Rabu, 28 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 7)

Bagian 3
Siang di Bumiaji...
            Ternyata ada terik juga di Bumiaji. Siang di Bumiaji juga bisa memanas meski panasnya lebih menghangatkan. Yang tetap terasa adalah tiupan yang dingin dari angin yang entah bagaimana mereka seperti tidak memiliki kelelahan untuk meniupkan kekuatan mereka. Dan andai tidak dengan kekuatan mereka sendiri, matahari juga tidak akan memenangkan persaingan dengan kesombongan angin. Persaingan kecil namun kemudian meluluhlantakkan kesombongan angin. Cerita tentang petani yang berteduh di bawah pohon yang kemudian menjadi tokoh untuk persaingan matahari dan angin.
Shina masih belum juga membuka pembicaraan tentang alasannya mengundang Jagad dan Naya ke rumah mungilnya setelah tiga tahun mereka tanpa komunikasi sama sekali.
“Kamu tau bagaimana caranya membuka pembicaraan dengan Shina, Nay? Aku semakin merasa bingung dengan yang disembunyikan Shina pada kita. Hfff... Bagaimana kita bisa mengerti dengan keinginan Shina sementara sudah tiga hari kita sama-sama tidak mengerti keadaanya,” Jagad menutupkan kedua telapak tangannya. Kebekuan antara keduanya memulih beberapa waktu kemudian. Dan kini mereka mencoba tenang untuk mengerti yang sebenarnya terjadi.
“Shina tidur. Ah, aku tidak tau sebenarnya Shina benar-benar tidur atau gak di dalam sana. Tapi aku melihat matanya menutup lelap dan tenang sekali. Wajahnya pun seperti tenang tanpa beban. Kamu juga melihatnya kan tadi?,” Naya menatap Jagad. Matanya menyisakan keterpanaan yang luar biasa. “Jadi apa yang membuat kita bisa menebak alasan Shina mengundang kita ke sini? Semntara dari awal kedatangan saja kita hanya terlibat keributan-keributan.
Jagad tersenyum mendengar kalimat Naya. Geli.
“Kamu mau jalan-jalan, Nay? Aku kira kita bisa bertanya pada kebun apel dan orang-orang yang dekat dengan kehidupan Shina. Kita bisa menanyakan keadaan Shina selama di sini. Siapa tau ada petunjuk. Kamu mau?
“Jalan-jalan?,” Naya merengut. Jalan-jalan pake apa? ada raut sipu-sipu di wajah merajuknya. “Pake apa?,” tanya Naya lagi.
“Pake sepeda,” jawab Jagad enteng. “Kuboncengin.
“Hah?
“Kenapa? Gak mau?
“Hahahaha. Kamu aneh. Mana aku mau kamu boncengin... Enak saja. Ngarep,” Naya beranjak menjauhi Jagad. “Aku ganti kerudung dulu, kamu tunggu saja di depan. Ukur suhu di luar sana, kalo memang terlalu panas untuk kita jalan pake kaki, lebih baik aku tidur saja. Key?
Jagad hanya melirik. Kemudian seperti begitu saja menuruti perintah Naya. Beranjak keluar dan mengukur suhu. Sepertinya masih cukup sejuk meski sedikit terik. Tidak mengapa sedikit berkeringat.
“Nayyy... Cepetaaaaannn...
“Aku siap, bos!
Jenaka senyum Naya di depan Jagad. Kerudung putihnya tadi telah berganti menjadi peach segar dengan kaos senada. Tangan kanannya terangkat memberi hormat pada Jagad. Naya, naya... Andai saja hhhfff...
“Tapi aku tak punya sendal, Gad... aku pake sendalmu lagi yah
Seperti tersadar, Jagad tak segera memberi komentar pada permintaan Naya. Pikirannya sempat melayang beberaa detik lalu. Manisnya anak kecil ini...
“Gad! Kamu ini kenapa sih, dari tadi kayak gak punya kehidupan,” Naya kembali bersuara. “Aku pake sendalmu boleh gak?
“Trus aku pake apa, Nay?
“Hmpp...,” bibir Naya mengerucut “Pake sepatu saja. Yah?
“Gak ah, kamu juga ada sepatu. Kenapa gak pake?
“Sepatuku berat, Gad... Nanti malah bikin capek,” Naya bersikukuh. Dan hasilnya sudah bisa dipastikan, Jagad akan mengalah meski enggan terpaksa dipakainya sepatu gunungnya dan matanya melihat sandal jepitnya terinjak manis di kaki Naya. Seperti tanpa dosa Naya memakai sandal itu. Senyum mentarinya terlihat cemerlang meski tak mampu mengusir dingin sekalipun dia tersenyum di malam hari.
Marilah menuju kebahagiaan...
Jalanan sepanjang kurang lebih satu kilometer lebih setengahnya itu terasa lengang. Mungkin karena ini jam-jam istirahat siang bagi pekerja kebun di sekitar daerah ini. Hanya beberapa orang saja yang dapat ditemui di sepanjang jalan. Lengang. Tapak kaki Naya dan Jagad pun tidak terlalu dipacu sekedar untuk menghindari terik. Sepertinya mereka menikmati saat-saat seperti ini meskipun tak harus saling bicara.
“Bagaimana kalo Shina nyari kita, Gad?,” Naya seperti mengingat sesuatu hal yang penting. Pandangannya jatuh pada sisi mata Jagad.
“Yahh... ga tau. Enaknya gimana?
Naya mulai merengut lagi. Kebiasaan yang sudah sangat dihafal Jagad, Shina dan bahkan seluruh teman-temannya. Kebiasaan lucu Naya yang kadang menjadi kebiasaan buruk saat keluar tidak pada waktunya.
“Kamu yang ngajak kok... Kamu yang tanggung jawab dong,” wajahnya semakin tertekuk-tekuk. Mulutnya makin mengerucut dan bicara seperti tak jelas. Kakinya sesekali menendang-nenang batu yang tak terlihat.
“Hahahaha. Gitu saja ngambek, Nay. Naya, naya... hahaha
“Apaannn...
Hahahahaha. Dasar koala, kalo gak merengut ya berarti ngambek!
Matahari seperti menjadi penggembira perjalanan mereka berdua. Seperti hilang kemarahan dan keributan yang teradi berulang kali itu. Menguap menjadi bulir-bulir merah sipu di wajah Shina dan senyum yang tak habis terkembang.
“Gad, gimana kabar ibu? Masih lancar jualan kerudungnya?
“Iya, alhamdulillah. Masih lumayan pesenan-pesenan dari dalam dan luar kota.
“Oh ya, ya...,” Naya mengangguk-angguk. “Hmmpp... kira-kira ibu masih ingat aku gak ya, Gad?
Hah? Maksudnya?
“Ingat? Sama kamu?
“Hu uh. Masih ingat aku gak ya?
“Memang kenapa?
“Kalo gak ingat kok ya kebangetan ya, kita kan pernah pulang bareng lebih dari lima kali,” Naya melirik Jagad jail. Jagad pun mengangkat alisnya menunggu kalimat Naya selanjutnya. “Tapi kalo ingat, kok ibu gak nitipin kerdung buatku ya, Gad.
“Oooo gitu tho,” Jagad menahan senyumnya. “Ya kali ibu dah nemu penggantimu. Aku juga gak tau. Orang tua kan semakin jarang dihubungi semakin lupa.
“Heeee... Apa maksudmu?
“Ga ada maksud kok. Memang kenapa?
“Halaahhh... bilang saja mau nyindir aku gak pernah nyapa ibu kan?
“Ooo... jadi kamu ngerasa gitu? Bukan aku yang bilang kan?
Hahahaha
kembali matahari seperti tertawa dengan lepasnya tawa naya. Sudah hampir tiga puluh menit mereka berjalan. Naya... aku selalu bahagia dengan tawamu.
“Gad, aku capek.
“Manja!
“Apaaannn... kamu gak liat kita dah jalan jauh banget. Kesel niy, panas lagi.
“Lha terus gimana... mau kugendong? Gak mau juga kan?
“Bodo!
Naya menghempaskan begitu saja tubuhnya di pinggiran jalan berumput. Kakinya diselonjorkan dan tangannya memijat-mijat pelan. Jalanan masih lengang. Hanya sesekali mulai terdengar suara anjing yang melolong. Rumah penduduk juga sudah terlihat satu dua. Kerudung peach Naya tertiup angin perlahan. Angin gunung, angin yang sunyi dan dingin.
“Gad!
“Hm...
“Ausss...
“Merepotkan banget siy kamu, Nay. Disini nyari minum dimana? Ya udah ayo berdiri, tinggal bentar juga sampe... nanti kamu boleh makan apel biar gak aus lagi. Yuk berdiri!
Kaki mereka pertama kali berhenti di rumah mbak Sum. Tentu saja Naya yang mengetahui dimana rumah mbak Sum karena tadi pagi dia yang turut mbak Sum belanja sayur dan lauk. Rumah kecil yang Naya bilang sejuk karena dinding-dindinya seperti mengeluarkan udara segar saat bersentuhan lagsung dengan kulitnya. Tidak terlalu besar ukurannya. Hanya terdiri sebuah ruang berkursi letter L di bagian depan dan sebuah kamar yang berada berseberangan dengan ruang itu. Disekat oleh sebuah lemari perkakas pecah belah dan ke belakangnya, cerita Naya langsung berupa ruang makan yang berfungsi juga sebagai dapur. Dan tentu saja, bersekat tembok antara ruang itu dengan ruang tengah bertelevisi.
“Ada apa ya, mbak, kok tiba-tiba ke sini. Mbak Shina sakit?,” mbak Sum tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Wajahnya seperti tiba-tiba memucat. Bahkan saat Naya sudah mengatakan bahwa dia hanya ingin jalan-jalan saja.
“Iya, mbak, kami hanya jalan-jalan kok.
Mbak Sum masih juga memandang heran. “Mbak Sum ini... beneran kok. Tadi di rumah kan Shina tidur, trus Jagad ngajak jalan-jalan. Pengen metik apel juga aku, mbak.
“Kok gak naek sepeda saja biar gak capek?,” akhirnya mbak Sum meluluh juga melihat ekspresi Naya dan Jagad yang santai itu.
“Gak ada yang boncengin, mbak. Hehehehe
mbak Sum menunjuk pada Jagad. “Masnya gak bisa naek sepedah, tho?
Jagad salah tingkah. Hanya sekejab. “Bisa siy, mbak... Cuman Naya-nya yang gak biasa naek sepeda. Apalagi naeknya dengan saya. Malu katanya.
Mbak Sum ber-oo pelan. Setengah terkejut dia bangkit. “Sampai lupa gak diambilin minuman. Maaf ya, mbak, mas...
Naya tertawa. Seperti mendapatkan berita gembira saja saat mbak Sum menyebut air minum. Matanya melirik jail ke arah Jagad. Akhirnyaa...
Naya melangkahkan kakinya menyusul mbak Sum ke dapur. “Wahh... sudah, mbak, biar saya saja. Mbak Naya tunggu saja di depan,” sambut mbak Sum kikuk mengetahui Naya sudah ada di delakangnya dengan senyum tengilnya. “Temani mas Jagad saja, mbak, bentar lagi juga selesai kok, mbak.
Naya tertawa. Justru karena aku tak bisa berdekatan lebih lama lagi dengannya aku mengikuti langkahmu, mbak... Aku tak bisa berlama beradu pandang dengannya.
“Monggo, mbak...
Naya tersadarkan. Langkahnya kemudian mengikuti gerak kaki mbak Sum. Kembali ke ruang depan. Jagad terlihat terpaku pada Hpnya. Hanya diam dan menatap benda kecil itu.
“Nay,” lemah sekali suaranya. Naya mengangkat alisnya menjawab panggilan Jagad yang terlihat aneh. Kenapa dia?
“Ehm, aku tau ini akan menimbulkan banyak sekali tanya. Ehm mbak Sum, tidak apa kan saya bicara dengan Naya dulu di sini?,” mbak Sum mengangguk. Naya semakin terlihat tak mengerti. “Mbak Sum boleh tetap disini kok.
“Gini, Nay, tapi aku harap kau bisa mendengar permintaan tolongku dengan sisi hatimu yang lain. Aku benar-benar butuh pertolonganmu saat ini,” Naya tanpa suara. Apa yang terjadi? “Sebentar lagi ada orang yang akan menelpon ku. Aku harap kamu mau mengangkatnya untukku,” pinta Jagad. “Katakan apa saja. Aku akan keluar untuk membuatmu nyaman mengangkat telponnya. Katakan aku sedang keluar atau apalah yang tidak terlalu jauh berbohong. Plis, Nay... lakukan satu itu saja untukku.
Naya bengong. Kenapa hanya mengangkat telpon saja dia begitu resah?
“Siapa yang nelpon, Gad?,” serak suara Naya bertanya. Jagad hanya diam. “Tunggu saja, dia akan nelpon segera kok. Tolong aku ya. Lakukan untukku sesuatu yang menurutmu baik untukku,” Jagad berkata pelan dan kemudian melangkah keluar begitu saja. Tinggal Naya yang bengong dan mbak Sum yang juga tidak mengerti.
Dan telepon dalam genggam tangan itu pun berdering. Sebuah lagu lawas terdengar. Naya Seolah berdebar mendengar dering yang seolah meneriakkan namanya itu. Naya memandang punggung Jagad dari dalam rumah.
“Yah, Halo Assalamu’alaikum...
“Wa’alaikumsalam. Maaf, mbak, bisa bicara dengan Jagad?
Perempuan? Naya bergantian antara mendengar penelepon itu bicara dan melihat punggung Jagad yang berdiri di luar rumah.
“Jagad yah. Hmpp... Jagadnya sedang keluar, mbak. Dari siapa ya, mbak?
“Mbak ini temennya Jagad? Namanya siapa, mbak?
Naya berusaha seramah mungkin.
“Saya Naya. Iya, saya temannya Jagad.
“Naya?
Suara di telepon itu seperti terkaget hebat.
“Iya, mbak, ada apa ya?
“Oh tak apa. berdua dengan Jagad di sana?
“Sekarang siy iya, tapi nanti bertiga lagi.
Naya tertawa. Melepas kekakuan diantara mereka.
“Mbak siapa?
“Tantri.
Naya terkesiap. Diam. Jadi...
“Oh maaf, mbak, saya tidak tau. Mau menunggu Jagad atau ditutup?
Naya kini tak memiliki basa basi lagi. Matanya mulai marah. Panas.
“Oh biar aku tutup saja. Mungkin Jagad memang tak mau diganggu. Salam saja buatnya. Katakan padanya aku tak akan memecat Rifo, teman baiknya itu. Dan kamu, aku tak tau pesona apa yang membuatmu begitu tertanam indah di dalam hati Jgad, sjujurnya aku cemburu padamu sejak awal dia menyebut namamu. Dan yang aku tau, sekuat apapun aku memaksakan diri memiliki hatinya, aku hanya akan semakin dijauhinya. Yahhh... mungkin karna memang dia hanya menyimpanmu saja.
Naya terdiam. Titik bening jatuh tak tertahan. Namun tetap tanpa kata. Mbak Sum yang melihatnya hanya diam dan salah tingkah tanpa tau harus bagaimana bersikap. Dan tanpa salam hubungan telepon itu terputus.
“Jagad,” Naya menyerahkan HP yang tadi dipakainya. Matanya terlihat masih sembaba.
“Kamu kenapa, Nay? Tantri marah-marah sama kamu?
Naya menggeleng. “Maafkan aku...
“Maaf? Untuk apa?
“Untuk keslaah pahamn yang tidak pernah kutanyakan padamu.
Jagad bingung. Aku? Salah apaham apa?
“Ada apa, nay? Apa yang dikatakan tantri padamu? Dia memarahimu juga? Mengancammu juga? Nay... Nayaa...
naya malah menangis. Terisak-isak. Jagad hanya memandangnya. Tak bisa berbuat lebih dari itu.
“Nay... Bilang padaku kamu kenapa? Nay, Nayaa...
“aku gak papa. Aku gak papa.
Tak ada kata lagi setelah itu. Semua senyap. Seolah-olah dunia sangat menyepiti keduanya. Tanpa kata lagi. Hanya angin yang menjadi musik diantara mereka. Mereka pun sama sekali tidak bicara. Naya tetap menangis dan Jagad hnaya mampu memandangnya bingung. Tak ada lagi suara keras diantara mereka. Tak ada apapun kecuali kebingungan. mereka hanya berbentuk titik kecil dari tempat yang tinggi itu. Dari tempat Shina berdiri...
Jadilah saksiku, Tuhan...
Kau pasti tau bagaimana aku menyimpannya
Merapikannya dalam lekuk-lekuk ruang hatiku
Tidak bisa melepasnya sekalipun dengan waktuku
Menggantinya dengan apapun juga, aku pun belum bisa
Menjadi bintang kecilnya, itu yang kuingini
Dan dia menjadi matahariku
Sinarnya yang akan membuatku bersinar
Dan aku menambah kegagahannya dengan titik-titik indahku
Dia akan menjadi matahariku, itu harapku
Matahari yang tidak akan berpindah letak
Tidak berpindah tempat
Matahari yang hanya akan ada di sini,
Menerangi jiwaku
Selalu.
Shina menemukan itu di dalam lembar buku Naya. Di bawahnya dia menuliskan namanya. Beberapa bentuk tulisan itu memudar, mungkin Naya menulisnya dengan menangis. Dan pasti untuk Jagad karena dia juga meletakkan tulisan itu didalam buku pemberian Jagad untuknya pada saat dia wisuda dulu.
Aku harap engkau memiliki keberanian itu, temanku. Jagad Ahmad Kusuma. Beranikan dirimu. Karna begitu, kau akan menjadi mataharinya. Nayaka Jelita.
Sore beranjak Malam...
Pak Wanto, mbak Sum, Naya, pak Min, Jagad dan mbah Ran. Mereka berada dalam satu ruangan utama di rumah pak Wanto. Mereka adalah penjaga sekaligus pekerja kebun apel Shina yang sudah bertahun lamanya. Yang sudah membersamainya Shina sejak lima tahun lalu. Sejak pertama kali Shina memutuskan menjadi pemilik kebun apel ini.
“Dulu kan kebun ini diopeni sama pak Ji. Pak Ji itu dulu juga pekerja mbah Kromo, mbah kakungnya mbak Shina. Hingga akhirnya mbah Kromo sedo, semua urusan kebun dipercayakan pada pak Ji. Karena mbak Shina kan waktu itu masih kuliah dan hanya sesekali saja ke sini dengan bu Asih, budhenya itu.
Pak Min bercerita dengan sedikit pelan. Sebentar-sebentar melihat ke luar, entah untuk apa. mungkin untuk mengalihkan pandangannya.
“Mbak Shina dulu pertama ke sini juga diantar oleh budhenya kok,  mas. Lalu yang kedua ketiga dan seterusnya baru sendiri. Katanya waktu itu mbak Shina sudah pindah ke Batu untuk ngurusi taman bunga milik mendiang ibu bapaknya. Jadi ya hampir sebulan sekali mbak Shina menemui pak Ji sekedar untuk bertanya keadaan kebun,” pak Wanto kini yang bercerita. “Bapak ini juga bisa masuk menjadi kuli kenceng kebun bu Shina berkat diajak pak Ji. Pak Ji itu orangnya tidak neko-neko. Dia akan mengajak siapapun yang mau bekerja keras dengannya. Orangnya pendiam. Makanya saya juga merasa aman ikut menjadi kuli kenceng kebun bu Shina dengan bantuan pak Ji. Apalagi bu Shina memang sangat baik pada pekerjanya.
Naya tersenyum. Jagad pun begitu. Dia memang baik...
Udara sore semakin terasa dingin menyapa. Bebrapa kali Naya dan Jagad mensedekapkan tangannya kuat-kuat. Mereka tadi berangkat siang hari dan sekarang sudah mulai beranjak sore. Banyak yang sudah mereka dengar dari orang-orang yang selama ini dekat dengan Shina. Tentang kebunnya, tentang orang-orang yang memushi Shina, tentang kebaikan hati Shina, tentang kesabarannya, tentang sakit yang dimiliki Shina. Juga tentang satu orang yang sepertinya mengganggu detik-detik Shina...
Meski tak tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan Shina saat ini, namun ada kelegaan saat mengetahui Shina masih dikelilingi orang-orang baik seperti keyakinannya. Aku bukan manusia dengan sempurna fisik yang bisa membuat orang nyaman berada di dekatku. Kadang mata mereka begitu mengasihani keadaanku. Kadang mereka juga takut pada wajahku yang mengeriput. Ada juga yang hanya ingin mencicipi rasanya mempunyai kebun apel yang luas. Itulah namusia yang kukenali. Tapi aku selalu percaya aku memiliki orang-orang yang menganggapku cantik dengan rambutku yang tak lagi ramai. Aku kuat dengan kakiku yang semakin tudak bisa kugerakkan. Aku yakin tetap ada yang menganggap senyumku mentari sekalipun wajahku tak sesegar wajah mereka. Aku percaya, Allah sudah menyediakan untkku orang-orang yang bisa menganggapku ada dengan keadaanku.
Matahari sudah tidak terlihat menampkkan kuningnya lagi. Kini kuning kemerah-merahan telah membuat matahari itu seperti bergegas meninggalkan langit Bumiaji untuk meneruskan tugasnya menyinari belahan bumi wilayah tugasnya yang lain. Hanya begitu memang tugas matahari. Pagi dia akan terbit dan kembali tenggelam di sore hari. Namun jangan kira dia sedang beristirahat, karena dia harus bekerja untuk belahan bumi yang lain. Sementara dia menghangatkan Amerika, maka matahari juga membuat bulan bersinar purnama di Indonesia. Sangat barat dan sepertinya melelahkan memahami tugas matahari. Naum begitulah tadkrinya, hanya berotasi dan menerikkan bumi. Dia seolah berada di langit yang jauh. Padahal sebenarnya dia ada jauh di bawah langit. Ah... Maka nikmat keindahakn yang mana yang layak manusia abaikan?
“Mau tuker sepatu?
Naya menoleh. Kaget. Sejak tadi Naya lebih banyak diam.
“Siapa tau kamu keidnginan,” lanjut Jagad.
“Owh, gak papa kok. Aku masih kuat. Lagian jalan kita menanjak, pasti akan sedikit hangat sendiri nantinya.
Jagad mengangguk.
“Aku minta maaf untuk permintaanku tadi. Aku harap kamu tidak menambah daftar kesewotanmu padaku,” Jagad sedikit tertawa kecil untuk menipu keadaan hatinya yang belum tertata tepat di tempatnya. Kerudung Shina bergerak-gerak pelan. Angin gunung sudah mulai datang.
“Kali ini kamu boleh percaya janjiku. Aku akan bersikap seperti yang telah kita alami dulu,” Naya berhenti. Bukan karena lelah. Tapi dia hanya ingin meyakinkan Jagad akan janjinya. Kemudian senyap kembali menyelimuti perjalanan yang hanya kurang beberapa meter lagi. Hanya diam dan diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar