Senin, 19 Desember 2011

Kedelapan


15 Agustus, 2005

Sore, ‘Nda…
Aku menemukan tulisanku pas nge-blog. Sama senengnya aku pas menemukan kembali tulisan-tulisan ini. Ya memang seperti diary atau apalah namanya yang kutulis untukmu. Untuk kita ding! Aku dan engkau, engkau dan aku.

Aku mengajakmu berimaji ya, ‘Nda!
Sekarang kita menuju belahan tanah jihad Palestina. Hff, bismillahh… ya meskipun hanya dalam bentuk bayang menjadi Khansa dan engkau menjadi Ibrahim, ya semoga bisa menjadi hal kecil bernama bekal jika dan jika saja kemudian Allah memberi kesempatan takdir untuk kita menjadi warga atau menjadi bagian langsung orang-orang Palestine. Anggaplah ini epik atau cerita cinta kita yang menyemangat darah.

Selamat menikmati, ‘Nda sayang…

MUJAHID SIJJIL
Pegang sumpahku padamu, al Quds!
Aku akan melahirkan Ayyash baru untukmu hari ini. Akan kujadikan dia muhandis baru untukmu.
Akan kujadikan ia seperkasa Umar dan selembut Abu Bakar. Akan kupersembahkan dia sebagai pembela tanahmu dengan darah dan jiwanya.
Dan akan kukuatkan dia untuk terus menjadi ahli syurga dengan keberaniannya dan tentu saja atas atsarus sujuud di dalam jiwanya.
Insya Allah, ya Quds! Bi idznillah...
Darah segar masih melingkupi tubuh mungil anak lelakiku. Rasa nyeri persalinan juga masih terasa. Apalagi memang persalinanku masih menggunakan cara yang sangat sederhana.
“Auuhhh...
“Tenangkan dirimu, wahai Khansa,” seru suamiku sambil membantuku duduk lebih tegak. Matanya bening lurus menatap ke arahku.
“Aku baik-baik saja,” ujarku kemudian. “Mana Ayyash-ku, ya Faruq ?
Faruq adalah panggilanku untuk suamiku. Sebenarnya namanya Ibrahim Yusuf. Tapi aku selalu memanggilnya Faruq agar benar-benar ia menjadi al Faruq bagiku dan anak-anak nanti.
“Tenangkan dirimu, Khansa. Ummu Hibban dan Ummu Fadhlan sedang memandikannya.
“Apakah engkau telah mensucikan anak kita dengan seruanNya, Faruq?,” tanyaku
Dia hanya tersenyum. Tangannya pelan menyentuh rambutku.
“Ia terbentuk dari doa, ya Khansa. Dia tumbuh dalam rahimmu dengan doa dan harapan. Dan ia akan berkembang dengan doa, harapan dan kebenaran. Insya Allah...
Aku tersenyum.
“Ummu Fadhlan akan membantumu membersihkan diri. Aku akan keluar melihat Ayyash kita,” ujar Ibrahim setelah Ummu Fadhlan memasuki kamar kami.
Aku dan Ibrahim, suamiku, sepakat memberi nama Ayyash kami dengan Mujahid. “Kita akan menjadikannya setangguh mujahid Badar,” ujar suamiku seraya kembali bersenandung dengan ayat senandung mujahid. “Kamu harus menjadi bagian dari Shalahuddin al Ayyubi, Mujahid!,” begitu ujarnya di lain hari.
Hari-hari kulalui bersama Mujahid. Dengan suka cita. Ada kalanya saat kegeraman menguasaiku atas sikap zionis terhadap tanah-tanah kami, ternyata sangat mempengaruhi gerakan Mujahid. Dia meronta dalam dekapanku. Tangisnya lebih keras tapi tidak berair sama sekali. Tatapnya juga semakin tajam.
“Jadikan ia qurrata a’yuun bagi kami, ya Rabb!
%%%
Selarut ini Ibrahim belum juga pulang. Padahal siang tadi ia hanya berpamitan menemui Syaikh Rifai untuk urusan pekerjaan. Ahh... aku sudah bersumpah untuk siap dengan semua keadaan. Ibrahim sering kali mengingatkanku akan janji pada malam pertama pernikahan kami dulu.
“Ridlo Tuhanku ada di tanganmu. Karna itu ajari aku seperti Muhammad mendidik Khadijah. Dan siapkan aku seperti sebenar-benar Khansa untuk semua cintanya...
Begitulah.
Itulah kalimat yang terucap dariku setelah aku dan Ibrahim menenangkan senja kami dengan sunnah dua rakaat. Tidak lama tapi sungguh sangat khusyu’ insya Allah. Belum genap aku mengenali sosoknya sebagai suamiku, ia sudah berdiri memakai jubahnya kembali.
Mau kemana ?,” tanyaku.
Dia tidak menjawab. Tapi hanya tersenyum.
Ketahuilah... sekarang saatnya engkau belajar menjadi Khansa yang sesungguhnya!
Aku hanya menatapnya. Ada kebingungan yang ingin kusampaikan padanya. Tapi kemudian aku hanya menunduk. Diam.
“Kau tidak ingin aku pergi?,” tanyanya tepat di depan wajahku.
Kami berhadapan dan bertatapan. Saling diam.
“Aku tau maksud hatimu,” ujarnya kemudian. “Tapi pegang janjiku wahai Khansa! Jika syurga membukan pintunya untuk menyambutku dan ada 70 bidadari yang juga menyambutku, maka percayalah aku akan tetap memilihmu sebagai bidadariku. Engkau saja bidadariku, wahai Khansa. Bi idznillah...
Air mataku keluar. Mengalir. Tiba-tiba. Ibrahim mengusap perlahan dan kembali memegang erat tanganku.
“Aku akan segera kembali. Karena tugas suci untuk melahirkan Ayyash baru kini juga menjadi tugas kita. Aku akan terus berusaha dan engkau... kuatkan aku dengan doa,” ujarnya. Tangannya erat mengenggam jariku.
Aku mengangguk.
“Aku memilihmu karna engkau adalah mujahid pilihan terbaikNya wahai Faruq!,” ujarku kemudian.
Kami saling bertatapan sekali lagi sebelum kemudian kulepas Ibrahim. Dengan tatap rindu dan doa. Jika ia menjagaMu, maka Engkau pasti akan menjaganya. Itu janjiMu, ya Rabb! Kubayangkan tugas apa yang akan diembankan Hamas untuk orang yang belum genap satu jam kugelari suami. Bayanganku kami akan berjalan menyusuri sungai kering di belakang rumah sirna karna Ibrahim ternyata lebih memilih berenang dengan teman-temannya di laga jihad. Entah bagaimana nanti wujudnya saat ia kembali.
Wa laa tahinuu wa laa tahzanu, ya nafsii...
“Jangan ikuti ajakan syetan untuk melamun, wahai Khansa,” sebuah sentuhan mendarat tegas di bahuku. “Assalamu’alaikum, ummul Mujahid,” bisiknya.
Aku tersenyum. Ternyata ingatanku pada masa-masa awal pernikahan membuatku tak sadar akan kedatangannya. Pakaian Ibrahim terlihat lusuh. Gamis hitamnya berwarna debu. Wajahnya terlihat lusuh. Ada sisa-sisa debu dan asap di wajah sendunya.
“Besok pagi biarkan Mujahid turut dalam gerilya “Auladiy”, Khansa. Biar Mujahid lebih cepat dewasa...
Aku terdiam. Ah Faruq... apakah engkau tidak ingin bercerita padaku tentang petualanganmu sehari ini?
“Engkau kenapa, Khansa?
Aku menggeleng cepat. Ibrahim menatapku dengan bingung. Setelah melihat sejenak Mujahid, Ibrahim kemudian mendekatiku.
“Khansa, engkau ingat kisah Abrahah yang serakah? Saat itu Abrahah berpikir bagaimana menghancurkan Ka’bah. Karna ia tidak ingin ada simbol agama lain selain Nasrani. Abrahah merasa bisa menghancurkan Ka’bah dengan tentara dan gajah-gajahnya.
“Engkau tau apa kata Abdul Muthalib saat itu pada Abrahah? Beliau berkata bahwa Ka’bah mempunyai Tuhan sendiri, nanti anda –Abrahah- akan berhadapan dengan Tuhan Ka’bah sendiri.
Tapi tetap saja. Abrahah tidak berkeinginan untuk mundur. Abrahah maju menyerang Ka’bah. Allahu Ahad... gajah-gajah itu tidak mampu bergerak di pintu Ka’bah, ya Khansa! Gajah itu mematung. Bahkan begulingan. Benar kiranya apa yang dilakukan Abdul Muthalib. Beliau mengajak masyarakatnya untuk naik ke tempat yang lebih tinggi dengan membawa harta benda mereka sambil melihat kehancuran Abrahah dan pasukan gajahnya.
“Karna memang benar... Abrahah sedang berhadapan dengan Tuhan Ka’bah, Khansa. Ka’bah bukan milik orang Arab tapi Ka’bah adalah milik Tuhan!
Ibrahim menarik nafas dalam-dalam. Ibrahimku memang dikenal sebagai pengagum kisah-kisah terdahulu.
“Engkau tau bagaimana Abrahah menemui ajalnya? Ia adalah orang terakhir yang menemui ajal. Allah maha mematikan segala yang hidup. Allah membinasakan mereka dengan sijjil, Khansa! Hingga kematian mereka adalah kematian paling menakutkan di dunia ini.
“Allah memberi kepastian atas kebinasaan mereka. Tapi dengan sijjil, Allah membuat kematian mereka sangat menakutkan. Mereka mati dengan daging yang berlelehan. Tubuh terputus satu per satu dari tempatnya.
“Bahkan jantung Abrahah keluar dari tempatnya setelah sampai di Sam, ibu kota Yaman. Setelah sebelumnya dagingnya meleleh hingga hanya tersisa dada dan jantungnya setelah ia melakukan perjalanan antara Sam dan Makkah...
Ibrahim kembali menarik nafas. Berat.
“Engkau tau, Khansa? Jarak antara Sam dan Makkah adalah jarak yang jauh dan Abrahah melaluinya dengan leleran tubuhnya yang terkena sijjil. Na’udzubillahi min dzalik...
Kurasakan keringat menetes dari dahi Ibrahim. Ibrahim selalu merebahkan kepalanya di pangkuanku setiap kali ia ingin bercerita. Segera kutenangkan ia. Aku akan menjadi Khadijah-mu seperti saat Muhammad menggigil setelah turunnya wahyu pertama dulu, batinku. Segera kuselimutkan sehelai kain di tubuh Ibrahim dan kubiarkan ia dalam tangisnya sejenak.
“Biarkan Mujahid kita menjadi sijjil, wahai Khansa! Atau biarkan ia menjadi pemegang sijjil itu. Ia akan menjadi anak panah tajam untuk kesombongan kafir laknatullah,” ujar Ibrahim kemudian.
Aku diam. Tanpa jawab.
%%%
Ada tarik menarik dalam hatiku. Antara inginku melepas Mujahid ke medan perang dengan tarikan naluri keibuanku. Tapi bukankah Mujahid lahir untuk izzah Islam di bumi Allah ini?
Faruq, aku merasakan seperti pengecut saat ini. Aku seperti kerdil. Aku seperti takut melepas Mujahid. Tolong bantu aku, ya Faruq! Bantu aku menjadi ibu seperti Khansa yang sebenarnya,” pintaku pada Ibrahim.
Segera Ibrahim terbangun dan memegang kembali tanganku. Aku tergugu pada tatap matanya.
“Khansa, tidak ada kematian bagi ahlul haq di bumi ini. Tidak akan ada kematian untuk penjaga agama Allah,” ujar Ibrahim dengan sangat yakin. Aku mengangguk. Perlahan dan sayup kembali kusenandungkan sumpahku saat Mujahid akan terlahir untuk tanah suci ini.
Pegang sumpahku padamu, al Quds!
Aku akan melahirkan Ayyash baru untukmu hari ini. Akan kujadikan dia muhamdis baru untukmu.  Akan kujadikan ia seperkasa Umar dan selelmbut Abu Bakar. Akan kupersembahkan dia sebagai pembela tanahmu dengan darah dan jiwanya. Dan akan kukuatkan dia untuk terus menjadi ahli syurga dengan keberaniannya dan tentu saja atas atsarus sujuud di dalam jiwanya. Insya Allah, ya Quds! Bi idznillah...
Mujahidku akan menjadi sijjil bagi laknatullah ‘alaihi. Sijjil yang akan melelehkan segenap ketamakan dan kesombongan di bumi suci ini. Sijjil yang akan melepaskan jantung kaum kafir itu dari tempatnya...
%%%
Keadaan semakin tidak menentu. Israel laknatullah makin congkak mengkangkangi wilayah haram mereka. Semakin banyak darah tumpah membasahi bumi suci. Semakin banyak jiwa perindu yang bertemu Rabbnya dalam tugas suci. Dan semakin banyak lahir pula bayi-bayi ajaib dari rahim-rahim Khansa.
Inilah janji Allah yang pasti, wahai Mujahid!
Tidak akan datang hari kiamat hingga tanah suci ini terbebas dan merdeka dari zionis. Dan tidak aada satu takdir atas bumi suci ini kecuali kemenangan.
Maju terus, Mujahid!
Engkau adalah sijjil kami. Engkau adalah sijjil yang akan menghancurkan tirani dan engkau adalah bagian dari Shalahuddin al Ayyubi. Engkau akan tetap menjadi tabungan kami di akhirat nanti. Maju terus, Mujahid!
Teruslah maju untuk pertemuan terindu....
inspirated “Membangun Peradaban yang Berkemanusiaan”
===================================

            Sudah seleseee…
Aku coba-coba saja saat nulis cerita ini. Pas abis baca bukunya ustadz Anis Matta, trus ada tafsir surat al Fiil. Tiba-tiba jiwa imajiku bergerak dan berhasil membuahkan Khansa dan Ibrahim dalam satu jam.  Ada pelajaran cukup penting dari tafsir surat Al Fiil ini, ‘Nda! Jadi arti kata abaabil adalah kelompok atau jamaah. Dan bukan nama burung. Sedangkan nama burung itu apa, allahu a’lam… Yang pasti abaabil maknanya adalah jamaah atau kelompok.         
Nah, ‘Nda… apakah berita tentang abaabil ini telah sampai padamu?
Abaabil yang selama ini kita tau sebagai nama burung? Ah… bagaimana pula kita akan menjadi yang sempurna jika serapan ilmu di bumi ini hanya sepertetes dari semua ilmuNya? Apa ya ada manusia yang memiliki kemampuan memahami alam ini secara penuh, menyeluruh dan utuh? Itu hanya ada pada Muhammad kali ya, Nda…
Abaabil itu bukan nama sekumpulan burung. Ababil itu ya artinya kumpulan, jamaah, dan yang searti dengan ini. sementara nama burung di Al Fiil itu Allah saja yang tau. Jadi darimana dulu ada asal muasal burung itu namanya Ababil ya ‘Nda? hm, efek kekerdilan diri juga niy…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar