Senin, 12 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 4)


 Malam makin beranjak larut. Tinggallah Jagad dan Naya yang belum memejamkan mata dengan lelap. Keduanya sama-sama berada di sofa yang ada di ruang utama itu. Sebuah kamar yang dimiliki rumah ini belum sempat dibereskan dari beberapa barang milik Shina. Mbak Sum yang biasanya menemani Shina biasanya juga tidur di sofa. Shina bilang, mbak Sum pun enggan merapikan kamar itu salah satunya juga karena takut.
            “Kamu pikir kenapa Shina mengundang kita ke sini, Gad?,” tanpa memandang Jagad, Naya menggumam tanya. Jagad tak memberikan reaksi lebih.
“Aku juga tidak tau, Nay,” ujar Jagad. “Dan kita sama-sama tak berani menanyakan maksud Shina,” sambung Naya.
            “Naya...
            “Jika maksudmu memutar badan dan memanggilku untuk membicarakan masalah tadi sore, kamu hanya GR jika berpikir aku akan menanggapi,” sergah Naya cepat. Badannya berbalik memunggungi Jagad. Sebenarnya Naya pun risih jika harus tidur berhadapan dengan Jagad begini, namun keadaannya memang begini. Apalagi jika harus memunggungi Jagad. Namun syukurnya, selimut tebal milik Shina menutup sempurna tubuh Naya hingga tidak terlihat sama sekali. Dan kerudung berbahan kaos itu tetap melekat di kepala Naya dengan syal putih tulang di lehernya.
            “Baiklah, selamat tidur.
            “Hm...
            Tak ada suara lagi setelah itu. Hanya suara nafas-nafas halus yang terdengar. Kelelahan dan rasa dingin yang sangat membuat kedua karib itu begitu cepat melelapkan diri. Meskipun mungkin pikiran keduanya sama-sama tidak selelap suara nafas yang terdengar. Apalagi semua seperti memutar-mutar kembali. Tapi biarlah... Sepertinya pagi esok hari sangat indah untuk dinikmati. Sekarang biar saja malam membungkus cerita-cerita yang masih tersimpan nanti. Sssttt... Bukankah semua cerita adalah puzzle yang selalu kita sendiri yang menyusunnya? 
 ***
             Bagian 2
            Assalamu’alaikum, Jagad, Naya...
Alhamdulillah disini aku sehat, paling tidak aku bahagia disini. Aku harap kalian juga bahagia dengan hari-hari kalian.. Aku sengaja menuliskan ini dengan kalimat yang sama untuk kalian berdua. Apakah kalian merindukanku? Kalian pasti masih sering berkomunikasi yah. Yah... aku minta maaf karena menghilang begitu saja dari kalian berdua.
Tapi maukah kalian mengunjungiku disini?
Inginnya aku yang berkunjung ke sana, tapi kalian pasti bisa mengira kondisiku yang semakin lemah saja. Ah, tapi aku bahagia dengan semua ini. Kemarilah, akan kutunjukkan banyak keindahan disini.
Kemarilah, karna aku sangat merindukan kalian. Jagad dan Naya.
                                                                                               
                                                                                                Hugs!
                                                                                                Shina

“Dari siapa, Nay?,” ibu mengambil surat yang kuletakkan di sisiku. Aku kemudian sibuk membuka bungkusan lain dalam kardus kecil itu. Tiga buah apel ranum dengan ukuran sedang. Masing-masing diberi pita warna biru. Ada juga sebuah foto dengan latar belakang kebun apel dan matahari kecil. Sebuah senyum menghiasi foto itu. Senyum Shina.
“Shina...
“Iya, bu’, Shina. Akhirnya dia menghubungi Naya...
“Syukurlah, sayang... Apakah kamu hendak memenuhi undangannya?
Aku menatap ibu. Ada pertanyaan yang tidak kuucapkan tapi dipahami ibu. “Yah... pergi saja. Nanti biar ibu yang memintakan ijin bapakmu. Tapi bagaimana dengan kantormu?
“Hmpp... Naya belum ambil cuti sama sekali, bu. Mungkin Naya bisa ambil jatah cuti taun ini. Tak apalah jika nanti tak ada cuti lagi, lagipula ini sudah tengah taun dan belum ada rencana penting untuk bulan-bulan ke depan.
“Yah, baiklah... Kapan kamu berangkat?
Aku hanya mengangkat pundak. “Entahlah...
“Sudah hubungi Jagad?
Aku  melirik ibunya. “Untuk apa?
“Yah biar sama-sama sampe disana, Nay. Kami ini gimana...
“Tunggu, tunggu... darimana ibu tau Jagad juga diundang Shina?
Wanita paruh baya itu tergelak. “Nay, nay... ibumu itu bisa membaca surat ini.
Sekarang aku yang melongo. “Hahahaha. Naya dudul... hahahaha
Aku segera ditinggalkan sendiri oleh ibu setelah itu. Naya kembali membaca surat singkat dari Shina. Shina, bagaimana keadaanmu Shin?
Kukemasi surat dan kiriman apel dari Shina. Aku beranjak ke kamar dan menikmati alam pikirku tentang Shina. Terakhir kali Shina menghubungiku tiga tahun lalu. Setelah itu kami putus kontak, terlebih saat ternyata nomer HP Shina sudah mati. Sama seperti aku, Jagad, kawanku, juga tak tahu bagaimana harus menghubungi Shina. Pernah aku menelpon ke rumah Budhe Asih, tempat tinggal Shina sebelum pindah ke Bat, tapi jawaban dari budhe Asih tidak memuaskan. Shina ingin hidup tenang, begitu katanya. Bahkan saat aku benar-benar datang ke rumah budhe Asih untuk urusan Shina, bude Asih pun tetap kukuh dengan kalimatnya.
“Nanti dia pasti menghubungi nak Naya,” ujarnya padaku saat itu. Aku hanya menatapnya tanpa makna. “Shina memilih hidup seperti itu, nak, budhe bisa apa...
Aku mengerutkan urat dariku. Hidup seperti itu?
“Nak Naya sakmeniko makaryo wonten pundi njih?
Naya tersenyum. “Wonten perusahaan kertas, bu.
Budhe Asih terlihat kaget. ”Tapi bukan di Mojokerto, budhe... di dekat desa saya juga ada pabrik kertas cukup besar. Pabrik Surya Zigzag.
Budhe Asih mengangguk-angguk. Mungkin budhe teringat dengan bapak Shina yang dulu juga bekerja di pabrik kertas Mojokerto. Shina dulu juga sempat berkaca matanya saat kukatakan aku diterima kerja di pabrik kertas. “Kau mengingatkanku pada bapak, Naya...,” ujar Shina saat itu.
“Jadi sudah lama Shina tidak tinggal disini, budhe?
Budhe Asih menarik nafas panjang. Rumah ini juga sepi. Pakdhe sudah meninggal setahun lalu, sementara putra budhe satu-satunya sekarang tinggal di Jakarta karena memang dia bekerja di sana. Rumah ini juga tidak terlalu luas. Begitu masuk langsung dapat ditemui sebuah sofa letter L jaman dulu warna merah, kemudian sedikit berbelok ada sebuah tivi di pojok ruangan. Dapurnya ada di belakang ruangan itu, sementara kamarnya behadapan langsung dengan ruang yang ada televisinya. Kesan agak sumpek memang kerasa, mungkin karena letak televisi yang berada di jalan menuju dapur.
“Shina sudah hampir tiga tahun tidak disini, nak...,” budhe Asih kembali menarik nafas. “Sebenarnya budhe juga ingin dia tetap disini. Tapi shina selalu berkata ada amanah ibu bapaknya yang harus dijaga di Batu, jadi mau tidak mau budhe harus melepas. Sebenarnya budhe diajak serta oleh Shina, tapi mas Dewo tidak mengijinkan.
“Selama tiga tahun itu, Shina tidak pernah kemari, budhe?
“Pernah nak... tapi hanya dua kali kalo budhe tidak salah. Shina kan sakit, nak, budhe bisa paham keadaannya. Syukurlah, dia menjadi gadis yang kuat. Semoga dia juga bertemu jodohnya di dunia ini, nak...
suara budhe tertelan sedak. Ada gemuruh di dadanya, aku tau itu. Kaca-kaca di matanya pun seperti hendak pecah. Aku menghampri dan memegang tangan sepuhnya. “Pasti ada malaikat bumi yang diturunkan Allah untuk Shina, budhe...
budhe mengangguk-angguk. Kini air mata itu tidak lagi bisa terbendung. Sambil bercerita banyak tentang keputusan Shina yang berpindah ke Batu, budhe berulang kali mengusap matanya. Budhe sangat membanggakan Shina meskipun budhe juga berkata Shina sangat keras kepala dengan keinginannya. Dia lembut, namun keras pada sikapnya. Sebelum pergi pun Shina memberikan beberapa lembar pakaian untuk budhe Asih, mukena dan sajadah serta kerudung sederhana siap pakai untuk budhe kenakan sehari-hari.
“Shina bilang bukan untuk membalas jasa, tapi untuk kenang-kenangan,” isak budhe Asih. “Uang itu, Shina bilang boleh budhe gunakan untuk membiayai selamatan pakdhe. Boleh juga untuk kebutuhan budhe yang lain. Shina memberikan itu beberapa bulan setelah kepindahannya ke Batu. Uang itu dititipkan mbak Sum, orang yang menemani Shina di Batu.
Aku seperti tidak seperti aku biasanya. Aku yang begitu royal dengan pembicraan, tiba-tiba hilang suara. Budhe Asih berulang kali meyakinkan aku bahwa Shina pasti menghubungiku suatu hari. Budhe juga memberitahukan mungkin Shina sudah tidak berada di taman bunga yang dulu sering kami kujungi tiap akhir pekan. Rumah ini pun sudah seperti rumahku dulu. Tidak tau kenapa, Jagad juga seolah tidak lepas dari kebersamaan kami.
SMS SMS SMS SMS SMS diterimaaaaaaa...
Aku merutuk dengan kekagetanku sendiri. Bunyi HP genit itu yang membuatku harus bangun dari rebahanku bersama ingatanku tentang budhe Asih. Jagad.
Sdh dtg paketan Shina?
Sudah. Singkat balasku.
Hm, kpn brgkat?
Belum tau. Balasku lagi.
Sabtu ini gimana? Kmu setuju kan klo qt brgkat pd hri yg sama?
Ok, aku kbari lg nanti.
Ternyata paketan Shina untuk Jagad juga telah sampai. Aku tidak yakin akan berangkat dengannya lagi. Ah, aku sudah malas rasanya bertemu dengan Jagad. Sejak menjadi orang Surabaya, dia tak lagi menjadi teman yang ramah. Mungkin aku terlalu menuntut, tapi sungguh, aku kehilangan Jagad yang begitu “laki-laki” bagiku dan Shina. Hhh...
Pagi hari menjelang keberangkatanku ke kantor...
Rumah sepi. Pasti ibu bapak lagi di belakang, ngerumpi. Dua orang ini memang suka ngerumpi berdua. Hahahaha. Ada saja yang digosipkan dan dirumpikan. Terkadang sampai tergelak-gelak. Aku mewarisi bakat cerewet dari ibuku, namun sikap kerasku diwariskan dari bapakku. Kuintip sekilas Mada, adikku juga telah siap dengan seragam abu-abunya. Tas ranselnya juga sudah ada di ruang tamu. Sedangkan dia sendiri entah ada dimana.
“Mada mana, bu’?
“Di kamar gak enek tho?
Aku menggeleng. “Kamarnya sepi kok.
SMS SMS SMS SMS SMS diterimaaaaaaa....
Aku di Wc, mbak :P
“Hahahahaha. Dasar anak kurang ajar!
Ibu mengerutkan dahi. “Tuh anak laki-laki terganteng memberi pengumuman kalo dia sedang berpesta di WC. Hahahaha. Dasar sok high tech, ke WC saja bawa HP
SMS SMS SMS SMS SMS diterimaaaaaaa....
Siapa yg ngajari yak?
Aku kembali tergelak. Tanganku mengambil piring dan sendok. Tidak menunggu lama, aku segera bersarapan sambil menonton berita. Gosip pagi maksudnya. Ah, dimana-mana gosipnya sama saja. Tak ada yang istimewa kecuali mereka berbangga diri dengan memakan bangkai orang lain. Halah, halah... kenapa aku jadi sensi begini?
“Mbak Naya jadi ke tempat mbak Shina ta? Aku ikut po, mbak...
aku menelan kuat kunyahanku. “Enak saja, ini urusan orang dewasa.
“Halah, bilang saja karena mas Jagad juga ikut ke sana.
PLAK!
“Hadoohhh... mbak Naya ini anarkis banget tho,” Mada mengusap-usap kepalanya. Mulutnya bersungut-sungut protes. Aku kembali menekuni kegiatan makan pagiku yang tinggal beberapa sendok lagi. Shina pernah beberapa kali ikut aku pulang ke rumah dulu, makanya Mada pun mengenalnya dengan baik. Bahkan Mada kerap kali membandingkan aku dengan Shina yang kalem dan lembut. Apalagi Shina kerap kali mau-mau saja membuatkan nasi goreng untuk Mada.
“Jauh wis pokoknya antara mbak Naya dan mbak Shina,” kelakar Mada. Saat itu dia baru masuk kelas satu SMP. “Seumur-umur aku belum pernah dibuatin nasi goreng sama mbak Naya.
“Rewel!
Shina selalu tertawa dengan ulahku. Nanti di kamarku, dia pasti menangis. “Aku hanya sepuluh tahun mengalami hal itu, Naya. Dan saat itu pun aku belum begitu mengerti arti ibu bapak kecuali karena mereka orang tuaku,” ujar Shina.
Suara motor Mada membuatku terbangun dari lamun dudukku. Dua puluh menit lagi aku harus sampai kantor. Segera setelah kuletakkan piring di belakang, aku mengeluarkan motorku dan bersiap berangkat kerja. Hari ini aku harus menyelesaikan beberapa laporan kantor untuk pak Frans, manager marketing kantorku. Aku sudah menyusun daftar kerjaku hari ini, termasuk membuat surat ijin cuti untuk satu minggu ke depan. Apakah Jagad juga bisa ambil cuti yah?
Kantor PT Surya Pamenang...
Masih cukup sepi. Hanya kulihat dua orang satpam dan beberapa OB yang berseliweran. Beberapa menyapaku ramah. Beruntung aku mendapat panggilan kerja di tempat ini. Tidak jauh dari rumah dan murah karena aku tidak perlu mengambil jatah uang untuk kost atau kontrak. Memang pekerjaanku kadang tidak ringan. Berkutat dengan laporan-laporan tertulis yang terkadang satu saja salah maka salah seluruhnya. Tapi yah... namanya juga kerja, dimana-mana tidak ada yang enak kecuali aku bisa menikmatinya.
“Nay, cantik sekali hari ini!
Budi, staff marketing yang selalu terlihat dandy. Dia lebih dulu bekerja disini. “Kayaknya dari dulu Naya memang cantik deh, mas.
“Hahahaha. Tentu saja, tentu saja cantik dari dulu. Kalo gak gitu gak mungkin ada staf HRD yang kesengsem,” ujarnya cengengesan.
“Gosip teroooosssss...
“Hahahaha. Bukan gosip, Naya... kamu saja yang sok tidak mau tau.
“Tarik terooossss...
Budi makin tergelak dengan sahutanku. Tidak pernah ada habisnya dia menggodaku dengan si Dharma, anak HRD. Tapi andai kutanggapi serius, mungkin malah jadi makin kacau kejadiannya. Jadi lebih baik aku tanggapi dengan seadanya saja. Lebih enak lagi ditanggapi dengan bercanda.
Bersandingan dengan Budi, aku menuju ruanganku. Ruanganku berbeda tempat dengan Budi beberapa ruang. Namun kadang jika makan siang tiba, Budi sering melongokkan kepalanya ke ruanganku sekedar mengajak makan siang bareng di kantin. Aku kembali memperhatikan penampilanku hari ini. Hm, biasa saja... dimana cantiknya?
Gimana keputusanmu? Jagad!
Lum tau. Hri ini baru mau masukin surat ijin cuti. Kmu cuti juga?
Tentu sj, Nay. Kalo gak, bs dipecat aku. Tulis Jagad.
Oh iya aku hmpir lpa klo kmu org pnting skrg. Balasku sinis.
Hahaha. Sudahlah, kutunggu kabarmu.
Lewat pukul sepuluh aku sudah menyelesaikan tiga puluh lima persen pekerjaanku hari ini. Rencanaku sebelum dhuhur dan makan siang, pekerjaanku hari ini selesai dan aku bisa menyempatkan diri mengerjakan tugasku besok hingga nanti pulang. Mbak retno, seniorku di bagian ini membantuku banyak hari ini. Aku membicarakan tentang rencana cutiku dan dia bersedia membantuku menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat dari target.
“Kebetulan aku agak luang, Nay.
“Makasih ya, mbak, mbak Retno memang senior paling baek disini.
“Hah, kalo ada maunya... Tuh ada salam dari orang HRD
Aku kembali memanyunkan bibir. Pasti ulah Budi lagi.
“Kenapa sih Nay, kamu seperti tidak tertarik pada Dharma? Bukankah dia baik, giat bekerja dan ramah juga orangnya. Aku lihat dia memang menaruh hati padamu. Kenapa tidak mencoba membuka kesempatan.
“Hhh... aku malas pacaran, mbak. Bikin capek. Bikin pusing. Ngabisin tenaga, ngabisin uang, ngabisin waktu. Mending aku pake waktu yang buat pacaran itu untuk menyelesaikan tulisanku. Hahaha
mbak retno berjingkat mendekatiku. “Jadi bagaimana caramu memilih suami, Nay?,” tanyanya singkat.
“Aku sudah ada calon kok.
Mbak Retno terlihat kaget. “Di langit, mbak. Hahahaha
“Wooo... dasar anak sekarang. Kamu mau mbak jadi comblangmu dengan Dharma? Memang kamu mau cari yang seperti apa siy, Nay...
“Yang pendiam, bisa mengerti kelakuanku yang kolokan, suka diperhatikan, kanak-kanak. Dan pastinya, dia juga kudu giat bekerja. Hehehehe
tiba-tiba bayangan Shina mengelebat. Andai tidak dihalangi norma yang kalian yakini, aku yakin kau dan Jagad sudah pacaran sejak dulu, begitu kata Shina ulang kali. Mba Retno masih saja menjadi biro jodoh aktif untukku dan Dharma. Ah, dia tidak mengerti pilihanku.
“Kenapa Dharma tidak milih cewek lain saja sih, mbak.
“Hus! Gak apik bilang begitu.
Aku nyengir. Beberapa tumpuk kertas laporan telah selesai kukerjakan di mejaku. Tinggal menuju ruangan pak Frans untuk minta tanda tangan dan mengantarkan beberapa file ke bagian lain. Hhff... pinggang dan punggungku sudah mulai agak kaku. Kuputar kanan kiri pinggangku untuk melenturkan otot-ototnya yang protes padaku. Hm, sudah dhuhur...
Aku berharap guyuran air wudlu ini bisa membuat rasa lelah yang dirasakan tubuhku mereda. Kubasuh semua anggota wudluku dengan penjiwaan penuh. Lagi-lagi aku teringat Shina. Ah, Shina... rasanya pasti berat menjadi dirimu.
“Nay, ssttt...
Aku mencari arah suara yang memanggilku. Aku mendekatinya. “Ada apa?,” tanyaku.
Dia tidak menjawab. Hanya telunjuknya menunjuk ke depan barisan jamaah pria yang telah bejajar siap sholat. Aku hanya mengernyitkan mataku. “Bukannya cepet-cepet masuk barisan, malah enak-enak nungguin aku cuman mau kasih tunjuk itu,” sungutku. Masih kudengar sekilas tawa bahagia Budi yang berhasil membuatku bersungut-sungut.
HPku berdering tepat saat aku hendak menjadi makmum shalat dhuhur. Sengaja aku tak membuka atau melihat siapa yang menelponku, daripada aku kepikiran dengan tanya “ada apa si ini menelponku”. Aku berusaha secepatnya menguasai konsentrasiku untuk dhuhur ini. Tapi ternyata pikiranku tercampur-campur dengan kelebatan-kelebatan peristiwa.  Seperti berjubelan ingin meraih perhatianku.
“Jadi berapa lama kamu mau cuti, Nay?
“Satu minggu insya Allah, pak.
Pak Restu, manager HRD kantorku mengangguk-angguk membaca surat ijinku. “Siapa yang kamu kunjungi, Nay?
“Teman, pak, teman lama. Sahabat saya.
Kembali pak Restu mengangguk-angguk. Apa tidak ada ekspresi lain ya?
“Dharma!
Sesuai dugaanku. Pasti dia yang kebagian membuatkanku memo. Hff...
“Buatkan memo untuk Naya. Dia mau ambil cuti,” perintah pak Restu. Aku tersenyum tanda hormat dan terima kasihku padanya. “Ini suratnya,” pak Restu memberikan satu lembar surat ijin cutiku pada Dharma.
“Memang temanmu kenapa, Nay, sampai-sampai kamu ambil cuti segala...
“Dia sakit, pak, dan kami sudah lama tidak bertemu.
“Ya ya ya... dimana rumahnya?
“Daerah Bumiaji, pak.
“Oh Batu?
“Pujon, pak.
“Jangan lupa bawa jaket tebal kamu, daripada tubuhmu tidak kuat. Udara disana sangat dingin, lebih dingin dari Batu dan Malang. Yahh... meskipun kamu sudah mengenal dinginnya Malang, namun mungkin tubuhmu belum siap dengan dinginnya daerah sana.
Aku mengangguk mengiyakan.
Ehem2, yg ketemuan... Haahhh... Budi lagi, Budi lagi...
Aku tidak langsung mereply SMS dari Budi karena memang bukan SMS penting. Aku lebih memilih untuk lebih dekat dengan pak Restu yang memang sangat ramah dan dekat dengan semua karyawan disini. Bahkan aku yang baru beberapa minggu dulu bekerja sendiri, seperti segera dibuat nyaman oleh sikap beliau yang mengayomi. Dan aku juga merasa surprise saat pak Restu tiba-tiba mengomentari penampilanku hari ini.
“Tidak seperti biasanya, Nay,” katanya.
“Ya mungkin karena biasanya kedodoran sana sini ya, pak.
“Hahahaha. Bukan begitu... Saya menyukai konsistensimu dengan pakaianmu yang rapi ini. Saya baru kali ini lho punya karyawan berkerudung masih muda, konsisten dengan penampilan sederhana begini dan satu lagi,” pak Restu sedikit menyondongkan wajahnya padaku “Sepertinya kamu juga tidak pacaran. Hahahaha
Aku ikut terkekeh. Apalagi saat ekor mata pak Restu kemudian melirik ke arah Dharma dan aku bergantian. Entah sepertinya gosip panas antara aku dan Dharma seperti sudah menyebar. Syukurnya Dharma bukan orang yang bisa menunjukkan ekspresinya selain dengan senym singkat atau mengibaskan tangannya. Kasihan juga dia kalo terus-terusan digodain orang-orang,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar