Rabu, 25 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 6)


EPISODE IBU
Bagi dunia, kau hanyalah seseorang.
Tapi bagi seseorang, engkau adalah dunianya.[1]
Masih sangat pagi saat kulihat ibuku memasak. Aku masih 4 tahun.
Ibu melakukan semua itu sendiri. Di rumahnya sendiri. Sambil memasak ibu akan menyapu dan sesekali memberi makan ayam-ayam. Kemudian ibuku  juga akan meneriakiku untuk segera bangun. Aku mendengar tapi belum ingin terbangun.
Pukul 05.30
Aku hanya mengerjab. Kemudian kembali memeluk gulingku.
”Tidak bisa, Ra... Ra harus bangun, ayo!,” ibuku menarik gulingku dan mengangkat paksa aku. Tapi tidak menyeretku. Setelah memaksaku bangun ibu pasti menggendongku dan menurunkanku di kamar mandi. Kamar mandi yang dingin pasti akan membuatku terbangun. Bahkan kadang menangis dan menjerit.
Ibu selalu mencoba menertibkan jadwal shalat dan ngajiku. Tiap sore pasti aku sering kejar-kejaran dengan ibu untuk segera mandi dan pergi mengaji di mushola. Aku kerap kali lebih memilih bermain di kali bersama teman-temanku dan tidak menghiraukan panggilan ibu. Hingga akhirnya ibu yang mengejarku ke sana kemari untuk menyuruhku mandi dan ngaji.
”Sudah besar kok masih kudu dipaksa untuk mandi,” kata ibuku. Usiaku sudah 7 tahun saat itu. Kelas 1 SD.
Ibu juga selalu membantuku berpakaian saat itu. Membantuku merapikan pakaianku hingga aku selalu terlihat rapi. Tidak pernah aku pergi sekolah tanpa baju yang rapi tersetlika. Di tasku selalu ada sebotol minuman dan sekotak makanan.
”Aku ingin punya ayah, bu!
Dan ibuku pasti akan menjawabnya dengan senyum saja. Kemudian mengalihkan perhatianku dengan berbagai serita dan pertanyaan untukku. Setelah itu pasti ibu akan menciumku dan mengantarku hingga pintu depan. Aku selalu bisa berangkat sekolah tanpa beban. Hanya bahagia.
”Kata bu Wati, pak Joko naksir ibu ya?,” tanyaku pada ibu setelah pulang ngaji.
Usiaku sudah 13 tahun ketika itu. Aku melemparkan tasku dengan keras.
”Eh kenapa tidak baik gitu, Ra?,” tanya ibuku kemudian. Aku merengut sempurna. Tidak ada tawa sama sekali. Aku duduk pun dengan cara marah.
”Ra tidak suka dengan pak Joko. Dia genit!,” teriakku. ”Ra tidak akan pernah rela pak Joko naksir ibu. Kalo ibu sampai menikah dengan pak Joko, Ra akan pindah dari rumah dan ikut mbah uti!,” kataku lagi.
Aku sudah tak mampu menahan air mataku. Aku menangis dengan sepenuh emosi. Ibuku segera memeluk dan bercerita padaku tentang ayah. Hanya sedikit sekali. Karna kemudian aku pasti akan diam.
”Jadi ibu tidak akan naksir pak Joko?,” tanyaku. Ibu menggeleng.
”Janji?
”Iya, janji. Ibu akan setia pada ayah. Itu janji ibu.
Aku kemudian seperti merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku merasakan keadaan sudah sangat aman dan tentram karna ibuku pasti tidak akan menerima pak Joko yang genit itu untuk menjadi ayahku. Enak saja!
Ya meski mungkin memang aku belum mengerti benar maksud setia yang ibu katakan itu. Aku hanya mengerti setia artinya ibu tidak akan memilih lelaki yang lebih buruk dari ayah. Setia berarti ibu tidak akan menikah dengan lelaki yang tidak kusukai. Pastinya aku lega akan semua ini.
Aku sudah 17 tahun sekarang. Dengan seragam abu-abu.
Sering kali aku bertanya kepada ibuku kenapa tidak menikah lagi, tapi jawaban ibuku tetap. Ibuku pengen setia pada ayah. Aku tak mengerti kenapa ibu sangat ingin setia pada ayah. Sementara ayah tidak setia pada ibu.
”Ayah bukan tidak setia, Ra. Ayah hanya tidak punya pilihan,” kata ibuku. ”Ayah juga maunya pasti menemani kita selamanya. Tapi kan Allah lebih tau takdir terbaik untuk kita. Ayah benar-benar tidak punya pilihan...
Kemudian ada seorang laki-laki melamar ibu. Keluarganya cukup baik. Duda. Beranak dua. Yang paling besar adalah kakak kelas di sekolahku. Tapi bandel. Suka ganti-ganti pacar dan katanya teman-teman suka main perempuan. Pernah tidak naik kelas juga. Hah?!
”Kalo anaknya begitu, orang tuanya bagaimana ya bu?
Ibuku hanya melirik. Seperti tak ingin menanggapi.
”Buah jatuh kan tidak jauh dari pohonnya. Kecuali dia dipindahkan,” kataku. Kemudian aku tertawa. ”Yahh... sebenarnya memang aku tidak suka dengan anaknya. Tapi kalo memang ibu merasa cocok dengan ayahnya, ya silakan saja. Aku akan dukung ibu.
Ibu kembali hanya melirikku.
”Buu... kok cuman gitu doang dari tadi?
”Lha mau gimana? Mau ditanggapi apa?
”Ya apa gitu... cuman melirik mana bisa diartikan!,” sungutku.
”Itu artinya ibu gak tertarik,” jawab ibuku sederhana.
”Kenapa?
”Ya karna ibu tidak tertarik.
”Kenapa?
”Ya karna ibu tidak tertarik.
Aku merengut. ”Ibuuu’... Kok gitu?
Ibu tidak menyahut lagi.
”Bagaimana kalo mbah uti marah? Mbah uti selalu bilang ibu ini memang suka repot sendiri. Aku tidak rela ibu dibilang macem-macem gitu. Belum lagi kata tetangga. Mbah uti pasti akan marah lagi kalo tau ibu menolak yang ini juga. Ibu tidak takut?
Ibu hanya menggeleng.
”Buuuu’... Ibu berhak bahagia, bu’...
Kini ibu memandangku. Tegas. ”Ra pengen tau bagaimana bahagia ibu?
Aku mengangguk.
”Biarkan ibu bahagia dengan ayah. Itu saja,” katanya.
”Tapi kan...
”Ibu tidak ingin ditemani selain ayah nanti di sana,” kata ibuku lagi. Tangannya mengacung ke atas. Aku mendengus.
”Ra pengen punya ayah?
”Kadang,” jawabku. ”Ra pengen ada yang antar Ra kemana-mana. Ada yang gendong Ra. Ada yang bantuin Ra cari kabel buat fisika. Ra juga pengen nanti saat menikah, ayahlah yang menikahkan Ra...
Mataku sudah berair kini.
”Ibu tau. Maafkan ibu ya! Tapi ibu yakin Ra bisa ngerti maksud ibu. Mungkin nanti pasti Ra bisa ngerti maksud ibu dengan sempurna. Ayah tidak akan terganti oleh siapapun, itu yang ibu tau. Ibu akan mencoba semampu ibu menjaga cinta pada ayah.
”Mungkin ibu egois padamu yang menginginkan seorang ayah untuk hari-harimu. Tapi ibu lebih khawatir lagi jika ternyata ibu tidak bisa memilihkan ayah yang baik untukmu, sekalipun semua orang bilang dia baik. Ibu dan kamu yang akan menjalani hari-hari dengan ayah baru itu. Bukan orang lain. Kalaupun ada pilihan yang salah, ibu juga tidak siap Ra salahkan. Meski mungkin Ra juga tidak akan menyalahkan pilihan ibu, tapi ibu benar-benar tidak ingin memilihkan orang yang salah untuk Ra.
Aku masih menangis. Baru kali ini ibu berbicara sangat panjang padaku.
”Ayahmu juga sangat mudah menangis. Bahkan saat bahagiapun dialah orang pertama yang akan terlihat air matanya. Dan dia tidak malu,” kata ibuku. Lembut tangannya menyeka air mataku.
Benar-benar seperti ada samudra yang entah bernama apa di matanya. Meski aku sangat jarang melihatnya menangis, tapi cukup diamnya saja saat aku bertanya tentang ayah, aku tau ibu benar-benar tak ingin mengganti ayah. Ibu pasti sudah menyiapkan segala kemungkinan yang terjadi saat memutuskan tidak mengganti ayah dengan siapapun. Sementara usia pernikahan ibu juga usia ibu saat itu masih sangat wajar jika menikah lagi. Dan ibu tidak melakukan itu.
Perlahan memang aku bisa menerima keinginan ibu tentang ayah. Meski kadang saat aku sangat ingin diantar kemana-mana keinginan untuk memiliki seorang ayah kembali mengusik. Beruntung aku memiliki paklik yang bisa kuajak kemana-mana. Juga seorang saudara sepersusuan yang juga bisa kujadikan satpamku.
Memang tidak mungkin Allah akan memberikan kesulitan tanpa solusi disampingnya. Tidak mungkin juga Allah akan melepaskan aku dan ibu hanya berdua di bumi ini. Pasti akan ada banyak orang yang akan membantu tugas ayahku sekalipun mereka bukan ayahku.
Dan saat ini, aku akan menjelang pagi juga bersama ibu...
***
”Ayahmu kecelakaan.
Tidak ada penjelasan lain dari ibuku tentang sebab kematian ayah.
”Kamu masih enam bulan saat itu di kandungan ibu. Ayah tidak berpesan apa-apa. Juga tidak begitu memberikan pertanda kecuali ayah semakin rajin ibadah dan menghabiskan waktunya di rumah. Ayah selalu menuruti apapun mau ibu.
Aku ingin mendengar lebih banyak tentang ayah. Aku telah dewasa kini. 20 tahun. Sudah menjadi seorang mahasiswi.
”Apa ibu tidak kesepian sendirian terus gini? Apalagi sekarang. Tidak ada aku yang menemani ibu tiap hari. Apa ayah melarang ibu menikah lagi?
”Ayahmu tidak pernah berpesan apapun, Ra...
”Jadi?
”Ya memang mau ibu begini. Ibu ingin bersama ayah juga nanti saat mati. Karna hanya ayahmu lelaki yang ibu kenal dengan sempurna. Ibu tidak ingin jika nanti menikah lagi ibu akan membandingkan suami ibu dengan ayah. Ibu bersama ayah kan kurang dari satu setengah tahun, masa-masa begitu masih masa-masa segarnya cinta. Ibu tidak mau nanti akan menemui keburukan orang yang tidak pernah ibu rasakan ada pada ayahmu.
Aku mengerutkan kening.
”Tapi kan tetap saja ibu berhak untuk bahagia,” kataku kemudian. Ibuku hanya tersenyum penuh arti ”Iya iya Ra tahu kebahagiaan ibu adalah membiarkan ibu tetap bersama ayah nanti di sana,” kataku. Pasrah.
”Apa istimewanya ayah siy, bu?
”Banyak,” jawabnya singkat.
”Iya...banyak itu apa saja contohnya?,” tanyaku lagi.
”Ayahmu itu sabar. Pekerja keras. Mengerti ibu. Bisa mendengar,” kata ibuku. ”Trus lembut. Suka membantu ibu di dapur. Apalagi ya?
Aku masih menunggu. Pasti ada hal lain yang membuat ibu tidak mau meninggalkan ayah sampai saat ini.
”Ayahmu juga setia. Bisa menerima kelemahan ibu secara penuh. Ayahmu punya pendirian. Ayahmu pemberani. Dia berani mempertahankan keinginannya.
Tercekat suara ibuku. Pasti ada yang disembunyikan ibu.
”Ayahmu dulu dijodohkan. Tapi ayahmu berani mempertahankan ibu. Ayahmu bilang tidak ada wanita yang lebih baik dari ibu di depan keluarganya. Keluarganya marah dan membiarkan ayah dengan keputusannya. Tapi ya begitu... ayahmu kemudian tidak begitu digubris kehadirannya. Apalagi ibu...
”Andai ayahmu mau, pasti ayahmu bisa meninggalkan ibu. Alasan yang diberikan keluarganya semua bisa diterima. Bahkan sangat bisa diterima logika,” kata ibuku. ”Ibu penyakitan. Ada asthma menahun dan menurun dalam diri ibu. Ibu juga dideteksi tidak bisa punya anak. Belum lagi keluarga ibu yang tidak sederajat dengan ayahmu. Banyak, Ra, alasan yang bisa digunakan ayahmu meninggalkan ibu.
”Ibu pun sudah menyuruh ayahmu meninggalkan ibu demi kebaikannya, tapi dia menolak. Ayahmu bilang kebaikanku adalah saat aku menikahimu,” ibuku tersenyum. Rendevouz. ”Hanya budhe Jamil saja satu-satunya orang yang mendukung ayahmu menikah dengan ibu.
”Jadi itu juga alasan Ra tidak pernah bisa dekat dengan keluarga ayah?
Ibu mengangguk. ”Makanya kamu harus tunjukkan kamu bisa menjadi wanita hebat dan bisa dibanggakan. Meski tanpa ayahmu. Ibu juga akan terus menunjukkan kesetiaan ibu pada ayah.
”Sakit ibu?
”Sudah hilang bersama kepergian ayah.
”Maksudnya?
”Ibu juga tidak tau apa namanya ini. Mungkin mukjizat. Ayahmu sebelum kepergiannya hari itu menciummu dalam perut ibu dan berkata aku akan membawa sakitmu pergi bersamaku hari ini. Mulai hari ini kamu tidak harus sesak nafas lagi. Karna kita benar-benar sudah bisa membuktikan bahwa kamu sehat dan bisa punya anak.
Aku tak tau harus berkata apa. Mukjizat?
”Dan memang ajaib. Saat ibu mendengar ayahmu kecelakaan, ibu tak merasakan sesak apapun. Bahkan saat ayahmu meninggal ibu tidak pingsan. Ibu seperti punya kekuatan lebih. Saat melihat wajah ayahmu yang tenang, ibu yakin ayahmu meninggal dalam keadaan baik. Insya Allah...
Aku menghela nafas. ”Aku ingin seperti ibu.
Ibu tertawa. ”Seperti ibu gimana?
”Aku akan menjadi wanita setia. Selamanya...
Ibu kembali tertawa. Aku pun tertawa.
***

Pukul 22.25
”Kenapa belum bobok? Ayo cepet bobok. Sini,” Nda Raya membenahi selimutku. Kemudian mengelus-elus dedek.
”Nda!
”Hmmm...
”Aku ingin setia selamanya,” kataku. ’Nda Raya tersenyum dalam lelapnya. Tangannya masih mengelus dedek dalam perutku.
”Aku akan menjadi wanita setia seperti ibu. Selamanya...
**---**
Kesimpulannya : dokter tidak berani menjamin keselamatanku dan dedek.
Sering kali memang kulihat ’Nda Raya menangis sendirian. Aku benci dia menangisiku. Aku benci dia meratap untukku. Seluruh keluargaku juga sekarang menjadi penghuni tetap rumahku. Ibu, ibu mertua, bapak. Mereka enggan pulang. Mereka bilang ingin menemaniku selama menjelang kelahiran. Bapak akhirnya juga harus mendelegasikan tugas dagangnya pada mas Ipul. Ibu meninggalkan dua adek ’Nda Raya di rumah dan sesekali waktu mereka turut sambang ke rumah. Keluarga besar lain dari ’Nda Raya silih berganti menjengukku. Aku sakit!
Kadang aku sering mengeluh jenuh dengan keramaian ini. Tapi mau bagaimana lagi. ’Nda Raya juga tidak tahu harus membawaku kemana. Apalagi memang ’Nda Raya harus benar-benar bekerja saat ini untuk menabung keperluan dedek dan tentu saja aku. Sudah tidak terhitung tabungan dedek yang terpakai untuk membayar sakitku. Maafkan bunda, sayang...
Kukatakan pada ’Nda Raya aku sehat. Dan semakin sehat saja. Aku yakinkan dia bahwa aku bisa makin menerima keadaanku. Dan mungkin itu yang membuat aku jauh lebih sehat. Aku juga meminta ibu mengijinkan aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan pada ’Nda Raya. Jangan menggantikan tugasku pada ’Nda Raya, kataku. Aku ingin tetap bisa menyiapkan sarapan atau makan siang dan malam ’Nda Raya. Aku ingin tetap aku yang melipat bajunya dan menyeterikanya. Aku mau tetap aku saja yang menyiapkan minuman dan air hangat saat dia pulang malam.
Kulihat lagi tangis ’Nda Raya malam ini. Tubuhku terasa berat untuk turut bangun. Aku memutuskan diam dan menunggu ’Nda Raya membantuku bangun. Padahal inginku bisa segera memegang dan menyuruhnya berhenti menangis. Semua karna aku.
”Nda...
Dia menoleh. Matanya masih basah.
”Aku mau bangun. Bantu aku bangun,” kataku. ’Nda Raya segera saja membantuku bangun dari tidurku. Dedek yang tujuh bulan ini menemaniku sudah dari tadi bangun. Tapi aku yang belum mampu bangun.
”Aku sendiri saja,” kataku saat ’Nda Raya tetap membimbingku ke kamar mandi. Matanya tidak tega aku ke kamar mandi sendiri. Aku tertawa kemudian menggodanya hingga dia memang yakin aku mampu ke kamar mandi sendiri.
Sebenarnya memang aku takut menghitung hariku sendiri. Itu kenyataannya saat ini. Sakitku yang memang akhir-akhir ini membaik tidak juga mampu mencabut kekhawatiran paramedis itu. Aku benci tiap kali periksa masih saja yang keluar perhatikan kesehatan ya. Padahal aku sangat ingin mereka berkata kesehatanmu sudah luar biasa. Tinggal pemulihan. Hah, aku benci mereka dan sakitku!
Aku membaca tulisan ’Nda Raya pagi ini. Tidak sengaja kutemukan.
Bagaimana aku bisa melihatnya makin tersiksa?
Tapi aku pun tak tau bagaimana bisa membuatnya lebih nyaman. Aku ingin bisa memberikan kebahagiaan yang dia inginkan. Tapi aku juga sangat takut itu juga membuat kondisnya tudak stabil lagi.
Aku lelah. Aku sangat lelah. Aku ingin istirahat. Tapi aku tak bisa meninggalkannya sendiri. Aku tidak bisa beristirahat sementara kulihat dia bersusah payah mempertahankan diri dan anakku. Tapi aku benar-benar lelah.
Ingin sekali aku bisa membawa pergi sakitnya jauh-jauh. Aku rela andai aku yang kemudian berganti sakit. Biar dia bisa menikmati lelahnya mengandung tanpa dibebani dengan sakit yang lain. Dan aku yakin aku lebih kuat darinya.
Tolong kuatkan dia selalu, mungkin lewat aku jika Kau berkenan untuk itu...
Amin.
Banyak yang ditulisnya. Puisi untuk dedek. Aku berbunga.
Anakku, anakku
Inilah ayahmu, anakku
Dan itu bundamu
Sampai kapanpun aku akan tetap
Menjadi ayahmu
Dan hingga detik akhirku
Hanya dia bundamu
Anakku, anakku
Jadilah perkasa
Kemudian tantanglah semua luka
Agar
Kamu bisa bersahabat
Dengan semua pahit dunia ini
Karna ayah
Hanya punya cinta untukmu
Karna ayah
Tak punya banyak waktu bersamamu
[tengah malam, lepas mimpi buruk]
Mimpi buruk? Jadi ’Nda Raya pun pernah mimpi buruk akhir-akhir ini? Dan dia diam saja padaku.
Sudah maem? SMS ’Nda Raya.
Sudah. Ini lagi istirahat. Cepet balek kan?
Iya, insya Allah cepet balek. Balasnya.
Kunyalakan komputer milik ’Nda Raya. Aku ingin menuliskan sesuatu disini sebelum aku tidur dan sebelum ’Nda Raya pulang. Biar dia bisa membacanya nanti.

Sajak “Jadi”
Tidak setiap derita
Jadi duka
Tidak setiap sepi
Jadi duri
Tidak setiap tanda
Jadi makna
Tidak setiap tanya
Jadi ragu
Tidak setiap jawab
Jadi sebab
Tidak setiap seru
Jadi mau
Tidak setiap tangan
Jadi pegang
Tidak setiap kabar
Jadi tahu
Tidak setiap luka
Jadi kaca
Memandang Kau
Pada wajahku
(Sutardji Calzoum Bachri)

Aku memang merasa tidak akan bertahan lama dengan hidupku. Aku berpikir mungkin aku akan mati saat melahirkan dedek. Atau bahkan lebih cepat dari itu. Dan dedek harus dilahirkan premature.  Kasihan dedek harus turut dalam sakit yang kuderita.
Karnanya aku ingin bisa melakukan banyak hal untuk ‘Nda Raya. Sebelum semuanya berakhir. Tolong jangan siksa aku dengan ketakutan ini, Tuhan...
“Aku takut dengan semua ini, ‘Nda... Aku seolah sudah mengetahui jadwal kematianku. Bagaimana mungkin aku tidak takut jika hidup hanya menunggu detik mati?
Nda Raya memandangku. Sendu.
“Bukankah semua memang menunggu mati? Kenapa abid tidak malah mikir bagaimana caranya mengisi semua dengan baik-baik sebelum jadwal itu datang? Semua orang pasti takut dengan kematian. Aku pun begitu. Tapi itu kan memang takdir akhir kita, bid...
“Tapi tidak dengan aku, ‘Nda... Setiap saat aku seperti dihantui pertanyaan apakah hari ini aku mati. Apalagi setiap terasa kepalaku mulai berdenyut lebih kuat saat itu pertanyaan itu pasti akan menyerang dengan sangat kuat. Aku takut, Nda...
Tak bisa kutahan lagi. Aku menangis.
“Aku tau. Aku paham. Sudah ya, nanti malah dedeknya jadi ikut sedih,” kata lelakiku. Kemudian dia menyelimutiku dan terus menatapku.
“Kenapa begitu?
“Biar aku mimpi ketemu bidadari.
Aku tertawa. “Genit!
“Aku sering mimpi ketemu bidadari. Mereka cantik-cantik, bid. Tidak nangisan. Tidak keras kepala. Pokoknya tidak kayak...
Plak!
Dia tertawa. “Ternyata masih kuat juga pukulannya. Yah gak papa lah, dah lama juga gak dipukul. Lumayan buat kenang-kenangan,” katanya. Kemudian dia seperti terlihat telah berbuat kesalahan besar.
Aku kembali menangis.
“Abid maafkan aku. Aku tak menyengaja,” katanya.
Aku tidak tahu untuk siapa dan untuk apa kalimat itu. Kenang-kenangan. Berarti dia pun telah menyiapkan diri untuk kepergianku. Aku senang ‘Nda Raya selalu siap tapi aku benci meninggalkannya.
“Abid pasti akan selamanya hidup dan menjaga dedek. Aku yakin itu.
Aku tak peduli. Karna yang kupeduli hanya membuatnya menjadi lebih menikmati hari-hari terakhirku. Menjadi istri yang baik sebelum datangnya perpisahan. Hfff... aku benar-benar benci mengingat semua ini.
Selalu setiap pagi kuusahakan melakukan semua bersamanya. Bersama ‘Nda Raya. Menyapu rumah. Mencuci piring. Menyiram bunga. Menyiapkan sarapan. Kadang menggoreng telur. Indah ya? Tapi aku tidak merasa begitu. Karna aku semakin merasa aku sedang sakit. Andai aku tidak sakit, mungkin ‘Nda Raya tidak akan melakukan ini. Awalnya memang kukerjakan sendiri, tapi kemudian pasti ‘Nda Raya ikut turun tangan begitu melihat aku berkeringat. Kemudian akan ikut membantuku menyelesaikan semua. Meski kadang aku menolaknya dan bersikap ngambek padanya.
“Bid, aku bawakan sesuatu niy. Aku dapat tadi sewaktu jalan-jalan di sekitar kantor. Sini dong!,” kudengar teriakan ‘Nda Raya. Jam berapa kok sudah pulang. Apa aku yang tertidur terlalu lama.
“Jam berapa kok sudah pulang?,” tanyaku begitu kulihat dia telah berada di dekatku. Dia hanya tersenyum.
“Jam 3,” jawabnya.
“Kok sudah pulang?
“Ijin.
Singkat. Padat. Tapi tidak ku mengerti.
“Kenapa?,” aku masih malas bangun.
“Kenapa bajuku disini? Kangen ya tadi...
“Huu... Ni ambil,” kulemparkan baju yang terbawa tidur olehku. Kangen.
‘Nda Raya terbahak. “Ayo bangun! Trus mandi kita jalan-jalan.
Aku mengerutkan kening. Jalan-jalan? Tidak mungkin.
“Males ahh... Jalan-jalan ke toko pak Dul kan? Jalan saja sendiri, aku males. Terlalu jauh,” kataku segera. Kembali aku hendak memejamkan mata.
“Tidak, bid... kita jalan-jalan ke taman kota.
“Maaf ya, pak... saya sudah kebal ditipu. Kemaren bilang ngajak jalan-jalan ternyata ke toko pak Dul beli susu. Pernah juga ngajak jalan-jalan ternyata juga cuma ke rumah Raka nonton DVD. Ngajak jalan-jalan lagi juga cuma ke masjid. Aku gak mau menghambur-hamburkan rasa senengku trus kemudian lenyap gara-gara kecewa.
“Tidak, bidd...
“Nda Raya juga selalu bilang gitu kok. Kali ini beneran, kali ini beneran, kali ini beneran terus... Tapi hasilnya tetep saja gitu,” aku menghujatnya. Galak.
‘Nda Raya kembali terbahak.
“Kali ini benerannya beneran bener. Jadi gak ada bohong atau nipu. Bener,” jarinya membentuk victory. Aku masih enggan percaya. Jalan-jalan?
“Kenapa aku kudu percaya?,” tanyaku.
“Karna aku tidak bohong,” jawabnya.
“Kalo bohong?
“Kalo bohong, aku akan membiarkan abid jalan-jalan sendiri sekehendak hati abid. Key?,” jawabnya.
Kusodorkan kelingkingku. “Beneran?,” tanyaku.
“Iya, beneran!,” kelingkingku menyatu dengan kelingkingnya. Tersenyum
Aku bangun. Mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi. Hatiku gembira tak terkira saat ini. Aku bernyanyi tak henti-henti seperti anak-anak yang mendapatkan hadiah ulang tahun.
Aku akan jalan-jalan!
Berapa lama aku tidak jalan-jalan. Sudah hampir delapan bulan. Sejak sakit ini mulai menyerang tubuhku. Dan hari ini aku akan jalan-jalan. Sore-sore bersama lelakiku. Ahh.... aku pasti akan menangis nanti di taman kota. Di sana dulu aku meminta ‘Nda Raya memanggilku abid. Ugh! Aku malu-malu saat itu.
Pukul 16.13
“Memang ada apa siy ‘Nda kok tumben ngajak jalan-jalan?,” tanyaku lagi. Rasa tak percaya masih begitu melingkupiku. Aku jalan-jalan?
“Taman kota kangen sama kita katanya,” jawabnya.
Plak!
‘Nda Raya kembali terbahak. “Kamu pasti akan merindukan tawaku,” katanya kemudian. Kujawab lagi dengan injakan di kakinya.
Dan jadilah sore itu kami jalan-jalan. Aku dan ‘Nda Raya.
‘Nda Raya memenuhi apapun mauku. Sesekali dedek juga minta perhatian dengan menendangku keras-keras. Aku beli bermacam-macam barang yang kuinginkan. ‘Nda Raya juga membelikanku seekor kura-kura di rumah.
“Biar kita ada kenangan, bid,” katanya. Aku selalu tidak menyukai kata kenangan yang diucapkan ‘Nda Raya.
“Kenangan? ‘Nda Raya juga berpikir aku akan pergi segera?
Dia hanya tersenyum. Kemudian mengacak kepalaku.
“Makanya jangan sensi. Maksudku biar kita ada kenangan telah jalan-jalan ke kota saat dedek usia tujuh bulan lebih dikit dan saat kamu terus-terusan divonis sakit. Biar taman kota mencatat nama kita berdua. Hahaha,” katanya.
Aku mencibir. “Gaya!,” kataku.
“Tapi, ‘nda! Kalo nanti aku meninggal saat melahirkan dedek, aku rela ‘Nda Raya menikah lagi,” kataku tiba-tiba. Entah ide darimana. “Iya, aku serius. ‘Nda Raya boleh menikah lagi dengan wanita pilihan ‘Nda Raya yang bisa sayang dedek.
Dia hanya tertawa menanggapiku.
“Beneran, ‘Nda... aku serius!
“Bagaimana kalo aku yang mati duluan?
Sekarang aku yang tertawa. Kucubit dia kuat-kuat.
“Ga boleh!,” jawabku segera. “Nda Raya harus menemani aku dan dedek sampai nanti dedek punya adek lagi. Aku mau ‘Nda Raya terus dan terus ada di dekatku dan dedek,” kataku lagi. Kali ini jari-jari tanganku erat menggamit jari-jarinya yang kurus.
Lelakiku hanya menatap ke depan. Tanpa kata. Hanya matanya mengembun.
“Ngomong apa juga kita ini. Mati mulu yang diomongin ya!,” ujarku.
Dia tertawa kecil. Menyudahi episode masa depan kami.
“Lha iya abid juga siy yang mulai... belum tentu juga abid duluan yang ninggal kan? Apa siy yang Allah tidak bisa lakukan pada kita? Sekarang pun kalo Allah mau, Allah bisa mematikan kita atau salah satu dari kita, iya kan? Makanya kutanya bagaimana kalo aku duluan yang meninggal?,” alis ‘Nda Raya diangkat-angkat. Genit.
“Lha kan aku memang wajar kalo tiba-tiba meninggal, ‘Nda... Makanya aku bilang begitu. Biar aku juga lega karna nanti dedek juga akan punya bunda setelah aku pergi.
Dia kembali mengucek kepalaku. “Maksudmu wajar apa?
Aku mengerjab. Menghindari angin yang mulai meninghkahi pikiran takutku. Kupaksakan diri untuk terstawa. Tapi tidak bisa. Mendesah pelan.
“Hhh... aku kan sakit. Bahkan sakitnya mungkin agak sulit dikatakan sakit biasa. Aku hidup  juga karna harapan yang aku hidupkan. Nah, setelah abid ulang kali mimpi dengan tema sama ditambah ayah yang sering datang tiap aku tidur kemaren-kemaren, aku kadang mikir apakah memang Allah sedang mengirimkan pertanda untuk aku. Ataukah hanya sebuah kebetulan saja. Ataukah hanya mimpi yang tidak ada maksud apa-apa?
‘Nda Raya menarik kepalaku dalam peluknya. Dia diam. Menahan.
“Makanya aku bilang wajar jika aku berpikiran akan meninggalkan ‘Nda Raya. Juga dedek. Makanya lagi aku bilang ‘Nda Raya boleh menikah jika nanti aku memang tak bisa menemani selamanya lagi.
Nafasku tertahan. Ingin menangis tapi aku juga tak mau.
“Kalau menikah lagi saat abid masih ada, boleh gak?
Tanpa ampun lagi kupusatkan kekuatan pada gigiku. Qishos.
“Bidadariku tersenyum. Dia ingin kucintai selamanya, tapi dia juga ingin bahagiaku. Meski yang kutau dia berat melepas kata itu untukku...
Aku tertawa. Kuingat puisi itu diberikan padaku saat pertama kali dokter bilang ada virus di kepalaku. Saat itu sering kali kukatakan aku akan rela jika suatu waktu aku akan meninggal dan ‘Nda Raya ingin nikah lagi. Aku akan ijinkan semua itu.
Kenapa aku seolah mempersiapkan semua ini ya? Kenapa aku memang seolah-olah terjebak pada takdir yang belum tentu terjadi? Harusnya memang aku lebih berkonsentrasi pada dedek dan kesehatanku. Tapi sangat sulit. Pikiranku sudah kucoba untuk memikirkan hal lain agar lebih rileks, tapi sangat sulit. Mungkin itu juga alasan kenapa ‘Nda Raya bersitegang dengan dokter antara jujur dan menyembunyikan sakitku ini.
dan ketika kau memutuskan
untuk memeluk Tuhan
di sepanjang jalan berliku
kurasa itu paling cinta[1]
Aku mencintai ‘Nda Raya. Dedek juga. Aku tak ingin meninggalkannya. Aku ingin selalu di dekatnya selamanya.




[1] Abd. Faiz



[1] Plato

Tidak ada komentar:

Posting Komentar