Selasa, 17 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 2)


Selepas masa muda kami sebagai pengantin berakhir, ‘Nda Raya segera memnoyongku ke rumah kecilnya yang baru. Sebuah rumah di kompleks yang sederhana. Mungil, segar dengan beberapa tanaman, ada masjid di pojok komplek dan sudah banyak tetangga. ‘Nda Raya bilang rumah ini dikreditnya sejak pertama kali bekerja.
“Kalo beli cash kan gak mampu, dek,” katanya. “Mampuku ya kredit gini kayak motor ini dulu. Pelan-pelan. Tapi gara-gara kebanyakan kredit gini, aku termasuk telat nikah. Untung saja bidadari yang kuperhatikan sejak kuliah masih belum ada yang mendekati, jadi aku tidak kehilangan sebelum sempat memiliki. Heheheh.
Aku tertawa. “Memang sejak kapan memperhatikan aku?,” tanyaku sok penting. Setelah itu aku tertawa sendiri dengan pertanyaanku.
“Gak tau sejak kapan. Pokoknya pas dulu di basement ada acara anak-anak BEM, kamu kan jualan es buah kan? Pede banget kamu jualan itu dan dengan senyum yang memang manis –ehem- es buahmu laku keras,” aku tertawa dengan deheman yang diciptakannya tadi. “Ya tapi kalo kupikir-pikir sekarang bukan karena senyummu kali ya, tapi memang cuaca pas itu panas banget,” katanya sambil melirikku.
“Owh gitu. Baiklah, untuk kali ini dimaafkan kalimat terakhirnya. Awas ya numpuk-numpuk hukuman sendiri, kalo sudah banyak bisa masuk rumah sakit nanti,” ancamku santai. Kulihat dia tertawa sangat rekah dengan ancamanku.
“Tapi indah juga ya, Ra. Aku sendiri pas itu sudah semester tua, kamunya masih semester mudah banget. Cuman pas itu aku juga sudah bekerja paruh waktu, jadi aku agak pede saja bisa mendapatkanmu nanti. Apalagi kemudian kamu juga aktif di pers kampus yang kubina. Uhuy!
“Biar aku yang angkat, Ra. Berat itu,” tangannya sigap menarik pot bunga yang agak besar dari tanganku. “Ditaruh sini ya?
Pekerjaanku dan dia hari ini adalah merapikan rumah mungil kami. Dia memang sudah menempatinya sejak setahun lalu untuk menghemat biaya BBM katanya. Jarak rumah ibu dengan kantor dua kali lebih jauh daripada jarak kantor dengan rumah ini. Jadi sewaktu pertama kali aku menjadi ratu disini, rumah ini sudah berisi beberapa perabotan rumah tangga. Ada rak buku di pojok ruang tamu dan sebuah computer tua.
“Memang gak takut tinggal sendiri?,” tanyaku.
“Ya kadang takut siy. Takut ada tikus. Hahahaha,” kelakarnya.
Aku melotot ke arahnya. “Puasss?!
“Dek,” panggilnya. Aku menoleh dan agak kikuk menatapnya.
“Ceritakan padaku tentang perasaanmu saat aku mengutarakan keinginanku melamarmu. Kamu kaget gak?
Aku menggeleng.
“Gak kaget?,” tanyanya heran. Alisnya terangkat sejenak. “Kok bisa?
“Ya bisa saja… Secara aku ini kan gadis manis yang baik hati, tidak sombong dan suka menabung juga rajin beribadah. Pasti banyak dong yang menjadikan aku sebagai target operasi masa depan mereka,” jawabku. “WEK!
Dia melemparkan sebuah kertas yang digumpalkannya ke arahku.
“Ngaku dah… Kaget kan?
Aku hanya memandang aneh ke arahnya. Kemudian menjajarinya.
“Ya lumayan kaget. Ya aku kan mengganggap mas sebagai kakak tingkat yang jadi pembina di pers kita. selama ini ya aku memperhatikan mas secukupnya, mengagumi juga secukupnya. Apalagi memang mas kalo ke basecamp cuman bentar-bentar saja. Kecuali memang ada rapat, mas jarang lama-lama di basecamp. Trus lagi mas Raya juga anak masjidan, ya tau ndiri gimana tipikal anak masjidan. Ditambah lagi memang mas Raya punya karakter dewasa hingga adek-adek apalagi yang cewek langsung patuh sekali mas kasih arahan. Nyaris sempurna!
Dia tertawa.
“Aku bener-bener beruntung pas aku tanya Dimas kamu sudah nikah belum dan si Dimas bilang belum. Langsung dah aku kasih tau orang yang kupercaya untuk melacak keberadaanmu. Kurang dari dua minggu aku sudah mendapatkan datamu secara gamblang dan minggu ketiga aku menyatakan mantap. Cepet ya?
“Iya cepet. Karena mas Raya dah naksir aku dari dulu,” kembali aku menggodanya. “Jadi gak perlu mikir ini siapa, bagaimana dan seterusnya. Coba kalo kita tidak saling kenal dan mas Raya juga tidak punya keinginan lebih padaku, pasti mas Raya akan butuh waktu lebih lama untuk menyatakan mantap.
“Lha iya, tapi aku kan gak perlu sampek melakukan aktifitas terlarang padamu. Aku jatuh cinta, aku pendam sekian tahun dan pas saatnya aku siap aku melamarmu. Gak salah kan? Daripada malah aku ungkapkan langsung padamu nanti kamunya malah jadi ilfil sama aku,” katanya.
Kami bersandar pada kursi yang sama. Kepala bertemu kepala.
“Kemaren kamu panggil aku ‘Nda, sekarang kok panggil mas? Yang dipake yang  mana?,” tanyanya. Aku hanya meliriknya.
“Yang pertama. Tapi kan aku pemalu… Jadi ya kadang masih terbiasa manggil kayak di kampus dulu. Mas Raya. Tapi nanti aku akan manggil dengan ‘Nda saja, biar tidak ada yang nyamain dan jadi satu-satunya,” kataku.
“Artinya apa?,” tanyanya.
“Gak tau,” jawabku. Dia tertawa. “Ya aku asal enak dan akrab saja, tapi tetep keren. Iya kan?
Dia mengucek rambutku. “Iya deh, manut… Aku akan jaga kamu, dek. Sebisa aku. Semampu aku. Masa’ aku sudah nahan diri empat setengah tahun, aku tidak bisa buatmu seneng? Ya semua juga akan pelan-pelan kita jalani. Asal kita kompak, pasti kita bisa. Key?,” jari-jarinya menggamitku erat. 
Di rumah ini, aku dan dia akan menjalani hari-hari kamu selanjutnya. Akan beribadah dan menghabiskan sisa waktu disini. Di rumah ini akan kami penuhi dengan segala macam warna hidup agar kami terus bisa belajar. Perlahan pasti kami benar-benar bisa menjadikan rumah ini seperti istana lengkap dengan pangeran dan putri.
Di kamar, ‘Nda Raya menempelkan sebuah ayat yang dicetaknya pada dua lembar kertas ukuran folio. Ayat tentang anjuran untuk menciptakan generasi terbaik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah yang mereka khawatir dengan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan menguucapkan perkataan yang benar (An Nisa : 9)
Aku bertanya padanya tentang maksud ayat itu. Dengan senyum kemenangan yang tertahan dia jawab, “Agar kita selalu semangat menciptakan generasi setelah kita,” matanya berkedip genit ke arahku. Dasar!
***
Aku akui aku sangat beruntung mendapatkannya dalam kehidupanku. Dia yang sangat dewasa dan pengertian, dengan sangat bertanggung jawab selalu menjadi pelindung dan pembimbingku. Ya mungkin karna kami masih muda-mudanya, rasanya jadi indah-indah saja. Tapi ya memang itu yang kutemukan padanya.
“Rak bukunya nanti kupindah ya, ‘Nda,” aku menemaninya menghabiskan sarapan paginya. Karna memang rumah ini dibeli olehnya, maka aku akan selalu ijin untuk melakukan apa-apa yang berpengaruh pada perubahan suasana rumah.
“Besok saja lah, biar bisa aku bantuin,” katanya.
“Aku nanti juga gak ada kerjaan kok setelah masak siang,” kataku lagi.
“Rak itu berat, dek, gak bisa dipindahkan dengan satu tenaga apalagi tenaga wanita,” katanya lagi. Aku merengut dengan penolakannya. “Hari ini keluarkan saja buku-bukunya dulu, baru besok raknya kita pindah bareng. Aku yakin kamu hanya mengeluarkan buku-buku itu sudah lelah.
“Kalo tidak lelah, boleh mindahkan?,” tawarku masih tak mau kalah.
Dia tersenyum. “Sini deh, aku kasih tau sesuatu,” katanya menggandeng aku ke arah ruang tamu. “Coba berdiri disini,” perintahnya. “Tinggi mana kamu dengan rak ini?,” tanyanya kemudian.
Aku kembali merengut. “Coba tinggi mana?,” tanyanya lagi.
“Tinggi aku!,” jawabku sambil berlalu dari hadapannya. Kuinjak kuat-kuat kakinya yang belum bersepatu.
“Infeksi ini nanti kakiku diinjak putri malu,” godanya. “Ya dah aku berangkat dulu. Aku kasih ijin kamu keluarin semua buku-bukunya, tapi aku gak kasih ijin kamu pindahin raknya sendiri. Silakan taruh dimanapun raknya, tapi ngangkatnya besok nunggu aku. Key, sayang?
Dua tangannya memegang pundakku dari belakang. Aku masih hanya diam. “Sekarang antar aku ke depan. Aku harus berangkat, biar gak telat,” dua tangan di pundakku itu memutar aku searah dengannya. Matanya kini dapat menatapku dengan sempurna. “Baik-baik di rumah. Aku janji akan cepet pulang insya Allah, mana bisa aku tidak bersegera menemuimu,” katanya.
Aku mencium tangannya dan dia mencium keningku. “Ati-ati,” kataku. Aku mengantarnya hingga dia benar-benar menghilang di tikungan komplek kami. Belum dua puluh menit dia pergi, rasanya aku sudah kesepian.
‘Nda, aku kangen… tulisku padanya.
Pukul 09.05
Iya, aku juga sudah kangen…
Maaf ya td masih busy.
Aku tersenyum dengan SMSnya. Kemudian juga menertawai diriku sendiri. Semua kata orang tentang masa awal pernikahan yang indah benar adanya. Yang ada hanya kangen, pengen ketemu, pengen bersama, pengen ditemani. Kadang tidak peduli pasangannya harus bekerja atau harus menyelesaikan tugasnya di luar. Seolah-olah maunya pasangannya dibelenggu dengan rantai agar tidak pergi jauh-jauh.
Ibuku mengajariku banyak hal padaku tentang rumah tangga. Aku ingat semalam ‘Nda Raya memberiku sebuah nasehat tentang rumah tangga.
“Sekarang kita sudah punya rumahnya. Ini rumah kita. berjanjilah kamu akan menjaga untuk menyebut rumah ini adalah rumahku hanya karna aku yang membelinya. Ini rumah kita, bukan hanya rumahku. Jadi kitalah yang bertanggung jawab dengan semua isi dan perputaran apapun di rumah ini. aku membeli ini karna aku merasa perlu untuk masa depan aku sendiri, dan aku mau rumah ini bisa menjadi rumah kita yang kita gunakan bersama.
“Dan tangganya sedang kita bangun sekarang. Di rumah ini kita akan membangun tangganya. Tangga yang berbentuk sebuah usaha dan upaya. Aku berusaha selalu memupuk cinta aku dan kamu berupaya untuk menjaganya agar tidak berkurang. Tangga itu akan terus kita naiki hingga salah satu dari kita kembali padaNya. Aku yakin di tengah jalan pasti akan ada banyak hambatan, apalagi tangga itu selalu berbentuk tanjakan. Jadi hanya ada naik. Jangan sampai turun. Kalopun turun, cobalah kita bisa saling minta tolong untuk mempertahankan.
Aku hanya diam. Memperhatikan setiap kalimat yang baru aku dengar darinya. Rasanya aku ingin memeluknya erat-erat. Tapi aku malu.
“Aku bersyukur mempunyai ‘Nda Raya dalam hidup aku,” kataku.
Dia tersenyum. “Aku juga,” sambungnya. “Istirahat yok, aku lagi butuh tukang pijit kaki. Tadi di kantor liftnya mati, jadi pake tangga darurat. Kakiku rasanya kram sekarang,” katanya lagi sambil melirikku.
“Kenapa melirikku?,” tanyaku. “Maaf ya, mas… aku bukan tukang pijit kaki,” kataku sembari berdiri mendahuluinya. Matanya masih mengikuti gerakanku. “Ayok berdiri,” kataku akhirnya. Kuulurkan tanganku untuk mengajaknya berdiri. “Jangan ditarik, nanti aku jatuh menimpa ‘Nda Raya malah masuk rumah sakit. Masa’ ada semut ditimpa gajah! Hahaha
Ada yg ksh hadiah,dek. Isinya apa ya?
SMSnya mengagetkan aku yang melamun. Hadiah?
Dari mana? Ya buka saja biar tau. Balasku.
Dari temen kantor. Aku buka nanti saja sama2 kamu. Katanya lagi.
Kalo penasaran, buka sj dulu. Jawabku lagi.
Ini hadiah buat qt, bukan Cuma buat aku. Jawabnya. Aku tersenyum.
Luv zu! Tulisku lagi.
Aku berusaha untuk menikmati kehidupan baruku sebagai apapun disini. Menjadi temannya, istrinya, managernya, asistennya, khadimatnya juga. Bagiku aku sudah mengikhlaskannya menjadi takdirku, dan aku akan menjalaninya dengan sepenuh jiwaku. Semalam kukatakan padanya, sebaik-baik lelaki adalah yang lembut dan berbuat baik pada istrinya.
Binarnya menjawab kalimatku : aku akan berusaha untuk itu, untukmu. 
**---**
Aku ingin tidak dipanggil dengan “dek”
SMS itu kukirimkan tadi saat ‘Nda Raya ngantor. Semalam aku ngambek karena ‘Nda Raya lebih cepat lelap dari biasanya. Bahkan dia tak sempat sholat malam. Juga tak sempat mengecup keningku. Pulang kantor ‘Nda Raya langsung ke masjid dan mengikuti ngaji rutin hingga jam 12 malam.
Pulang-pulang dia hanya senyum kecil. Dan langsung tewas. Lelap.
Paginya pun begitu. setelah memanaskan motor, kemudian mandi dan sarapan. Berangkatlah dia dalam perjuangan sebagai seorang imam. Tanpa sempat bertanya kabarku.
“Semalam aku capek, dek… Makanya langsung lelap,” katanya. Aku merengut. Tapi dia tak melihat itu. Sia-sia merengutku. Huh!
“Ada yang pengen dibicarakan ya?,” tanyanya. Basa basi. Huh!
“Kok diam? Ngambek?
“Gak!
“Jadi?
“Gak ada yang pengen dibicarakan. Sudah ‘Nda Raya cepet berangkat. Ntar telat,” kataku sambil membereskan piring dan gelasnya. Nda Raya mengekor. Sambil mengalungkan tas di pundaknya.
Aku biarkan dia terus mengekor.
“Nanti kita bicara ya! Aku akan pulang lebih cepat jadi bisa jalan-jalan,” ujarnya. Mencium pipiku dan mengucap salam di telingaku. “Aku tau ada yang pengen dibicarakan, tapi belum keluar,” teriaknya diatas motor.
“Gak!,” aku masih sempat menyahut.
“Kalo gak, kenapa kok gak antar aku ke depan ya? Apa lupa ya belum cium tanganku tadi?,” selorohnya.
Aku manyun. Menyeret berat langkah kakiku yang sedang ngambek dan menghampirinya yang sudah di atas motor. Kemudian mencium tangannya. Seperti biasa.
“Senyum dong, dek…
“Hm…
‘Nda Raya terkekeh. “Iya iya, ngambek saja dulu. Ntar SMS ya!
Kemudian angin membawanya pergi. Mencari sekantong berkah yang akan diberikan padaku juga anak-anaknya nanti. Memenuhi kehidupanku dan anak-anak nanti dengan segenap tetes keringatnya.
Aku beranjak masuk kembali ke dalam rumah.
Aku ingin tidak dipanggil dengan “dek”
Itulah SMS yang kukirim padanya. Tepat jam makan siangnya.
Kenapa?
Aku ingin beda dengan cara ‘nda Raya manggil yang lain.
Sepi. Tak ada balasan.
Mau dipanggil “jeng”? ada tawa di belakang tulisan itu.
Bodo! Kusisipkan tanda aku merajuk.
Jadi? Mau dipanggil sayang, honey, cinta atau bunda? Kan belum ada dedek, masa’ mau dipanggil bunda?
Aku merengut sendiri. Disini, di rumah kecil kami.
Dekk… SMS ‘Nda Raya lagi.
‘Nda Raya Calling…
Kubiarkan tulisan itu terus menghiasi layar HPku. Tidak kuangkat.
Aku masih belum tau manggil apa selain “dek”. Kasih tau aku dunk!
Dari ‘Nda Raya lagi. Setelah tiga kali teleponnya gak kuangkat.
Gpp. Lupakan saja. ‘Nda Raya baik2 yak! Balasku.
Iya, sama2. Nanti qt bicara ya! Dengar-dengar di taman kota sedang ada pameran. Qt ke sana nanti. Insya allah. Tulis ‘Nda Raya.
Iya. Jawabku.
Mana pesen khususnya buatku? Aku tetap senang dg pesan itu meski diucapkan sambil ngambek. ‘Nda Raya masih sempat menggodaku.
Aku masih manyun. Disini, sendiri.
Cepet balek. Aku nunggu ‘Nda Raya balek cepat.
‘Nda Raya calling…
Apalagi siy? Kan sudah kuSMS barusan, sungutku sendiri.
“Iya, ‘Nda…
“Senyum dulu dong!
“Apaan…,” wajahku bersemu. Dan aku tertawa. Pelan. “Cepet balek,” ujarku. Kalimat itu –entah darimana asalnya- selalu saja terucap dariku.
“Iya insya Allah, aku cepet-cepet balek. Baik-baik di rumah. Jangan banyak melamun. Ntar gosong lagi,” pesannya. Ada tawa di belakangnya.
Aku tertawa. Ternyata gosongnya ikan bakarnya masih diingat.
***
ketika bunga tak bermekar lagi
dan dunia tak mungkin berputar lagi
saat cinta tlah membakar hati ini
kau kan tau betapa aku mencintai
betapa aku menginginkanmu…
Itulah lagu sore ini. Diperdengarkan ‘Nda Raya padaku di taman kota. Sore ini. seperti janjinya tadi.
“Lagunya ungu,” katanya. “Tadi kudengar dari biliknya si Ardy. Bagus kan?
Aku mengangguk.
“Untukmu itu. Tanda maafku,” katanya lagi. Matanya menatap ke depan. “Aku potong hanya bagian itu tadi. Seru kan?,” lanjutnya kembali mencoba mencairkan suasana.
Aku tertawa. Kupegang lengannya yang melingkari kakinya yang duduk terlipat.
“Makasih, ‘Nda!
Dia tersenyum. Memegang tanganku juga. Kemudian senyap.
“Jadi, tadi pengen bicara apa?
Aku pura-pura bodoh. Pura-pura tidak mengerti.
“Mulai deh… Baiklah, tadi maunya dipanggil apa?,” ulangnya. Matanya tepat ada di depanku. Menatapku. Dalam.
Kututupkan tanganku di matanya yang menatapku. “Liatnya jangan gitu…,” rajukku. ‘Nda Raya tertawa.
mata itulah yang kerap kali membuatku tak mampu
mata itulah yang kerap kali membuatku tergugu
mata itu pula yang selalu membuatku merindu
dan di mata itu pulalah aku berteduh
“Ehem!
Aku menunduk. Semu jingga segera menghiasi wajahku.
“Tapi jangan ditertawakan.
“Iya janji!,” jawabnya sebelum aku memintanya berjanji. Sudah hafal.
“Janji apa?
“Janji tidak menertawakan permintaanmu. Janji!
Aku tertawa. Kembali aku memegang lengannya yang masih melingkari kakinya yang duduk terlipat.
“Sudah lumayan gemuk ya sekarang ‘Nda?
‘Nda Raya menggeleng. “Dilarang mengalihkan pembicaraan!,” katanya. Matanya masih tetap menatap ke depan.
Aku merengut. Kebiasaan yang sangat kusukai untuk menarik perhatiannya. Dan selama ini berhasil.
“’Nda!
“Iya…
“Ndaaa…
“Iyaaa…
“Kok gitu siy?
“Lha gimana? Nanti kulihati bilangnya kok dilihati terus. Susah niy kalo istri lagi mau dapet. Sensi mulu…
Kucubit keras lengannya. Kebiasaan kekerasan dalam rumah tangga kedua yang kulakukan. Pertama menggigit, kedua mencubit, ketiga menggigit, keempat mencubit. Hah!
“Sekarang liat aku. Aku mau diliat kok…,” kataku.
“Yakin?,” sahutnya tanpa berpaling.
“IIyyaa… lihat aku,” kataku.
‘Nda Raya memutar posisi duduknya. Kini menghadapku. Tepat di depanku. Mata elangnya di depanku. Dengan kaca matanya. Pas. Sempurna.
“Aku… tadi aku lihat ada kura-kura cantik di rumah sebelah. Trus…
“Auraaa…,” potongnya disertai gelengannya.
Aku merengut. Dua bulan bersama ternyata sudah cukup membuat ‘Nda Raya mengenali caraku mengalihkan perhatian. Bukan mengalihkan perhatian sebenarnya. Aku hanya grogi dan salting.
Aku berdiri. Meninggalkan ‘Nda Raya yang masih duduk bersila. Ternyata menatap matanya memang pekerjaan yang berat. Apalagi saat pengen bicara begini.
“Aku bingung,” kataku akhirnya.
‘Nda Raya masih duduk. Sementara aku berdiri. Bersila dia menungguku bicara. Selalu begitu. selalu saja mampu dia menungguku bicara.
“Nda Raya kan manggil itu adek-adek kelas ‘Nda Raya yang perempuan kan juga dengan “dek”, jadi aku… aku,” kalimatku mulai putus-putus. Mana Aura yang paling lancar bercerita ya?
Alis ‘Nda Raya mulai terangkat. Dia masih menungguku bicara lebih.
“Ya aku gak suka disamakan manggilnya. Gitu…,” sengaja sesegera mungkin kuberikan kesimpulan.
Nda Raya masih diam.
“Nda…,” aku mulai merajuk. Karna ‘Nda Raya hanya diam.
“Jadi?,” tanyanya.
“Jadi apanya… ‘Nda Raya ini gitu…
“Gitu apa? Kan kamu gak bilang apa-apa dari tadi. Cuman bilang gak suka dipanggil “dek” dan minta diganti. Diganti apa kamu gak bilang kan?
“Kok gitu?
Kulihat ‘Nda Raya mulai mendesah. Agak keras. Pertanda buruk.
“Lha iya terus Ra maunya gimana? Siapa tahu kan Ra dah punya pengennya dipanggil apa, jadi biar mudah,” katanya. ‘Nda Raya mulai memanggilku dengan “Ra” saja, tidak ber-kamu-kamu lagi. Ada yang tidak beres. Pasti akan terjadi sesuatu. Ah tidak, hanya ketakutanku.
“Ya aku maunya tidak dipanggil dek…
Aku kenapa? Kenapa tidak segera kukatakan keinginanku yang mungkin simple ini. kenapa aku tidak segera mengatakan ‘Nda aku ingin dipanggil Abid!
Aku kenapa?!
Aku memilin-milin tanganku sendiri. ‘Nda Raya beranjak ke arahku. Sore makin menguning. Mega terlihat sempurna di ufuk barat. Dia merangkulku.
“Aku pengen dipanggil “Abid”,” kataku pelan.
“Ha? Apa, dek? Sumpah aku gak dengar. Maaf, ya Allah maafkan aku. Tapi serius suaramu tak terdengar sama sekali. Apa tadi?
Aku merengut. Dan hilanglah semua grogiku saat ‘Nda Raya mengangsurkan lengan kirinya padaku.
“Jangan yang kanan lagi. Gantian yang kiri yang digigit dan dicubit,” katanya datar. Senyumnya penuh kemenangan. “Bisa diulangi lagi gak yang tadi,” tanyanya. “Pliisss…
Aku masih diam.
“Abid. Aku pengen dipanggil Abid,” kataku. “Hayo tertawa…!
“Eh sensinyaaa… Siapa yang tertawa. Baiklah, aku tidak akan menolak. Aku akan turuti maumu. Dengan satu syarat…
“Apa?,” potongku cepat.
“Apa ya? Belum tau aku, dek eh ‘Bid… seru juga panggilannya. Abid. Hamba kan itu artinya? Ahli ibadah. Maksudnya apa sih?
“Nda Raya keberatan?,” tanyaku pelan.
“Enggak… Memang aku kayak keberatan ya?
“Ya gak gitu… kemaren pas manggil ‘Nda itu kan juga aku yang usul. Dan ‘Nda Raya juga nurut saja. Aku gak mau diam-diam ‘Nda Raya protes dalam hati. Aku gak mau itu semua menggumpal di hati ‘Nda Raya.
‘Nda Raya tertawa. Tawa yang sangat kusukai.
“Aura… Aura… Ingat gak perbincangan kita seminggu setelah kita nikah dulu? Pas waktu itu kamu proposalin panggilan ‘Nda itu padaku,” aku mengangguk menyahuti tanyanya. “Kubilang : kamu boleh meminta aku melakukan apa saja yang baik menurutmu dan aku bisa menerimanya. Ingat kan?
Aku mengangguk.
“Ingat juga kan saat aku berkata tidak untuk keinginanmu mengganti kacamataku? Semua ada caranya, dek…,” ‘Nda Raya menarik nafas. Kemudian tersenyum “Maaf, belum terbiasa manggil dengan ‘Bid. Hehehe. Dimaklumi dulu yak!
“Jadi selama aku bilang iya dan setuju, itu artinya aku benar-benar mau dan setuju. Bukankah kita sama-sama sepakat untuk berani bilang gak setuju?
Perlahan lirik lagu Naff yang pernah kuhadiahkan padanya menyeruak hadir di sore ini. Membelah ingatanku.
Aku mau hidup denganmu
Aku mau di sisa waktuku
Bersamamu
Hanya bersamamu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar