Kamis, 19 Januari 2012

Keputusanku Mencintaimu Saja (Part 3)

             Setengah Tahun Pernikahanku.
Aku semakin banyak mengenalnya. Mengenal ‘Nda Raya. Dia pun sudah terbiasa memanggilku dengan Abid. Kadang dengan kata sayang di belakang.
Masih terkendali. Semua masih hangat.
Perdebatan seru selalu bisa diakhiri dengan tasbih. Ego yang sering kali kuat menghajar pertahanan emosi kami pun lebih sering teredam dengan istighfar. Meski kadang, aku –yang punya modal sangat manja- ini sering kali membuat ‘Nda Raya menahan nafas. Untuk memahamiku.
“Aku akan memahamimu sebagai kamu,” ujarnya selepas pertarungan penuh kemenangan Ahad pagi lalu “Dan bukan sebagai aku,” katanya juga.
Selalu saja ingin kurangkulkan diriku pada pundaknya. Meski memang saat ini dialah satu-satunya sandaran kelelahanku. Satu-satunya yang bisa kugenggam saat aku merasa lemah. Kemudian juga yang paling banyak membuatku mengingat tentang detik yang tidak berhenti. Hidup ini.
Dan aku tersandung saat ini. Aku melukainya. Hatinya berdarah. Ah!
Aku cemburu, Ra. Untuk semua yg kubaca. Kenapa?
Pesan singkat itu dari ‘Nda Raya. Dia tidak memanggilku ‘Bid. Harus kujawab apa. Diam juga bukan solusi. Tolong aku, Allah…
Aku ke kantor  ya, ‘Nda! Pas  lunch ya? Balasku.
Cepat pula ‘Nda Raya mengirim balasan. Simple. Ga usah. Ada meeting. Jaga rumah saja.
Aku kehabisan kata. Nanti sore aku jemput boleh?
Ga usah, Ra… Ada jadwal ngaji sore ini. pulangku malam.
Deg!
Aku menangis sekarang. Aku takut dengan dinginnya saat ini.
Cepet pulang ya! Aku nunggu.
Aku sangat berharap ‘Nda Raya membalas pesan terakhirku. Seperti biasanya. Dengan canda dan guraunya.  Tapi tidak ada. Hingga dia pun lupa tak menanyakan sudah makan siangkah aku. Sudah sholat dhuhurkah aku.
Aku terpekur sendiri. Tergugu dalam diam. Aku kehilangan cahayaku yang berbinar enam bulan ini. Aku kehilangan matahariku yang selalu menghangatkan dinginku.
“Itu biasa, Ra… namanya juga emosi,” kalimat ibu menenangkanku. Aku tidak bercerita tentang yang terjadi padanya. Aku hanya bertanya tentang kewajaran yang terjadi saat emosi.
Aku mencoba menenangkan diri. Merasakan senyap yang dalam saat berada di kamar kami. Kutarik buku itu dari laci. ‘Nda Raya memberi tanda tepat pada halaman yang dibacanya. Semalam. Ya… tadi malam. Saat aku masih lelap dan ia menjalankan sholat malam.
Apakah engkau mengkhianatiku, cinta?
Apakah engkau membagi sayang itu?
Apakah engkau tau : aku cemburu
Aku tidak ingin ada akar yang menyentuh pohon cinta kita
Aku tidak ingin ada semian baru di dalam pohon cinta kita
Selain akar kita
Selain semian cinta kita
Apakah aku kurang
Terhadapmu
Cinta?!
Aku menangis. Dan setelah itu ‘Nda Raya lebih banyak diam. Sarapan pun berlalu tanpa ada kalimat. Aku bicara juga tanpa sahutan. Hanya diam. Beku. Dingin.
Hanya kalimatnya sebelum benar dia pergi ke kantor tadi. “Aku ingin tenang dulu. Tolong jangan tanya apapun ya!
Aku menatapnya. Buku yang dibaca ‘Nda Raya sudah di tanganku saat aku membuka mata tadi. masih dengan tatapnya yang luka, lelakiku mengangsurkan buku itu.
Luka itu ada pula di matanya. Yah Allahh…
Disitu, di buku itu :

Apa kabar ya Yudhistira saat ini? Lama tidak kutau kabarnya. Apakah dia masih keras kepala seperti dulu? Atokah sekarang sudah menjadi jauh lebih keras kepala dan egois? Hahaha
I miss him!
Hanya itu di sana. Hanya kalimat-kalimat itu yang tertulis. Dan kalimat itulah yang membuat garis berdarah di hati lelakiku. ‘Nda Raya.
Yudhistira.
Satu-satunya lelaki yang diketahui ‘Nda Raya sebagai orang yang pernah dekat denganku.
Dulu. Saat masih kuliah. Dan semua terkubur. Aku tidak pernah bercerita apapun. Tapi ‘Nda Raya tau dari beberapa tulisan Yudhist yang masih kusimpan dalam rak bukuku. Kuletakkan diantara sekian banyak bukuku. Dan ternyata, Allah ingin ‘Nda Raya tau semua ini.
“Mantan pacar?,” tanyanya padaku.
“Hmm… iya. Tapi tanpa ikrar,” jawabku. Takut aku menatap matanya.
“Berapa lama?,” tanyanya lagi. Matanya juga tidak beranjak dari pandangannya pada tulisan-tulisan yang ditulis Yudhist itu.
“Sudahlah, ‘Nda…
“Berapa lama?,” tanyanya kembali. Kali ini dengan sangat cepat.
Dan aku menjawab dengan pasrah. “Dua tahun…
‘Nda Raya menarik nafas. Panjang dan dalam. Kemudian meletakkan tulisan Yudhist yang “kubukukan”. Kenapa?!
Sejak itulah ‘Nda Raya mengetahui semua itu. Sebulan yang lalu. Pada lima bulan pernikahan kami.
“Tapi semua sudah berakhir dua tahun sebelum kita bertemu, ‘Nda…
Kujajari langkahnya menuju kamar kami. Kemudian duduk tepat di sampingnya. Hatiku, entah bagaimana rasanya saat itu. Aku merasakan beku dan dingin begitu melingkupi. Aku takut!
“Nda…
“Tapi kamu masih menyimpannya. Itu kenyataannya!
Aku menunduk. Iya. Benar. Aku menyimpannya. Masih.
“Tapi tidak ada maksud yang tidak-tidak. Aku merasa sayang saja jika tulisan-tulisan itu kubuang,” kataku. Suaraku sudah hampir luruh termakan sedak di dadaku.
“Jangan nangis,” katanya. Tegas. Untuk yang pertama kalinya selama aku mengenalnya.
Aku memang tidak menangis. Tapi aku tergugu.
Lama aku dan ‘Nda Raya hanya diam. Diam saja. Masih tetap di pinggiran tempat tidur kamar kami. Tanpa kata. Tanpa suara. Tanpa reaksi juga aksi apapun.
“Sudahlah, maafkan aku. Aku terlalu…
“Aku yang salah, ‘Nda… maafkan aku!
“Tidak ada yang salah. Aku saja yang terlalu cemburu. Mungkin aku yang terlalu posesif. Aku yang juga terlalu…
Kupeluk lelakiku erat.
Sebulan yang lalu. Dan hari ini terulang lagi. Dengan kejadian yang lebih menyakitkan dari kemaren. Lukanya jauh lebih parah. Lebih redam. Lebih legam. Ahh…
Kenapa harus terbaca?
YUDHISTIRA
Lelaki keras kepala yang kukenal saat aku masih kuliah. Arogan. Egois.
“Aku memang egois kok, pergi saja kalo tidak suka. Biarkan aku sendiri,” katanya padaku.
Aku sangat ingat saat itu. Kondisi unlabil membuatnya begitu sangat tidak mudah tersentuh oleh sapaan yang tidak biasa. Dan akupun menjadi temannya. Teman yang sangat setia. Mendengarkan semua ceritanya dari A sampai Z. Tanpa ada yang tertinggal menurutku, entah bila memang ada cerita yang ditinggalkan olehnya.
Aku memutuskan menjadi temannya. Bukan teman biasa, tapi teman yang dekat. Teman yang melibatkan segenap perasaan. Teman yang kusimpan lebih dari teman-temanku yang lain. Dia kudengar lebih dari temanku yang tiap saat dapat kutemui. Keras kepalanya membuatku merasa benar-benar terikat kuat padanya.
“Gila kamu ya, Ra! Bisa-bisanya kamu jalan sama orang kayak dia,” kata teman satu kostku, Ina. “Apa yang kamu harapkan dari sosoknya yang keras kepala lagi egois? Aku ketemu dengannya sekali saja langsung muak setelah itu,” katanya lagi.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Tak ingin bertanggap banyak karna menurutku semua itu tak perlu kulakukan. Tidak perlu berdebat dengan orang yang tidak menyukai pilihanku!
“Gimana kuliahnya?,” tanya Yudhist suatu malam. Per telepon.
“Baik, alhamdulillah,” jawabku. “Kamu gimana, sudah baikan sekarang?
“Tanteku kerampokan,” katanya. “Pas saat aku disana.
“Masya Allah. Trus kamu gimana?
“Motorku kerampok deh…
“Kamunya gak papa?
“Awalnya aku ingin melawan, tapi sama tante dilarang. Pembantu diikat di belakang. Lalu ….
Cerita itu mengalir darinya. Dia bilang saat dia ke rumah tante, sekitar jam sepuluh malam rumah tantenya didatangi perampok. Pembantu rumahnya diikat dan dia sendiri digantungi senjata tajam. Jadi praktis jika dia melawan pasti akan terluka. Itu sebabnya tantenya melarang di melawan dan merelakan motor yang dibelinya dengan kredit itu diambil perampok. Aku sangat khawatir mendengar semua ceritanya, namun aku sama sekali tidak melihat suara sedih atau resah dari cerita itu.
“Ya gitu deh akhirnya…
Aku diam. Entah, kekhawatiran itu begitu memenuhi pikiranku saat itu. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku takut dia akan terluka. Saat dia bercerita tentang ban motornya yang kempes saat malam karena ranjau paku saja kekhawatiranku sampai membuat dia menertawakanku. “Yang bocor itu banku, Ra… bukan perutku! Hahaha,” katanya. Dia tertawa tapi aku hanya menanggapinya dengan dingin. “Dikhawatirkan kok malah seneng! Dasar orang dewasa,” sahutku. Dia makin tertawa dengan tanggapanku.
Tapi begitulah. Aku memang memiliki kekhawatiran yang cukup banyak pada hal buruk yang menimpanya. Mungkin memang karena aku sudah merasa bisa menyayanginya lemah lebihnya.
“Ati-ati. Kalo memang bisa maen ke tante siang, jangan maen malam kayak gitu. Nanti ada apa-apa juga susah sendiri kan?
“Iya iya… aku gak papa kok,” katanya. Kemudian diam.
“Sudah mulai ngaji lagi belum?,” tanyaku. Akhirnya aku berani bertanya tentang hal sulit itu. Hhfff…
“Malas.
Singkat. Padat. Jelas. Lugas.
“Kenapa?
“Ya untuk apa?
“Untuk dirimu, Dhist… kamu butuh lingkungan yang bisa jaga kamu lebih baik. Bisa Bantu kamu njalani hidupmu lebih baik,” kataku. Semangat.
Dia masih diam. Hanya kutak-kutik yang kudengar.
“Aku belum ingin ngaji, Ra… tolong paham dong!
“Apa masalahmu?
“Aku tak ingin bertemu dengan orang-orang kayak gitu lagi. Orang-orang egois yang menekan kepercayaanku hingga kikis. Aku benci mereka!
Hhhh…
“Sampai kapan?
“Sampai kapan apanya,” tanyanya.
“Sampai kapan akan terus mengingat luka? Bukankah kita juga sudah terlalu sering berbicara tentang ini. Semua sudah berlalu lama, Dhist… dan kamu pun sudah memilih untuk pergi dari sana agar kamu bisa memilih kehidupanmu sendiri di Jakarta. Begitu kan katamu?
Yudhist diam. Aku benci dengan diamnya.
“Sudahlah, aku capek. Tolong biarkan aku menjalani kehidupanku yang sekarang dengan cara seperti ini. Aku belum ingin ngaji lagi, Ra…
“Tapi aku akan terus menyuruhmu ngaji,” tegasku.
“Terserah kamu. Kalo kamu mau lakukan saja. Pelan-pelan toh aku pasti akan lebih memilih melakukan apa yang kamu sukai sekalipun aku tidak menyukainya.
Deg!
Aku malah menangis. Kalimat Yudhist membawaku terbang. Entah kemana. Aku pasti akan lebih memilih melakukan apa yang kamu sukai sekalipun aku tidak menyukainya.
Dan begitulah. Yudhistku tetap menjalani kehidupannya di ibukota dengan kekeras kepalaannya. Masih dengan egonya. Meskipun aku sangat tau, betapa sayangnya dia padaku.
“Aku sayang kamu, Ra…
Tak kujawab. Karna aku tak punya jawaban.
“Kenapa ngomong kayak gitu? Gak pantes, Dhist…
“Kenapa gak pantas? Apa karena kamu ikut ngaji jadi tidak pantas mendapat kalimat itu?
Entah. Deadlock. Aku tak punya jawaban.
“Jangan ulangi lagi,” kataku. “Ato aku tidak akan bicara lagi padamu.
“Ups! Kok gitu?
“Dhist…
“Eh iya iya, aku turuti.
Benteng pertahananku ambruk. Aku tidak bisa menahannya lebih lama. Aku sangat merasa sangat istimewa dengan kehadirannya. Meskipun memang dia sangat egois. Sangat keras kepala. Sangat batu.
Tapi aku tidak bisa berbohong. Aku menyukai semua itu padanya.
“Apa kita tidak bisa menikah saja, Dhist? Aku capek disalah-salahkan teman-temanku dengan hubungan kita. Aku juga lelah merasakan takut dan khawatir kehilanganmu yang bukan apa-apaku.
“Kenapa siy mereka usil?
“Mereka tidak salah. Kita yang salah!,” kataku. Keras.
“Kenapa kita yang salah? Karna kita menjalin hubungan yang berasal dari perasaan tapi tanpa pernikahan? Begitukah? Jadi cinta itu selalu salah untuk orang-orang kayak kalian itu.
“Dhist!,” bentakku.
“Ya sudah, tinggalkan saja aku. Aku tau memang tempat kita itu beda, Ra. Aku sudah berulang kali bilang : aku sayang kamu. Apapun kamu. Bagaimanapun itu. Aku sayang semua yang sudah kamu lakukan padaku,” kalimatnya penuh api. “Tinggalkan saja aku jika memang itu membahagiakanmu. Aku akan selalu bahagia dengan bahagiamu.
Aku menangis. Kembali menangis. Hatiku sakit. Khawatir.
“Ya sudahlah, gak usah dibahas lagi,” kataku akhirnya.
“Aku memang sangat ingin menikahimu. Bahkan sangat ingin. Tapi aku tidak ingin kamu tidak bahagia hanya karena pekerjaanku yang masih belum bisa menghidupimu secara layak. Bukankah sudah kuceritakan semua rincian pengeluaran yang harus kutanggung dalam satu bulan padamu? Tidak bersisa, Ra. Lantas bagaimana aku bisa menghidupimu secara layak?
“Tapi kan janjiNya akan mengkayakan kita?
Dia diam. Aku ikut diam. Bergegas dia berkata lagi,
“Aku tidak ingin seperti orang lain yang menikah dengan modal mau. Aku tau pasti akan ada bantuan dari langit, tapi tidak tanpa awalan nurutku. Aku tidak bisa membuatmu hanya makan tahu tempe tiap hari. Memang cinta bisa membahagiakan kita, tapi cinta belum tentu bisa membuat kita merasa kenyang. Aku membutuhkanmu utuh, bukan hanya cintamu saja.
Aku masih diam.
“Ya sudah, terserah kamu sekarang. Kamu boleh meninggalkanku. Aku akan terima sekalipun aku terluka. Bukankah kubilang aku tidak ingin mengikatmu tapi aku ingin terikat padamu?
Ya Allahh… tolong aku!
Kenyataannya, aku tetap menjadi temannya. menjadi pendengar utuhnya. Sudah banyak konflik yang terlalui dengan sukses. Cemburuku juga kandas di depan sikapnya yang selalu berhasil membuatku lebih tenang. Tidak khawatir lagi. Pun ketika dia cemburu.
“Aku sayang kamu, Dhist…
“Apa? Kamu ngomong apa tadi?
Aku tertawa. Tidak bisa kuulangi lagi nampaknya.
“Kamu tau, itulah kata yang paling membuatku seneng malam ini. Pasti aku tidak akan bisa tidur.
“Gombal!
Kami pun tertawa. Itulah kata sayangku yang pertama yang kuucapkan padanya. Setelah lebih dari setahun bersama.
Entah sejak kapan kami saling tergantung dan bergantung.
            Entah sejak kapan kami mulai terkurung pada nasehat-nasehat yang kadang hanya pantas diberikan pada diri sendiri.
            Entah sejak kapan kami mulai asyik dengan canda-canda yang kami bilang sebagai upaya untuk melepas lelah.
29 april.
            Masih juga terasa sesak nafasku. Aku shock. Aku tau bahwa aku tidak boleh egois terhadap pilihanmu. Aku langsung lemes, Ra. Untuk kedua kalinya aku merasakan kehilangan ini. Tapi inilah aku yang tak berdaya.
            Ya sudah, maafkan aku.
            Untuk terakhir kali aku ingin mengungkapkan isi hatiku. Aku sunguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Serius! Planku akhirnya harus kubongkar.
            Maafkan aku, jaga diri. Tetaplah menjadi yang ”istimewa”.
            Kalimat itu yang menjadi jawaban Yudhist saat kuputuskan mengakhiri perjalanan kami yang menyenangkan itu. Aku memang menangis, aku benar-benar belum ingin. Tapi entah kekuatan darimana aku melakukannya. Aku tau aku akan kehilangan dia selamanya, mungkin. Kecuali jika Allah kemudian memberikan jalan untuk kembali bersama.
Tetap ngaji yak! Pesanku saat itu.
Apa hakmu menyuruhku demikian? Kamu sama saja dengan orang-orang itu!
Owh!
Aku hanya ingin kamu tetap baik2 sj. Balasku.
Omong kosong. Sudahlah, gak udah pedulikan aku lagi!
Selesai. Aku tak bisa lagi menyentuhnya. Kebenciannya padaku membuatku begitu sakit. Aku membencinya yang tak bisa memaafkan aku hingga saat ini. Aku membencinya yang membebaniku dengan ego dari dulu. Aku membencinya yang selalu membuatku salah tingkah. Aku membenci keras kepalanya yang tak bisa melihat hal-hal indah. Aku membenci batunya hati akan sebuah kenangan.
Dan aku membencinya karna ternyata aku menyayanginya karna sikap-sikapnya itu. Karna mungkin jika dia tak bersikap seperti itu, mungkin aku bisa pelan-pelan melupakan dan meninggalkannya dengan hatiku.
YUDHISTIRA.
Entah apapun yang dirasakannya atasku saat ini, aku sudah tak ingin berpikir banyak lagi. Aku benar-benar tak bisa meruntuhkan benteng egonya bahkan untuk sebuah alasan benar yang kuberikan atas keputusanku dulu.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
Lebih lengang pula ketika berada antara
Yang mengharap dan yang melepas[1]
Episode Yudhistira telah mengoyak mata ‘Nda Raya. Itu kenyataannya saat ini. Dan aku belum bisa membuat mata lelakiku itu kembali teduh saat ini.
Sudah pulang, ‘Nda? SMSku menjelang jam pulang kantornya.
Sudah. Pendek. Singkat.
Langsung pulang?
Tidak. Aku ada jadwal ngaji.
Aku ikut… Rajukku merayunya.
Ga usah. Jaga rumah saja.
Tapi aku mau ikut…tulisku lagi.
GA USAH!
Finish. Aku tak bisa membuatnya tersenyum padaku. Aku tak bisa membuatnya bersinar lagi. Aku harus menunggu pagi lagi untuk bisa menjumpai senyumnya lagi.
Karna malam ini bisa jadi dia akan pulang larut. Sekalipun aku menunggunya di kursi rumah paling depan, tetap saja dia pulang larut hari ini.
Dengan kelelahan yang sangat, dia pasti segera lelap.
Lelakiku pulang larut malam ini dan aku menunggunya dengan cemas.
***
 ‘Nda Raya memang pulang larut. Pukul 23.23.
Aku tidak tahu apakah ego yang telah membuatnya urung tersenyum padaku. Bahkan saat aku mencium tangannya, tak ada kecupan di kepalaku.
Semua hambar. Aku tidak suka ini.
“Kenapa tidak bobok di kamar saja, hawanya lagi gak bagus. Kamu bisa masuk angin,” katanya. Tangannya sibuk melepas sepatu dan beranjak meletakkannya di rak sepatu rumah kami.
“Aku nunggu ‘Nda Raya,” kataku pelan.
Dia hanya menarik nafas dan berlalu ke kamar mandi. “Kan nunggunya bisa di kamar. Wong aku juga punya kunci,” sahutnya. Terdengar gemericik air di kamar mandi.
Aku harus melakukan sesuatu. Ngambek dan manja sudah tidak mempan lagi untuk merayunya. Tapi harus kucoba lagi. Bismillah…
Aku menunggunya. Saat wajahnya menyembul, masih basah wajahnya terkena siraman. Mungkin wudlu.
“Nda Raya akan mendiamkan aku berapa lama?,” tanyaku. Kucari matanya, tapi dia menghindari.
“Yang mendiamkan kamu siapa?,” jawabnya.
“Nda…
“Hfff… aku capek. Kita tidur saja ya! Sudah malam,” putusnya. Tangannya meraih kepalaku dan mencium. Pelan.
“Aku gak mau bobok sebelum ‘Nda Raya janji sesuatu,” teriakku. Merajuk tepatnya.
“Janji apa? Ya sudah gak sah bobok kalo memang maumu begitu. Aku pengen bobok kok,” jawabnya. Santai.
Aku merengut. Kemudian menangis. Kenapa mesti ada kalimat selanjutnya setelah kalimat “janji apa?”. ‘Nda Raya jeleeeeeekkkk…!!
Aku menangis di sandaran ranjang. ‘Nda Raya entah sudah sampai mana saat ini. Matanya tertutup. Lelap.
Aku memandanginya seolah besok aku tak mendapatinya lagi. Ups! Aku tidak mau itu terjadi. Selamanya! Aku ingin punya anak banyak dengan ‘Nda Raya dan bersama hingga kakek nenek. Ho-ho… kenapa pikiranku jadi ngelantur kemana-mana. ‘Nda Raya tidak akan meninggalkanku. Titik!
Kutarik selembar kertas. Di meja kami memang selalu ada kertas dan pena. Semua ini sangat bermanfaat saat kondisiku juga ‘Nda Raya sedang tidak ingin bicara. Kadang yang keluar adalah puisi-puisi. Meskipun agak mekso juga. Kami sama-sama bukan sastrawan.
Kutarik selimut ‘Nda Raya ke atas hingga menutupi dadanya. Dingin.
Aku tidak menyukai matamu yang tertutup saat ini
Aku salah
Tapi aku tidak menanam benih di dalam rumah kita
Itu bukan benih, sayang…
Itu hanya pohon yang sudah meranggas
Dan tak lagi mampu menjadi sesuatu
Di dalam rumah kita
Bukalah matamu untukku
Aku merindukan keteduhan itu
Aku merindukan binar itu
 Dan semua hanya ada
Di matamu
Saja!
Kuletakkan di sisi ‘Nda Raya. Seperti biasanya dia meletakkan lembaran-lembaran puisinya. Aku masih memandangnya. Menangis.
Kapan pagi datang? Kenapa lama sekali?
Aku tidak mau menunggu pagi lebih lama. Tapi lelakiku telah lelap kini. Dia sedang tidak ingin menunggu pagi bersamaku. Kapan pagi datang?
Aku menangisi semua ini. Entah sampai seperti apa. ‘Nda Raya sering berkata, kalo aku nangis pasti matanya sebentar saja sudah bengkak. Meskipun nangisnya pura-pura. Tapi sekarang aku tidak nangis pura-pura. Aku menangis bukan untuk merayunya. Karna toh itu semua tidak mempan!
Tiba-tiba aku seperti berenang semakin jauh. Dan ‘Nda Raya hanya memandangku dari jarak yang sangat jauh. Aku masih menangis. Apakah ini sungai air mata? Aku pasti mimpi. Di tanganku selembar kertas bertuliskan “Baik-baik ya! Jangan cengeng lagi. Doakan aku”
Itu tulisan ‘Nda Raya!
Kenapa ‘Nda Raya tetap marah padaku? Kenapa dia tidak mau menemaniku sekarang? Tapi kenapa dia tersenyum? ‘Nda Raya jeleeeeekk…!!
Makin lama aku makin menangis, makin tergugu. Dadaku sesak. Tidak ada yang menolongku. Dadaku sakit. Aku lelah menangis.
Ahhhh…!!
Kupeluk lelakiku itu erat. Aku makin menangis. Ternyata tangannya yang tadi membangunkanku saat sesak dan sakit di dada.
Selimut itu menutupi badanku. Penuh. Tanpa aku rasa.
“Bid… bid, sudah. Sudah… Abid mimpi tadi,” katanya. Aku masih tak ingin melepas pelukanku. Aku tak mau ‘Nda Raya pergi-pergi dariku. Tangisku memang makin pecah.
“Bid…
Aku menggeleng tidak untuk melepaskannya saat ini. Aku tidak mau.
“Bid… istighfar dulu, bid. Istighfar, pasti tadi mimpi buruk kan? Maaf, tadi rakaatnya belum selesai, jadi belum langsung bisa membangunkan. Istighfar dulu, pelan-pelan… Istighfar, Bid…
Aku menuruti katanya. Dalam hati aku mengucapkannya. Pelan-pelan memang aku agak tenang dan merenggangkan pelukanku. Meski sebenarnya aku sama sekali tak ingin melepasnya. Hanya merenggangkan saja.
“Abid niy sedang gak sholat. Lupa doa tidur pula. Makanya mimpi buruk,” katanya lagi. Entah kenapa dia sama sekali tidak mencoba melepaskan diri dari pelukanku. “Apalagi semalam nangis terus. Pasti kalut. Galau. Iya kan? Bobonya juga gak sengaja kan? Bobonya gara-gara lelah nangis, kayak biasanya. Pasti gara-gara matanya dah bengkak, jadi tiba-tiba tertidur…
Sudah mulai mau bicara. ‘Nda Raya mau menenangkanku.
“Sudah. Sekarang lepaskan aku. Sebentar lagi subuh. Kurang tiga rakaat tadi,” katanya lagi. Tangannya lembut menyentuh kepalaku. “Kalo mau cuci muka, boleh. Kalo belum ingin juga gak papa nunggu disini. Tapi gak pake nangis lagi. OK, anak kecil?!,” ujarnya mencoba melucu. Senyumnya tipis tapi tidak mengembang. Di matanya masih ada luka itu.
Aku membiarkan ‘Nda Raya mempurnakan tiga rakaatnya. Aku menunggunya tetap di tempatku tadi. Kertasku semalam telah berpindah tempat di samping tempat tidur, artinya ‘Nda Raya telah membacanya.
Jadi pukul berapa tadi aku tertidur? Kenapa aku masih ingin tidur?
Tidak ada kekuatan dariku untuk membuka mataku. Aku ngantuk. Bahkan saat tangan ‘Nda Raya kurasakan menyentuh kepalaku, aku pun tak mampu membuka mata. Aku ngantuk. Ingin tidur.
“Minum obatnya, Bid,” seseorang menegakkan tubuhku. Dan pasti dia!
Aku mengerjap. Mataku berat. Kepalaku pusing.
“Jam berapa, ‘Nda?
“Sembilan dua lima. Minum dulu. Badanmu panas tadi, awalnya aku pengen mbangunin jam tujuh tadi. Tapi panas, jadi kubiarkan,” katanya.
“Nda Raya gak ngantor?
Dia tersenyum. “Sabtu, Bid…
Aku tersenyum. Mungkin mataku kian menyipit saat tersenyum. Tapi aku bahagia, kudapatinya lagi saat pertama membuka mata tadi. Dia dengan sayangnya.
***
Kemudian dia mulai duduk di dekatku. Menyamping dan menghadap rak buku kamar. Mengambil sebuah buku dan membuka-bukanya. Dia kembali diam. Tanpa kata apapun. Matanya terus saja bertumpu pada buku di tangannya. Hanya sesekali saja mulutnya mengerucut dan kepalanya mengangguk-angguk.
Aku belum berani mengeluarkan suaraku. Apa memang aku tercipta bukan sebagai seorang yang bisa dengan lugas berbicara? Apakah memang aku adalah seseorang yang kurang berani memulai bicara memecahkan masalah?
Aku melihatnya saja. Tanpa dia tau.
Rumahku masih sepi. Aku masih ragu mengajak ‘Nda Raya bicara. Aku takut dan khawatir.
“Kemana buku itu, Bid?
“Buku apa?
‘Nda Raya kembali berada di depan rak buku itu. “Buku yang isilnya tulisan-tulisan Yudhistiramu itu,” katanya. “Kamu membuangnya?,” tanyanya lagi.
Aku diam. Kata Yudhistiramu adalah kemarahan.
“Aku taruh di kotak belakang,” kataku akhirnya. Tidak ada gunanya menumpuk masalah.
Kenyataannya : Raya-lah satu-satunya lelaki yang paling kusayang.
“Kenapa?,” tanyanya datar. Aku sudah mendekatinya sekarang.
Aku menggeleng. Dan dia mengangkat alisnya.
“Takut aku marah?,” tanyanya. Aku tidak menjawab. Menunduk saja.
“Aku mimpi buruk semalam, ‘Nda, aku takut,” kataku. Aku tak mencoba untuk merajuk dan ingin diperhatikan seperti biasanya.
‘Nda Raya diam. Tidak bereaksi.
“Nda Raya ingin ninggalin aku?
Hah? Kenapa aku bertanya begitu? Bodo bodo bodooo…
“Kan sudah kubilang tadi, abid tidur dengan nangis. Trus pasti gak baca doa. Pikiran kalut. Atinya juga galau. Jadi deh mimpi buruk…
“Tidak, ‘Nda… biasanya aku gak pernah mimpi kayak gitu,” kataku.
“Memang mimpi bisa disetting, bid? Enak dong kalo gitu kita bisa mimpi yang indah-indah saja. Hm, bisa jadi abid mikirnya terlalu dalam. Terlalu dipikir beneran, jadinya makin galau,” ujar ‘Nda Raya. “Maafkan aku ya!
Matanya sudah menatapku sekarang. Tapi aku hanya diam.
“Jangan tinggalkan aku, ‘Nda, aku gak mau.
Tangannya yang kini sudah lebih berisi memegang kepalaku dan meletakkannya di dada. Aku menangis lagi. Tapi entah untuk apa aku menangis. Sepertinya rasa takut itu benar-benar telah memenuhi pikiranku.
“Nanti sore kita jalan-jalan,” ujar ‘Nda Raya. “Tapi dengan satu syarat,” katanya lagi.
“Apa?
“Abid kudu dah sehat pas pukul tiga nanti. Ato maksimal pas aku pulang dari asharan di masjid, abid dah terlihat segar,” katanya.
Aku tertawa. “Kalo tidak?
Dia mengangkat bahu pelan. “Ya batal jalan-jalan,” jawabnya.
“Enggak, enggak… aku pasti sudah sehat nanti. Aku sudah segar lagi nanti. Insya Allah…,” kataku.
Masih ada yang mengganjal di hatiku. Persoalan Yudhist. Gak mungkin menganggap masalah ini sudah selesai, sementara tidak pernah aku dan ‘Nda Raya membicarakannya secara jenak. Ahh… God!
“Nda?
“Hmm…
Kertas-kertas itu lebih menarik perhatiannya.
“Nda!
“Iyaa…
“Ndaaaa,” kali ini lebih keras. Dan dia mengerti.
“Ada apa tho, bid…,” jawabnya kini dengan melihat ke arahku.
“Yang tentang kemaren, gimana?,” tanyaku takut-takut. Alisnya berkerut. Kemudian kembali pada kertas-kertasnya.
“Kemaren gimana apanya?,” tanyanya.
“Aku gak mau kalo ngambang gini,” kataku. Aku turun dari kursi dan duduk bertelekan meja. Tepat di dekat kertas-kertasnya. “Aku tau pasti masih belum selesai yang kemaren itu. ‘Nda Raya pasti masih punya pikiran gak enak dengan tulisan di bukuku itu.
Dia masih diam. Tak beralih perhatian dari kertas-kertasnya.
“Aku takut kalo ‘Nda Raya mendam di ati dan sewaktu-waktu meledak lagi. Aku gak mau,” kataku pelan.
Tiba-tiba dia mengambil kertas-kertas di hadapanku. Aku melongo.
“Aku bisa dimarahi bosku kalo sampai kertas-kertas ini kena air mata dan ingusmu,” katanya. Cuek sekali.
Aaarrrgggg ‘Nda Raya jeleeeekkk…
“Eh eh, apaan? Memang gitu kenyatannya kan?
“Kenapa bilang gitu?
“Hahahaha. Pastinya kan gitu. Abis niy pasti nangis,” katanya.
Dia tertawa. Ya Allah… dia tertawa!
“Di matamu itu tersimpan buuuaaanyyaakk banget air mata, bid. Awalnya aku selalu takut tiap kali abid nangis, tapi karna sekarang dah terbiasa dengan abid yang sangat mudah nangis, aku jadi agak nyante…
“Tapi aku kan nangisnya beneran… Bukan pura-pura,” kataku.
‘Nda Raya mengacak rambutku. Seolah aku adalah adiknya.
“Aku tau. Makanya kubilang aku benar-benar harus bisa membedakan mana nangismu yang nangis karna ngambek, pengen diperhatikan sampai dengan nangis karna takut,” katanya. “Dan aku tau semalam abid nangis karna takut.
Aku mengangguk.
“Makanya nanti sore kita jalan-jalan. Kita mampir ke masjid Abu Bakar. Kita maghrib di sana. Trus nanti kita makan lalapan di pinggiran Dieng. Ok gak?,” Nda Raya melirikku.
“Tapi yang kemaren gimana?
“Ya terserah abid saja. Kalo abid pengen kita bicara tentang itu, ya OK lah nanti kita bicara itu juga.
“Memang kenapa ‘Nda Raya ngajak jalan-jalan?
“Hmm.. ya biar kita bisa bicara,” katanya. Sebentar saja kemudian aku melemparkan kertas yang tadi kucoret-coret karna tak berani menatapnya.
Gambar miniatur hati. Di dalamnya kutuliskan jangan tinggalkan aku.
**--**
Sebenarnya butuh waktu berapa lama untuk mengenal secara dalam pasangan hidup? Karna toh sekalipun sebelumnya telah mencoba mengenal, ternyata juga kerap kali ujungnya perpisahan.
Aku tidak mau begitu. tidak!
“Bid, menurutmu apakah masih wajar kita bicara tentang cemburu dan setia saat ini? Dalam kapasitas kita sebagai pasangan takdir, yang bertemu karna aku mencintaimu dan abid juga mencintaiku? Yang juga disatukan karna kita sama-sama pengen menggenapkan separo nafas agama kita.
Aku diam. Menunggunya berkata lebih banyak.
“Kadang aku geli juga, bid, merasakan galau karna cemburu,” lanjutnya. “Aku cemburu bahkan pada hal-hal yang kecil. Ya meskipun semua bisa kuungkapkan dan abid tau kecemburuanku. Tapi aku merasa aneh saja. Apa aku keterlaluan?
Kali ini aku tertawa. Pelan.
“Iya keterlaluan,” kataku. Dia melongo. Aku meliriknya. Kemudian tertawa lagi. Kenapa wajahnya makin berseri ya? Hayah…
“Susah memang punya pembantu lucu gini,” katanya.
Aku makin tertawa. “Tapi sayang kan
Dan dia pun tertawa.
“Nda, menurut ‘Nda Raya mungkin gak aku masih menyimpan perasaan yang sama buat Yudhist?,” tanyaku. Aku harus bicara!
Dia menggeleng. “Gak tau…
Datar. Seperti bergetar. “Siapa yang bisa menduga dan membaca hati orang, bid…,” katanya.
“Tapi setelah semua yang kulakukan dan sebanyak perhatian yang kuberikan, mungkin gak aku masih menyimpan sayang juga untuk laki-laki lain?
Dia mengangkat bahu. “Selingkuh hati itu jauh lebih mudah daripada selingkuh sikap,” katanya pasti.
Aku menghela nafas.
“Iya kah?,” tanyaku. Sepertinya aku belum berhasil membuatnya tenang dengan masa laluku bersama Yudhist.
“Iya. Aku bisa dengan mudah mengucapkan sayang, cinta, kangen dan seterusnya padamu. Padahal aku juga menyimpan rasa itu untuk orang lain. Mungkin perempuan yang menurutku lebih darimu. Atau perempuan yang kupuja dalam khayalanku.
Aku menatapnya. Adakah semua itu di diri lelakiku ini?
“Masa lalu itu sejarah yang belum selesai[1]. Bisa jadi seperti itu. Karena itu, tidak ada jaminan apapun untuk semua masa lalu tidak akan jadi masa depan. Abid tau bagaimana dulu Zainab begitu menolak Zaid? Dalam pikiran Zainab melintas kenapa bukan rasul saja yang mengambilnya sebagai istri?
“Dan bagaimana pula saat Zainab telah resmi berpisah dengan Zaid? Rasul seperti…,” kalimatnya terhenti. “Apa ya bahasanya… Rasul seperti kebingungan dengan perasaannya. Semoga aku gak salah kata ya,” katanya sambil tertawa.
“Ato abid ingat gak saat Rasul mendiamkan Aisyah yang tertinggal rombongan? Rasul diam terus pada Aisyah hingga akhirnya Allah sendiri yang menerangkan yang sebenarnya,” katanya lagi. “Coba aku mendiamkan abid dengan cara rasul begitu, pasti itu mata dah bakal bisa menghasilkan lautan yang lebih asin dari laut yang sebenarnya,” dia melirikku. Kemudian tertawa.
Aku masih mendengarnya. Dia diam. Agak lama.
“Sudahlah, jadi gimana sebenarnya arti tulisan di bukumu itu? Benar masih ada miss-miss kayak gitu?,” tanyanya.
Aku bungkam. Kemudian menggeleng.
“Kok malah cuman geleng? Ini saatnya abid bicara bagaimana sebenarnya. Jadi aku tau apakah aku akan cemburu lebih besar dari ini ataukah tidak,” katanya.
“Jangan cemburu. Aku takut,” kataku.
“Jika masih ada lelaki lain yang masih disebut seorang istri bagi seorang lelaki, itu seperti kehilangan harga diri, bid. Kenapa masih ada lelaki lain sementara ada aku disini?,” kalimatnya mengeras. “Apalagi ternyata sebelum ini pernah ada kisah lain antara kalian.
Aku mulai takut. Takut pada matanya.
“Maafkan aku…
“Untuk apa?
“Untuk yang kutulis.
“Aku bukan marah pada tulisanmu, tapi aku benci pada hal di belakang tulisanmu. Itu saja!
“Aku hanya menulis. Tidak ada hal lain yang tersimpan di balik itu. Tidak ada hal besar yang bisa ‘Nda anggap sebagai ancaman,” kataku.
“Aku tidak merasa terancam, Ra. Aku hanya merasa terhina!
Pedas. Sekaligus memelas.
“Tapi aku gak bohong, ‘Nda… aku bener-bener hanya ingin menulis itu. Tidak ada keinginan lain.
‘Nda Raya menarik nafas. Aku juga.
“Bagaimana jika yang menulis itu aku? Aku menulis tentang nama seorang mantan pacarku yang terakhir sebelum aku menikahimu?
Aku menggeleng keras.
“Itulah egoisnya perempuan! Dia akan menangis. Akan marah. Kecewa. Meronta. Berontak. Hingga meninggalkan rumah. Bahkan setelah penjelasan yang diberikan lelaki padanya telah demikian jelas.
“Abid saja tiap kali aku pulang terlalu larut, langsung cemberut dan manjanya menumpuk-numpuk. Atau saat kerjaan kantor lebih menarikku, abid juga nangis. Kadang semalaman ikut lembur di dekatku. Meskipun akhirnya juga abid yang bobok duluan di mejaku. Nanti dipindahkan juga ngambek lagi.
‘Nda Raya tertawa. Aku juga tertawa. Benar katanya.
“Memang fitrahnya perempuan itu manja. Pengen diperhatikan. Tapi sebenarnya laki-laki juga memiliki fitrah itu. Maunya siy menjadi satu-satunya orang yang diperhatikan juga. Sama kayak abid yang maunya aku kasih perhatian yang meluap-luap selalu,” katanya lagi. “Itulah kenapa kubilang itulah sifat egois perempuan terhadap laki-laki yang dipanggilnya sebagai suami.
Kutatap matanya lagi. Luka itu telah berangsur hilang dari matanya.
“Maafkan aku!
Kukuatkan genggaman tanganku. “Aku sayang ‘Nda Raya.
Dia tersenyum.
“Maafkan aku, ‘Nda... Jangan diamkan aku, jangan cuekin aku. Jangan tinggalkan aku juga.
Dia tertawa.
“Beneraaannn… maafkan aku,” kataku lagi.
“Iya iya…
“Iya apa? Aku minta maaf,” kataku. “Iya apa?
“Iya maaf…
“Aku yang minta maaf, ‘Nda…
Senyumnya hilang setelah itu.
“Nda Raya belum ingin memaafkan aku?,” tanyaku pelan. Aku takut.
“Aku takut diduakan, bid…,” katanya kemudian. “Aku tidak tau. Tapi aku sangat takut abid masih belum bisa menerimaku penuh. Apalagi kita baru bersama enam bulan. Aku takut saja, bid…
Matanya berkaca saat ini. Aku mengelus lengannya.
“Nda, aku sayang ‘Nda Raya. ‘Nda Raya akan menjadi satu-satunya lelaki dalam hidupku. ‘Nda Raya akan selalu menjadi raja bagiku. Sekalipun ‘Nda Raya akan meninggalkanku selamanya, ‘Nda Raya akan tetap menjadi rajaku. Dan aku tidak akan mengganti ‘Nda Raya dengan siapapun!
Matanya masih menatapku. Sama sepertiku yang menatapnya.
“Keputusanku : mencintaimu selamanya…,” kataku. Rekah.
Pelan ‘Nda Raya mengelus kepalaku. Aku tau dia bukan lelaki yang bisa meluap-luap dengan kalimat cinta. Aku tau dia bukan lelaki yang bisa mengungkapkan cintanya setiap saat. Tapi aku yakin dengan tatap matanya. Aku yakin dengan setiap sikapnya.
Cintanya untukku ada di matanya.
“Tapi aku pasti akan pergi suatu hari, bid. Gak mungkin kan aku bisa menemanimu selamanya,” katanya. Aku merengut.
“Aku tidak mau. TITIK!
“Lha itu artinya abid menolak takdir Allah dong. Dosa loh…
“Biar!
“Hahaha. Dasar anak-anak, sukanya ngeyel!
“Biar!
Sebentar kemudian ‘Nda Raya memandang keluar. “Aku pergi sebentar,” katanya. Aku mengangkat alis. “Tunggu disini. Aku tidak akan lama.
“Kemana?
“Yang pasti bukan untuk pergi selamanya,” katanya dengan senyum. “Belum waktuknya aku meninggalkanmu selamanya,” bisiknya diiringi tawanya yang khas.
“Eh Nda!,” cegahku.
“Iya? Mau nitip sesuatu?
Aku menggeleng. “Yang tadi beneran?
Alisnya berkerut. “Yang tadi? Yang mana?
“Yang ‘Nda Raya bilang bagaimana jika ‘Nda Raya yang menulis tentang mantan-mantan itu…
“Owh itu… memang kenapa?
“Beneran?
“Beneran apa?
“Beneran ada?,” kejarku.
“Ya ada,” jawabnya santai. Aku merengut. “Ya abid itu mantanku,” katanya sambil berlalu.
Aku menunggunya sambil melamun. Membuka ulang perseteruan kami karna cemburunya pada Yudhist. Aku saja cemburu dengan pekerjaannya –kadang dengan kertas kerjanya aku juga cemburu- apalagi kalo harus tau ada sosok lain ya? Tiba-tiba aku merasa takut sendiri jika itu terjadi. Hhfff… Ya Allah, jaga kami dalam cintaMu yang utuh dan kuasa. Amin…
Aku tau luka ini mungkin tidak akan semudah itu sembuh. Akan ada bekas dari luka ini, sama seperti bekas luka yang akibar sayatan pisau. Akan butuh waktu untuk menyembuhkannya. Aku menganggap kisahku dengan Yudhistira adalah satu kisah yang telah berakhir dengan indah pada masing-masing. Meskipun aku selalu berharap, aku bisa melihatnya dan mengenalnya seperti dulu pertama kali aku mengenalnya. Sebagai seekor singa padang pasir.
Aku hanya menjalani hari ini. Bersamanya. Lelakiku. Suamiku.
Tanpa siapapun di dalam pohonku kecuali dia.



[1] Masih lupa kalimat siapa ini
 

[1] Chairil Anwar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar