Selasa, 24 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 5)


Hari ini aku kontrol. Bersama ’Nda Raya.
Dedek sudah menuju usia enam bulan. Aku keluhkan nyeri di kepalaku yang sering kali tiba-tiba muncul. Tapi dokter menjawab mungkin itu efek tekanan darahku yang tidak stabil. Atau pikiranku yang kurang rileks.
Aku sengaja tidak menceritakan tentang mimisanku yang terjadi beberapa kali. Pertama saat aku cemas saat ’Nda Raya pulang larut. Kedua saat aku main ke kantor ’Nda Raya. Ketiga kemaren saat aku jengkel karena tidak dibolehkan ikut ibu belanja sayur.
Dokter menanyakan apakah aku pernah mimisan dan kujawab tidak. Aku berbohong, tapi aku tidak takut. Sekali lagi dokter bertanya padaku apakah aku pernah mimisan. Dan sekali lagi kujawab tidak. Akhirnya dokter itu menanyakan kondisiku yang lain. Dokter bertanya bagaimana nafasku, bagaimana tulangku, bagaimana emosiku, bagaimana kegiatan fisikku.
’Nda Raya banyak mengeluhkah aku yang bandel. Aku hanya tertawa dan sesekali menginjak kakinya. Dokter kemudian menuliskan resep baru. Katanya vitamin. Dan dokter memintaku melakukan CT scan lagi.
”CT scan? Untuk apa, dok? Memang hamil di CT scan juga ya, dok?
’Nda Raya tertawa. ”Ya beginilah tiap harinya, dok, banyak tanya,” katanya. Aku sekali lagi menginjak kakinya hingga dia meringis.
”Ya saya kan cuman pengen tau, dok. Kok pake CT scan? Setau saya kan CT scan itu untuk yang punya masalah dengan kepala atau otaknya,” kataku. Aku terus memburu dokter yang masih tetap tenang itu.
”Ada gerakan aneh dalam kepalamu. Semua kemungkinan bisa terjadi. Karnanya lebih aman kita CT scan saja,” jawabnya tetap tenang.
Aku tidak terima. Kok bisa kudu CT scan? Aneh...
”Besok, jam 8 serahkan ini pada petugas. Usahakan ada yang menunggui saat CT scan. Jika memang anda tidak bisa menemani, maka carikan sodara atau teman untuk menemaninya,” pesan dokter. ”Kalo melihat saya dari tadi diburu dengan banyak pertanyaan begini, saya khawatir nanti suster kewalahan menCT scan karna harus menjawab banyak sekali pertanyaan sebelumnya,” kelakar dokter  Hadi. Aku turut tertawa.
Aku berkesempatan menikmati dunia luar rumahku lagi saat ini. Aku kembali bisa memaksa ’Nda Raya mampir kemana-mana. Aku kembali bisa membuat ’Nda Raya menuruti keinginanku meskipun setelah bersitegang.
”Ini tempat terakhir,” katanya ”Setelah ini pulang!
Aku hanya tertawa dengan ancamannya itu. Gak takut wek!
Menjelang pukul sembilan malam aku dan ’Nda Raya sampai di rumah. Entah sudah berapa kali tadi ibu menelponku atau ’Nda Raya. Sekarang demi melihat kedatangan kami, ibu segera beranjak cepat. Kemudian bisa ditebak, ibu mulai mengeluarkan banyak sekali kalimat yang menyudutkanku dan ’Nda Raya. Istilahnya ibu marah padaku dan ’Nda Raya.
Sesekali aku melirik ’Nda Raya. Aku dan ’Nda Raya sudah memprediksi kemarahan ibu. Tidak lama, karna setelah itu aku dan ’Nda Raya pamit masuk kamar dan ibu pun istirahat di kamarnya.
Tidak banyak obrolan yang tercipta, aku dan ’Nda Raya sudah sama-sama lelah. Apalagi aku. Ya resikoku meminta jalan-jalan adalah aku harus siap lelah dan merasakan tulang ngilu ditambah sesak di dadaku. Kembali melintas pertanyaan, sejak kapan sebenarnya aku sakit? Hhff... aku tidak tau!
Tadi aku mimisan lagi. Saat hendak cuci muka. Aku bersyukur tidak pernah mimisan di depan ibu atau ’Nda Raya. Kali ini mimisanku agak banyak. Mungkin karena aku juga terlalu lelah. Setelah kubersihkan aku kembali ke kamarku dan menemui ’Nda Raya telah lelap.
Di bantalku: segera tidur, bintangku, besok kamu harus berjuang lagi. Lov u!
****
”Aku biar sama ibu saja, Nda... ’Nda Raya pergi ke kantor saja. Key?
Dia menatapku. Kemudian dedek. Dan akhirnya menggeleng.
”Yah...
”Aku harus antar sendiri. Aku bisa ijin ke kantor buat datang telat. Kalo jadwal scanmu jam delapan, sekitar jam sepuluh aku sudah bisa balek kantor. Iya kan? Dari pada pikiranku malah tidak tenang di kantor, lebih baik aku ijin dulu baru ngantor.
Aku pasrah. ”Huu... Dasar ngeyelan!,” kataku.
”Tapi sayang kan...
”Sayang apaan? Yang ada juga ’Nda Raya yang sayang aku, wek!
Dia tertawa. ”Kapan cintaku ini akan diterima ya? Tapi kalo cintaku tidak diterima kenapa mau punya anak dariku ya? Tanpa paksaan lagi...
Kugetok kepalanya. ”Syukurin!
Kok rasanya sudah lama ya aku tidak bercanda seperti ini dengan ’Nda Raya. Sudah lama juga kurasakan rambutku tidak diacak-acak ’Nda Raya. Atau tiba-tiba dia cubit pipiku, lenganku atau apa saja yang bisa dicubitnya saat kalah argumen denganku. Kok rasanya memang sudah sangat lama aku kehilangan momen bercanda dengannya ya?
Ya Allah... abadikan kami!
Jam delapan tepat ’Nda Raya mendaftarkan aku ke petugas CT. Aku disuruh menunggu di ruang tunggu bersama ibu. ’Nda Raya terlihat berbincang dengan petugas. Sesekali wajahnya cemas, kemudian tersenyum. Petugas membaca semua arsip yang ada di dalam amplop yang diberikan dokter Hadi. Kemudian menulis-nulis di atas buku dan menyalinnya juga pada selembar kertas dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam amplop.
Dan aku akhirnya di sini. Di ruangan CT scan.
Disini dingin. Atau mungkin ini hanya perasaanku. Entahlah. Tapi aku merasakan dingin itu. Seorang suster membimbingku menuju ruangan khusus dan memberikan beberapa instruksi. Aku mendengarkan sambil pikiranku masih saja merasakan kejanggalan alasanku berapa di tempat ini. ’Nda Raya masih tetap di sampingku, mencoba menguatkan dan meyakinkanku bahwa ini semua demi kebaikanku. Aku tau itu, tapi untuk apa?
”Apa tidak cukup alasan semua ini demi kebaikan abid?,” katanya. Tangannya membenahi pakaian yang akan kupakai. ”Tenangkan dirimu. Banyak istighfar. Tidak akan ada apa-apa,” katanya lagi.
Suster memanggilku mendekat. Aku pun mendekat.
”Tenang ya, mbak... Kalo mbak tidak yakin dan belum tenang, kami dapat membantu dengan memberikan suntikan,” katanya. Aku melirik ’Nda Raya. Dia mengacungkan dua jempol terbaiknya.
Bismillah....
”Jangan tinggalkan aku,” kataku pada ’Nda Raya.
”Selalu!,” jawabnya sambil menciumku sebelum berbaring disini.
Perlahan aku mulai memasuki lorong, ah... entah apa namanya lorong CT scan ini. Kunamakan lorong saja lah... dan kemudian beberapa proses terjadi di dalamnya. Sesekali aku tersenyum karna ternyata tidak ada apa-apa disini.
Dan hanya sebentar.
Kemudian aku sudah kembali bersama ’Nda Raya. Juga ibu. Aku tertawa pada ibu dan kukatakan aku menertawakan ketakutanku tadi. Ternyata di dalam tidak ada apa-apa. Ibu turut tertawa meski dipaksakan.
’Nda Raya kemana?
Owh, tentu saja dia harus mengurus beberapa keperluan pasca ini. Aku akan menunggunya disini bersama ibu. Aku ingin makan di kantin rumah sakit ini sebelum ’Nda Raya kembali ke kantor.
Karna aku cinta, karna aku ingin[1].
***
Aku memang tidak pernah tahu hasil CT Scan itu. Karena kata ’Nda Raya hasilnya masih disimpan dokter. Tapi bahkan sejak seminggu setelahnya tetap saja jawaban ’Nda Raya sama. Apa ya mungkin seperti itu?
Biasanya hasil-hasil seperti itu kan segera diberitaukan secara gamblang. Bukan ditutup-tutupi seperti ini. Memang aneh suami dan ibuku ini. Tiap kali kutanyakan mana hasil CT Scan itu, pasti bilangnya dikasih tau juga paling gak bisa bacanya kan? Atau kadang memang abid butuh buat apa? Kubilang aku pengen tau hasilnya, ’Nda Raya selalu cepat menjawab kalau hasilnya baik dan aku dinyatakan sehat. Tapi kudu tetap jaga kesehatan terus.
Aku malas sudah kini memikirkan tentang CT Scan itu. Aku malas terus dikelabui oleh ’Nda Raya dan ibu. Kerap kali mereka ngobrol tapi tiba-tiba ganti topik begitu aku datang. Aku benci diperlalukan anak-anak begini!
Akan kutanyakan Tuhanku : ada apa sebenarnya dengan kepalaku?
Huh!
***
’Nda Raya terlihat murung. Tapi selalu saja kemudian berubah manis lagi saat di depanku.
”Nda Raya kenapa siy, kok kayak murung?
”Gak ada. Pusing saja niy, ada beberapa laporan yang gak bisa kuselesaiakn dengan cepat. Gara-garanya aku salah menulis angka dan aku sekarang bingung salah angka itu dimana.
”Owh... tapi bener begitu?
”Iya, bener.
Aku berlalu. Meninggalkan ’Nda Raya dengan pekerjaannya. Dedek mulai agak banyak tingkah, jadi aku juga harus lebih sering bersandar agar lebih kuat. Ibu kulihat di depan sedang membeli sayuran.
”Ndaaa...,” teriakku.
”Iyaa,” sahutnya. Aku masih tetap di depan dan dia di tengah.
”Jalan-jalan yok... kan hari minggu. Mumpung libur,” kataku lagi.
Tak ada sahutan. ”Ndaaa...
”Banyak kerjaan, bid.. Kapan-kapan saja ya?,” jawabnya.
”Kapannya itu kapan? ’Nda Raya selalu bilang sibuk tiap kali aku ajak keluar. ’Nda Raya selalu bilang kapan-kapan. Memang enak dijanji-janji terus?,” kataku. ”Aku ini sehat, ’Nda... Aku tidak sakit. ’Nda Raya saja yang membuatku seperti pesakitan. Coba kalo ’Nda Raya memperlakukan aku seperti orang sehat. Pasti aku juga sehat dan kuat,” kurasakan jantungku berdegub lebih keras. Emosiku begitu bermain saat ini.
Aku mencoba mengucapkan apapun untuk meminta ketenangan. Hhh...
”Sejak kapan siy aku sakit. ’Nda? Kenapa selalu saja ’Nda Raya memperlakukan aku begini? Tidak boleh sering keluar rumah, tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh mikir berat, tidak boleh ini tidak boleh itu. Aku bosan,’Nda, di rumah terus. Tiap kali kita ke dokter juga ’Nda Raya juga selalu bersegera mengajak aku pulang. Mana ’Nda Raya yang janji akan membuatku nyaman dengan sakitku.
’Nda Raya diam tak menyahut apapun. Bahkan saat aku dengan sengaja menaruh buku dengan kasar dia juga tidak beranjak ke tempat dudukku. Aku jengkel. Kembali aku mengeluarkan luapanku.
”Aku tuh juga pengen ’Nda, bisa jalan keluar kayak ibu hamil lainnya itu. Jalan-jalan ke taman trus liat bunga-bunga dan makan di sana. Kalo memang siang tidak boleh keluar, ’Nda Raya kan bisa ajak aku pas malam. Atau kalo memang ’Nda Raya terlalu sibuk dengan kerjaan ’Nda Raya, kan bisa juga ’Nda Raya kasih ijin aku jalan-jalan sendiri. Aku berani kok jalan-jalan sendiri.
Aku benci dengan diam ’Nda Raya. Aku tidak tau apa yang dipikirkannya saat ini hingga dia sama sekali tidak beranjak menemuiku.
Ada yang merembes kembali dari hidungku. Ya Allah...
Kuseka darah itu dengan punggung tanganku. Kutengadahkan wajahku berharap darahnya mau berhenti. Aku agak panik dengan keadaan ini. Selama ini aku selalu sukses menyembunyikan darah-darah yang keluar dari hidungku ini. Dan kali ini aku tidak tau lagi bagaimana aku bisa menyembunyikannya.
Suasana masih senyap.
Kembali kussusut hidungku dengan tanganku. Merah. Anyir. Aku sudah tidak bergidik lagi dengan darah-darah ini. Aku sudah biasa dengan darah yang keluar ini. Kenapa tidak berhenti darahnya? Kucoba lebih tenang. Tapi tetep saja tidak ada perubahan.
Tidak ada pilihan lain.
”Kenapa, bid?,” ’Nda Raya berlari mengekoriku saat aku setengah berlari menuju kemar mandi. Aku tak sempat menyahut. Segera saja kututup pintu kamar mandi.
”Ada apa, bid? Buka pintunya,” seru ’Nda Raya. Ibuku aku yakin sudah ada di dekatnya, karna aku mendengar suaranya bertanya pada ’Nda Raya.
”Gak papa...,” sahutku.
”Biddd...
”Hanya mual, ’Nda...
”Tapi jadwalmu mual itu sudah berlalu, bid...
Aku menyembul kembali dengan senyum. ”Gak papa, hanya mual kecil.
”Kamu bohong. Iya kan?
Aku menggeleng. ’Nda Raya menatapku. Aku mencoba beranjak tapi ditahannya. Ibuku di belakangnya.
”Abid bohong kan?,” tanyanya lagi. Aku kembali menggeleng. Dan ibu memilih berlalu. Mungkin membiarkan kami menyelesaikan masalah ini.
”Untuk apa siy abid bohong? Sudah berapa sering abid mimisan? Sudah sejak kapan abid mimisan begini? Kenapa abid selalu bilang tidak pernah mimisan?,” tanyanya beruntun.
”Karna aku memang tidak mimisan, ’Nda... kok maksa banget aku mimisan siy? Memang aku sakit apa sampek kudu mimisan segala, ha?
’Nda Raya mengikuti langkahku.
”Dokter bilang kamu pasti bohong tentang mimisan itu. Dok...
”Nda Raya lebih percaya dokter? Ya sudah, kalo gitu jangan pernah dengarkan aku. Sudah kan?,” kurasakan dadaku mulai sesak. Degub di jantung juga mulai terasa tak beraturan.
Aku kembali ke tampat dudukku semula. Pasti ’Nda Raya mengetahui mimisanku dari tetesan darah di kerah bajuku. ’Nda Raya mendekati dan  memegang tanganku. Mencoba membuatku lebih tenang mungkin. Atau mencoba membuatku bicara.
”Bidd...
Aku diam. Tak ingin menyahuti apapun. Tak ingin turut dalam pembicaraan ’Nda Raya yang kurasakan sangat membebaniku ini. Biar saja dia bicara terus dan bertanya terus, aku malas menyahutinya.
”Bid, bukankah kita sudah sama-sama janji akan mencoba menjaga dedek? Aku juga berjanji akan mencoba menjaga abid dengan baik. Sekarang aku menagih janji abid untuk jujur tentang kesehatan abid.
”Aku tau abid sering mimisan. Tapi abid diam. Iya kan? Abid gak pengen aku dan ibu tau. Biar abid bisa terus dianggap sehat. Bahkan mungkin sekarang tiap hari abid mimisan, iya kan? Abid bisa bohongi aku, ibu. Tapi abid tidak bisa bohong pada hasil kesehatan abid.
Aku masih diam sekarang.
”Aku menunggu saat abid mau jujur. Aku juga mencari jalan untuk bisa buat abid jujur. Tapi dua-duanya gagal, dan aku juga tidak bisa memaksa abid jujur karna aku takut abid akan tertekan dan tidak nyaman. Abid, semua sayang abid. Kesehatan abid yang utama sekarang. Yang bisa buat dedek lahir dengan sempurna juga abid. Bukan aku atau ibu.
Kurasakan tanganku mulai basah. Aku mulai takut. Aku tak berani memandang ’Nda Raya. Apalagi menatapnya, aku sangat tidak berani. Aku hanya menumpukan pandanganku pada lantai rumah atau kemudian kubuang pandangan sejauh-jauhnya keluar. Menghindari tatapan matanya itu. Aku takut aku tidak bisa menyembunyikan kebohonganku lagi.
”Maafkan aku ya,” ujar ’Nda Raya akhirnya setelah sekian lama aku hanya diam. ”Aku akan menjagamu bagaimanapun caranya.
Dia diam di sampingku. Tanpa melihat ke arahku sama sekali. Wajahnya memang terlihat kembali agak tirus. Pandangan matanya semakin khawatir saja. Aku lebih menyukai matanya yang berbinar.
Aku mulai menangis. Kuraih lengan yang tak lagi kekar itu. Kemudian kulabuhkan kepalaku di pundak yang juga tak lagi kekar itu. Aku tak bisa lagi menahan sedu sedannya perasaanku yang entah sudah seperti apa.
Maka kupeluk lelakiku erat. Aku menangis dengan sangat kuat. Aku meluapkan semua emosi yang selama ini belum mampu kukeluarkan.
”Aku benci sakit ini. Aku benci hanya merepotkan ’Nda Raya dan ibu. Aku benci dengan sakit di kepalaku. Aku benci dengan jantungku yang tidak sehat. Aku benci dengan mimisanku. Aku benci dengan nasehat-nasehat dokter. Aku benci dengan ’Nda Raya yang tidak kasih ijin aku keluar.
’Nda Raya kurasakan mengelus kepalaku. Aku tau berat baginya melihat aku seperti ini. Tapi saat ini aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan kekhawatiirannya.
”Aku tersiksa, ’Nda... aku gak suka begini. Aku benci...,” semakin erat kupeluk lelakiku. ”Jangan bawa aku ke rumah sakit lagi...
Aku menangis dengan jujur. Aku tak peduli dengan air mataku yang kini sudah bercampur dengan darah dari hidungku. Aku tak peduli dengan jantungku yang semakin teraniaya. Aku tak peduli dengan baju ’Nda Raya yang basah dengan airmata dan darah. Aku tak peduli dengan ketidak tahuan ’Nda Raya dengan darahku saat ini.
Aku hanya ingin menangis. Aku ingin benar-benar terlihat lemah saat ini. Aku ingin ibu dan ’Nda Raya tau kelelahanku menjadi pesakitan. Aku benci!
Sayup kudengar ibuku berteriak panik. Sayup sekali. Dan kurasakan ’Nda Raya melepaskanku dari pelukannya. Aku lemah. Masih sayup kudengar ibu semakin panik. Samar kulihat ’Nda Raya membersihkan wajahku dengan bajunya. Mataku sangat sulit kubuka. Aku semakin lemah. Suara ibu dan ’Nda Raya makin kurasakan samar dan sayup di telingaku.
Apakah aku akan mati hari ini?
Apakah cinta,
selalu menyediakan airmata?[2]
**---**
 
Aku kembali disini. Di rumah sakit ini.
Kabel dan selang kembali menghiasi tubuhku. Kembali selang infus itu memasuki celah-celah arteriku. Aku benci!
Seumur-umur baru kali ini aku ditemui ayah dalam tidurku. Ayahku yang hanya dapat kutemui dalam foto usang ibu dan mbah utiku. Tapi kali ini ayah nyata datang dalam tidurku. Menemani aku selama terbaring di ranjang sakit ini.
Awalnya aku takut. Tapi ayah menenangkanku. Ayah hanya ingin menemani, katanya. Dan aku pun diam. Tak bisa menikmati adanya ayah tapi juga tak bisa menolak hadirnya ayah. Aku kadang juga merasakan memanggil namanya dalam lelapku. Entahlah, kenapa ayah selalu disini.
Dua hari penuh aku tak bangun dari tidurku. ’Nda Raya makin kuyu saat pertama kali aku melihatnya saat terbangun dari lelapku yang panjang. Dia tersenyum dan juga menangis. Berulang kali mengucapkan syukur dan menciumi tanganku. Keluarga besarku sudah berkumpul. Ibuku, ibu mertua, bapak dan adek ’Nda Raya.
”Ayah mana?,” tanyaku saat tidak kudapati ayah di sana.
Semua menatapku heran. Aku kembali bertanya dan sekian kalinya mereka menatapku dengan jawaban yang tidak tersampaikan.
”Bapak disini, nduk....
”Aayyahh... Bukhan bapakh,” kataku lagi. Selang di hidungku menghalangi aku berbicara dengan jelas. Ibu kulihat menangis. Dan ibu mertuaku menenangkan ibuku.
’Nda Raya hanya memandangku tanpa kata. Matanya tetap saja kulihat sangat lelah dan penuh. Kucoba untuk menggenggam tangannya, tapi rasanya genggamanku mengambang saja.
”Abid istirahat saja. Semua akan menjaga abid,” katanya.
Aku tersenyum. Ayahku sudah tak ada disini bersama kami. Entah kenapa ayah malah pergi saat aku terbangun. Mungkin ayah merasa aku sudah cukup punya teman sekarang, jadi ayah memilih pergi. Kembali ke dunianya.
Tapi apakah itu ayah?
Ayah menciumku kemaren. Tanpa kata apapun. Hanya ada senyum. Kemudian terus dan terus berada di dekatku. Aku pun tak punya banyak kata untuk ayah. Karna aku juga merasa asing dengan sosoknya yang tak kutemui saat aku terlahir di dunia. Sesekali ayah membelai rambutku dan meninabobokkan aku lebih lelap. Ayah merapikan selimut yang kupakai.
”Ayah, apakah ayah mencintai ibu,” tanyaku pada ayah. Ayah hanya tersenyum. Kembali membelai kepalaku.
”Hanya ibumu yang ayah tunggu saat ini. Ibumu dan kamu. Tidak ada yang lain,” jawabnya. Aku tersenyum. Kemudian ayah bercerita tentang banyak hal. Aku sesekali tertawa. Dalam tidurku aku mengenal ayahku lebih dekat. Ayah juga menyuapiku dengan bubur. Ayah juga yang menggendongku ke kamar mandi. Ayah juga yang merapikan selimutku selalu. Kemudian ayah juga yang menemani tidurku.
Tapi kemana ayah saat aku terbangun. Apakah itu ayah? Ataukah ayah hanya berusaha mendekatkan dirinya padaku saat aku tak sadar? Ataukah ayah ingin mengajakku serta dengannya? Apakah aku bermimpi?
Dan di hari ke empat aku disini, selang di hidungku mulai dilepas. Beberapa kabel di tubuhku juga turut dilepas. Dokter bilang aku sudah lebih baik. Hanya kini tinggal kabel yang ada di kepalaku. Dan di kepala itu pula satu sakitku yang tak pernah kutau. Karna memang ’Nda Raya juga ibu dan doketr tidak pernah memberitaukanku. Meski aku yakin memang di dalam kepalaku ada sesuatu yang menyakitkan.
Kulihat ’Nda Raya pagi ini. Masih sangat pagi. Mungkin belum subuh. ’Nda Raya lelap di dekatku. Kelelahan sangat terlihat di wajahnya. Aku sangat ingin menyeka wajahnya yang lelah, kemudian membuatnya lebih nyaman. Aku menangisi keadaanku saat ini. Berulang kali ku coba lebih tenang karna aku tau semakin aku emosional, jantungku akan semakin berprotes padaku. Aku menangis dengan yang terjadi. Bukan lagi karna aku berprotes, tapi aku sangat takut.
Aku menangis benar kini. Makin lama makin menangis. Kurasakan dedek juga meningkahi tangisku. Dan membuatku makin menangis. ’Nda Raya masih mengijinkan dedek tetap berada di sini sampai sekarang. Meskipun artinya memang benar-benar saat ’Nda Raya kehilanganku, maka dia juga akan kehilangan dedek.
Kehilanganku? Apakah aku akan mati?
Aku kembali teringat ayah. Ayah berkata ’Nda Raya telah mati-matian mempertahan dedek saat aku tertidur. Dia harus menerima berbagai macam kalimat pedas dari dokter karena keinginannya mempertahankan dedek. Ayah bilang ’Nda Raya berkata kalo dia kehilangan dedek, pasti dia juga akan kehilangan aku karna aku pasti tidak akan bertahan dalam kekagetanku atas hilangnya dedek.
”Abid kenapa? Bid... abid...
Aku hanya memandangnya, kemudian kembali menangis. ’Nda Raya menenangkanku dengan segala cara.
”Bid... bid, sudah ya. Aku akan disini terus. Aku tidak akan meninggalkan abid sebentar pun. Sekarang abid tenang. Ya?,” katanya.
Lemah sekali kupanggil namanya.
”Maafkan aku,” kataku. Dia tersenyum. Mata itu...
”Iya, sudah dimaafkan. Tidak ada yang salah kok. Abid tenang ya!
Aku tidak tidur lagi setelah itu. Kembali ’Nda Raya membantuku berwudlu. Dan aku kembali merasakan betapa rapuhnya aku.
”Akan lebih baik jika anda berterus terang pada istri anda tentang kepalanya. Itu akan membuatnya lebih nyaman dan mampu mengendalikan diri. Jangan bebani pikiran anda dengan kekhawatiran. Buktinya istri anda sendiri kan yang kerap kali memaksa anda untuk mmeberitahukan ada apa sebenarnya di kepalanya. Jadi saran saya, berterus teranglah segera. Saya yakin itu sangat membantu proses penyembuhannya.
Kalimat-kalimat itu kudengar saat dokter Hadi memeriksaku. Aku awalnya memang terlelap, tapi saat ada aliran obat yang disuntikkan aku terbangun. Namun keputusanku aadalah tetap pura-pura terlelap.
Kembali aku teringat mimpiku tentang ’Nda Raya. Juga kehadiran ayah yang terus menerus dalam tidurku.
Hff... kupukir ’Nda Rayalah yang akan meninggalkan aku entah kemana. Tangisku yang sangat membuat aku semakin yakin ’Nda Raya akan meninggalkan aku dalam jarak yang sangat jauh dan waktu yang sangat lama. Aku merasakan takut dengan mimpi itu bukan hanya sekali ini. Apalagi mimpi itu terjadi berulang kali.
Tapi dengan hadirnya ayah, apakah aku masih bisa berpikir Nda Rayalah yang akan meninggalkanku? Dengan sakitku ini, sangat mungkin akulah yang lebih dulu meninggalkan dunia ini. Aku semakin takut dengan keadaaanku. Aku merasakan sangat takut dengan mimpi-mimpi itu. Berulang kali tetap saja mimpi itu datang dengan tema sama. ’Nda Raya berpamitan dan berpesan supaya aku baik-baik saja. Arrggghhhh... aku benci!
Sayup masih kudengar ’Nda Raya berbicang dengan ibu dan bapakku. Beberapa kali dia mengkhawatirkan kondisiku yang mungkin akan semakin memburuk saat mengetahui penyakitku sebenarnya. Aku menunggu kapan saat mereka akan menyebut apa sakitku. Tapi mereka seperti mengerti aku penasaran dan makin dibuat penasaranlah aku. Ah!
Jadi sebenarnya aku berfirasat untuk siapa? Aku sendiri atau lelakiku?
***
”Ra, lihat siapa yang datang!,” ibuku bergerak membuka pintu kamar rawatku. Pukul 16.25.
Dua wajah kemudian muncul. Dengan seorang anak kecil.
Aku menangis. Kuangkat dua tanganku sedikit sebagai tanda aku sangat ingin memeluk dan dipeluknya. Lama kami berpelukan. Tak ada kata yang keluar. Aku hanya menangis. Begitu pun dia.
Pri, Reno dan anaknya. Mereka memutuskan menjadi pasangan hidup.
Pri mengusap air mataku. Hanya dia yang tidak berpura-pura bahagia di dekatku. Hanya dia yang dengan terus terang menangis di depanku.
”Kamu kenapa, Ra,” tanyanya.
Aku hanya tersenyum. ”Sakit,” jawabku.
”Aku tak suka kamu sakit begini,” katanya. Kini kembali dia memelukku dan menangis lebih kuat. Reno menepuki pundaknya. ”Aku benci melihatmu sakit, Ra.
Aku mengangguk dalam pelukannya. Semua orang menangis kini. Aku tau mereka sudah sangat lama menahan air mata itu keluar di depanku. Tapi kini tidak ada yang bisa menahannya. Semua menangis. Karna aku. Untukku.
”Mana Raya?,” tanya Reno.
”Lagi nebus resep, Ren. Paling juga setengah jam lagi balek,” terang ibuku. ”Eh, kalian sudah kenalan belom. Ini ibu bapakku Raya, itu adeknya yang terkecil,” Reno dan Pri segera menyalami kedua orang tuaku.
”Reno dan Pri ini teman Aura sejak TK, jeng. Mereka ini dulu bandel semua. Eh... ternyata, malah Pri dan Reno berjodoh. Entah apa karna memang saking seringnya bersama trus malas cari yang baru, atau memang sebenarnya diam-diam mereka sudah saling cinta.
Sekarang tangis itu berganti dengan tawa. Semua tertawa.
”Daripada Aura, bu’, kudu jauh-jauh dulu buat ketemu Raya. Kan enak kami deket dan irit ongkos,” Pri tak mau kalah.
Aku tertawa. ”Biar jauh tapi kan kwalitasnya lebih prima,” jawabku.
Pri dan Reno tertawa. ”Prima ya?,” godanya. Aku tertawa juga kini. Lebih lepas dari tawaku selama aku dinyatakan sakit.
”Prima juga gak jadi menikah dengan pacarnya kok, Ra. Dia menanyakan kamu dimana sekarang. Ya kubilang saja kamu sudah nikah dengan lelaki Jogja. Sekarang ikut dengan suaminya. Gitu...
Aku rindu kampungku. Rindu pinggir sungaiku.
”Siapa nama anakmu? Kok gak kayak kalian siy?,” tanyaku kemudian. Pri dan Reno mulai mencibir kalimatku.
”Apa? Kamu mau bilang anakku lebih cakep dari aku dan Reno kan? Ato mau bilang kok bisa anak sekeren ini lahir dari ibu bapak yang peyok[1] kan? dasar kamu, gak ada matinya saja gilamu itu,” sahut Reno.
Aku tertawa. Aku benar-benar seperti lepas dalam bahagia ini. Sudah berapa lama ya aku tidak tertawa selepas ini.
”Tapi karena aku orang baik, maka aku tetap doakan semoga anakmu menjadi anak yang sholeh seperti ayahnya. Jangan kayak ibunya yang suka mencela ini,” ujar Pri sambil memegang perutku.
”Gak sopan kamu membuka aibku di depan anakku. Kuwalat nanti kamu,” ujarku. Mataku kubuat sedikit melotot.
”Iya, mbahh... Maaf, tadi sengaja. Hahaha,” jawab Pri lagi.
Kenapa ’Nda Raya lama sekali? Harusnya ’Nda Raya turut dalam tawaku saat ini. Pasti dia sudah sangat lama juga tidak tertawa selepas tawaku sekarang. Aku ingin berbagi tawa ini dengannya juga. Lelakiku...
”Nda Raya kok lama ya, bu?
”Mungkin masih di jalan, nduk... Biar ditelpon adekmu,” jawab ibu mertuaku. Sebentar kemudian adekku sudah keluar ruangan menelpon HP ’Nda Raya.
Bapakku terkantuk-kantuk di kursi tunggu. Pasti beliau juga sangat lelah. Aku benar-benar merepotkan banyak orang dengan sakitku.
”Minggu depan aku akan keluar dari sini. Aku tidak ingin semua orang kurang tidur karena aku,” kataku sambil tertawa. ”Ibuku sampai bengkak gitu matanya pasti gara-gara nangisin aku. Bapakku lihat saja sampek terkantuk-kantuk gitu. Apalagi ayahku, pasti angat lelah sampai beliau tidak kembali menjagaku saat aku bangun.
”Ayahmu? Ra?
”Iya, ayahku. Ayah menemaniku selama aku terlelap. Tapi saat aku bangun ayah sudah tidak ada lagi,” jawabku yakin.
”Ra?
”Iya iya, kalian pasti gak percaya. Ya mungkin itu hanya halusinasiku atau mungkin jin atau bisa jadi firasat. Ayah benar-benar menjagaku kemaren pas awal-awal aku sakit. Sumpah aku gak bohong,” kataku lagi. ”Mungkin ayah ingin memberitahukan sesuatu tapi aku gak paham apa itu. Bisa jadi ayah menjadi firasat perpisahan atau apalah...
”Ngomong apa kamu?!
”Sudah gak usah diteruskan. Ngobrolin yang lain saja,” usul ibuku.
”Gak ada yang mau dengarkan ceritaku tentang ayah,” kataku. Ada perasaan sakit di dadaku.
”Bukan tidak mau, Ra... Tapi ...
”Karna semua takut kalo ceritaku itu adalah firasat? Begitu kan?
”Nduk, nduk... sudah. Nanti kamu pingsan lagi,” potong mertuaku. Aku merengut. Kemudian manyun dengan sempurna.
”Mas Raya sudah di depan kok, tadi dia kesasar katanya,” kabar itu membuatku lebih tenang sekarang. Paling gak aku tau ’Nda Raya sudah dekat sekarang.
”Tebak, kayak apa lelakiku itu sekarang?,” tanyaku pada Reno dan Pri. Mereka mulai mencibirku. ”Bilang saja kamu mau ngolok aku lebih jelek dari Raya,” sahut Reno.
Aku tertawa. Tapi embun di mataku tidak bisa bersembunyi lagi. ”Dia kurus lagi seperti dulu pas awal nikah,” kataku.
”Kok bisa? Pasti tiap hari kamu saja yang habisin makanan di rumah. Kemudian kamu suruh-suruh dia bersihkan kamar mandi. Trus juga kamu masih suka gigit dan nyubit dia sampek lebam,” kata Pri membuyarkan embun di mataku.
Hahahaha. Kurang ajar kamu, Pri! Awas kubilang ’Nda Raya biar dikemplang. Sadis bener tuduhanmu, TMB[2]!,” kataku.
”Hayah! Masih ingat TMB tho? Kalo kamu dibela Raya, aku yang akan bela istriku,” sahut Reno. Tawa itu kembali berderai.
Lelakiku datang.
Dengan beberapa kantong plastik di tangannya. Matanya... Lelah itu masih nyata di sana. Namun senyum itu menutupinya.
”Ketawa kok gak ngajak-ngajak,” komentarnya sambil meletakkan semua bawaannya di lemari rawatku.
”Apa saja itu, Nda?
”Obatmu dan beberapa keperluan bersama,” jawabnya.
”Capek?,” tanyaku. ’Nda Raya hanya memegang tanganku.
”Ya iyalahh... wong sudah jalan ke sana kemari sampek tersasar. Ditambah gak tidur dan gak dikasih makan istri kok masih tanya capek gak,” tiba-tiba Pri kembali dengan aksinya. Membuyarkan embun di mataku dan mata ’Nda Raya.
”Harusnya kamu gak tanya gitu, bego...
”Trus?
”Tanyakan pada Raya kemana saja tadi lama sekali. Trus kamu bilang kamu kangen. Trus kamu merajuk gitu...,” kusenggol tangan ’Nda Raya yang sedang membawa segelas air. Seketika itu air itu mengguyur sebagian tubuh Pri.
Aku tertawa. Aku menang. Aku bisa balas dendam.
”Abiddd...
”Dari tadi aku dibuat kalah-kalahan terus, ’Nda. Syukurin kamu!
Kembali tawa itu menggema. Aku benar-benar seperti lupa dengan kepalaku yang masih terasa berat. Juga ’Nda Raya. Dia seolah lupa selama ini telah begitu protektif menjagaku. Semua larut dalam tawa.
Dan lagi-lagi aku selalu tertidur tanpa doa. Pingsan.
”Kamu harus segera sehat. Anakmu butuh tenaga lebih darimu. Dia akan lahir nanti dan menjadi anak hebat, karna itu kamu harus sehat segera. Kamu gak bisa terus-terusan menggantungkan tenagamu pada Raya. Ijinkan dia istirahat juga, Ra...
Ayah datang lagi semalam. Saat aku tertidur tapi dengan doa. Dokter menyatakan aku sudah boleh pulang besok. Dokter bilang syaraf di kepalaku sudah mulai bisa berkompromi. Itu bahasaku, karna aku tak mengerti bahasa kedokteran mereka itu.
Sore tadi, di depan seluruh keluargaku, Pri dan Reno, dokter menjelaskan tentang sakitku yang sebenarnya. Tentang sesuatu di kepalaku. Tentang semua alasan kenapa aku tidak boleh keluar rumah terlalu jauh dan juga tidak boleh terlalu lelah dan banyak pikiran. Semua dijelaskan satu-satu. Aku mencoba mengerti dengan caraku sendiri. ’Nda raya di dekatku dan terus menggenggam tanganku. Mungkin dia takut aku kembali tidur tanpa doa. Tapi tidak, aku sudah sangat lama ingin tau sesuatu di kepalaku itu.
Virus.
Itulah satu nama yang disebut dokter. Kemudian dokter menjelaskan tentang banyak hal dengan bahasa-bahasa kedokteran yang aku sedikit sekali pahami. Secara aku lulusan ekonomi dan belum pernah belajar tentang kepala dan otak secara gamblang. Dokter juga memberitahukan aku beberapa foto scan yang sudah kulakukan. Menjelaskan beberapa gambar dari foto itu. Dan lagi-lagi aku tidak mengerti maksud beberapa istilahnya. Beberapa kali juga Pri atau Reno juga ibu bapakku menanyakan ulang penjelasannya. Hanya ’Nda Raya yang diam tanpa kata apapun. Karna aku tau dan yakin ’Nda Raya pasti sudah tau semua jauh sebelum ini.
Dan aku memandang lelakiku itu. Matanya masih menatap ke arah foto bagian dalam kepalaku. Kecemasan ada di wajahnya yang kembali tirus. Semoga aku bukan termasuk orang yang lalai berbakti padanya. Entah bagaimana aku bisa menghitung setianya dengan kelelahan menjagaku. Tapi apakah aku bisa menjaganya lebih lama? Dokter sering kali memperingatkanku untuk begini dan begitu. Dan juga dokter menjelaskan kepadaku resiko hidupku dengan sakitku ini adalah empat puluh-enam puluh. Apalagi ditambah jantungku yang melemah, juga tekanan darah yang sering tidak stabil dan juga dedek yang menuntut perhatianku juga. Dokter bilang aku harus bisa kerjasama untuk kebaikanku sendiri dan dedek. Dan bagiku, untuk ’Nda Rayaku+ juga.
Aku tidak ingin meninggalkannya. Aku ingin menjaganya. Selamanya...
Sekelebat kulihat ayah. Hanya sebentar saja. Dengan senyumnya yang kurasakan sangat nyata. Ayah mengepalkan tangannya dan berucap ”SEMANGAT!!”  padaku. Kemudian tersenyum. Dan pergi.
Dan saat ayah pergi, aku bisa mencium tangan lelakiku. Sempurna.
Apakah cinta
selalu menyediakan harapan[3]



[1] Jelek, rusak, reot
[2] TMB : Tiada Maaf Bagimu
[3] Abdurrahman Faiz : Pertanyaan Tentang  Cinta



[1] Izzatul Jannah
[2] Abd. Faiz : Pertanyaan Tentang  Cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar