudah lelap kembali, jangan buat keributan yang membuatnya terbangun. Atau aku akan mengusirmu dengan caraku sendiri,” ancam Naya tegas. Matanya melirik kejam pada Jagad dan kemudian kembali asyik meniupi coklat panasnya.
            “Yahh… baeklah,” ujar Jagad menyerah. “Shina tidak memberitau kita tidur dimana malam ini. Sedangkan jika kuperhatikan, ranjang Shina tidak cukup untuk menampung satu tubuh lagi. Shina pasti akan terbangun dan tak lagi bisa lelap.  Kamar depan juga belum sempat kita bersihkan tadi. Aku lihat tadi kamar itu masih penuh dengan bahan-bahan rajutan milik Shina.
            “Aku bisa tidur di manapun,” sahut Naya memotong pembicaraan Jagad.
            “Hm…
            Masih lepas maghrib di Bumiaji ini. hanya saja, lepas maghrib disini sudah seperti malam saja. Suhu dingin makin membuat malam seperti menyergap dengan cepat. Meskipun dari jauh masih terdengar keramaian suara kendaraan, namun  tempa tinggal yang dipilih Shina benar-benar jauh dari keramaian kendaraan. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu SHina sementara tuan rumahnya berada di dalam kamar, entah tidur entah sedang apa.
            “Bagaimana Shina bisa hidup di tempat ini sekian lama, Gad?,” tba-tiba Naya bertanya tanpa mengalihkan pandangnya pada coklat panasnya. Kebekuan di antara keduanya terasa mencair sehangat coklat pans yang dipegang Naya.
Jagad menjawab hanya dengan tarikan nafas berat. Dia berdiri merapikan jaket dan penutup kepala penahan dinginnya. Lima tahun hidup di Surabaya membuatnya merasa ekstrim dengan suhu di Bumiaji ini. berulang kali sejak kedatangannya Jagad menggosok-gosokkan kedua tapak tangannya untuk mendapatkan efek hangat.
            “Kamu mau kemana, Gad?
            “Hm? Kenapa? Kamu takut disini sendiri?,” jagad tak menjawab dengan tepat pertanyaan Naya. Naya merengut dan mendengus dengan cepat mendengar jawaban Jagad.
            “Hoahmm…
            “Tetap saja sifat gak sopanmu satu itu, Nay,” Jagad terkekeh. Sejak dulu Naya selalu menjadi yang paling aneh diantara mereka bertiga. Tertawanya lebar, suaranya keras, nyaring, suka menguap sembarangan, suka merajuk, suka mengolok dan beberapa sifat yang selalu disebuat Jagad dengan kolokan.
            “Ya sudah sana pergi, aku berani disini sendiri. Tapi jangan salahkan aku jika mengunci pintu dan tidak menerima tamu malam hari. Siapa juga yang mau membuka pintu yang diketuk oleh orang yang tidak jelas asal usulnya,” sungut Naya. Jagad mulai terkekeh lagi dengan sindiran Naya untuknya. Suasana tegang antara keduanya tadi mencair dengan sendirinya. Sejak ditinggalkannya secangkir lagi coklat panas itu, Jagad sudah tau Naya sudah mulai mencair sikapnya. Paling tidak Naya sudah mengalahkan egonya untuk membuat coklat panas hanya untuk dirinya sendiri.
            “Nay, apakah permintaanku sore tadi membuatmu benar-benar terkejut?,” tiba-tiba Jagad membuka pembicaraan sensitive itu lagi.
            “Untuk apa kamu bertanya begitu?
            “Yahhh… aku hanya ingin tau. Aku lihat matamu langsung merah dan kemudian memintaku pergi. Apakah kamu marah dengan kalimatku tadi, Nay?,” kali ini Jagad bangun dari rebahnya dan menatap sempurna Naya. Mata Jagad yang selalu menyipit kini benar-benar seperti memangsa habis salah tingkah Naya.
            “Nay…
            “Jangan bodohi aku lagi, Gad!,” Naya menekankan kata lagi pada kalimat terakhirnya. Jagad menarik nafas dalam dan menyandarkan tubuhnya pada sofa kecil di ruang utama itu. Naya sendiri duduk di sofa yang lainnya tepat di depan Jagad. Ruangan itu hanya dipenuhi oleh dua buah sofa panjang dengan menja semi panjang di tengahnya. Diatasnya ada sebuah vas bunga dengan bunga lili putih terbuat dari lilin. Cantik dan nampak seperti asli. Siapapun pasti mengira itu bunga lily asli jika dilihat dari jauh. Bunga lily dengan putik yang menguning telor dan jingga pada beberapa titiknya seperti taburan debu berwarna.
            “Kenapa, Nay?,” Jagad memecah kediaman Naya.
            “Taka pa. aku hanya malas membicarakan omong kosongmu itu.
            “Omong kosong? Jadi apakah aku tidak akan mendapatkan jawaban apapun itu nanti atau sampai kapanpun?
            Naya menatap Jagad tak senang. “Apa aku harus menjawab pertanyaan bodohmu itu dengan berbunga-bunga?,” senyum sinis tergambar jelas di wajah Naya. Jagad hanya menjawabnya dengan tatapan yang tidak beranjak dari Naya. “Aku tak berharap kalimat itu keluar darimu, Gad. Apakah kamu pikir aku akan mengatakan bersedia untuk permintaan bodohmu itu? Jangan mimpi kamu!
            Jagad tetap tak mengalihkan pandangannya. Dia mengenali Naya yang sedang ingin menyerangnya dengan kalimat-kalimat pedas. Tanda kemarahan dan juga kekecewaannya.
            “Hhh… baeklah, aku keluar dulu,” Jagad beranjak mengambil jaket tebalnya. Baru menjelang isya saat Jagad berkata akan keluar. “Tenang saja, aku tidak akan lama. Hanya sebentar ke mushola. Kalau kamu ingin menitip makanan, telpon saja. Itupun kalau sinyal disini bisa menjangkau. Dari tadi aku mencoba menelpon sinyalnya tidak nampak disini. Tapi cobalah saja, siapa tau saat itu aku sedang berada dekat dengan penjual nasi gorang kesukaanmu,” Jagad mengancingkan jaketnya hingga menutupi lehernya. Tangannya sengaja dimasukkan dalam saku jaket untuk tetap membuatnya hangat. Bumiaji bukan daerah yang ramah untuk orang-orang dataran rendah seperti Jagad. Paling tidak, suhu disini selalu lebih rendah beberapa derajat dibanding tempat hidup Jagad selama ini, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar