Rabu, 25 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 7)

Tujuh bulan dedek.
‘Nda Raya mengusulkan sebuah nama : Langit Mujahid Pratama. Langit usulan dariku, Mujahid dari ‘Nda Raya karna memang dedek berjuang bersamaku bertahan dan Pratama adalah nama ayahnya. Mengapa tidak menamakan anak dengan nama yang Islami? Tanyanya sewaktu itu. Kubilang biar dedek segera paham maksud namanya sebelum kita menjelaskannya nunggu dia dewasa nanti.  Dia pasti sudah mengerti seperti apa langit. Pasti dia akan mencoba berpikir kenapa langit begini dan begitu. Dia akan semakin banyak tanya mengapa kita menamakan langit dan bukan bumi. Kenapa langit biru, kenapa langit luas dan sebagainya. Dan pastinya akan ditanyakan sewaktu dia masih kecil. Karna memang langit sudah dilihatnya sejak dia masih kecil.
“Trus keinginan abid dengan kata Langit apa?,” tanya ‘Nda Raya.
“Ya pengen dedek kayak langit saja. Langit kan luas, tempat bergantung semua bentuk benda yang indah hingga yang mematikan. Ada bintang, bulan, meteor, matahari, mendung, petir, awan dan banyak lagi. Nah, semuanya kan cuman ada di langit dan semuanya kudu terus berputar biar bumi  juga tetap stabil. Jadi aku mau abid bisa menjadi seluas langit saat menaungi orang lain dan tetap seikhlas birunya langit meski tiba-tiba ada mendung atau petir. Dan pastinya setelah semua itu akan muncul pelangi yang kembali membuat langit ceria. Karna memang hakikatnya kan bersama kesulitan ada kemudahan[1].
‘Nda Raya mulai murung lagi.
“Aku takut Allah memang lebih sayang salah satu dari kita, bid,” katanya. “Hingga Allah maunya memanggil salah satu dari kita lebih dulu. Padahal mau kita akan bisa bersama selama-lamanya...
Tercenung aku. Apa siy yang tidak bisa dilakukan Allah, kataku sendiri.
“Kenapa sekarang ‘Nda Raya melemah?
“Aku tak bisa lagi menutupi kekhwatiranku, bid. Aku khawatir aku tak bisa menemanimu dan dedek hingga akhir. Aku juga khawatir memang Allah sayang abid dan pengen abid istirahat setelah lama abid berjuang untukku dan dedek dengan sakit abid.
“Tapi selama ini kan ‘Nda Raya bilang semua juga akan menemui mati?
Dia mendesah. Panjang.
“Iya aku tau. Entahlah, kenapa tiba-tiba aku takut,” samar lelakiku tertawa. “Harusnya aku menyemangati abid ya,” katanya lagi. “Baiklah, jika memang Allah mau siapapun tidak bisa menghindar dari mati. Yang pasti jika aku yang dipanggil lebih dulu aku mau abid njaga dedek seperti selama ini abid njaga aku. Dedek juga boleh memilihkan ayah baru,” katanya setengah tertawa.
Aku tertawa juga akhirnya. “Ikhlas ga?
Dia terkekeh. “Ikhlas khlas khlas...!!
“Udah ah, kapan kita akan berhenti bicara tentang mati? Sudah terlalu lama pikiran kita terjebak pada ketakutan dan kekhawatiran untuk takdir yang belum tentu terjadi pada kita dalam waktu dekat. Mending kita rame-rame menyerang Allah dengan doa biar kita bisa terus bareng-bareng. Ya gak?,” kuangkat-angkat alisku. ‘Nda Raya tertawa.
Hari-hariku kembali berwarna. Aku dan ‘Nda Raya berusaha sekuat upaya meluplakan “deadline” kematian kami. Entahlah, kenapa tiba-tiba ‘Nda Raya ketularan merasa khawatir akan sebuah kematian. Apakah kematian itu? Aku tidak ingin lagi membebani diriku dengan semua itu. Aku ingin semua akan baik-baik saja selama aku bisa. Dan aku juga ‘Nda Raya akan berusaha menjalani hari berdua dengan bahagia saja.
Ibuku masih disini. Ibu mertua juga. Bapak juga.
Semalam ayah datang lagi. Seperti biasa, tersenyum dan bercerita tentang sesuatu. Mengajakku tertawa. Kenapa ayah selalu mendatangiku, tanyaku semalam. Ayah hanya tertawa lagi. Kemudian ayah bilang agar aku tidak kesepian. Kematian itu memang menegangkan tapi juga membebaskan. Semua pasti akan tegang saat menghadapi kematian apalagi jika kematian itu seperti hanya menunggu hari.
Kemudian ayah berkata lagi. Tidak ada seorang pun yang bisa berlepas dari mati. Tidak ada yang bisa melawan mau Allah. Sekarang aku boleh sakit dan dikatakan sulit bertahan dengan dedek di perutku. Tapi bisa saja kan Allah malah memanggil lebih dulu Raya?
Aku merengut. Tidak boleh, kataku.
Ayah tertawa mengucek rambutku. Memang kamu siapa, katanya. Dan aku juga turut tertawa. “Ya kalo gitu temui ‘Nda Raya saja kalo memang dia harus meninggal duluan. Ayah mendatangiku terus-terusan itu rasanya seperti aku yang akan segera menemani ayah,” kataku. Jelas sekali dialog itu.
Ayah terkekeh. “Justru ayah ingin menyiapkan kamu, Ra,” jawabnya.
Aku seolah bernar-benar berbincang dengan ayah. Banyak yang aku tanyakan pada ayah dan banyak juga yang ayah jelaskan kepadaku. Kadang malah tanpa terasa ayah terlalu lama menemaniku hingga kadang aku tak mengerti kapan ayah pamit. Karna aku telah tertidur setelah itu.
Tapi lagi-lagi saat pagi tiba dan aku menceritakan mimpiku pada ibu, bapak dan ‘Nda Raya mereka malah mengolok-olokku. Ibu malah sempat tercenung agak lama. Kemudian memintaku untuk berhenti bercerita.
“Mimpi itu kan karena kamu terpancing suasana. Makanya pikirannya jangan yang aneh-aneh,” kata mertuaku. ‘Nda Raya tersenyum melirikku.
“Ra paling-paling lagi kangen ayah, makanya terus-terusan mimpi ayah,” kata ibuku. “Memang bagaimana wajah ayah kalo memang Ra mimpi tentangnya? Ra saja gak tau wajah ayah kayak apa selain dari foto. Iya kan?
Aku terkekeh. Ibu benar, aku tidak tau sama sekali wajah ayah.
“Eh ‘Nda, Pri nelpon kemaren. Pulang kampung yok!,” kataku tanpa pertimbangan apapun. “Kangen desa aku, ‘Nda. Nanti kan kita bisa rame-rame pulang kampung. Sementara rumah ini kita tinggalkan. ‘Nda Raya kan baru ambil jatah cuti beberapa hari saja, ambil sja semuanya sekarang. Nanti pas lebaran gak usah ambil cuti lama-lama juga gak masalah. Yang penting sekarang kita pulang kampung. Gimana?
‘Nda Raya hanya melirikku. Aku memang tanpa persiapan mengusulkan pulang kampung tadi. Aku juga tidak berharap banyak Nda Raya akan menyetujui. Tadi pagi memang Pri menelpon dan bercerita banyak tentang kampungku. Kerinduanku makin meuncak mendengarnya bercerita tentang sungai masa SMP dulu yang kini dipercantik. Juga tentang taman kumuh masa SMAku dulu. Pri bilang sekarang anaknya juga sangat menyukai berkunjung ke sungai kecil itu.
‘Nda...
“Kan bisa nanti saja kalo dedek sudah lahir, Ra... sekarang Ra konsentrasi saja pada kelahiran dedek,” ujar ibuku segera. Memecah pikiran lelakiku yang mungkin sedang berpikir memberi jawaban padaku.
“Lagian kalo pulangnya pas lebaran kan bisa semakin lama. Taman dan sungai itu bisa semakin ramai. Dedek juga pasti akan lebih gembira dengan keramaian itu. Nanti saja lah sekalian lebaran,” kata ibuku lagi.
‘Nda Raya masih diam. Membenahi kertas-kertasnya.
“Nda...
Ibu menjawilku. Aku merengut.
“’Nda Raya dengarkan aku gak siy?
“Dengaarrr...
“Lha kalo dengar kenapa diam saja?
“Kan masih mbenahi kertas, abidd...
“Ya tapi kan bisa komentar sedikit saja. Jangan cuman melirik gitu tadi,” kalimatku sudah terbaca manjanya. Dia melirikku lagi dan mengacak rambutnya sendiri.
“Jawabannya nanti malam sebelum tidur,” katanya.
“Kenapa lama sekali? Tinggal bilang iya dan tidak saja kan?
“Kalo nanti malam bisa jadi aku bisa jawab iya. Kalo sekarang suruh jawab, aku bisa langsung bilang tidak. Hayo milih mana?
Aku merengut. Kalah.
“Tapi bener nanti malam bisa jawab iya?,” kataku lagi. Dia hanya tersenyum. Melirikku sebentar kemudian mengenakan tas kantornya.
“Ya kan nunggu hasil istikharah nanti di kantor. Memang abid punya hadiah apa kalo kita bisa jalan-jalan ke kampung?
“Apa saja. Apa saja yang ‘Nda Raya mau aku kasih. Gimana?
Dia hanya melengang. Tetap dengan senyumnya. “Gombal!
Kulepas lelakiku pagi ini. Dia masih tersenyum hingga motornya benar-benar tidak terlihat lagi. Akhir-akhir ini memang ‘Nda Raya wajahnya selalu tersenyum. Entah karena apa. Mungkin dia bahagia dengan usia dedek yang semakin dewasa. Mungkin juga bahagia karena melihatku makin sehat saja. Tapi aku juga merasa dia makin pendiam. Bahkan sangat pendiam. Aku berpikir mungkin karna kerjaan kantor. Tapi kadang tiap libur pun dia juga pendiam.
‘Nda Raya pamit. Dia harus berangkat ngantor. Dia menciumku kemudian dedek. Ibuku, ibunya dan bapak.
“Jaga diri, bid. Doakan aku,” pesannya seperti biasanya.
“Nitip abid, bu...
***
Pukul 17.15
Lelakiku belum pulang juga. Entah kenapa karena sangat tidak biasa dia pulang kantor lebih dari jam 16.30. Beberapa kali kuhubungi Hpnya tapi tidak aktif. Ku SMS juga pending. Apakah dia marah ataukah masih bingung dengan keinginanku mengajaknya pulang kampung tadi? Ataukah dia sedang ada kerjaan di kanotr? Ataukah dia mampir ke sebuah tempat? Tapi kemana? ‘Nda Raya sangat tidak terbiasa membuatku khawatir dengan kepulangannya. Aku tau dia tidak akan tega lagi melakukan itu padaku karena dia tau sendiri kondisiku yang tidak boleh terlalu cemas, khawatir ataupun takut.
Kudengar salam dari seberang.
“Kok gak pulang-pulang?
Dia tertawa kecil. Maaf, katanya. Saat kutanya kenapa HPnya tadi sempat mati, dia bilang maaf lagi. Tidak banyak kata yang diucapkan selain maaf, kemudian ‘Nda Raya berjanji akan segera balek secepatnya. Kemudian segera mengucapkan salam. Aku merajuk sendiri disini. Pikiranku mulai dipenuhi dengan pertanyaan dan kekhawatiran.
Semua serba tidak biasa. Kenapa?
Aku mulai merasakan gelisah dan kekhawatiran yang sangat tidak biasa juga. Kenapa ‘Nda Raya tiba-tiba bisa begitu? Padahal selama aku sakit, tak pernah sekalipun ‘Nda Raya melakukan sesuatu yang membuat aku bertanya lebih banyak dari dua pertanyaan. Dia akan selalu biarkanku bermanja dan merajuk padanya.
Pukul 17. 35
Dia bilang akan segera pulang. Ini sudah 25 menit dan tidak terlihat tanda dia akan pulang. Kembali ku hubungi HPnya. Tapi tidak diangkat. Kuulangi lagi, tetap tidak diangkat. Mungkin sedang dalam perjalanan. Tapi rumah-kantor hanya lima belas menit. Macet? Ah.. ‘Nda Raya sangat jarang melewati jalan ramai. Tapi siapa tau memang dia sedang ingin menikmati kemacetan.
Bagaimana ini? Ya Allah... tolong aku. Tenangkan aku.
“Raya kok belum pulang ya, Ra?,” tanya ibuku semakin membuatku tidak berani beranjak dari dudukku. “Ra sudah hubungi Hpnya?,” pertanyaan itu kembali kujawaab hanya dengan isyarat kepala. Mengangguk.
Ibu seperti mengerti keadaanku. Dia mengelus kepalaku kemudian menenangkanku. “Ya sudah, gak papa. Kali saja Raya lagi di jalan atau masih mengerjakan tugas kantor. Nanti juga dia akan pulang kalo dah selesai. Ya kan?,” ibu masih terus mencoba menenangkanku. Aku mulai terisak kini. Kukatakan, “Tapi ‘Nda Raya tadi bilang dia akan pulang cepat. Dan harusnya dia sudah sampai rumah. Dia gak angkat HP aku bu... dia juga gak balas SMS. Kenapa ‘Nda Raya sekarang seperti cuek denganku?
Ibu hanya kembali mengelusku.
“Dia baru sekali seperti ini kan? Ra harus adil dong... Jika selama ini dia sudah sangat baik bahkan selalu melakukan yang terbaik untuk Ra, kalo saat ini dia melakukan sesuatu yang membuat Ra khawatir dan Ra tidak menyukainya, bukan berarti dia cuek. Tidak bisa begitu, Ra... Ra juga kudu bisa adil pada penilaian terhadap Raya. Bagaimanapun Raya tetap punya sisi hidup yang hanya ada dia saja. Hanya dia dan dunianya. Sama seperti Ra yang kadang tiba-tiba tidak ingin diganggu bahkan disapapun Ra tidak mau. Kalian memang  sepasang kekasih, tapi kalian juga tetap pribadi dan pribadi. Kalian, Ra dan Raya, tetap punya sisi hidup sendiri.
Aku mulai tenang. Kenapa aku banyak sekali menuntut pada ‘Nda Raya yang hanya mengambil hak tenangnya sedikit saja? Padahal nyatanya hampir tiap hari aku selalu bersandar padanya. Tidak ada waktunya yang tidak diberikannya untukku.
“Mungkin Ra hanya sedikit kaget dengan keadaan yang tiba-tiba ini. Sejak Ra sakit kan Raya selalu berusaha untuk tidak melakukan semua hal yang membuat Ra khawatir dan takut. Dan akhirnya Ra nyaman dengan keadaan itu dan selalu takut bila menemui keadaan yang tidak seperti itu. Raya hanya ingin tenang mungkin Ra... jadi Ra juga jangan terlalu khawatir gitu. Sementara ini jangan bebani Raya dengan manja dan rajukan Ra. Ra kudu tetap bisa tersenyum dengan kepulangan Raya. Bisa kan?
Kembali aku hanya diam. Membayangkan dimana ‘Nda Raya memang membuatku kembali merasakan kekhawatiran.
“Tapi Ra takut ‘Nda Raya kenapa-kenapa, bu...
“Makanya Ra doa banyak-banyak biar Raya tetap dilindungi. Biar tidak ada apa-apa dengan Raya. Ra juga akan lebih tenang nanti. Kasiyan dedek kan kalo ikut-ikutan khawatir begitu...
Ya Allah... tenangkan aku. Jaga lelakiku.
Pukul 19.23
Dan benar-benar ‘Nda Raya belum pulang ke rumah juga. HP kembali tidak aktif. SMS tidak berbalas. Aku mulai tidak bisa mengendalikan diri. Kekhawatiran dan ketakutan kembali membuatku bertarung dengan emosiku yang sudah tidak bisa berkompromi.
“Harusnya ‘Nda Raya ngerti kekhawatiran aku. Dia kan bisa SMS atau telpon sebentar saja biar kita semua disini tenang. ‘Nda Raya kan bisa sebentar saja telpon Ra dan bilang apa gitu yang bisa buat Ra juga tenang. Apa salah Ra sampai ‘Nda Raya begini banget sama Ra?
Aku mulai menangis. Sebenarnya aku khawatir juga kalau sampai aku kembali mimisan. Antara galau dan sadar aku menyandarkan diri di sofa rumah. Ibu melihatku dengan tatapan khawatir juga. Kembali kutekan nomer HP yang sudah sangat kuhafal. Nomer ‘Nda Raya.
Tidak aktif.
Aku menangis kini. Aku mulai merasakan ada yang merembes di hidungku.
“Ibu...,” sangat lemah kupanggil ibu yang berada di teras.
“Masya Allah Ra... Ayo bangun dulu. Ada yang sakit, Ra? Sebelah mana yang sakit, katakan pada ibu,” ibu mulai sibuk membersihkan darah yang mulai mengaliri dua lubang hidungku. “Ibu kan sudah bilang biar Ra banyak doa saja, jangan terlalu khawatir dan dipikir begini. Ra bandel siy...
Aku seperti sudah kehilangan tenagaku.
“Ra istirahat. Biar ibu yang menunggu Raya,” kata ibuku sambil menyelimuti aku. Aku memang sama sekali tidak berontak karena tenagaku untuk memberontak memang telah habis. Jika kupaksakan mungkin aku bisa kembali menginap di rumah orang-orang sakit. Dan aku tidak mau itu.
Hingga akhirnya aku terlelap, aku tak mendapatinya kembali malam ini kecuali dalam mimpiku. Aku tak mampu membuatnya berhenti menangis. Aku katakan aku akan tetap di sampingnya dan berusaha menenangkannya dengan segenap kemampuanku, tapi tetap saja. Dia hanya menangis, menangis dan menangis. Tanpa aku tau kenapa dia menangis.
Hanya saat dia mulai tenang dan tangisnya tak lagi seperti tadi, dia menatapku. Tangannya erat menggenggam tanganku, matanya dalam menatap mataku. Tetap tidak ada kata yang keluar, selain “Maafkan aku, bid, maaf... Aku sayang abid. Sayang kali dengan abid.
Setelah itu dia memelukku. Sangat erat dan kembali tergugu. Aku tak berani bertanya apakah yang sebenarnya terjadi. Kemudian aku hanya turut memeluknya dan menangis tanpa aku tau kenapa aku menangis dan untuk apa aku menangis.
“Ada apa ‘Nda?
Dia hanya menggeleng. Kemudian mulai bisa tersenyum.
“Aku hanya minta maaf karna mengecewakan abid. Abid percaya aku ya! Aku sangat sayang abid. Aku ingin terus ada di dekat abid, menjaga abid dan dedek. Tapi aku sendiri tidak bisa melawan... ah, maafkan aku ya bid!
Aku mulai berani menggenggam tangannya. Aku hanya tau dan aku kemudian juga yakin, tangisnya tadi karena sayangnya yang terlalu besar padaku. Juga kekhawatirannya yang sangat besar terhadapku dan dedek. Aku tak tak lagi merasa bingung dengan yang terjadi. Aku mulai dapat turut dalam tangisnya dan aku mengerti kenapa aku menangis.
“Aku juga sayang ‘Nda Raya,” kataku saat itu. Dan setelah itu aku kembali terlelap.
Aku juga berharap saat aku membuka mataku nanti, aku telah mendapatinya tersenyum da
**--**
Obituari Ibu
Sebagai seorang ibu, memang aku dapat merasakan kekhawatiran Aura. apalagi memang Raya tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Sekalipun tidak pernah. Raya di mataku selalu menjadi seorang suami yang sempurna bagi anakku. Raya dengan segala sifat mengalah dan lembutnya. Ahh... kenapa aku harus menemukanmu kembali dalam diri Raya, yah?
Sekali lagi, kukatakan aku bisa mengerti kekhawatiran dan tangis Aura untuk keterlambatan pulangnya Raya. Tunggu sebentar, Raya bukan terlambat lagi tapi memang sengaja mengundur kepulangannya. Entah dengan alasan apa karna aku sendiri yang menunggui kedatangannya hingga saat Aura terlelap tidak mengerti. Raya hanya tersenyum, kemudian mencium tanganku seperti biasa layaknya seorang anak pada ibunya.
Aku pun tidak ingin banyak bertanya. Segera kuseduh teh panas untuknya dan menawarinya air panas untuk mandi. “Tidak usah bu, saya cuci muka saja. Pengen segera ketemu abid. Apakah abid baik-baik saja?
Pertanyaan itu terasa sangat menggantung. Aku hanya menatapnya yang kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Berat.
Andai Raya adalah ayah, pasti aku akan bertanya ada apa sebenarnya. Andai Raya adalah ayah, pasti akan kukatakan kecemasan dan kekhawatiranku. Andai Raya adalah ayah, pasti akan segera kukatakan aku disini untuk ayah. Andai Raya adalah ayah, akan kukatakan aku sangat mencintaimu bagaimanapun itu.
“Kenapa ibu menangis?,” tiba-tiba tatapnya sudah ada di depanku. “Maafkan saya. Saya sudah membuat khawatir semua. Saya... Saya...
“Sudah, gak papa...,” kataku cepat memutus kata Raya. Aku tidak ingin Raya terperangkap pada rasa bersalah karna memang itu tidak perlu dia lakukan. Dia hanya mengambil haknya untuk bersama dengan dunianya, meski mungkin memang dia salah karna membuat Aura khawatir.
“Kamu segera cuci muka saja. Istirahat, lihat kondisi Aura. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tadi dia sempat mimisan, tapi tidak banyak. Mungkin karena pikirannya tidak tenang, jadi ya gitu... Kamu pasti lebih ngerti. Sudah sana, biar ibu yang tutup pintunya.
Dia mengangguk. Setelah mengatakan maaf dia segera beranjak. Di depan pintu kamarnya, sempat kulihat dia menangis dan seolah ingin berbalik lagi tidak ingin menerukan masuk ke kamar. Agak lama dia mematung di pintu kamarnya, hingga kemudian dia masuk dan menutup perlahan pintu kamarnya. Aku berharap Aura hanya akan menangis karena dia bahagia mendapati kembali sinar hidupnya.
***
Kenyataan ini begitu memukul. Aku terhuyung. Limbung.
Aku menangis. Bahkan tersedu. Beberapa kali aku tidak sadar diri hingga akhirnya aku merasa harus kuat untuk anak yang sedang berada dalam rahimku. Akhirnya aku terus berada di dekatnya hingga akhirnya dia kembali ke rumah asalnya : tanah.
Yah... itulah kenyataannya. Suamiku meninggalkanku. Bukan hanya meninggalkanku untuk pergi ke pabrik, tapi suamiku meninggalkanku selamanya. Dia terpaksa harus kembali ke dunia yang memisahkannya denganku dan tentu saja anaknya. Yang kemudian kurutuki dalam lemahku, kenapa Tuhan membiarkan aku sendiri? Kenapa Tuhan tidak ijinkan dia melihat buah hatinya, mengadzaninya hingga mengakikahinya? Kenapa Tuhan tidak memberinya kesempatan itu?
“Ya namanya juga perempuan pembawa sial, ya sampai kapanpun tetap sial,” sayup kalimat itu tetap kudengar dari keluarga mendiang suamiku. Pernikahan yang tidak mendapat restu utuh keluarganya –kecuali dari ayahnya- hingga saat kepergiannya tidak membuat mereka menerimaku. Padahal apa salahku dengan semua ini? Aku juga tidak mengerti kenapa Tuhan begini padaku? Aku juga tidak pernah ingin Tuhan melakukan ini padaku?
“Dulu sewaktu menikah membuat keluarga kita bercerai berai, ee... menikah malah membuat Adi mati. Sampai kapanpun juga tetap akan sial kehidupannya. Lihat saja setelah ini pasti setiap lelaki yang dekat dengannya apalagi jika sampai menikah, pasti nasibnya sama seperti Adi.
Aku hanya diam. Tidak ingin menyahuti apapun. Ingin sekali kututupkan apapun yang ada di dekatku ke dalam telingaku agar aku tak mendengar apapun kata-kata keluarga Mas Adi. Tapi sia-sia, telingaku memang diciptakanNya dengan tingkat pendengaran yang sangat hebat. Bahkan saat kupaksakan bantal-bantal ini menutupi lubang gendangnya, tetap saja suara-suara itu mampu menembusnya. Apalagi ini Gusti?
Kumiringkan tubuhku. Beberapa kali anakku menendang keras perutku. Mungkin dia juga mendengar kata-kata itu. Kuelus dia perlahan. “Tenang sayang... Ibu yakin kita akan kuat. Kita bobo saja yok... ibu sayang dedek.
Hingga pagi datang kembali, aku tetap tak mendapati senyum dari keluarga Mas Adi kecuali dari bapak dan simbah. Dua orang ini yang selalu membuatku lebih nyaman.
“Kamu mau kemana, nduk?,” bapakku sudah berada di ambang pintu kamar. Mungkin bapak memperhatikan aku yang sibuk merapikan tas bawaanku. Harusnya memang mas Adi menjadi hakku dalam penguruskan jenazahnya, tapi keluarga besarnya tanpa sepengetahuanku telah lebih dulu membawa jenazah mas Adi ke rumahnya sendiri. Ingin sekali aku memberontak, tapi aku tau itu tidak akan menghasilkan apapun.
“Mau pulang, pak. Rumah tidak ada yang ngurus, lagian saya sudah disini lima hari. Rumah pasti kotor,” kataku.
“Ya sudah, kita ngobrol di depan saja. Bapak tunggu di teras ya,” ujar bapakku kemudian. Aku mengangguk. Kemudian mengemasi beberapa barang yang belum rapi.
“Saya akan tetap di rumah itu, pak. Sampai anak kami lahir,” tegasku. Dan sengaja tetap kukatakan anak kami karna memang dedek bagaimanapun juga tetaplah anak mas Adi, meskipun mas Adi sekalipun tidak pernah mampu melihatnya.
“Rumah itu kekuatan saya pak, juga anak kami nanti. Saya bisa bercerita banyak hal kepadanya nanti tentang rumah kami, juga ayahnya. Rumah itu juga hasil kebersamaan kami. Meskipun kecil, tapi saya selalu yakin rumah itu akan selalu mampu menampung saya dan dedek,” yakinku lagi.
Bapak menarik nafas panjang. Ada ibu di sebelahnya. Di dekat bapak, ibu memang tidak pernah berani berkata macam-macam padaku. Paling hanya sedikit sinis dan pedas kalimatnya.
“Bapak sih pengennya kamu disini sampai anakmu lahir dan bisa diajak keluar. Biar kamu juga gak repot. Ada yang bantu sedikit-sedikit. Apalagi kamar Adi juga tetap masih kosong sampai sekarang. Kandunganmu juga sudah tua begitu. Apa tidak lebih baik kamu tinggal disini dulu, nduk? Iya tho bu?
“Dia kan sudah ngeyel akan menempati rumahnya itu, ya sudah tho pak, biarkan saja,” jawab ibuku. Bagiku, kalimat itu adalah penolakan telak untuk keinginan bapak agar aku mau tinggal dan melahirkan di rumah Mas Adi.
Bapak menarik nafas. Mungkin sesak karna tak lagi tau yang harus dilakukannya.
“Injih, pak. Saya tidak apa-apa. Beberapa bulan terakhir ini, mas Adi juga sering lembur. Jadi saya sudah cukup terbiasa sendiri di rumah itu. Bapak ibu tidak sudah khawatir. Sekali waktu saya pasti akan bawa dedek kemari. Bukankah saya tetap anak bapak dan ibu?,” kuberanikan mengeluarkan tanya itu.
“Kamu bertanya begitu supaya kamu dapat bantuan mengurus anakmu? Yang anak kami itu Adi, kamu itu hanya mantu!,” ketus ibuku menyahut tanyaku. Bapak sedikit membentak ibu atas sikapnya.
Entah kekuatan dari mana, aku menegakkan kepalaku dan menatap ibuku. “Saya berjanji, pada mas Adi dan dedek, tidak akan merepotkan bapak dan ibu selama saya mengurus dedek nanti. Saya bisa bekerja nanti insya Allah...
“Bekerja mengundang laki-laki ke rumah?
“HUS! Ibu ini ngomong apa tho?
“Lha iya tho pak, apa yang bisa dilakukan orang penyakitan kayak dia. Janda pula. Apalagi hal mudah mendapatkan uang selain mengundang laki-laki ke rumahnya?
“Ibu!,” kembali ayahku menyergah kalimat ibu.
“Mas Adi mengajarkan saya untuk sabar dan setia, bu, jadi ibu boleh pegang janji saya. Saya tidak akan pernah mengganti mas Adi dengan siapapun setelah ini. Saya akan membesarkan dedek sendiri. Saya yakin saya bisa. Dedek juga pasti mampu bertahan walau hanya mengenal ayahnya dalam angannya. Ibu bisa pegang janji saya ini.
Kalimatku mengeras tapi aku menangis. Bapakku mengelus pundak menenangkanku. Sepintas kulihat ibu memang tidak sekeras tadi. Entahlah, mungkin karena ibu terkaget juga dengan janjiku.
“Ya sudah kalo begitu keputusanmu. Kalo ada apa-apa, kamu kabari bapak. Jangan sungkan minta tolong, hak Adi di rumah ini masih tersisa. Kamu sekarang yang menjadi ahli warisnya. Kamu boleh mengambilnya kapan saja.
“Maaf pak, bukannya saya mau sok tidak butuh bantuan. Sebulan lalu mas Adi bilang dia tidak ingin mengambil sisa warisannya. Warisan haknya yang masih tersisa boleh dibagikan pada siapa saja yang berhak juga, atau mungkin diinfaqkan ke masjid atau anak yatim,” kataku.
“Adi bilang begitu benar?
Aku mengangguk yakin. Semua demi kerukunan, begitu kata mas Adi.
“Ya sudah kalo begitu, nanti kita rembukan lagi. Kamu siap-siap saja, nanti biar diantar Dian,” kata bapakku akhirnya.
Aku mengangguk dan segera undur diri. Segera kukemasi lebih rapi lagi barang-barangku. Aku sudah sangat merindukan rumah kami. Rumah mas Adi, aku dan dedek nanti. Selamanya aku akan tetap di rumah itu. Insya Allah...
***

25 April 1982 Pukul 10.13
Ayah, dedek sudah lahir...
Aku bukan menangisi diriku sendiri lagi sekarang. Sudah ada dedek yang akan menjadi sinar dan pegangan hidupku. Biasku memunculkan sosok Mas Adi pada sosok bapakku yang mengadzani dan mengiqomati dedek. Aku menangis saat kulihat dalam lemah dedek bergerak dan menangis dalam adzan dan iqomat itu.
Aura Putri Bashori
Itu nama dedek. Dengan masih tetap menyandang nama ayahnya, aku juga berharap dia akan menjadi cucu keluarga mas Adi nantinya. Meski aku yakin dedek juga tidak akan kehilangan kasih sayang dari mbah uti dna mbah kakung –ibu dan bapakku-, tapi aku juga ingin Aura mengenal bahkan diterima sebagai cucu dengan ikhlas oleh eyangnya –orang tua mas Adi-
Ibuku menemaniku dan dedek hingga dedek berusia satu bulan. Kemudian pelan-pelan menjengukku tiap tiga hari kemudian satu minggu kemudian dua minggu hingga akhirnya ibu benar-benar tega “melepasku” dan dedek kemudian. Ah... ibu menangis. Ibu kembali mempengaruhiku merutuki takdir gusti Allah atas kepergian mas Adi yang terlalu cepat.
“Aku sudah ikhlas, bu. Jadi ibu tidak perlu khawatir dengan keadaan kami. Kalo gusti Allah bisa memutuskan semua ini pasti gusti Allah juga tidak akan membiarkan aku juga Aura terlantar. Lebih enaknya ibu banyak doa buat aku dan Aura supaya semakin hari semakin kuat. Ya bu ya?!
Kuperlihatkan tawaku. Sambil kucium-cium Aura yang kemudian menampakkan senyumnya juga “Nah Aura saja bisa tersenyum bu, masa’ aku tidak bisa? Ibu percaya aku deh... Aku akan kuat demi Aura. Insya Allah, akan kuat.
Begitulah... akhirnya aku menjalani hidupku selanjutnya dengan Aura, anakku, cahaya hatiku, sandaranku, peganganku, semangatku. Aku bekerja sambilan, mencoba memecah seidkit sisa tabungan kami dulu. Kubuka sebuah warung kecil yang menyediakan sayur-sayur segar, kemudian juga kutitipkan jajanan-jajanan di warung-warung. Semua demi Aura yang harus bisa lebih baik dariku dan ayahnya. Meski memang kuakui juga, ada ego dalam citaku untuk Aura. Ego yang kutujukan pada ibu dan kekuarga mas Adi yang belum bisa menerimaku. Ego yang hanya bernama pembuktian atas kekuatanku. Duh Allah... maafkan aku!
Keluarga mas Adi hingga Aura berusia 13 tahun tetap belum mampu bersikap baik padaku. Juga Aura. Pernah kucoba matur pada ibu agar mau menerima Aura layaknya dia menerima cucu-cucunya yang lain.
“Bukankah Aura tidak mengerti apapun, bu? Kesalahan itu hanya saya dan mas Adi yang lakukan, Aura tidak. Aura tidak bersalah, jadi tolong –saya mohon- ibu bisa membantu saya supaya Aura tidak bertanya lebih banyak.
Ibu hanya diam. Tidak menyahuti.
“Aura sering kali bertanya, kenapa eyang uti tidak pernah mencium Ra seperti eyang kakung ya bu. Dia juga sering bertanya kenapa eyang uti tidak pernah mau main dengan Ra padahal eyang uti maen dengan mas Dharma, dek Agil dan mas Ridho.
“Ibu cukup saya dan mas Adi yang menjadi noda di hati ibu. Cukup saya dan mas Adi yang membuat ibu kecewa. Tolong ijinkan Aura menjadi cucu ibu juga,” kalimatku sudah mulai bergetar. Ibu tidak bergeming dari diamnya. “Saya tidak akan menceritakan apapun yang terjadi sampai saatnya Aura bertanya kembali nanti saat dia dewasa dan mengerti. Sampai saat ini Aura tidak pernah mengerti apapun masalah yang ada diantara saya, mas Adi dan ibu. Dan memang Aura tidak perlu tau itu.
“Katakan pada saya, bu. Apa yang harus saya lakukan agar Aura bisa merasakan menjadi cucu ibu? Akan saya lakukan itu, demi Aura!
Ibu tetap diam. Aku menunduk dan menyusut mataku yang sudah menyungai air mata. Sejenak kemudian ibuku berlalu tanpa sepatah kata apapun. Aku kembali tergugu. Tapi aku cukup lega telah mampu berkata begitu banyak pada ibuku. Aku yakin, ibuku akan terbuka hatinya pelan-pelan. Aku yakin itu!
***
Tidak akan kuijinkan Aura mengalami apa yang kualami. Aku akan selalu berdoa Allah mau memberikan sejarah berbeda antara aku dan Aura. Aura harus bahagia hingga akhir hidupnya. Kekhawatiranku atas sikap Raya hari ini yang tiba-tiba membuat Aura khawatir kuharapkan hanya pikiranku sendiri yang sedang tidak tenang juga.
Dan itu benar!
Karna setelah itu, kulihat kembali Raya. Itu artinya pikiran burukku hanya pikiranku sendiri saja. Raya kembali meski sangat malam. Pukul 23.37.


[1] Al Insyiroh : 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar