Selasa, 20 Maret 2012

Perjalanan Cinta (Part 5)


13.33, Hari yang sama...
Aku sudah membereskan pengajuan ijinku hari ini. Tinggal menunggu rekomendasi keluar dari bagian HRD. Aku kembali memutar badanku kiri kanan untuk melenturkan kembali otot-ototku. Aku kembali menghitung kemungkinan keberangkatanku. Jika aku berangkat hari Sabtu, maka mungkin aku bisa di sana hingga minggu depannya. Tapi serumah dengan Jagad dalam waktu yang lama? Ah, aku tidak akan bisa sepertinya. Pasti akan ada keributan yang tak terhindarkan. Hhfff...
Jagad Nawwaf.
Aku pertama kali melihatnya saat menjadi anak polos kampusku dulu. Dia memang seniorku, namun sama sekali tidak kutau kalo dia senior. Entahlah, mungkin karena dia memang lebih senang bersama anak-anak polos sepertiku. Yang baru melihat gedung besar, orang-orang berdasi ataupun anak-anak mahasiswa yang sebagiannya sok jadi orang pintar. Hah, aku lupa berapa kali aku mendapat hukuman gara-gara kebandelanku melawan senior-senior itu. Bahkan beberapa senior perempuan membenciku, aku tau itu. Sering kalinya mereka membicarakanku di belakang atau menyindirku.
Aih... mereka hanya belum tau siapa Naya.
“Tidak bosen dihukum-hukum terus?,” aku tak melihat kedatangannya, namun tiba-tiba aku mendengar suaranya. Jagad.
“Bosen siy, mas, tapi ya mau gimana lagi. Semua sok jadi petinggi. Hahaha,” aku seperti lupa kalo Jagad juga seniorku dan lupa kalo ini pertama kalinya kami berbincang. Jagad ikut tertawa dengan kataku.
“Kamu yang sabar saja, yang kuat,” katanya kemudian. Aku sudah tidak begitu memperhatikan kalimatnya selanjutnya karena aku sudah sibuk dengan bawaanku yang segudang. Namun yang aku tau selanjutnya, Jagad menjadi orang yang sering kali mendatangiku untuk menanyakan keadaanku setelah aku mendapat hukuman. Dia juga menasehatiku, memberitahuku tentang beberapa hal.
“Yahh... dimana-mana senior memang begitu. Aku sudah tau itu, mas. Jadi tidak kaget lagi. Paling juga balas dendam. Hihihihihi,” kataku. Jagad tertawa. Kerudung putihku tertiup angin yang menggoda kecerewetanku. Kuakui aku memang orang yang tidak begitu peduli dengan sesuatu yang itu berbeda denganku. Aku keras kepala dan suka ngeyelan. Bahkan saat terpojok pun aku masih mencoba untuk bisa bertahan dengan apa yang kuyakini.
Selepas itu semua, memang akhirnya aku bisa akrab dengan Jagad. Awalnya aku memang selalu memanggilnya dengan “mas”, tapi dia sendiri yang kemudian memintaku memanggilnya hanya dnegan Jagad. “Biar lebih akrab,” katanya. “Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena juga padaku.
Jagad Nawwaf.
Hampir sepuluh tahun sejak itu hingga saat ini aku mengenalnya. Mengenali sisi baiknya. Menerima sisi buruknya. Aku mengenalnya sebagai anak laki-laki dari tiga bersaudara perempuan. Ibunya seorang guru sekolah dasar dan bapaknya juga guru. Seorang adiknya kini telah kuliah di UIN Malang dan seorang lagi sedang menyelesaikan tugas akhirnya di STAN. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali sifatnya yang tegas.
Meskipun berteman akrab, bukan berarti dimana ada Jagad, di situ ada Naya. Meskipun juga hampir semua orang mengatakan kami menjalin suatu hubungan, namun satu pun tak kami tanggapi.
“Bukankah itu fitnah untuk kalian?,” Asri, kawan berkerudungku mendekatiku suatu siang. Angin siang itu menerbangkan kerudung coklat susu yang kupadu dengan baju muslimah coklatku.
“Tapi antara aku dan dia benar-benar tidak ada apa-apa, As,” jawabku. Aku menyenderkan tubuhku pada tiang kampusku. Asri duduk menyebelahiku.
“Memang. Kalian yang tau semua yang terjadi diantara kalian berdua. Tapi wajar kan jika banyak orang menganggap kedekatan kalian itu bermakna lain? Bukankah dimana-mana persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang tulus?,” gadis berjilbab agak lebar di sampingku ini menyedot sisa es jeruknya. “Hm Naya, sebenarnya seberapa dekat kalian?
Aku melongo. “Dekat apaan? Plis dee... ya biasa saja. Hanya saja mungkin kami akrab satu sama lain. Lagi pula ada Shina diantara kami. Aku dan dia juga tak pernah jalan berdua. Juga tak penah boncengan. Juga tak pernah saling sentuh. Hah, orang-orang ini memang terlalu parno.
“Hihihihi. Ya udah, aku percaya sama kamu kok, Nay. Tapi saranku, ada baiknya juga kamu jaga hubunganmu. Biar terjaga juga ajaran anak-anak berjilbab rapi kayak kamu niy. Jangan sampe’ stigma berjilbab rapi tapi gak karusan kelakuannya menjadi hal biasa. Top gak?
“Hahahaha, beres dah... Insya Allah. Jagad juga bukan orang yang tidak paham dengan prinsipku kok. Itulah kenapa kita gak pernah jalan berdua. Selalu ada Shina diantara kami. Dan satu lagi, kami bertiga bersaudara. Tidak ada persaudaraan yang kukenali lebih dari aku mengenali Shina dan Jagad. Ibuku ibu Shina juga, bapakku juga menjadi bapak Jagad, ibu Jagad juga menjadi ibuku dan bapaknya Jagad juga menjadi bapaknya Shina.
Mataku seperti berair saat mengatakan itu. Asri menepuk-nepuk pundakku pelan dan merangkulku. “Sssttt... Jujur, aku cemburu. Hihihihihi.
Dari kejauhan, kulihat sosok yang sangat kukenali. Tertatih-taih menuju tempatku duduk. Asri segera berdiri dan mela mbaikan tangannya semangat.
“Shinaaaa... Naya disini. Aku juga disini. Naya sedang menangis, Shin!
Ya, dia Althaf Shina. Satu dari dua sahabatku. Pelengkap kebutuhanku.
“Kamu sakit?
Dia menggeleng. Namun wajah yang ada di depanku bukanlah wajah orang yang sehat. Matanya  mengernyit seperti menahan sakit. Kepalanya menyandar lunglai. Tidak ada kata yang keluar darinya selama aku berada di dekatnya. Dan aku pun juga merasa bingung harus mengucapkan apa padanya. Dia terlihat sangat pendiam dan tidak banyak tingkah seperti aku.
“Aku tau namamu,” katanya tiba-tiba.
“Hahaha. Pasti karena gosip kan?
Dia terlihat nyengir. “Bukan gosip juga tak apa kok,” katanya.
“Hayah... wis ra sah dibahas lagi. Gak bakal ada gunanya.
Saat itulah Jagad lewat depan kami.
“Kawanmu,” Shina menunjuk Jagad yang terlihat tidak mengetahuiku.
“Gad!
“Hai, Nay. Gak masuk?
Aku menggeleng. “Wis masuk tadi. Kamu mau masuk?
Dia juga menggeleng. “Cuman mau ke sekret bentar. Kamu ngapain disini?,” Jagad mendekatiku.
“Ini temanku, Gad. Namanya...,” aku melirik ke arah Shina.
“Shina.
“Yah Shina... bagus kan namanya?
Jagad tersenyum. Kemudian duduk bersama aku dan Shina. Bercerita tentang banyak hal. Shina yang kukenal hari itu memang bukan orang yang banya cerita sepertiku. Dia berbeda dengan Jagad yang memiliki banyak senyum dan tawa untukku. Namun sangat sedikit kata. Diantara mereka berdua, akulah orang yang paling sering membuat keonaran dan ceroboh.
Sejak saat itulah aku seperti makin dekat dengan Shina. Aku semakin sadar, tidak harus berada dalam satu kegiatan untuk membuat hubungan baik. Juga tidak harus berada dalam label yang sama untuk mengakrabi. Keakraban dan persahabatan bisa dibentuk oleh siapa saja dengan kemauan yang tulus. Persahabatan hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang mengerti arti persahabatan. Namun percayalah, aku selalu yakin aku bisa mencintai sahabatku seperti aku mencintai diriku sendiri. Aku percaya pada mereka sekalipun mereka mungkin tidak sedang menunjukkan perhatian mereka padaku.
“Naya, terima kasih yah.
Aku menaikkan alisku. “Untuk?
“Untuk semua pertemanan yang kau berikan,” jawan Shina. “Aku pikir aku tidak akan pernah menemukan lagi orang-orang yang dengan tulus memberikan semangatnya padaku. Tapi ternyata, Allah sangat sayang aku. Pelan-pelan Allah menghadirkan orang-orang yang kurindukan selama ini. Budhe Asih yang menjadi ibuku sejak aku tak memiliki kesadaran dulu. Mas Dewo yang selalu menjadi mas-ku selama aku merasa tidak memiliki siapapun. Duniaku yang sepi kemudian berwarna dengan kehadiranmu. Dan tentu saja, Jagad. Terima kasih yah
Aku memeluk Shina erat. Kepalanya saat itu sudah mulai sepi dari rambut. Kakinya sudah mulai sulit bergerak. Dia hanya memiliki mata yang sama seperti saat pertama kali ku temui dulu. Kelembutan juga selalu menjadi hal yang kuirikan darinya.
Althaf Shina.
Aku mengerjab sendiri. Kuhentikan sendiri putaran masa laluku. Tanganku meraih foto berbingkai kertas dengan hiasan melati di pojok bawahnya. Shina, aku dan diatasnya Jagad. Di depan gedung rektorat kampusku dulu. Sewaktu baru beberapa bulan kami mengenal satu sama lain. Aku memegang hadiah sebuah Al Quran berwarna hijau cerah dari Shina. Hadiah dari Jagad jatuh di tangan Shina, sebuah Al Quran berwarna hitam pekat edisi lux dengan terjemahan bahasa Arab. Dan Jagad, tentu saja memegang hadiah dariku. Al Quran berwarna biru muda berseling dengan warna biru gelap. Hari itu, aku, Shina dan Jagad baru saja menyelesaikan ujian untuk mendapatkan beasiswa satu tahun dari kampus.
Aku beranjak ke toilet untuk membersihkan wajahku yang mungkin mulai cemong karena air mata. Mbak retno sampai kebingungan dan sekaligus menertawaiku yang menangis. “Langka, Nay! Hahahaha,” gelaknya. Aku hanya menjawabnya dengan sungutanku.
Sudah lebih tiga tahun aku hilang kontak dengan Shina. Banyak cara sudah kulakukan, tapi semua seperti tanpa hasil. Yah... mungkin Shina memang ingin lebih tenang dengan kehidupannya.
“Nay, sori ya tadi mbak angkat Hpmu. Habisnya bunyi terus.
Aku mengangkat alis. “Siapa, mbak?
“Orang ganteng kayaknya. Hihihihi. Suaranya tegas tapi hihihi.
Aku semakin penasaran. Kuraih HP ku untuk mengetahui recent call di sana. “Owh, dia,” komentarku singkat.
“Karna dia ya kamu tak tertarik dengan Dharma? Deuu... ternyata...
“Apaan... Mau nggosip lagi?
Hahaha. Sepertinya iya, makin sip saja kalo digosok. Sok sok. Sokkk... hahahaha.
“Tarik manggg...
Mbak retno makin tergelak lepas. Bahkan hingga jam kantor usai, di lobi kantor dia masih juga menggodaku. Tentu saja karena di sana ada Budi, Asep, Iwan, mbak Nana, Santi dan pak Restu. Satu komplotan yang selalu setia dengan usahanya mendekatkanku dengan Dharma.
“Periksa HPnya dah kalo gak percaya... ada nama Jagad disana. Wah, aku sampe mimpi-mimpi dengan suara beratnya. Hahahaha
Pak Restu seperti membiarkanku dalam mangsaan anak buahnya.
“Bagaimana kalo kita ambil paksa HP nya dan kita periksa?
“Eeehhhh... Gak boleh. Gak sopan itu,” ancamku.
“Halah... Anak keicl mana yang bisa melawan orang-orang gedhe macam kita niy,” Iwan menimpali usul gila mbak Nana. Aku sudah merengut sempurna dan mendekap tasku erat-erat. Tapi sia-sia, semua seperti sepakat dengan usul gila mbak Nana.
“Waaa... inboxnya Jagad, Jagad, Jagad, Mada, Jagad, Jagad, Jagad, Ibuku, mbak Retno, Jagad. Waaaa...
“Cek folder image-nya, mbak,” seru Budi.
“Tidak akan ada siapa-siapa di sana. Buka saja semua, kalo ada gambar Jagad aku bayari seratus ribu semua!
“Hahahaha,” tawa mereka lebih kudengar seperti mengejekku. Aku tak lagi ingin berlama-lama berada di tengah orang-orang yang siap memangsaku hidup-hidup.
“Memang susah jadi seleb. Apa-apa digosipin. Hahh...
Hahahaha. Naya, Naya...
Kerudung biru yang kukenakan langsung disambut angin begitu keluar dari gedung kantorku. Dulu, sewaktu ngampus aku tidak pernah memakai bawahan selain rok. Sekarang, aku harus memakai pakaian seperti ini. Aku pasti bisa selalu mengandalkan sifat Allah yang maha mengerti. Selalu aku percaya, aku tetap memakai pakaian yang menutup sekalipun tak lagi bisa selalu memakai rok-rokku selama jam kerja. Namun aku selalu memakainya saat aku tidak berada pada jam kerja atau setiap kerja akhir pekan. Kantorku mempunyai standart pakaian untuk pegawainya. Namun aku bersykur, aku masih diperbolehkan memakai pakaian dengan desain yang kupilih sendiri. Aku yakin selama aku bisa bekerja dengan maksimal, urusan berpakaian akan menjadi alasan ke sekian bagi atasan untuk menegur.
Aku selalu yakin aku tak harus seperti umumnya pegawai kantor dengan muka berwarna dan dengan pakaian minimalis. Ataupun jika berkerudung, kerudungnya pun sangat minimalis. Aku memang tertarik untuk menjadi “orang kantoran”. Namun jika nanti statusku berubah menjadi milik orang lain, aku akan menuruti peraturannya tetang karierku di kantor ini. Untuk saat ini, aku hanya ingin menggunakan sebanyak-banyaknya ilmu yang kumiliki, memiliki teman-teman baru, mengenali dunia industri, mengenali cara-cara orang memimpin, mengerti bagaimana bekerja di bawah deadline, merasakan bagaimana disalahkan atasan dan tentu saja merasakan enaknya memiliki harta sendiri.
Motorku telah berbelok ke arah rumahku. Kusapa orang-orang yang kukenali sepanjang jalan. Paling tidak aku mengangguk ke arah mereka. Kampungku memang bukan kampung yang luas. Jalan di jalan utama memang sudah beraspal halus, namun jalan di sepanjang rumahku bukan jalan yang cukup bagus, memang sudah diaspal namun belum terlalu halus. Seperti biasanya tipikal orang pedesaan, suasana kekeluargaan sangat rekat disini. Antara sepuluh rumah ke samping kanan, kiri, depan dan belakang semua saling kenal dan saling ramah. Bukankah yang dinamakan tetangga adalah orang-orang yang berada sepuluh rumah darimu? Itulah kenapa sebaik-baik kalian adalah orang yang baik pada tetangganya. Karna memang tetangga akan selalu menjadi orang pertama yang kita repoti saat kita membutuhkan bantuan. Sampai-sampai rasul berkata barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya (Bukhari Muslim hal.372)
            Kurebahkan tubuhku sejenak setelah aku sampai istanaku, kamar kecilku. Sambil kudengarkan Chantal Kreviazuk bernyanyi untukku. Lalu berurutan di belakangnya Jason Mraz, Sami Yusuf, R. Kelly, Gradasi, Syakhrukh Khan, dan Letto. Lagu-lagu itu sering kali membuatku berendevouz dengan masa-masa di belakangku dan masa-masa yang berharga untukku. Kenapa ada Syakhruh Khan? Hahaha. Pasti aneh ya? Tapi aku menyukai lagunya atau entah lagu siapa karna yang kutau dia yang menyanyikan itu. Hanya satu lagu, kabhi alvida na kehna, never say goodbye, jangan pernah ucapkan selamat tinggal. Aku tidak pernah melihat film itu, namun aku mendapatkan potongan klip lagu itu dari temanku. Dan sekarang aku memasukkannya dalam playlist milikku.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar