Senin, 19 Desember 2011

Menikmati Kesedihan Bersama Hajar


Mereka sepasang suami istri yang tidak lagi muda. Dan sang istri yang sekarang adalah istri keduanya. Dengan istri pertama lelaki tersebut tidak memiliki keturunan dan akhirnya setelah puluhan tahun menanti, maka tibalah saatnya Allah memberikannya keturunan putra nan tampan dan sholeh melalui rahim mulia istri keduanya. Namun yang terjadi kemudian, laki-laki tersebut harus membawa pergi sang istri dan anaknya yang masih bayi keluar dari kota yang mereka tempati menuju sebuah tempat yang belum berpenghuni saat itu. dan setibanya disana, di sebuah padang tak berpenghuni, lelaki itu dengan gagah (meskipun berat) harus meninggalkan istri dan anak yang telah ditunggunya puluhan tahun lamanya itu.

”Wahai suamiku, kenapa engkau tinggalkan kami disini sendiri?,”
begitu kalimat pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. Sang istri tetap mengikuti langkah suaminya dari belakang, sementara sang suami tidak menoleh sedikitpun pada keduanya. Lelaki itu berpikir jika ia menoleh pastilah ia tidak akan sanggup melanjutkan perjalanannya tanpa istri dan anaknya. Sang istri tidak gentar kembali bertanya, ”Suamiku, kenapa engkau tinggalkan kami sendiri? Apa yang engkau pikirkan sebenarnya? Disini tak ada siapapun dan tidak ada apapun, kenapa engkau malah meninggalkan kami disini?

Pertanyaan itu hanya dijawab oleh angin yang menerbangkan pasir-pasir putih halus padang itu. sang istri memeluk erat anak lelakinya yang sedikit bergerak. Dan lelaki itu, suaminya tercinta tetap berjalan tanpa menoleh padanya atau sekedar menjawab pertanyaannya. Mereka menangis. Lelaki itupun menangis. Namun dia tidak boleh berhenti.

”Suamiku, apakah ini perintah Allah?

Pertanyaan itu menghentikan langkah suaminya. Sejenak dia memandang istri dan anaknya dari tempatnya berhenti. Dengan pelan dan yakin dia mengangguk ”Iya benar, ini perintah Allah,” jawabnya. Matanya masih bening menatap pada dua orang yang sangat dicintainya.

Sang istri tiba-tiba tersenyum. ”Baiklah, jika demikian. Pergilah, aku yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - -

Andai itu sebuah slide film, pasti adegan itu ditutup dengan berpelukannya dua orang itu dan bertangis-tangisan sepuas-puasnya. Kemudian saling mengurai keberatan2 yang dirasakannya terhadap apa yang hendak dilakukan. Jika berhasil, maka episodenya memang berlanjut pada perpisahan, namun jika tidak pastilah episode itu akan berubah cerita J

Namun itu tadi bukan film. Slide diatas adalah kisah perpisahan antara Hajar, istri kedua Nabiullah Ibrahim dengan anak laki-lakinya, Ismail. Betapa terkadang Allah memang ”kejam” dengan keputusanNya memisahkan Ibrahim dan Hajar yang baru saja mendapatkan Ismail. Namun jika Ibrahim berpikir demikian, saya yakin Allah tidak akan menunjuknya sebagai rasul pilihan. Ibrahim adalah laki-laki hanif yang memang lurus dan berpikir dan bertindak.

Saya berandai-andai, bagaimana jika istri itu adalah saya? Bagaimana jika suami itu adalah suami saya? Apakah kami sanggup melakukannya?

Benar, Allah memang tidak akan membebani kita melebihi kemampuan kita. Namun bukan berarti kemampuan itu selalu merupakan hal yang masuk akal bagi kita. Allah meminta kita taat padaNya  terkadang –pada beberapa hal- menurut kita tidak masuk akal, tapi itu perintah. So how kalo gitu?

Saya bukan hendak mengajak ”bertamasya” dengan wacana itu. Nantilah kapan2 kita bicara masalah itu, sekarang rasanya kepala saya juga lum siap membicarakan ttg ketaatan sementara hati dan perbuatan saya banyak dipenuhi ketidak taatan. Saya ingin mengajak bertamasya dengan satu kalimat pertanyaan yang berubah dari Hajar untuk Ibrahim.

”Apakah ini perintah Allah?

Begitu perubahan kalimat dari Hajar yang saat itu hendak ditinggalkan Ibrahim sendirian di padang Mesir bersama Ismail. Saat bertanya demikian, saya yakin Hajar sudah dalam posisi siap dan menerima jika seandainya jawaban suaminya adalah ”iya, ini adalah perintah Allah”. Karna itu artinya, sudah tidak ada pilihan lagi bagi keduanya selain menjalankan perintah tersebut.

Saya sangat menyukai cara Hajar mengubah pertanyaan itu. Jika saja dia tetap bersikukuh dengan pertanyaan ”kenapa dan kenapa” pada suaminya, alangkah makin sempitnya hati dan pikirannya menjalani keputusan itu. Pastilah akan dipenuhi dengan semakin banyak pertanyaan dan perasaan-perasaan sedih bahkan sakit hati pada suaminya. Namun Hajar memang bukan wanita biasa. Kecerdasan telah membuat pikirannya mampu berpikir untuk menundukkan emosinya.

Begitulah yang saya sangat sukai dari Hajar. Dia mengajari saya (bahkan kita semua) untuk tidak sekedar bertanya kenapa dan kenapa. Karena esensi pertanyaan kenapa itu selalu berikatan dengan munculnya pertanyaan kenapa dan kenapa selanjutnya. Jika tidak percaya, buktikan sendiri :D

Baiklah, itulah dimensi lain Hajar memaknai kesedihan. Bukan hanya kesedihan mungkin, namun juga keputus asaan, kekecewaan, kemarahan, ketidakpahaman, ketakutan, kekhawatiran, kekesalan, kejenuhan, kejemuan, dan berbagai macam mode perasaan tidak enak. Sangat cantik dan mudah sekali sebenarnya cara yang diambil Hajar untuk menikmati semua itu. Hanya dengan mengubah kenapa menjadi apakah, kawan, bukankah itu sangat mudah? J

Saya ingat kata pak Arif Alamsyah beberapa waktu lalu, kata semakin akan membuat kita semakin merasakan perasaan yang semakin juga. Maksudnya, semakin kita berpikir berat maka semakin berat pula pikiran kita. Semakin kita merasakan kecewa, maka akan semakin kecewa pula kita. Semakin kuat kita menahan diri utk pipis/pup, maka akan semakin terasa pula rasa ingin pipis/pup. Karna saat kita berpikir semakin, pikiran kita sdh didominasi oleh perasaan itu dan mengalir ke hati.

Begitu juga dengan rasa sedih, kecewa, kesal, jengkel, dsb dst itu... Nikmati saja, kata pak Arif dan segera jalani atau cari penyelesaiannya. Menikmati bukan berarti membiarkan semua itu berlalu bukan? Salah besar jika kita berpikir menikmati hidup itu adalah dengan menjalankannya dengan ”apa adanya” saja. Namun menikmati hidup adalah bagaimana kita bisa menjalani hidup ini dengan semua yang ada. Saat bahagia, maka bagaimana kita bersyukur. Saat sedih, maka teruslah berusaha mencari cara untuk semakin bersabar. Saat kecewa, maka ungkapkan kekecewaan itu pada yang bersangkutan. Saat marah, maka jangan marah:D *mringis mode:ON*

Tidak semua yang indah itu terlihat indah dan terasa indah. Bukankah memang sudah sunnatullah bahwa kita akan menjalani kehidupan yang terus bergerak melingkar. Dan dalam lingkaran itu mungkin akan berulang beberapa kali ”rasa hidup” yang sama. Tak mungkin Allah hanya memberi kita kesedihan sepanjang hidup (kyk di sinetron2 bodoh itu). tidak mungkin juga kita akan terus2an diberi bahagia, karna bisa jadi bahagia itu juga merupakan ujian. Yang pasti, Allah memberi kita pilihan2 hidup, namun Allah tidak memberi kita pilihan untuk menanggung resikonya. *khusus utk care_ummah : mjd pejuang jg pilihan, namun jika kau memilih utk tidak menjadi pejuang, maka tidak ada pilihan resiko selain ya  kau memang bukan pejuang terpilih dan pastilah akan ada yang menggantikanmuJ*

Resiko memang pajak kehidupan, kata Anis Matta. Dan beranilah untuk menanggung resiko hidup. Beranilah untuk menikmati hal2 tidak enak dalam hidup dengan cara yang paling enak. Dan jika kalian ingin tau inti cara paling enak itu, ingatlah kata Umar : Cukup sabar dan syukur sebagai tungganganku.

Ya benar, cukup sabar dan syukur sebagai tunggangan hidup kita. Dan jangan salah artikan sabar dengan nerima apa adanya tanpa berusaha dan syukur sebagai hal yang bersifat candaan saja ya. Nanti lah kita bicara bab ini secara khusus, panjang bahasannya. Hihihihi. Yang pasti seorang Abu darda’ sj pernah berdoa begini : Ya Allah Kau uji aku dengan nikmat lalu aku harus bersyukur itu lebih aku sukai daripada Kau uji aku dengan kesusahan lalu aku harus bersabar.

Nah kan... Sampai jumpa lagi wahai sabar dan syukur :P

(Ra, menahan serangan ngantuk di kantor. Dor dor doorrrrr... hahaha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar