Minggu, 11 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 3)


Dokter rumah sakit Baptis Batu menempelkan kabel-kabel di tubuh dan kepala Shina. Infuse dipasang mengimbangi kebutuhan Shina akan makanan dan minuman. Transfuse darah dilakukan terus menerus hingga Shina kembali berpenampilan layaknya manusia yang hidup. Semua anggota keluarga besarnya telah memberikan donor darah untuk Shina dan semua belum mencukupi kebutuhan darah Shina kecil. SHina masih tetap menutup mata dan mengatupkan bibirnya kuat. Hanya ada selang yang melewati batas mulut dan tenggorokannya, kabel-kabel yang berseliweran di tubuh dan kepalanya dan tentu saja infuse dan pipa yang mengalirkan cairan merah ke tubuhnya. Tapi sepertinya kesimpulan dan hasil kesehatan Shina tetap tidak bisa seperti sedia. Ada beberapa tulang kakinya yang harus dimasuki baja-baja penyangga. Dan tentu saja di kepala Shina juga mengalami tekanan yang berat hingga berbulan-bulan selepas kejadian itu Shina masih harus kembali untuk memeriksakan kondisinya.
            Sehebat apapun tangisan dan kedukaan yang menyelimuti keluarga SHina, tidak akan membuat takdir berubah. Kematian memang selalu menjadi misteri, sama halnya dengan takdir perjalanan hidup. Tidak ada yang bisa memastikan kapan piringan hitam hidup kita akan berhenti. Sama sekali tidak ada yang mengerti, apakah kematian akan mendatangi kita dengan cara yang baik ataukah dengan cara sebaliknya. Meskipun memang sebenarnya, kita sendirilah penentu cara mati kita.
            =====
           
Jadi milik siapakah rumah mungil ini?
            Naya meraih handphone hijau mudanya. Tangannya berulang kali menimang-nimang benda kecil itu seolah menunggu kesepakatan hati, pikiran dan tangannya untuk melakukan sesuatu dengan benda itu. Benda kecil itu kembali diletakkan Naya di atas meja. Dan Naya beranjak ke arah kamar SHina. Shina masih terlihat lelap. Entah apakah dia lelap ataukah hanya menutupkan matanya seperti lelap. Naya memandang penuh sahabatnya itu. Beberapa kali dia manrik nafas seperti menghembuskan beban yang mengendap di hatinya.
            “Shina…
            kembali Naya duduk bersedeku di atas sofa ruang utama. Tangannya pun kembali meraih handphone dan bersiap menghubungi seseorang. Namun kembali diurungkan. Seperti ada rasa enggan atau kalau bukan rasa gengsi yang melingkupinya. Jika aku mengSMSnya, itu sama artinya aku menunggunya. Ah, biar saja. Lebih baik aku menikmati bulan di luar.
            Sayangnya, tak ada bulan indah malam ini. ratu langit itu hanya berbentuk sepenggal dan berwarna gelap. Langit menyembunyikan kecantikan bulan dengan awan-awan kelabu. Bintang pun seolah enggan menampkkan diri dan lebih memilih mendukung suasana langit yang mengelabu. Mungkin di belahan sebelah bumi Bumiaji, matahari juag sedang bermalas-malasan menampakkan sinarnya.
            Wuussshhhhh…
            Naya mengeratkan jaket dan syalnya kembali. Benar-benar dingin yang tidak bersahabat. Bagaimana Shina dapat hidup dalam sepi yang demikian? Hanya berteman dengan apel dan sayur-sayuran. Jauh dari rumah warga, kenapa dia sama sekali tidak memiliki rasa takut akan kedatangan tamu tak diundang? Bukankah rumah ini cukup indah untuk bisa dijadikan sasaran pencurian?
            HHhfff…
           Hembusan nafas Naya menjadi penanda bagi keluarnya uap-uap dingin dari mulut dan hidngnya. Beberapa kali Naya melihat kea rah pintu pagar, namun banyangan Jagad tetap tak terlihat. Apakah aku harus menanyakan keberadaannya? Ah tidak, biar saja…
            “Menunggu Jagad, Nay?
            Naya tergeragap. Shina dengan pakaian dingin, syal dan tentu saja dengan alat Bantu berdirinya telah berada di pintu rumah itu. Naya segera mendekati Shina dan mengajaknya masuk. Dingin di luar.
            “Aku sudah disini lebih dari setahun, Naya, aku mengenal sekali suhu di sini. Kamu tak perlu mengkhawatirkan kesehatanku,” Shina kemudian meminta Naya membantunya untuk duduk di kursi rotan teras itu. “Biasanya setiap malam aku ditemani oleh mbak Sum. Tapi malam ini memang sengaja kukatakan padanya iuntuk tidak ke sini karena ada dua sahabatku akan menginap disini. Mbak Sum janda, namun tanpa anak. Suaminya dulu adalah pekerja kepercayaan keluargaku. Hingga mau tak mau, aku pun mempercayakan hal-hal yang menghabiskan energi kepada mbak Sum. Dia yang banyak membantuku sejak aku memutuskan membeli rumah ini.
            membeli rumah ini? berarti rumah ini milik Shina?
            “Jagad kemana, Naya?
            Naya hanya menggeleng. “Katanya mau ke mushola tadi.
            SHina mengangguk. “Kamu sudah hubungi dia?
            “Untuk apa?
            “Untuk menanyakan dimana dia sekarang.
            “Pentingkah itu, Shin?
            Shina hanya tersenyum. “Paling tidak kau tau kapan dia balik ke sini.
            “Hfff…,” Naya menghembuskan nafas kembali. “Shina, Shina… Andai Jagad adalah seorang anak kecil, aku pasti akan berulang kali mencari dan mengkhawatirkannya. Apa kau lupa, JAgad adalah laki-laki yang selalu perkasa dan merasa bisa menjaga dirinya dengan ilmu bela dirinya itu?
            Sinis.
            Shina hanya tertawa kecil mendengar kalimat sinis itu.
            “Bagaimana kau bisa membeli rumah disini, Shin? Apa yang membuatmu tertarik dengan rumah ini?
            “Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?
            Naya mengerutkan dahinya. “Sesuatu? Apa?
            “Mmm… hubungi Jagad dan pastikan kapan dia balik dari mushola.
            “Shinaaa…
            “Aku hanya akan bercerita banyak hal yang kualami selama aku menghilang dari kalian jika kau bersedia menghubungi Jagad. Bagaimanapun dia asing disini, mushola juga terlalu jauh dari sini.
            “Yahh… salah siapa milih rumah kok di puncak gunung gini,” sahut Naya bersungutan. Langkahnya berat menuju ruang utama kembali untuk mengambil handphone-nya. “Semoga tidak ada sinyal malam ini sehingga aku tak bisa menghubunginya. Hhhfff…
            “Cepat hubungi, Naya…
            “Kamu dimana?
            Masih di mushola.
            “Mau balik ke sini atau menginap di mushola?
            Shina tertawa kecil kembali mendengar kalimat Naya.
            “Aku segera balik. Tunggu beberapa menit lagi. Memangnya ada apa, Nay?
            “Gak ada apa-apa… Ini pemilik rumah mencarimu. Tapi kalo memang kamu mau menginap di mushola ya sudah, aku bisa segera mengunci pintu dan segera tidur.
            Itu kan maumu, Nay. Aku mau bicara dengan Shina.
            Benda kecil itu berpindah tangan.
            Kok bangun, Shin? Diapakan sama Naya? Iya, aku akan segera balik kok. Ini masih antri nasi goreng.
            Naya memesannya?
            Oh bukan pesenan Naya kok, aku yang pengen. Tapi kubungkuskan juga untukmu dan Naya.
            “Owh. Ya sudah kamu cepet balik. Aku khawatir kulitmu tidak kuat dengan udara disini. Bukankah kamu laki-laki berkulit panas?
            Shina dan Jagad tertawa sejenak. Dan klik, sambungan itu terputus. Naya melirik Shina yang masih menyisakan sedikit senyum di bibirnya.
            “Shina…
            “Aku membeli rumah ini dengan uang tabunganku dulu dan sebidang kebun apel,” sungging senyum di bibir Shina kembali terlihat. “Aku pikir rumah ini cocok untukku. dari teras ini aku bisa melihat perkembangan kebun apelku. Hmm, apakah kamu tau kebun apelku yang mana?,” Naya menggeleng. “Kebunku yang itu, Nay… Yang berada di depan pandang mata itu. Itulah alasan utamaku membeli rumah ini. Tentu saja tetap dengan bantuan mbak Sum dan pekerja-pekerjaku.
            “Kebun apel ini berada dalam pengawasanku penuh sejak aku memutuskan menutup taman bunga di Batu. Sebenarnya sayang, yah tapi mau gimana lagi. Pakdheku bilang, lebih baik berkonsentrasi mengelola kebun apel itu,” ujar Shina. Beberapa kali ia pun mengeratkan jaket rajutnya. “Disini aku bisa menghabiskan beberapa waktuku dengan membuat rajutan-rajutan. Kau pasti tidak akan sabar dengan pekerjaan ini, Naya. Tanganmu terlalu kasar untuk pekerjaan perempuan ini,” kelakar SHina.
            “Heeee… Jangan menghinaku. Tanpa merajut pun aku tetap perempuan, Shin. Hahahaha
            “Iya, perempuan tanpa tanda-tanda.
            “Hahahaha
            Lampu kecil penjual nasi goreng itu tertiup angin pelan. Api kecil itu bergoyang-goyang seirama dengan nyanyian yang dilagukan angin dingin itu. Jagad menyandarkan punggungnya di pos kamling tempat nasi goreng itu mangkal. Beberapa kali dia mengusap-usap telapak tangannya dan meniupkan udara dari mulutnya.
            “Bukan orang sini ya, mas?
            Jagad tersenyum kecil.”Iya, pak. Saya dari surabaya.
            “Owh...
            Jagad kemudian kembali menikmati punggungnya yang menyandar.
            “Ada acara sekolahan ya, mas?
            “Oh tidak, pak, saya hanya dolan ke sini. Kenapa, pak?
            “Oh saya kira anak-anak sekolahan. Biasanya disini sering dijadikan tempat anak-anak sekolahan buat acara-acara.     
            Jagad tersenyum. Rumah Shina tidak nampak dari tempatnya menyandar. Jagad pun tak yakin penjual nasi goreng ini mengetahui keberadaan rumah shina yang memang lepas dari rumah-rumah penduduk. Karnanya Jagad pun enggan untuk bertanya lebih banyak. Pikirannya terbagi tuntas antara memikirkan Shina dan Naya. Hfff...
            Kpn balek ke Sby?
            SMS dari rekan kerjanya. Jagad terlihat ragu mau menulis apa.
            Aku belum tau. Ada apa? Balasnya.
            Gpp. Tantri mencarimu td. Dia blg hpmu ga aktif.
            Ada apa? Hpku memang kumatikan, aku hny memaki hp ini. Balas Jagad.
            Aku tdk tau pasti. Tp sptinya penting.
            Aku hrap kmu bs merahasiakan nmerku. Tulis Jagad lagi.
            Hm.
            Tantri. Hfff... apa yang telah kulakukan padanya. Hhh...
            Sudah hampir satu setengah jam Jagad keluar dari rumah kecil Shina. Awalnya dia memang ke mushola. Kemudian mencari penjual nasi goreng yang kata jamaah mushola tadi sering mangkal di pos kamling ini. Jagad menggunakan sepeda di pojok garasi tua Shina. Dia menemukan sepeda itu sore tadi beberapa saat setelah dia membuat Naya marah.
            “Itu sepeda pak Ji,” jawab Shina saat Jagad menanyakan tentang sepeda itu. “Kau pakai saja kalo kau mau,” Jagad mengangguk-angguk.
            Meskipun tidak begitu bagus, namun sepeda ini cukup membantu Jagad. Daripada jalan kaki, pikir Jagad. Lagipula remnya juga masih berfungsi bagus. Jagad hanya perlu mengelap bagian-bagian yang terlau kotor.
            “Masih lama, pak?,” tanya Jagad. Sudah hampir jam delapan.
            “Tinggal satu saja kok, mas.
            “Owh baeklah...
            jagad kembali larut dalam lamunnya. Kenapa Naya bisa semarah itu dengan keinginanku? Rumit sekali Naya ini... Dari dulu keras kepala.
            “Lima belas ribu, mas,” Jagad segera mengangsurkan rupiahnya untuk membayar Nasi goreng yang dipesannya. Segera mengucapkan terima kasih dan langsung mengayuh sepedanya. Beberapa kali Jagad harus mengatur nafasnya karena udara dingin Bumiaji sekaligus karena pompa di jantungnya yang sedikit protes karena arah laju sepeda Jagad yang melawan arus. Tadi ketika berangkat jalan yang dilalui Jagad memang menurun, sehingga sudah bisa dipastikan, untuk daerah dataran tinggi, jika berangkat menurun sudah pasti saat kembali pasti menanjak. Berulang kali juga Jagad mengeluarkan keras uap dari mulut dan hidungnya. Kebiasaannya bela diri ternyata hanya sedikit membantunya mengatur nafasnya yang kedingingan dan rasa panas di dalam tubuhnya.
            Lima meter dari kejauhan, Jagad telah melihat dua wanita itu duduk di teras. “Lama ya nunggunya?
            “Hadoh, siapa yang nunggu... GR bianget!
            Jagad hanya tersenyum. Sia-sia melawan kesinisan Naya padanya.
            “Yah... nasinya sudah agak dingin. Ayuk segera disantap saja,” Jagad menata satu-satu nasi goreng itu pada piring-piring. Kepulan asap nasi goreng itu membuat lidah ingin segera merasakan nikmatnya. “Kamu mau tidak, Nay? Kalo tidak mau aku kuat kok habiskan dua.
            “Maruk banget kamu, Gad.
            “Yah... kalo tau nasinya dikit gini aku akan bungkus empat tadi. Biar dua buatku.
            Hahahaha. Masih doyan makan juga kamu, Gad.
            “Shin,” Jagad berbicara di tengah kunyahannya yang tinggal beberapa kali kunyah. “Kamu tidak takut tinggal disini sendiri?
            “Shina tidak sendiri, elang... ada temannya tiap malam.
            “Semut?,” Jagad melihat Shina
            “Ada orang kepercayaan keluarga sejak aku belum ke sini, Jagad.
            “Owh.
            “Lagian semua orang takut dengan rumah ini. Katanya berhantu. Bahkan mungkin perampok pun takut dengan rumah ini,” Shani tertawa kecil. Suara jangkrik membuat suasana sangat riuh. Juga teriakan anjing-anjing penjaga kebun apel. Disini hampir semua pemilik kebun apel juga memiliki anjing-anjing penjaga. Bulan juga masih tetap malas-malasan menampakkan sinarnya. Tetap kelabu bersembunyi di balik awan.
            Jika dilihat dari jauh, rumah ini memang luar biasa cantik. Seperti terlihat di pucuk jalan. Gaya rumahnya kuno, semacam gaya rumah-rumah bangsawan kecil Eropa. Kecil, elok dan menarik. Dengan teras yang tidak terlalu luas, sisa halaman ditumbuhi beragam bunga. Beberapa bunga mewarnai keramaian halaman itu. Dan tentu saja, sebuah pohon apel di pojok sebagai raja tumbuhan-tumbuhan kecil itu. Rumput-rumput menjadi seperti karpet buat halaman ini. Hijau, terhampar halus. Memang rumah ini tidak nampak menakutkan. Tapi orang-orang sekitar telah termakan isue tentang hantu yang ada di rumah ini. Karna memang kenyataannya rumah ini milik sepasang warga Eropa dan telah sekian lama ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang merawat. Rumah ini kemudian diambil alih kepemilikannya oleh ahli warisnya yang berada di Jakarta, namun sedikitpun tetap tidak terawat. Mungkin ahli warisnya juga berpikir sama dengan orang-orang sekitar, rumah ini berhantu.
            “Aku harus mengeluarkan lebih dari lima juta untuk merapikan rumah ini. Rumah ini dulu benar-benar kotor. Debu yang ada di dalam sudah mencapai beberapa inchi. Hingga saat aku ke sini untuk pertama kalinya, aku serahkan semua kerjaan pada mbak Sum. Mbak Sum yang kemudian mengurus semua hingga aku siap menempatinya.
            “Kamu pernah bertemu dengan hantu disini, Shin?
            “Hahahaha. Kamu, Gad, gitu saja ditanyakan,” Naya menjawab pertanyaan Jagad dengan nada meledek.
            “Kalian tau, sofa-sofa ini asli ada disini lho... Gelas-gelas itu juga sudah ada asli di lemari pojok itu. Hmm... mungkin eyang yang memiliki rumah ini mewasiatkan pada ahli warisnya untuk tidak mengambili barang-barang di rumah ini. Jadi saat aku membelinya, semua masih utuh. Hanya butuh seminggu untuk membuat rumah ini bersih. Dan selanjutnya aku merenovasi tampilannya, tentu saja saat itu aku masih kuat untuk melakukan banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar