Senin, 16 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 1)


Kubiarkan angin menghembuskan satu nama itu. Kubiarkan kaki rapuhku basah oleh ombak. Dan kubiarkan juga mataku menatap kosong berbagai macam lukisan alam di depan dengan liar.
            “Pulang, Abid…
            Kubiarkan pula satu suara dari dunia luarku. Suara lelakiku. Alam yang kuciptakan sendiri semakin membuatku nyaman menikmati tingkahan angin. Juga teriakan-teriakan hewan langit. Sepertinya yang ada dalam pikirku memang sejenak membiarkan saja tingkahan-tingkahan polah sekitarku.
            “’Nda…
            Akhirnya aku turut menjawab seru suara tadi. Mengucap dengan lirih satu nama yang erat kuat hidup dalam dadaku. Perlahan aku bangkit dan berjalan pulang. Di depan jelas terlihat kilau senja yang terbias dengan ombak yang merenang jelang hadirnya rembulan. Bibirku menyungging senyum seolah ada yang menunggu di depan pandang mataku.
            Dan benar… Memang begitu adanya. Aku pulang.

 ***---***
       
     Mataku masih tertutup saat sebuah sentuhan membangunkanku. Pukul 03.00, hari Senin, 26 April.
            Siapa siy?
            Tak urung mulutku kemudian menggerutu. Menarik kembali selimut dan menutupnya lebih ke atas. Tapi lagi, sentuhan itu kini mengarah ke tubuhku. Setelah sebelumnya tadi di kepalaku. Iihhh… apaan siy?
            Sekejab kemudian aku mencoba membalik badan. Masih dengan malas yang kupaksa hilang. Huh! Apa maunya pagi-pagi ganggu tidurku hah?!
            Dan… episode malu ini berlaku sekarang. Sesosok wajah sendu dan sangat dewasa berada di depanku. Dengan senyumnya. Dengan matanya yang sayu. Dengan keheningannya.
            Aku berbalik arah lagi. Malu. Kaget. Kututup kembali wajahku dengan selimut. Aku menangis. Tetap diam. Dan menangis lagi. Menangis lagi.
            Tangannya menyentuh kepalaku kini. Dan aku masih menangis. Aku mimpi!
            “Sssttt… kok malah nangis? Kenapa? Saya salah?
            Tangisku makin menjadi. Aku malu!
            “Dek… loh loh, kenapa kok malah nangis gini? Belum ingin bangun ya? Masih ngantuk? Kaget? Ato masih lelah?
            Aku belum juga menyahut. Malah makin menangis. Andai tidak malu, pasti aku akan menangis hua hua seperti Ridlo ponakanku.
            Kulihat kini dia memutar. Mencoba menemukan wajahku saat ini. Dia tak lagi duduk di belakangku. Tapi di depanku. Hingga dapat kulihat senyumnya dengan sangat sekarang. Masih tetap dengan wajah bingungnya. Masih dengan tatapnya yang, aahh… apa itu namanya.
            Kususut hidungku yang sudah penuh dengan air karena tangisku tadi. Perlahan kuberanikan diri menatapnya. Bukan menatapnya, tapi lebih “hanya” meliriknya. Dan dia masih disana, di depanku. Dengan tatapnya yang bingung.
            “Aku lupa…,” kataku dengan sangat polos. Dan jawabanku makin menambah kerut di wajahnya. Mungkin dia bertanya, maksud loe?
            “Aku lupa aku tidur berdua malam ini…
            Sllaaassshhh…
Meluncurlah ion-ion malu dari jetski yang kutahan dari tadi. Ion dari jetski? Apa hubungannya? Hah, gak penting hubungannya apa!
            Matanya kian kurasakan aneh melihatku. Aku makin tak berani menatapnya. Melihatnya saja aku takut. Dan pilihanku kembali menangis.
            “Eh eh… sudah. Kok malah nangis lagi? Jangan nangis lagi… gak papa kok lupa,” aku makin menangis lagi. “Eh bener, ukhti eh dek… beneran gak papa. Namanya juga lupa kan? Sudah ya nangisnya,” katanya menenangkan sekaligus meredam kebingungannya sendiri.
            Tangannya kembali memegang lenganku. Dia pun masih menunggu aku menatapnya. Dia masih menungguku berbicara.
            “Maafkan saya ya!
            Itulah kalimat ketiga yang keluar dariku. Kemudian aku turut memegang tangannya. Sekedar menguatkan kata maafku. Meski aku tahu lelaki itu masih juga bingung dengan keadaanku.
            Mataku masih basah. Dan hatiku semakin gerimis saat pagi itu kulihat dia lelap kembali. Di kamarku.
            “Tadi pagi lupa apa sebenarnya, dek?,” tiba-tiba saja dia bertanya dalam lelapnya. Matanya masih tertutup kenapa bisa bertanya ya. “Dari tadi pagi kutunggu jawaban itu lho… tapi tiap kali kutanya dan aku melihatmu, kamu gak jawab. Jadi kupikir kamu takut denganku,” ujarnya dengan senyum. Dan matanya benar-benar masih tertutup.
            Kegugupanku terselamatkan!
            “Gak ada kok…
            Dia kembali tersenyum. Senyum yang sama dengan senyum tadi pagi.
            “Tapi tadi pagi kok bilang maaf…
            Aku berbalik. Melihatnya masih dalam keadaan tersenyum dan menutup mata seperti itu semakin membuatku salah tingkah. Bahkan dia masih tetap memeluk gulingku!
“Buka matanya,” kataku. Suaraku kupasang keras.
            “Kalo aku buka mata, mau cerita gak?
            Duh! Aku menghitung jariku. Aura Putri Bashori – Raya Pratama Handoko. 16 hitungan. Cerita, gak. Cerita, gak. Cerita, gak. Cerita, gak… Gak!
            “Jangan dihitung pake jari. Istikharah saja dulu, aku sabar nunggu kok,” selorohnya kemudian.
            Entah kekuatan dari mana tiba-tiba aku menyerangnya. Hap!
            Auwww… Masya Allah!
            “Siapa suruh kayak gitu? Suka-suka dong aku mau pake jari, mau istikharah, mau pake tasbih. Suka-suka aku. Yang itung juga tangan aku sendiri. Gak minjem tanganmu!
            Meledaklah tawanya.
            Hahahaha. Ternyata oh ternyata…
            “Ternyata apa,” terjangku.
            “Ternyata istriku benar-benar lucu!
            “Gak denger!
            Masih saja dia tertawa. Dan tawa itu berhenti saat aku setengah berteriak kepadanya.
            “Aku tadi pagi lupa kemaren telah menjadi istrimu. Aku lupa aku tidak tidur sendiri lagi!
            Alisnya terangkat. “Iya kah?
            Aku mengangguk. Tapi kembali tak berani menatapnya.
            “Liat aku dong, dek…
            Aku menggeleng.
            “Ya udah kalo gitu aku yang liat kamu. Boleh gak?
            Aku ingin menangis. Lagi.
            “Eh eh gak papa kalo gak mau dilihat. Tapi jangan nangis lagi dong… dek, dek sudah dong… Aku grogi kalo liat orang nangis.
            Kuangkat wajahku. Inilah pertama kali aku menatap sosoknya secara sempurna. Masih ada air di mataku. Masih ada.
            Alisnya kembali terangkat. Senyum tipisnya menyusul.
            “Boleh gak aku minta sesuatu?,” kataku.
            Kembali alis tipi situ terangkat. Masih dengan senyumnya. Seolah berkata, everything honey… Ahh, glodhak!
            “Aku… aku mau di…
            Dia masih menunggu. Sesekali kembali kutatap dia. Kemudian menunduk lagi. Susah sekali mengeluarkan keinginanku ini. Huah… bismillah!
            “Mau di-apa, dek?
            Makin menggelosolah keberanianku karena pertanyaannya itu.
            “Hmm… hmm, tapi jangan ditertawakan.
            Dia mengangguk yakin.
            “Janji?!
            Dia mengangguk lagi.
            “Bilang janji, jangan ngangguk saja gitu…
            Dia tertawa. “Iya iya janji. Aku janji!
            “Janji apa?
            “Janji tidak tertawa. Gitu kan tadi janji yang diminta?
            Aku mengangguk. “Janji bener?
            “Iya dek… Masya Allah gak percaya banget tho? Aku janji!
            Kutarik nafasku. Dalam. Bismillah…
            “Aku mau di…,” kutarik nafasku lagi. What happened with me? “Aku mau dipeluk!
            Hff… Sudah keluar. Sudah keluar. Sudah keluar.
            Andai di kamarku ada ruangan khusus, pasti aku akan berlari ke sana. Aku akan bersembunyi di sana. Aku tidak akan keluar sebelum aku yakin wajahku tak lagi berwarna merah jingga.
            Arrggghh… Kenapa dia diam saja? Apakah aku terlalu berani meminta itu?
            “Aku sayang kamu, dek…
            Aku sudah di dadanya!
            Ya Allah… Aku di dadanya saat ini. Aku dapat mencium aroma tubuhnya saat ini. Aku bersentuhan kulit dengannya. Aku… aku…
            Aku kembali menangis. Kenapa aku cengeng begini?
            “Aku benar-benar sayang!
            Semakin erat pelukan itu. Kurasakan sebuah tetes halus merembes di atas kepalaku. Air. Pasti air dari mata teduhnya.
            “Ajari aku semua hal yang baik ya!,” kataku. Dia pun mengangguk.
Kemudian aku mengangguk dalam diamku. Aku kembali menunduk. Aku kembali terpekur. Aku kembali menertawakan diriku yang lupa dengan adanya dia pagi tadi. Aku tertawa dalam hati sekeras-kerasnya untuk kelucuanku tadi pagi. Dan aku juga merasa lucu dengan tatap matanya yang bingung dengan tangisanku tadi pagi.
Aku menemukannya dalam waktu yang sangat lama. Dalam petualangan hidupku yang sangat berwarna. Bisa dikatakan cinta bersemi dan bersemu saat aksi.  Ya meskipun seminya tidak terlalu menjadi pohon. Jadi benar-benar masih bersemi hingga saat aku dan dia memutuskan menjadikannya sebuah pohon. Pohon cinta.
Tidak ada awalan dari kisah pohon cintaku ini. Meskipun aku memang selalu percaya memang beginilah cara Tuhanku teragung men-setting jalan takdirku. Juga takdirnya. Aku dan dia adalah teman. Dan akhirnya juga berteman dalam takdir mitsaqon ghalidho.
Aura Putri Bashori – Raya Pratama Handoko
Nama itu telah tertuliskan ribuan tahun bahkan abad sebelum aku menjadi sesuatu seperti saat ini. Sama seperti Adam dan Hawa yang telah terlebih dahulu dibuatkan skenario kehidupan oleh Allah. Skenario yang akhirnya menjadi takdir dan sejarah abadi bagi bumi.
Inilah hari pertama aku menjadi seorang bidadari.
“Ternyata grogi juga ya,” katanya selepas sarapan. Aku hanya mengangkat alis. Maksudnya? Tanya itu hanya tersuarakan dalam hatiku.
“Ya grogi juga… biasanya aku lihat kamu itu orang yang sangat ceriwis. Tidak bisa berhenti. Tidak ada capeknya cerita. Kalo kukatakan mungkin kamu itu pake batrei yang mahal itu. Yang kata iklan “kagak ada matinye!”
Dia tertawa. Tertahan. Kemudian menunduk saat sadar tak ada tawa juga dariku. Terdengar deheman halusnya.
“Pliss… jangan bilang ini sedang persiapan ngambek. Ato seperti tadi pagi. Tiba-tiba menggigit. Atoo…
Dia diam. Melihatku tak bereaksi membuatnya salting juga. Aku menang!
Aku beranjak ke arahnya. Aku tahu dia bersiap dengan seranganku yang dia pun tidak tau itu apa. Tarikan nafasnya halus. Suasana sedemikian tegang atasnya. Tidak atasku. Aku santai. Karna aku yang memegang kendali saat ini.
Dengan masih diam, kurapikan piring bekas sarapannya. Kuangkat dari depannya. dia masih saja mencoba bersiap dengan reaksiku. Ho ho… aku menang! Aku membuatnya salting. Aku menang!
“Dek?
Aku mengangkat alis. Kemudian mengerutkannya.
“Tidak sedang ngambek kan?
Bibirku mulai mengerucut. Piring masih di tanganku. Aku di depannya.
“Dek?,” tanyanya lagi. Salting pol euy!
Aku masih diam. Piring juga masih di tanganku.
“Hhh…,” kutarik nafasku. Aku seolah membawa kabel penentu bom waktu. Aku sangat menikmati saltingnya saat ini. “Aku sayang ‘Nda Raya!
Lelakiku sayang melongo. Terlebih saat aku mengucapkan itu sambil mencium pipi tirusnya. Masih saja dia melongo hingga saat kutinggalkan ke dapur.
“Awas ya… Pasti ada qishos untuk semua ini!
Ho-ho… Makanya jangan melawan penulis scenario,” sahutku dari dapur. “Yang namanya artis itu kudu patuh pada sutradara dan skenario!
Tawanya terdengar. Lepas.
Aku ingin berdiam di hatimu. Menjadi kelopak yang kelopak yang selalu menawarkan embun di setiap pagi tiba[1]
‘Nda Raya. Begitu aku akan memanggilnya. Aku sendiri belum tahu asal kata ‘Nda itu. Bukan kanda. Tapi aku merasa sangat dekat yang teramat sangat saat memanggil lelaki terhebatku itu dengan ‘Nda. Hanya ‘Nda. Tanpa embel-embel apapun di depan atau di belakangnya.
Itupun aku masih menunggu kata setujunya. Yang aku tahu dari ibuku, sekedar panggilan saja coba komunikasikan. Siapa tau sang lelakiku tidak berkenan dengan panggilanku. Dan aku akan mem-proposalkan panggilanku ini nanti. Aku akan menyiapkan diri. Hayah, jadi kayak perang begini yak?!
Aku tersenyum sendiri meningkahi kenangan yang kubuat saat ini. aku menghitung mundur masa saat memutuskan memilih ‘Nda Raya. Tapi kemudian aku sangat bersyukur Allah memberikan semua selayak doaku.
Aku sangat menyukai lelaki berkaca mata.
Itulah doa yang sering kali kuteriakkan pada Tuhanku terhebat. Aku selalu teriakkan itu. Karna memang hampir tiap aku berdoa kukatakan aku ingin berjodoh dengan lelaki berkaca mata. Kata-kata itu terus menumpuk menjadi doa dan kemudian menjadi teriakan-teriakan hati padaNya.
Dan aku tersenyum saat ini. ‘Nda Raya berkaca mata. Aku juga.
Aku tidak punya alasan khusus dengan semua ini. Aku menyukai orang berkaca mata tanpa alasan. Aku tertarik dengan lelaki berkaca mata juga tanpa alasan. Aku hanya tertarik dan bagiku tarikan itu sangat kuat hingga mampu membentuk kesan. Ya… kesan!
Itulah yang selalu mempengaruhiku mengungkapkan kekaguman pada sosok berkaca mata. Kesan yang mempengaruhiku begitu terhipnotis dengan orang berkaca mata.
Bukankah memang kadang mata menjadi bagian yang tidak bisa berbohong? Pada tatapnya, pada kerjapannya, pada binarnya, pada kerlingnya, pada marahnya, pada tangisnya, semua sangat sulit berbohong. Mata!
“Baru juga kutinggal ke depan, sudah melamun…
Aku tertawa. Mengejeknya dengan lidahku.
“Bagaimana kalo kubilang aku melamunkan lelaki idamanku?
Alisnya berkerut. Kuingat dia menulis : aku adalah lelaki pencemburu.
“Iya, aku melamunkan lelaki idamanku. Salah?
Nda Raya menggeleng. “Lantas?,” tanyanya dingin.
“Ya gitu… makanya aku melamun.
“Gak lucu!
“Memang tidak sedang melucu kok…,” aku menjajarinya. Melingkarkan tanganku pada tangannya yang kurus. Otot tangannya sangat terlihat. Oh!
“Nda Raya cemburu?
Dia hanya melirikku. Sebentar saja. Kemudian kembali pada bukunya.
“Yah… cuman nglirik doang? Gak seru ahh… Jawab dong, ‘Nda!
Dia tertawa. “Cemburu kok dipaksa!,” ujarnya. Jari-jarinya yang kurus menggamit jariku yang berisi. Benar-benar seperti angka sepuluh. Aku bulat dan dia angka satunya. Tapi meskipun kurus, genggamannya lebih kuat dariku. “Aku tidak akan tertipu lagi dengan skenariomu,” bisiknya. Senyumnya mengembang. Menang!
Aku tertawa. Lepas. Seperti tawanya tadi. Lepas.
Memang aku dan ‘Nda Raya belum terlalu membuka kisah. Belum begitu banyak hal pribadi yang mungkin cukup gak penting yang dia tahu. Pun juga aku. Aku belum banyak tahu tentang kisah-kisah masa lalunya.
Nanti juga aku akan tau. ‘Nda Raya juga akan tahu. Bukankah ini masih sangat awal kami bersama. Belum juga aku proposalkan panggilanku padanya. Semua masih uji coba.
“Dek!
“Hm…
“Ngobrol yok!
Aku tertawa. Lelaki yang aneh.
“Ngobrol apa, ‘Nda sayang…
Kaku sekali terdengar kalimat itu dariku. Uhuk!
“Apa saja…
“Ya sudah, ayo!
“Kamu yang mulai.
“Loh?!
“Kamu cerita apa saja, aku dengarkan.
“Loh! Yang ngajak ngobrol siapa?
“Aku. Ya tapi kan kamu pasti lebih banyak cerita dibanding aku. Ya ya?!
Aku melongo. Kok?!
“Jalan-jalan saja yok! Daripada di kamar terus gini,” usulku. Kutunggu reaksinya. “Kita jalan-jalan ke rumah sodara-sodaraku. Biar cepet akrabnya,” aku menguatkan usulku. “Lagian kita di kamar sudah sejak setelah ‘Nda Raya ngobrol dengan paklik jam 9 tadi lho… Keluar yok!,” rayuku.
Masih diam. Lelaki berkaca mataku yang pendiam. Sempurna!
“Cepet ganti baju. Kutunggu di luar,” bisiknya tanpa menungguku berkata lagi. Aneh… aku ditinggalkan begitu saja? Dan dia nunggu di luar?
***
Memang lelakiku ini harus kukenali lebih dalam. Bismillah… Selamat datang wahai kekasih. Sekuntum puspa bagi taman hati [2]
Selalu hari-hari baru yang dijalani sepasang takdir selalu indah. Begitu pula yang terasa olehku. Sangat indah dan indah saja. Entah bagaimana caranya Allah bisa membuat sedemikian gemerlap hati orang yang saling mencinta. Benar juga kata Ibnu Qayyim, katanya tiada lagi keresahan.
Hanya kemudian hari memang akan terus berjalan. Jalan menuju depan dan tahun belum lagi kutau. Juga dia. Semua masih ditunggu dengan sepenuhnya harap semoga semua akan selalu sepenuh cinta. Karna hakikatnya memang hanya ada cinta di dunia ini. Dan harusnya demikian.
Aku tersenyum. Malu-malu. Sendiri. Aku bicara tentang cinta? Dari mana aku bisa?
Aku hanya menjalani disini. Aku akan menjaga sekuat aku bisa. Dan aku akan meminta padaNya sebisa aku mau. Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu[3]. Begitulah, hari memang tidak terlalu perlu dihitung. Tapi memulai hitungan akan selalu menarik untuk diingat dan dinikmati. Dan bisa jadi di tengah hari akan muncul kelelahan yang membuat kita beristirahat.
Duh, kenapa lagi aku ini?
 
Aku di depan ‘Nda Raya saat ini. Di rumahnya.
“Pasti nanti sok kuasa,” ujarku kemaren sebelum berangkat ke rumahnya. Rumah mertua ding!
“Gantian dong, dek… masa’ yang sok kuasa kamu terus,” jawabnya. Tangannya sigap membantuku memasukkan barang-barang selama disana. Perjanjiannya paling lama sebulan aku dan ‘Nda Raya di rumah ibunya.
“Awas kalo nanti sok kuasa di kandang sendiri,” ancamku lagi. Kembali kudengar tawanya. Tawanya itulah hal kedua yang membuatku ingin selalu berlama-lama di dekatnya.
Dan saat ini aku di sini. Di rumahnya.
Aku mendengar kelakarnya dengan adiknya disini. Aku –saat ini- sedang menikmati sore dengan ibunya. Ibuku juga ding!
“Sudah kenal banyak dengan Raya belum, nduk?
Aku menggeleng. Kemudian pelan mengangguk juga.
Ibu mertua tersenyum. “Raya itu pendiam. Tidak banyak bicara. Juga tidak banyak makan. Tapi dia sangat suka tertawa. Aneh kan? Dia sangat senang dengan hal-hal yang lucu. Memang tidak banyak bicara tapi sangat suka tertawa. Biasanya kalo tertawa bisa lepas saat benar-benar ada hal lucu yang didengarnya.
Aku masih diam. Mencoba mendengarkan.
“Tugasmu itu membuatnya lebih gemuk. Masa’ laki-laki kok kayak gak punya daging gitu,” sungut ibu. Aku tertawa.
“Beres, bu… Ra akan memaksanya maem yang buaaanyyak!
Kemudian kami tertawa.
“Oiya, bu, kemaren pas kami jalan-jalan ‘Nda Raya bilang di pojok desa ada penjual mie ayam enak ya? Beneran ta, bu?
“Oh, mie ayam mas Dika. Iya enak, nduk, langganannya Raya itu.
“Langganan ibu juga?
“Iya. Lha wong tiap kali pulang Raya pasti ngajak ke sana. Makan gratis katanya. Kadang malah ngajak teman-teman SMAnya itu. Rame-rame sambil ngerumpi paling.
‘Nda Raya masih suka ngumpul dengan teman-temannya? Hm…
            “Kamu pengen juga?,” tawar ibu.
            “Nanti deh Ra ajak ‘Nda Raya ke sana. Ibu mau ikut?
            “Gak usah. Ibu tau kalian sedang ingin dua-duaan.
            Aku tertawa. Ibu juga.
            ***
            andai saja semua kutahu sejak dulu
aku pasti akan menjemputmu
segera
tanpa menunggu lama
tanpa menunggu jeda
andai saja semua kutahu sejak dulu
bahagiaku adalah bersamamu
aku pasti akan menjemputmu
segera
lebih cepat dari hari ini
[tadi malam setelah sholat malam]
Aku tersenyum. Bisa juga lelakiku menulis. Romatis.
Di tempelkannya di layer komputernya. Karna dia tahu aku akan memakai computer itu. “Aku pinjam buat ngetik ya, ‘Nda!,” ijinku semalam.
Ibu ngajar. Bapak ke kantor. ‘Nda Raya ngantor juga. Sepi.
Aku menguap. Sebentar kemudian merebahkan tubuhku. Melamun.
            … … … … …
Aku hanya jatuh hati padanya. Itu saja!
Aku tak peduli dengan sikapnya. Aku akan diam akan hatiku.
Sepasang matanya selalu membuatku tidak bergerak bebas. Meskipun semua masih juga kututupi dengan ceriaku. Tapi hatiku memang begitu adanya.
Ada memar yang kurasakan disana. Di hatiku.
Memar yang kemudian kerap menjadi air dari mataku. Sepasang mata itu yang membuatku entah berada dimana. Mata yang tajam. Setajam elang. Matanya itu yang kerap kali menyayat-nyayatku.
“Katakan cinta saja, Ra,” saran itu yang kudengar langsung dari Pri dan Reno. Karibku sejak TK.
Aku merengut. Aku? Katakan cinta? Duluan?
“Bodo bangett…,” sahutku.
“Kenapa? Gengsi?
Aku kembali merengut.
“Ato biar aku saja yang nyampekan?,” tawar Reno. Pri mengangguk.
“Enggak!
“Lah?!
“Aku masih sanggup menahan kok. Aku masih sanggup diam!,” seruku. Meski di hatiku ada yang redam perlahan.
“Tapi masih nangisan kan?
Bertiga –Aku, Pri dan Reno- menikmati semilirnya angin pinggiran jembatan. Sekarang tanpa kata. Kasihan mereka berdua harus turut dalam perasaanku yang tak tentu ini.
PRIMA
Cinta seragam abu-abuku. Cinta yang entah berwarna apa saat itu. Cinta yang kurasakan setelah dua bulan sekelas dengannya.
“Aku suka matanya, Pri.
“Iya. Matanya tajam ya,” Pri semakin membuatku mengingatnya.
Matanya yang tajam tersembunyi di balik kacamata minusnya. Wajahnya yang dingin semakin terlihat sempurna dinginnya dengan kaca matanya itu.
“Kamu pernah ngobrol dengannya gak? Jangan-jangan gara-gara jatuh cinta kamu malah pasang jarak sama dia. Bisa-bisa dia malah ngerasa dan ketahuan deh semuanya…
Pri tertawa. Aku juga.
“Aku biasa-biasa saja kok. Tidak over sikap ke dia. Kan biar tetap rahasia. Hahaha,” kelakarku. Aku kembali tertawa. Pri menjentuskan kepalaku.
“Ra, lihat deh siapa yang datang,” bisik Pri. Mataku mengerjap.
“Hai! Ngerumpi atau nggosip niy?
Oh no! siapa di depanku saat ini?
Dug!
Tendangan kecil mendarat di kakiku. Pri menendangku yang melongo. Reno tertawa.
“Kita gak ganggu kan, Ra?,” sebuah suara meningkahiku.
Entah kekuatan darimana, aku tertawa. “Ya jelas ngganggu dong, Prim. Sangat mengganggu bahkan,” kataku. Reno dan Pri tertawa saja karena mengenal gayaku. Prima –lelaki yang membuatku melongo tadi- hanya diam melihat ke arahku.
“Jadi?
“Jadi… ya duduk saja di mana kamu suka. Boleh duduk di sini dengan syarat : bayar minumanku, Pri dan Reno! Gimana, deal?
Prima tertawa. Tawa yang tak pernah kudengar sebelum ini. Sekalipun belum pernah. Sesaat aku terbawa terbang oleh dua sayap yang dipinjamkan ibu peri padaku. Terbang tinggi. Tinggi. Tinggi. Tinggiiii sekali…
Dag!
“Deal,” saat kata itu keluar, aku terpelanting jatuh dengan sayap pinjamanku tadi. Tangan Prima menyalamiku yang terhuyung-huyung dalam lamunan.
Pri dan Reno tertawa. Makin tertawa saja.
“Awas, Ren. Kamu harus membayar semua polahmu ini,” ancamku.
Prima melongo. Pri tertawa. Reno pun makin tertawa.
Semakin hari, hatiku makin terbakar. Makin memar.
Semua karna makin dekatnya aku dan Prima. Aku tidak merasakan bahagia saat di dekatnya. Meski aku akui aku senang melalui beberapa waktuku dengannya.
“Katakan cinta saja, Ra,” kembali Pri mengusulkan itu.
“Gak!
“Ato kembali pada tawaran Reno dulu?,” tawar Pri lagi.
“Tidak. Te-I-De-A-Ka. Dibaca TIDAK!
Pri tertawa. Demi melihat sungutku yang mulai keluar. Juga dua tanduk yang ada di atas kepalaku mulai muncul perlahan. Diikuti dengan kepulan asap di kepalaku. Gggrrrrhhh…
“Aku akan menikmati semua ini. aku akan menjadi temannya.
“Tapi kamu bohong, Ra… kamu tidak menikmati semua ini. Kamu hanya menyiksa dirimu dengan perasaanmu. Kamu bodoh dengan semua ini.
Aku diam. Pri benar. Tapi aku tak ingin mengakuinya. Menangislah aku kemudian.
“Tuh nangis kan… kubilang juga apa. Kamu itu rapuh! Kamu bisa pura-pura terus dengan perasaanmu pada Prima. Tapi tidak atimu. Kamu akan tetap menangis saat ingat dengan perasaanmu.
Kutelungkupkan wajahku. Aku masih menangis.
“Apa kamu mau tetap jadi lilin? Menerangi jalan cerita Prima sedangkan kamu makin lama makin habis kekuatan? Dan Prima dengan sekali jentik akan mematikan apimu?
“Apa maksudmu?
Pri melenguh.
“Sekarang kamu mau tiap saat mendengar cerita Prima tentang banyak hal. Juga tentang Rana, pacarnya yang ada di Solo itu. Bodoh kamu ya, Ra. Sejak awal kukatakan, katakan cinta atau matikan cinta. Dan kamu tidak memilih dua-duanya.
Aku menangis lagi. Kali ini dengan lebih keras.
“Trus apakah kalo aku ungkapkan perasaanku itu akan membuat semua selesai, Pri? Tidak kan? Apakah semua akan berakhir indah saat Prima tau bagaimana aku mengagumi matanya? Apakah Prima bisa menerima itu dengan baik-baik saja?
Pri kembali melenguh. Sudah ada Reno saat ini. Baru datang. Dia diam.
“Jadi pilihan kedua dong yang berlaku,” kata Pri.
“Aku belum bisa, Pri. Maafkan aku!
“Sampai kapan?,” Tanya Reno. “Aku tau kamu memang kuat menahan banyak beban, tapi sampai kapan kamu akan mencoba seolah tidak ada apa-apa di hatimu untuk Prima? Kalo gak mau dapat resiko ya gak usah jatuh cinta!
“Jujur, aku gak rela kamu berteman dengan Prima dalam keadaan perasaanmu yang begini. Yah meskipun memang aku tau, kamu kuat! Tapi aku tidak rela kamu menhancurkan hatimu sendiri. Pilihan sudah aku berikan. Pri juga memberikan pilihan itu. Katakan cinta, bisa lewat aku juga. Ato matikan cintamu itu.
Reno mengeluarkan botol air dari tasnya. Haus, katanya.
Episode penghakiman atasku berhenti. Karna sore telah datang. Itu artinya Pri harus kembali ke rumah, Reno juga.
aku memang jatuh cinta
pada matanya
pada diamnya
salahkah?
lantas waktu membuatnya dekat
denganku
ia banyak bercerita
tentang banyak hal
ia juga tertawa
dan aku senang dengan tawanya
tapi,
ia juga bercerita
tentang cintanya
yang berada jauh
dan itu,
ternyata membuatku
sering kali menangis!
[Ra, 22.00]
Dialog-dialog keras dengan Pri dan Reno sore tadi kembali menggema. Untuk mengungkapkan cintaku, sudah tidak mungkin. Karna aku sangat tau Prima sudah mempunyai pacar. Arrgghh… aku benci mengatakan ini!
Untuk membunuhnya, ups! Membunuh cintaku, aku belum mampu.
“Bagaimana caranya aku mengakhiri ini?,” tanyaku pasrah. Kembali kepada Pri dan Reno.
“Jadi itu keputusanmu?
Aku mengangguk. Lemah. Pasrah. Hopeless.
“Yakin?,” kali ini Reno yang bertanya.
“Iya…
Mereka memandangku. Menyipit mata mereka.
“Kenapa melihatku begitu? Gak percaya?
Mereka menggeleng. Kemudian mengangguk.
“Jadi apa? Kalian bilang aku harus memilih pilihan yang kalian ajukan kemaren. Sekarang aku memilih, kenapa malah jadi melongo aneh begitu? Ayo cepat kasih aku cara yang tokcer memenuhi tantangan ini.
Pri dan Reno tertawa.
“Kalo aku lihat gayamu yang begini aku baru percaya kamu sedang waras. Tidak sakaw!,” ujar Reno. Kurang ajar aku dibilang sakaw!
“Ayo buruan sudah. Mumpung aku masih waras. Hahaha.
Kemudian bertiga kami seperti mengurai benang kusut. Memulai semua dengan awal muara aku suka padanya. Menerjemahkan apakah benar aku memiliki cinta itu untuknya. Kemudian membahas tentang kesediaanku mendengarkan certa-ceritanya.
“Kamu jauhi saja dia, Ra!
Usul yang aneh. Satu kelas bagaimana menjauhinya?
“Bukan menjauhi dia dengan tiba-tiba. Ya kamu bisa mulai dengan membatasi waktumu untuk mendengarkan dia, terutama saat dia cerita tentang pacarnya yang jauh itu.
“Trus jangan sering-sering mandang dia,” potong Pri. “Kalo kata anak-anak masjid itu menundukkan pandangan. Nah itu, menundukkan pandangan. Katanya itu bisa membuat hati lebih dingin. Kata mas Sinar pas awal mentoring dulu kan mata itu hulu ledak hati. Makanya disuruh menundukkan pandangan biar gak meledak liar hatinya.
“Iya, ustadzah…
Meledaklah tawaku. Juga tawa Pri dan Reno.
“Jadi… mantap membunuh niy?
“Ya… tergantung deh…
“Mati kamu tergantung terus.
“Tergantung situasi. Bagaimana kalo tiba-tiba Prima bilang sudah putus dengan pacarnya trus bilang cinta sama aku?
“Hahaha. Bodoh! Berarti Prima bukan lelaki yang baik. Dia bisa begitu cepat mencintai orang lain dan membuang orang lain. Dan apa kamu bangga dicintai Prima setelah Prima mutusin pacarnya? Sadis kamu, Ra.
Pri diam. Hanya komentarnya singkat “Sumanto!
“Sumanto?,” Reno pun ternyata tidak mengerti maksud Pri.
“Ya Sumanto. Aku cuma pengen bilang gitu doang. Gak boleh?
Kusilangkan jariku di atas jidat. Gelo!
“Ya sudah, sudah… mulai besok kamu harus batasi diri dengan Prima. Hindari menatap mata elangnya yang dah buat kamu klepek-klepek itu. Hindari mendengar tawanya yang dah buat kamu melayang-layang itu. Mending kalo istirahat kamu nongkrong dengan anak-anak masjid tuh, biar bisa menundukkan pandanganmu. Hahaha. Aku kayak ustadzah bener ya?
“Hahaha. Iya, ustadzah Pri!
Tuntas. Meski aku masih menangis. Tangis yang tidak diketahui Pri dan Reno. Tapi aku bahagia. Sepertinya lebih tenang karna lepas dari penjara.
Prima dalam kenanganku
Akan kuhapus
Pelan tapi segera
Demi hati dua orang karibku
Yang memiliki cinta yang lebih besar untukku
Dan aku juga mencintai mereka
Melebihi cintaku
Yang telah kubelokkan kepada Prima
Sebelum ini
Dan aku janji,
Belokan itu akan kututup
Segera!
[Ra, 16.23 di pinggir kali dengan Pri dan Reno]
… … … … …
Buah duku buah kedondong. Ada SMS masuk, buka dong…
Aku mengerjab. Melamun. Nyambi tidur. Jam 11.15.
‘Nda Raya. Sepi ya?
Aku kangen. Cepet balek. Balasku.
Lama tidak terbalas. Iya, aku akan cepet balek. Balas ‘Nda Raya. Simple.
Ahh… kembali jawaban simple. Suamiku, lelakiku. Cintaku, ‘Nda sayangku. Sesimpel jawabmu, sesimpel sikapmu : aku cinta.

..... Bersambung Besok .....



[1] MD. Aminuddin, Tembang Ilalang, 2008
[2] MD. Aminuddin. Tembang Ilalang.
[3] Chairil Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar