Senin, 19 Desember 2011

Ketujuh


Juni 23, 2005
Aku deg-degan pas baca kisah Kurusetra. Pertarungan sodara seibu itu rasanya jadi sangat manis jika dimasuki iringan arti perjuangan khas Islam. Jadi umpamanya si Arjuna dan seluruhnya adalah orang-orang yang mengerti arti jihad dan perjuangan dalam Islam. Hm, matur nuwun bang Sakti…
Ksatria Kurusetra dan Pilihan Hidup
Ksatria Kurusetra adalah sebuah kisah yang membuat aku tertegun. Entahlah, aku seperti menemukan sebuah titik medan perjuangan yang penuh daya tarik dan paksaan-paksaan kejiwaan. Menggambarkan tentang betapa pilihan-pilihan hidup dan kasih sayang tidak lagi ada maknanya di depan keinginan Ilahi. Tentang bagaimana sebuah keinginan yang sangat dalam namun tidak terpenuhi begitu mampu mengalahkan bentuk-bentuk logika kasih sayang.
Segalanya benar-benar tak terpilih…,
 Itulah satu kalimat yang berulang beberapa kali dalam ksatria kurusetra. Aku menangkap itu adalah sebuah kepasrahan atas pilihan-pilihan sulit yang tidak terelakkan. Pilihan antara saudara, rasa sayang, pengabdian, dan perjuangan. Bertarung demi saudara sendiri ataukah mempertahankan rasa sayang terhadap saudara tetapi mengabaikan nilai pengabdian dan perjuangan. Seandainya itu adalah aku, maka seperti halnya Arjuna, maka mungkin aku juga ingin memilih kematian lebih dahulu datang daripada harus mengakhiri hidup orang yang aku sayangi dengan tanganku sendiri. Tapi kemudian, aku pun harus bersadar diri bahwa pilihan itu bukan pilihan optional. Pilihan yang ada hanya dua, bunuh dia ataukah membiarkan kedzoliman lebih lama tumbuh dan berkembang. Karena meskipun dia saudaramu, dia telah menjadi bagian dari kedzaliman.
Ingatkah engkau kisah Nabi Nuh dan istrinya?
Seandainya itu adalah engkau, maka pilihan mana yang akan engkau ambil pertama kali? Pilihan idealis engkau sudah jelas adalah perjuangan. Tapi aku juga yakin, engkau akan menangis dengan sangat tersedu hingga mungkin meringkuk di sudut kesendirian yang tidak berujung. Jadi mungkin ada pilihan optional? Mungkin sekali! Hanya saja mungkin itu tidak lagi seideal pilihan yang sempurna karena harus berusaha mempertemukan sisi kejiwaan dan sisi idealisme.
Arjuna adalah sosok yang harus membunuh Basukarna karena Basukarna dinilai telah melakukan kedholiman bersama Werkudara yaitu pembangkangan terhadap ide ketauhidan. Sehingga Prabu Kresna menginginkan Arjuna dapat membunuh Basukarna meski dia adalah seorang kakang bagi Arjuna. Sesungguhnya Arjuna sangat menolak keinginan Prabu Kresna karena bagaimanapun juga rasa sayang telah merasuk dalam dirinya untuk Basukarna. Meski berlainan ayah, mereka tetap saudara! Dan itu yang tetap diyakini Arjuna.
Hingga kemudian Arjuna pun mencoba melakukan “dialog” dengan Basukarna agar pertarungan ini dapat dihindari. Mungkin ada jalan lain selain pertarungan. Dan Arjuna memberi pilihan jalan itu, yaitu mengajak Basukarna meninggalkan wilayah kekuasaan Werkudara dan kembali kepada Astina.
Namun Basukarna hanya menjawab, ini adalah tentang upaya balas budi, yayi. Sementara Arjuna melongo dengan jawaban kakangnya, Basukarna berkata bahwa ibunda Kunthi telah membuangnya dan Werkudara lah yang memberi bentuk kehidupan kepadanya hingga dia bisa menjadi seperti ini saat ini. Sebuah kehidupan yang sungguh diluar dugaannya.
Kemudian Arjuna pun berdalih dengan kisah Musa yang diselamatkan Fir’aun. Bukankah Musa juga diselamatkan Firaun sang simbol kedzaliman, namun ternyata itu tidak menghalangi Musa untuk tetap “memusuhi” Firaun.
Dan jawaban Basukarna sungguh sangat diluar dugaan! Musa dalam perjuangannya melawan Firaun tetap mempunyai sandaran kasih sayang karena ada ibundanya di samping hidupnya. Tapi aku, yayi, aku tidak punya sandaran seperti itu karna ibunda Kunthi telah melarungku dan tidak memberikan tempat untukku kembali. Duh!!
Inilah yang saya bilang, bagaimana sebuah keinginan yang sangat dalam namun tidak terpenuhi begitu mampu mengalahkan bentuk-bentuk logika kasih sayang. Bahkan bentuk-bentuk logika kasih sayang ibu dan anak! Ternyata itu membawa sebuah simpul dendam tersendiri. Dan jika ini terjadi, maka layakkah seorang ibu dipersalahkan? Ataukah tetap jiwa-jiwa Basukarna yang harus disalahkan atas rasa dendam dan “sakit hati”nya? Ataukah kemudian menyalahkan dua Prabu yang berseteru itu?
Biar saja jawabannya, Wallahua’lam bish showwab…
Aku belajar, betapa memang kita harus dapat memilih pilihan-pilihan yang sangat sulit dalam kehidupan. Biarlah kemudian pilihan-pilihan itu terpilih berdasarkan sebuah kesadaran ilahiyah dan bukan sekedar kesadaran emosional apalagi optional. Kemudian aku juga belajar, betapa orang-orang yang sering kali aku sayangi tanpa aku mengindahkan diri sendiri ternyata tak jarang juga melakukan hal-hal menyakitkan yang sangat menyakitiku sendiri juga meski aku juga mempunyai keyakinan bahwa mungkin semua  itu juga tiada mereka sengaja.
Jadi, ajari aku terus belajar ya ‘nda! Disini, disana, dimana-mana, selamanya… Saya ingin terus bisa menyadari bahwa aku ada memang karena Allah mau saya ada. Nah!
Teringat kata Bang Sakti juga, marilah sungguh luangkan hati, lapangkan pikiran. Marilah sungguh, kembangkan tangan cinta. Tak perlu membenci. Tak perlu marah. Karena… kita tidak tau apakah besok kita akan tetap begini ataukah “mengulang” salah orang yang kita benci?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar